SEBUAH PILIHAN HATI

By Abiyasha

66.4K 4.8K 842

Adrian bukan hanya kehilangan rumah tangga yang dibangunnya bersama Kara, tetapi perceraian membuatnya kehila... More

TEASER
SATU - THREE ROSES
DUA - YOU'RE MY DAY'S EYE
TIGA - PLAYING WITH FIRE
EMPAT - THE DINNER
LIMA - ALSTROEMERIA
ENAM - HE FOUND ME
TUJUH - SHE IS HERE
DELAPAN - HOW I MET HER
SEMBILAN - THE WAY OUT
SEPULUH - THEY MEET AGAIN
SEBELAS - SAYING GOODBYE
TIGA BELAS - UNTIL WE MEET AGAIN
EPILOG
DI BALIK SEBUAH PILIHAN HATI

DUA BELAS - COMING HOME

2.5K 244 90
By Abiyasha


I cried.

Meringkuk di tempat tidur Adam sembari memeluk buku gambar yang diberikan Adam tadi, entah sudah berapa lama aku menghabiskan waktu di kamar ini. Ada beberapa gambar yang membuat tangisku tidak bisa tertahan lagi. Dua piring yang bertuliskan SARAPAN DENGAN PAPA di atasnya, gambar bunga yang bertuliskan JASMINE, gambar kami berdua bergandengan tangan, bahkan ada gambar Banyu di sana. Namun, tulisan ADAM SAYANG PAPA di halaman terakhirlah yang membuat semua emosi yang aku tahan akhirnya jebol. Entah kapan terakhir kali aku menangis seperti ini. Aku sudah merindukannya.

"Adrian?"

Aku mengangkat wajah dan melihat Chris sudah berdiri di ambang pintu. Aku berusaha untuk duduk, tetapi aku tidak sanggup. Aku hanya menelan ludah ketika perlahan Chris berjalan mendekatiku. Mendudukkan dirinya di lantai, Chris menatapku.

"Bagaimana kamu masuk, Chris?" tanyaku sambil menyeka air mata.

"You didn't lock the door, Adrian. Aku mencoba memanggil nama kamu, tapi tidak ada jawaban. I hope you don't mind. Aku ... aku tidak bisa tenang karena kamu tidak membalas pesan atau mengangkat teleponku."

Aku mengangguk pelan. "I've missed him already."

"I know. That's why I'm here." Chris kemudian mengulurkan tangan untuk menggenggam milikku. "Have you eaten yet?"

Aku menggeleng. "Aku nggak lapar."

"You have to eat. Let me cook you something to eat, okay?" Aku hanya diam. "I'll be back."

Dengan itu, Chris mengecup genggaman tangan kami sebelum beranjak dari hadapanku. Begitu mendengar langkah kakinya menuruni tangga, aku mengeringkan air mata yang masih tersisa dan berusaha duduk. Menyandarkan punggung ke tembok, aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar Adam. Aku memang akan terbiasa tanpa keberadaannya di sini, tapi berapa lama akan sampai di titik itu, aku tidak tahu.

Lenganku terulur untuk mengambil satu foto yang terpasang di atas nakas. Foto kami bertiga yang diambil ketika Adam masih berusia dua tahun. Siapa pun yang melihat foto ini, akan mengira kami adalah keluarga kecil yang bahagia. Terkadang, aku bertanya kepada diri sendiri, seandainya aku bukan seorang homoseksual, apakah aku akan bisa bahagia bersama Kara? Sudah terlalu lama aku nyaman dengan seksualitasku, tetapi kehadiran Adam membuatku sering mempertanyakan kemungkinan itu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, aku belajar untuk tidak menghukum diri sendiri dengan memikirkannya. Adam adalah kebahagiaan yang tidak pernah aku sangka akan hadir dalam hidupku. Sejak berpisah dengan Kara, aku seperti diingatkan kenapa semua ini harus terjadi. Siapa pun pria yang aku cintai—sekalipun pria itu Chris—Adam akan tetap mendapatkan porsi terbesar dariku. And it's something that will never change.

Aku menoleh ketika melihat Chris kembali ke kamar dengan satu baki. Ketika akhirnya dia mencapai tempat tidur, dia meletakkan baki itu di atas tempat tidur.

"Aku tidak mau memasak sesuatu yang memakan waktu lama, Adrian. I hope it's enough."

"Kamu nggak harus melakukan ini, Chris."

"All you have to do now, is eat. You can complaint or lecturing me with your speech later. Okay?"

Aku hanya bisa tersenyum. "Thanks, Chris.'

"And that one also. You can save your thank you for later."

Aku mengangkat piring yang berisi spaghetti dengan saus jamur. Aku tertegun. Ini adalah makanan yang diminta Adam di bandara tadi. Aku menarik napas dalam, berusaha untuk tidak menangis di hadapan Chris.

"Kamu sudah makan?" tanyaku begitu aku berhasil menelan suapan pertama.

Chris mengangguk. "Ini sudah jam 9 malam, Adrian. I've had my dinner already."

Chris kemudian menuangkan wine yang ternyata sudah dibukanya. "You brought another wine."

"It's yours actually. I hope you don't mind I opened it."

Aku menggeleng. "I probably need it more than you do."

"Kamu harus menghabiskannya, Adrian. Aku benci harus memaksa kamu menghabiskan makan malam."

Aku hanya tersenyum sambil terus mengisi perutku yang memang tidak terisi apa-apa sejak makan sandwich di bandara bersama Adam tadi. Bagaimana mungkin aku punya nafsu makan setelah kepergian Adam?

"Ada yang ingin kamu lakukan setelah ini?"

"Aku nggak tahu."

"Whatever it is, I'll be here."

***

"Adrian, is it possible for you to leave Jasmine for the weekend?"

"It's possible. Why?"

"Aku ingin ke Bloo Lagoon di Padang Bai. Aku dengar, itu spot yang bagus untuk snorkeling."

"Kenapa kamu nggak sekalian ke Lombok?" candaku.

"Is it close?"

"Kalau kamu naik kapal feri yang biasa, bisa makan 5-6 jam. Tapi kalau naik fast boat, sekitar 2 jam."

"Kamu mau pergi bersamaku?"

"Minggu ini?"

Chris mengangkat bahu. "Tidak harus minggu ini. Kapan pun kamu bisa meninggalkan Jasmine. But ... no pressure. I haven't seen much of Bali and its surrounding."

"I'll take a look at the schedule tomorrow and see what I can do."

"Thank you. Kamu mau wine lagi?"

Aku menjawab tawaran Chris dengan mengulurkan gelasku yang memang sudah kosong. Botol Cabernet Sauvignon yang dibuka Chris tadi sudah tandas.

Kami sedang duduk di sofa setelah Chris memastikan aku menghabiskan makan malam dan menyeretku keluar dari kamar Adam. Ada keengganan yang jelas aku tunjukkan, tetapi Chris sepertinya tidak acuh. Kami sama sekali tidak membicarakan Adam dan aku harus berterima kasih atas usaha Chris untuk sedikit membuatku lupa dengan fakta bahwa Adam tidak akan berada di kamar tidurnya malam ini.

"Chris, thank you for coming here."

Chris hanya menatapku dan tersenyum. "You know what, Adrian? After a while, your thank yous seem a bit too much."

Aku menyandarkan kepalaku di sofa, membiarkan pandanganku menerawang sebelum kembali menatap Chris. "Kamu tahu apa yang paling berat dari kepindahan Adam ke London?"

"Are you sure you want to talk about it?"

"Lebih baik membicarakannya sekarang. Pour it all out."

"I'm here," ucapnya sambil menepuk tanganku.

"Yang paling membuatku sedih adalah aku nggak akan bisa tahu reaksinya ketika dia naik bus tingkat dua seperti mainan yang ada di kamarnya. Aku akan melewatkan hari pertamanya pergi sekolah. Aku nggak akan di sana untuk membantunya mengerjakan PR. Aku akan melewatkan sebagian besar masa kecilnya. Kara mungkin benar, kalau suatu saat, Adam mungkin nggak mau bertemu denganku lagi. It's so—"

"Adrian, stop!" potong Chris. "Kamu akan selalu jadi ayah Adam. It will never change. Kalau Kara sampai benar-benar membuat Adam tidak mau bertemu denganmu lagi, aku bisa meyakinkan kamu kalau aku tidak akan tinggal diam. Adam is not only her son, he is yours as well."

"Kenapa kamu nggak benci sama Adam, Chris? You hate Kara so much, why don't you hate Adam as well?"

"Membenci Adam sama halnya dengan membenci kamu, Adrian. And you know well enough I can't do that. Adam is part of you, while Kara is not."

"Tapi karena Adam, hubu—"

"Adrian, kita tidak harus terus melihat masa lalu kan? It happened and there is nothing we can do to change anything. I've dealt with it and I hope you, too."

"I've told Banyu everything."

Entah kenapa aku justru menyebut nama Banyu saat ini. Aku tidak ingin menyembunyikan fakta itu lebih lama lagi. Akan tidak adil untuk Chris jika dia berpikir masih ada sesuatu antara Banyu dan aku.

"Kapan?"

"Minggu lalu. He came here after Kara picked up Adam from Jasmine. He asked about you, and I ... I told him everything because it wouldn't be fair for him. Sama nggak adilnya kalau aku nggak cerita tentang ini ke kamu."

"What did you tell him?"

"Semuanya. Dan aku juga meminta maaf karena nggak bisa memberikan apa yang dia inginkan. I broke his heart, Chris. The way I broke your heart and Adam's."

"I hope he won't hate me."

"I hope not."

"Adrian?"

"Ya?"

"Kamu keberatan kalau aku menginap di sini malam ini?" Aku memandang Chris. "I can't leave you alone like this. I won't be able to sleep. Tapi kalau kamu mau sendirian, aku tidak akan memaksa, tapi kamu har—"

"Stay, Chris. Please."

Tatapan kami terkunci.

Lenganku terulur untuk membelai pipi Chris yang mulai terasa kasar di telapak tanganku karena rambut halus yang mulai tumbuh. "I've missed us."

Ada senyum tipis terpasang di bibir Chris sebelum dia mendaratkan kecupan di tanganku. "So do I."

Perlahan, tanganku menarik wajah Chris mendekat. Tidak ada penolakan dari Chris, tetapi ketika aku bisa merasakan embusan napasnya, Chris berhenti.

"Are you sure, Adrian?"

"You used to ask a better question than that, Chris."

So, I kissed Chris to smash his doubt.

And I know, when our lips met, I'm coming back home to the man I love.

***

Aku baru saja selesai membalas surel terakhir ketika pintu ruangan diketuk. Sejak kepergian Adam, Chris berusaha keras agar aku tidak terpuruk terlalu jauh dalam kesedihan. Beberapa acara yang membutuhkan Jasmine juga cukup banyak hingga aku sering masih berada di toko meski semua pegawai sudah lama pulang. Komunikasiku dengan Adam sudah mulai teratur meski tidak setiap hari aku bisa melihat wajahnya. Paling tidak, Adam terlihat mulai menikmati London dari cerita-ceritanya.

"Masuk!"

Sosok Banyu terlihat ketika dia memasuki ruangan. Sudah cukup lama aku dan Banyu tidak saling bicara seperti dulu. Mungkin dia merasa tidak enak hati dengan Chris atau karena dia merasa tidak nyaman, aku tidak tahu. Setiap kali aku bertanya bagaimana keadaannya, dia selalu menjawab baik-baik saja. Pun, ketika berniat mengundangnya makan malam di rumah, Banyu menolak. Meski tahu dia berbohong, aku tidak memaksanya. Banyu berhak untuk berkata tidak.

"Banyu, silakan masuk. Tolong tutup pintunya."

Pertanyaanku itu dibalasnya dengan sebuah senyum tipis. "Saya tidak mengganggu kan Pak?" tanyanya ketika dia menutup pintu di belakangnya dan berjalan ke arahku.

Aku menggeleng. "Silakan duduk."

Begitu Banyu duduk, aku tersenyum ke arahnya. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya cuma mau menyerahkan ini, Pak."

Banyu meletakkan sebuah amplop putih panjang di mejaku. Aku meliriknya sekilas sebelum kembali menatap Banyu.

"Apa ini, Banyu?"

"Surat pengunduran diri saya, Pak Adrian."

Aku diam sesaat. "Saya harap ini bukan karena saya."

Banyu menggeleng lemah. "Saya pikir, sudah waktunya saya pergi, Pak."

"Kamu sudah dapat pekerjaan baru?"

Banyu menggeleng. "Pak Adrian tidak perlu khawatir soal itu."

"Saya peduli dengan kamu, Banyu. Saya tidak akan melepas kamu sampai kamu mendapat pekerjaan lain."

"Tapi Pak—"

"Banyu, saya melakukan ini untuk kebaikan kamu sendiri. Saya akan melepas kamu begitu kamu mendapat pekerjaan baru. Kapan pun itu, beri tahu saya. Saya tidak bisa melihat kamu tidak punya pekerjaan, Banyu."

"Pak Adrian tidak seharusnya merasa seperti itu."

"Ada lagi, Banyu?"

Sudah cukup aku mengecewakan Banyu. Apa yang aku lakukan ini semata-mata karena perasaan bersalah itu masih sedikit membuatku tidak nyaman. Aku memang peduli padanya, dan tidak akan sanggup melihatnya pergi dari Jasmine hanya karena apa yang terjadi di antara kami. Mungkin aku terdengar egois, mengabaikan perasaan Banyu yang harus tetap di Jasmine sementara dia mengetahui masa laluku dengan Chris. Namun, aku juga tahu Banyu membutuhkan pekerjaan ini. Let me be a villain this time.

"Kenapa Bapak melakukan ini?"

"Banyu, ada yang harus saya kerjakan. Kamu tahu sendiri kan pesanan sepertinya datang bertubi-tubi?"

Banyu terdiam sebelum mengangguk. "Saya permisi kalau begitu, Pak. Selamat siang."

Aku menghela napas panjang begitu Banyu keluar dari ruangan. Aku jarang bersikap keras pada bawahanku, apalagi Banyu. Namun aku tidak ingin membahas masalah ini lagi dengan Banyu. Jika dia membenciku karena belum melepasnya dari Jasmine, aku akan menerimanya. It's all for his own good.

***

"Apa yang kamu pikirkan, Adrian?"

"Banyu," jawabku jujur sambil mengangkat wajah untuk menatap Chris.

Chris mengerutkan kening, sementara sejak tadi, lengannya tidak lepas membelai pundakku yang telanjang. Merasakan hangat tubuhnya, sementara di luar hujan sedang mengguyur dengan derasnya, adalah sebuah kenyamanan yang tidak ingin aku lepaskan. We've been talking for hours, and yet, we've never run out of topic.

"Ada apa dengan Banyu? Don't say you...?"

Aku menggeleng cepat, meyakinkan Chris bahwa dia tidak perlu takut dengan dugaan yang melintas di pikirannya.

"Beberapa hari yang lalu dia memberiku surat pengunduran diri. Aku menolaknya karena dia belum mendapat pekerjaan baru. Aku nggak mau dia jadi pengangguran, sementara aku tahu, dia membutuhkan pekerjaan. Aku memberi dia waktu untuk mencari pekerjaan lain sebelum aku mengizinkannya keluar dari Jasmine."

"You still care for him."

"I do. And I hope you're not jealous of it."

Chris tergelak. "Cemburu, Adrian? How long have you known me?"

Aku tersenyum tipis. "Aku cuma ingin mengurangi rasa bersalahku, Chris."

"Karena menolaknya?"

"Sampai sekarang, aku tidak tahu apakah itu kata yang tepat."

"Banyu akan belajar, Adrian. Years from now, he probably will thank you for what happened between you and him."

"Aku mengatakan hal yang sama kepadanya. I hope he will find a better man than me."

Chris mengecup pundakku. "He will. If I were you, I won't worry that much. So?"

Aku menatap Chris. "So? What about so?"

"Aku masih menunggu kapan kita bisa ke Lombok."

"Tiga minggu lagi?"

"Kenapa harus tiga minggu lagi?"

"Aku bisa meninggalkan Jasmine untuk beberapa hari. Mereka bisa meng-handle Jasmine tanpaku. Kamu bisa cuti berapa lama?"

"A week?"

"Kamu mau menghabiskan seminggu itu di Lombok?"

"Mungkin. Kita bisa menghabiskan tiga hari di sana dan tiga hari lagi di Ubud kalau kamu mau. I just want to get out of this area for few days."

"Kita nggak harus menunggu selama itu untuk pergi ke Ubud. In fact, we can go there this weekend if you want."

Kami saling bertukar senyum sebelum Chris mendekatkan wajahnya untuk menciumku. "Aku tidak keberatan, Adrian."

"Thank you, Chris."

"Apa yang sudah aku lakukan?"

"Just being here with me. For showing me the way back home."

"You don't have to thank me for that, Adrian. I'm willing to take you back home."

Beginikah rasanya pulang?


***


Two parts in a row ya? :) Akan ada satu chapter lagi dan epilog. Dan cerita ini akan tamat. Lega! Epilognya nanti akan saya private ya? This story feels like a journey to me and the epilogue will be something I specifically write for my followers. Untuk semua komentar, vote, kritik, dan semuanya. Thank you so much!

Saya sengaja nggak ngasih chapter yang panjang-panjang karena menurut saya, dua chapter ini sudah sangat padat dan mewakili apa yang ingin saya sampaikan. Semoga terpuaskan ya semuanya?

And have a nice Sunday, everyone!

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 36.8K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
25.6K 2.3K 41
Anom. Dia datang dengan gamblang, merayapi hatiku, lantas memalangnya. Sejak itu, aku lupa rasanya mencintai pria selain dirinya. Anom menghidupkan...
1.9M 91K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
9.9K 669 24
Bagaimana jadinya seorang mahasiswi pembuat onar, menjadi Mahmud alias mama muda tanpa breafing dulu? _____ "MAMAKKK... Kiki ga tau apa-apa, kok uda...