Superstar (BXB)

By liejohnlie

111K 8.1K 1.1K

"Grand Prize for 3 Luckiest Winner: Having One Night Romantic Dinner with The Rising Star Rahardian Permana i... More

1. Kejutan Super Aneh
2. Love : Action Speaks Louder than a Words
3. Welcome Nightmare
4. Revealed Truth
5. Bibit-Bibit Cinta
6. Daffa Permana
7. Kecewa
9. Akward Moment
10. Percakapan Menarik
11. Brother and Sister
12. Jealous
13. Sebuah Rasa
14. Is this Love?
15. Give Up
16. I Think I Start to Like You
17: Nightmare or Sweet Dream?
18 : PHP vs CLBK
19 : It's Hurt
20 : Forgiveness
21 : Menebus Kesalahan
22 : The End
Teaser : Superstar Season 2

8 : Welcome Nightmare... Again?

6.7K 464 88
By liejohnlie

Daffa langsung menjatuhkan tubuhnya yang masih terbalut kemeja pesta terlentang di atas ranjang. Kedua matanya mengerjap-ngerjap memandang kosong langit-langit kamar, sembari berusaha mengatur nafasnya yang memburu akibat jengkel setengah mati. Pikiran dan hatinya terus bergulat.

Kenapa kali ini hinaan Reihan terasa begitu menusuk hatinya? Bukankah pemuda tengil itu sudah sering mengoloknya dan hampir tidak pernah bermulut manis sejak hari pertama kedatangannya?

Sial! Daffa mengumpat.

Ada apa dengan dirinya saat ini? Seharusnya dia sudah kebal mendengar cacian Reihan. Tapi kenapa mendadak pemuda tampan itu jadi sensitif kayak wanita yang sedang PMS, bawaannya emosi melulu?

Jangan bilang jika sebenarnya permasalahan bukan terletak pada hinaan yang dengan entengnya terlontar dari mulut Reihan. Melainkan hanya karena Daffa tidak terima memergoki Reihan tengah asyik mengobrol dengan pacar sialannya itu, bukannya gelisah menunggu kepulangannya, sama seperti dia yang sudah tidak sabar ingin segera menemuinya. Dengan kata lain, pemuda tampan itu sedang dibakar api cemburu.

Shit! Lagi-lagi Daffa mengumpat kesal. Sia-sia sudah usahanya kabur kayak maling underwear dari acara tadi. Dia yang semula ingin memberi Reihan kejutan malah jadi kecewa sendiri pada akhirnya. Ternyata pemuda tengil itu sama sekali tidak mengharapkan kedatangannya. Dia juga tampak tidak peduli saat Daffa marah. Dia cuma bisa teriak memanggil-manggil tidak jelas, tapi tidak segera masuk ke dalam kamar untuk meminta maaf sampai detik ini.

"Dasar bocah keparat!" Daffa menggeram geregetan sambil memukul-mukul permukaan kasur. Ingin rasanya dia menonjok wajah Reihan untuk melampiaskan kekesalannya. Tapi tentu saja dia tidak akan pernah melakukannya. Daffa tidak tega sebab dia sudah terlanjur menyayangi pemuda tengil itu. Kasihan nanti wajahnya yang jelek makin hancur terkena bogem mentahnya.

Tidak terasa, empat puluh menit berlalu begitu saja. Tidak ada tanda-tanda Reihan akan segera menampakan batang hidungnya. Harapan Daffa menunggu Reihan mendatanginya untuk merajuk pun semakin memudar.

"Sial, jangan-jangan pemuda kere itu malah sudah tertidur pulas di ruang tamu sampai mengorok kayak babi lagi. Arghhh... kenapa sih dia itu bisanya cuma membuatku naik darah saja, hah? Apa dia nggak merasa bersalah sudah menghinaku tadi? Grrr... aku sangat membencinya... dasar bocah kampung nggak punya perasaan!"

Daffa menghentakan tubuhnya ke depan hingga bangkit terduduk di atas pinggiran ranjang. Menggusak kasar rambutnya sembari melenguh kesal, meloloskan nafas melalui mulutnya. Dia segera bangkit berdiri hendak keluar dari kamar. Dia sudah tidak tahan, batinnya tersiksa. Pemuda tampan itu tidak mau terus uring-uringan sendiri akibat kejengkelan yang semakin memuncak.

Biarlah kali ini dia yang mengalah, mengesampingkan ego demi pemuda yang dia sukai. Kalau perlu dia yang akan minta maaf karena sudah membanting makanan di depan Reihan. Daffa sadar jika sudah cemburu tidak pada tempatnya, karena pemuda itu bukan siapa-siapanya. Dia tidak mau Reihan jadi membencinya jika masalah ini terus berkepanjangan. Daffa hanya ingin berdamai meski dia sebenarnya adalah korban pemuda bermulut nyinyir itu.

Namun saat baru beberapa langkah Daffa menapakkan kaki menjauh dari ranjang, indra pendengarannya mendadak menangkap suara ketukan badan pintu kamar disertai panggilan namanya.

Tanpa pikir panjang, Daffa langsung memutar tubuhnya cepat. Berlari kecil menuju sisi ranjang yang dekat jendela kamar. Lalu menghempaskan pantatnya, duduk manis membelakangi pintu kamar sambil memandang tirai jendela. Tak pelak, seuntai senyuman mengembang pada bibirnya. Pujaan hati yang sudah dinanti-nanti sedari tadi akhirnya datang juga. Ternyata Reihan tidak sekejam yang dia kira.

Daffa masih saja diam mematung dalam posisinya saat Reihan sudah masuk ke dalam kamar. Pemuda ganteng itu berinisiatif membuka pintu -- yang memang sengaja tidak Daffa kunci -- setelah tidak ada respon dari si pemilik kamar sebelumnya.

"Daf..." Reihan membuka mulutnya saat kedua matanya menangkap punggung kekar Daffa di hadapannya.

"Daf..." Reihan memanggil lagi sambil berjalan mendekati pemuda yang sepertinya sengaja mengacuhkan kehadirannya.

"Daf, kenapa kamu diam saja? Apa kamu sedang sariawan?"

"Argghh... kenapa bisa-bisanya dia mencoba melucu di saat genting seperti ini, hah? Makan apa sih dia sampai jadi oon kayak gitu? Bikin aku makin jengkel saja bisanya, grrr..."

"Daf, hmm... apa kamu marah padaku?"

Daffa tetap bergeming, bahkan untuk menoleh pun dia malas. "Dasar idiot! Tentu saja aku marah, bodoh! Kenapa baru sekarang kamu datang ke kamarku? Kenapa nggak dari tadi-tadi, hah?" Ingin rasanya Daffa memasukkan Reihan ke dalam karung lalu dijual kiloan di pasar ikan saking gemasnya. Tapi tentu saja dia akan menebusnya kembali kalau emosinya sudah reda.

"Maafkan aku, jika perkataanku tadi melukai perasaanmu. Aku tahu sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Aku sungguh menyesal, Daf." Reihan mengulurkan tangan untuk meraih bahu pemuda di depannya. Dia ingin Daffa tahu jika dia tulus meminta maaf padanya.

Daffa menggoncang-goncang kasar bahunya berniat mengusir jemari Reihan yang tersampir di atasnya. "Sudahlah Rei, sebaiknya kamu keluar saja! Aku sedang ingin sendiri!" sahut Daffa pura-pura ketus.

"Kumohon, Daf. Jangan siksa aku dengan sikapmu itu! Please, maafkan aku. Aku hanya ingin melewatkan malam terakhirku di sini dengan tenang."

Kening Daffa mengernyit bingung, yang membuatnya memutar kepala sambil menengadah ke atas memandang wajah Reihan. "Apa maksud dari perkataanmu itu, hah?"

"Aku nggak mau kamu marah sampai membenciku, Daf. Karena... karena hal itu membuatku jadi nggak tenang. Bahkan untuk sekadar menutup mata pun aku kesusahan. Aku ingin berdamai, Daf. Aku nggak mau besok jadi bangun kesiangan dan ketinggalan pesawat karena nggak bisa tidur malam ini."

Astaga... hati Daffa menghangat seketika. Ternyata Reihan juga tidak kalah gelisahnya darinya, jika belum menuntaskan masalah yang bercokol di antara mereka berdua. Yes, itu artinya pemuda tengil itu masih peduli pada perasaannya. Daffa ingin tersenyum tapi dia tahan.

"Bullshit! Kamu bilang nggak ingin aku membencimu, tapi nyatanya kamu malah asyik mengolokku dengan pacar sialanmu itu. Apa kamu pernah memikirkan bagaimana perasaanku? Masih adakah alasan untukku supaya nggak membencimu setelah apa yang kamu lakukan, hah?" Daffa menatap tajam, menyiratkan hatinya yang terluka dalam setiap sorot manik matanya. Sepertinya dia layak mendapat Panasonic Awards untuk kepiawaiannya berakting.

"Maaf, Daf. Aku... aku sebenarnya nggak ingin menyakiti perasaanmu. Kamu saja yang datangnya di saat yang nggak tepat."

"Oh, jadi sekarang kamu malah menyalahkanku, iya? Hebat, kamu benar-benar luar biasa, Rei! Sudahlah, sebaiknya kamu keluar saja sekarang. Kamu semakin membuatku muak, ngerti!"

Daffa langsung membuang pandangannya kembali ke arah jendela kamar, tidak ingin menatap Reihan lebih lama. Kali ini dia benar-benar kecewa bukan sedang berakting. Ingin rasanya dia berteriak meluapkan ganjalan dalam hatinya karena emosi bercampur kesal. Ternyata dugaannya tidak meleset, Reihan memang pria kampung yang tidak berperasaan.

"Tunggu, Daf... jangan menyela pembicaraanku. Please, jangan keburu emosi. Biar kuselesaikan dulu penjelasanku..." Reihan mencoba menenangkan.

"Sorry, aku nggak butuh penjelasanmu. Aku sudah nggak berminat mendengar apapun yang terlontar dari mulutmu. Sebaiknya kamu keluar sekarang sebelum aku menyeretmu dengan paksa!"

"Daf... aku mohon..." Reihan mencoba kembali meraih bahu Daffa.

"Lepaskan tanganmu, Rei..." Daffa berdesis dingin.

Bukannya menurut, Reihan malah makin mengeratkan tautan jemarinya pada bahu Daffa, berusaha membuat pemuda itu menoleh. "Kumohon Daf, dengarkan dulu penjelasanku..."

Daffa langsung menepis kasar tangan Reihan hingga cengkeramannya terlepas. Dia langsung bangkit berdiri sambil memutar tubuhnya menghadap ke arah Reihan. Dengan penuh emosi, dia meraih sejumput kain baju di sekitar area leher pemuda itu. "Apa sih maumu, Rei? Apa belum cukup kamu melukai perasaanku dan membuatku kecewa, hah? Apa salahku, Rei? Apa?"

Reihan terkaget, tidak menyangka Daffa akan bereaksi seperti itu. Lalu kepalanya menunduk lesu tidak berani menatap Daffa. "Aku hanya..." lirihnya pelan sampai suaranya menghilang.

"Kenapa, Rei? Tolong jawab aku! Kenapa?"

Reihan tetap membisu.

"Reihan Adiguna, jawab aku! Jangan diam saja seperti ini! Kamu benar-benar menyiksaku dengan sikapmu itu. Apa salahku, Rei? Apa, hah?" tanya Daffa setengah frustasi sambil perlahan jemarinya mengendur melepas cengkeraman pada baju Reihan. Lalu dia memandang sebentar pemuda di hadapannya yang masih saja terdiam sambil menunduk, menyembunyikan wajahnya.

Cukup, Daffa sudah tidak tahan dengan suasana tegang saat ini. Harapannya untuk menemani makan malam Reihan hanya berdua pupus sudah. "Sebaiknya kamu keluar saja dari kamarku, Rei. Kehadiranmu di sini makin membuatku tersiksa." Daffa memegang kedua lengan bagian atas Reihan, berniat memutar badan pemuda yang diam mematung itu dan mennggiringnya paksa untuk keluar.

"Hentikan, Daf!" sentak Reihan tiba-tiba sambil menghentakan kencang bahunya dan langsung mendorong dada Daffa hingga pemuda itu mundur beberapa langkah ke belakang. Lalu dia mendongakkan kepala, menatap tajam lawan bicaranya.

"Jangan pikir hanya perasaanmu saja yang menjadi korban di sini, Daf! Apa kamu pernah memikirkan perasaanku, hah?"

Daffa tercengang, tidak menyangka akan diserang balik dengan pertanyaan seperti itu. Apa dia pernah memikirkan perasaan Reihan?

"Aku tahu kamu selalu berusaha ingin memperlakukanku dengan baik. Thanks untuk itu. Tapi sekali lagi, apa kamu pernah memikirkan perasaanku, hah? Apa pernah terlintas di pikiranmu apa aku suka kamu perlakukan demikian? Jangan diam saja, Daf! Ayo jawab!"

Daffa tetap diam sambil memandang wajah Reihan yang sedang menghakiminya. Perkataan pemuda di hadapannya itu memang benar. Selama ini, dia terlalu egois ingin mendapatkan hati Reihan tanpa memikirkan perasaannya. Siapa tahu Reihan merasa tidak nyaman ataupun risih dengan perhatian dan perlakuan Daffa yang kelewat intim untuk ukuran orang baru berkenalan, apalagi sesama pria pula.

"Apa kamu pernah berpikir apa dampaknya sikap dan perhatianmu yang berlebihan itu terhadap diriku? Bagaimana jika aku sampai jatuh hati padamu, hah?" Reihan reflek menutup mulutnya. "Ups sialan, aku keceplosan!"

"Eh... apa yang kamu bilang barusan, Rei?" Raut muka Daffa yang lesu mendadak jadi sumringah. Kedua matanya berbinar-binar penuh harap.

"Bodoh, kenapa aku seceroboh ini?" Reihan cepat-cepat menurunkan tangan yang menutupi mulutnya lalu berusaha bersikap sewajarnya. Jantungnya mendadak berdegub kencang mengganti emosinya yang perlahan luruh. "Hah? Ke... kenapa kamu balik bertanya, Daf? Ka... kamu belum menjawab pertanyaanku barusan... i-iya... kamu yang seharusnya menjawabku pertanyaanku dulu." Tampaknya Reihan tidak sanggup menyembunyikan kegugupannya setelah mulutnya dengan kurang ajar melontarkan kalimat keramat bagi Daffa.

Melihat reaksi pemuda ganteng di hadapannya yang mendadak salah tingkah, Daffa menjadi kembali bersemangat dan mulai agresif. Dia  memajukan badannya mendekati Reihan seraya mengulas senyum licik.

"Hei... ma... mau apa kamu, Daf?" sergah Reihan sambil memundurkan langkah kakinya, berusaha menjaga jarak dengan pemuda tampan yang tengah menatapnya buas.

"Aku mau minta maaf, Rei, karena sudah nggak peka terhadap perasaanmu, hehe..." Daffa menyeringai dengan salah satu alisnya terangkat.

"Enak saja, nggak semudah itu kamu bisa mendapat maaf dariku, Daf! Kesalahanmu itu bisa berakibat fatal, ngerti!" Reihan mengulurkan tangan hingga dapat menghalau dada kekar Daffa agar langkahnya yang terus merangsek mendekat tertahan.

"Hah? Kesalahan fatal gimana maksudmu?" Daffa menelengkan kepala, sedikit bingung. "Perasaan aku nggak pernah menganiaya atau menyiksamu kok... Paling cuma merayu atau menciummu, hehehe..."

"What the heck!!! Kamu... kamu pernah menciumku?"

Daffa mengangguk sambil tersenyum bangga. "Yup... sekali dan ehmm... cukup lama, sewaktu kamu pingsan semalam, hehehe..."

Spontan, Reihan langsung menarik tangannya dari dada Daffa untuk mengusap-usap kasar bibirnya yang ternoda dengan punggung tangannya. Dia berniat menunjukkan ketidak sukaannya dan merasa jijik atas perlakuan tidak senonoh pemuda di hadapannya. Tapi apa benar seperti itu?

"Astaga, jadi mimpiku sedang berciuman dengan seseorang semalam itu adalah sebuah kenyataan? Daffa benar-benar menciumku di saat kesadaranku patut dipertanyakan. Dasar mesum! Tapi... harus kuakui ciuman si artis kampung itu terasa begitu nyata. Dan... dan... celakanya aku menyukai setiap sapuan bibirnya yang lembut hingga aku tergoda membalasnya... Sial! Tampaknya aku sudah benar-benar nggak waras sekarang!"

"Rei, kenapa mukamu jadi memerah kayak tomat gitu? Tenang saja, kamu nggak usah malu seperti itu, hehehe..."

"Malu kepalamu! Aku sedang merasa mual ingin muntah, ngerti! Sudahlah, aku jadi menyesal ingin minta maaf pada mahkluk hina sepertimu yang bisa-bisanya memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Cuih... lebih baik aku keluar sekarang!" Reihan memalingkan muka seraya memutar badannya hendak berjalan menuju pintu kamar. Perasaannya bak sepiring gado-gado, campur aduk tidak karuan namun nikmat rasanya.

Daffa tentu saja tidak mau berdiam diri melihat mangsanya hendak kabur. Dia segera berlari kecil menyongsong pungung Reihan yang menjauh. Lalu dalam hitungan detik saja, kedua lengan kekarnya sudah melingkupi tubuh pemuda itu dari belakang. "Kamu mau kemana, sayang?"

"Arrgghhhh... jangan panggil aku sayang! Geli, bego!" Reihan protes keras sambil menghentak-hentakan badan memberontak, berusaha melepas pelukan Daffa.

"Kamarmu itu di sini, sayang. Kamu nggak boleh kemana-mana!" Daffa terus menggoda sebab tampang gugup Reihan membuatnya makin tergila-gila.

"Lepaskan aku, Daf! Aku nggak mau sekamar dengan mahkluk hina sepertimu, ngerti!" Reihan terus memberontak tapi Daffa seperti tidak ada niatan untuk melonggarkan dekapannya.

"Ow, jadi kamu lebih memilih tidur di atas sofa, sayang? Jangan donk, nanti punggungmu bisa kena encok kalau keseringan tidur di situ. Aku nggak mau sampai hal itu terjadi, hehehe..."

"Please, jangan lebay! Hanya semalam lagi nggak akan berpengaruh banyak. Toh, setelahnya aku akan kembali tidur di atas kasur kamarku yang empuk. Ah, aku jadi nggak sabar ingin segera pulang ke rumah."

"Hmm... sayang sekali. Takutnya harapanmu untuk pulang besok harus pupus detik ini juga, Rei, hehehe..." Daffa terkekeh sembari meletakkan dagunya di atas bahu Reihan

"Hah? Apa maksudmu, Daf?" Reihan tersentak sembari langsung memutar kepalanya sedikit menyerong ke samping, menatap bingung wajah pemuda yang -- dengan kurang ajar dan tidak tahu malu -- memeluknya erat dari belakang.

"Aku sudah membatalkan tiket kepulanganmu besok. Kamu masih akan terjebak bersamaku selama tiga hari ke depan. Jadi lupakan keinginanmu untuk segera pulang ke rumah. Aku belum rela melepasmu untuk bertemu dengan kekasih sialanmu itu, hehehe..."

"Whatttt!!! Apa kamu bilang? Kamu sedang becanda, kan?"

"No, aku serius, Rei! Makanya handphone itu jangan hanya digunakan untuk mengobrol yang nggak jelas dengan pacar nggak pentingmu itu. Sampai-sampai kamu nggak sempat mengecek emailmu. Aku yakin pihak maskapai penerbangan sudah mengirimkan tiketnya yang baru ke emailmu."

Reihan masih saja tercengang kayak habis disambar geledek. "A... a-aku pasti sedang bermimpi, kan?" racaunya pelan tidak percaya seraya melayangkan tatapan kosong ke depan. Tampaknya pemuda itu kurang bisa menerima kenyataan pahit yang baru saja menghampirinya.

"No, ini nyata, Rei! Hmm... baiklah biar kubuktikan jika kamu nggak sedang mimpi buruk... Cup!" Daffa mengecup sekilas pipi Reihan yang tampak diam saja, masih dalam keadaan shock berat.

"Ok, sekarang aku mau mandi dulu. Sebaiknya kamu segera bawa masuk kopermu kemari, Rei. Mulai malam ini dan seterusnya, kamu akan tidur seranjang denganku. Kamu nggak boleh menolak." Daffa melepas pelukannya, lalu berjalan memutar hingga berdiri di depan Reihan. "Aku berjanji kamu nggak akan menyesal melewatkan liburan di Bali bersamaku, Rei." Daffa tersenyum manis sembari mengusap-usap lembut pucuk kepala Reihan. Setelahnya, dia segera bergegas menuju ke kamar mandi, meninggalkan pemuda yang masih saja berdiri diam kayak patung etalase toko dengan pikiran ruwet dalam otaknya.

"Gawat, kenapa aku masih harus tinggal bersama artis kampung itu sampai tiga hari kedepan segala, sih? Kenapa dia selalu bertindak seenak udelnya tanpa memikirkan perasaanku, hah? Apa ini yang dinamakan takdir atau jangan-jangan sebuah kutukan? Sial, aku jadi ketakutan setengah mati! Bagaimana jika kali ini nggak akan ada yang bisa menyelamatkanku untuk nggak jatuh hati padanya, termasuk kenyataan aku sudah memiki Dhea sekalipun? Please, aku nggak mau jadi gay atau binan atau homo atau apalah sebutannya. Argghh... apa yang harus kulakukan sekarang?"

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

3.5K 249 9
Siswa SMA dengan darah Belanda yang mengalir di tubuhnya pernah berharap dilahirkan di belahan bumi lainnya daripada harus hidup berurusan dengan put...
178K 7.5K 24
Gue jalan menuju kelas XI - Ipa 1 sambil mendribble bola basket yang ada di tangan gue, karena gue enggak fokus bola yang gue dribbel meleset dari ta...
162K 12.9K 25
Bipolar disorder sebenarnya sudah dikenal dan diperhatikan oleh banyak negara maju di dunia. Tiga sampai Lima orang dari setiap seratus orang dewasa...
226K 12.4K 49
Regha, seorang anak kuliahan dari Majalengka terjebak dikisah dilema dimana perang batin dan akal menyelimutinya. Zaki, Seorang Konglomerat yang begi...