Orang Ketiga

By robinbiewijaya

39.4K 2.4K 184

Nadia, Dimas dan Alma adalah rekan kerja yang sudah lama berteman dekat. Dimas kemudian menikah dengan Alma... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
delapan
sembilan
sepuluh

tujuh

3K 184 19
By robinbiewijaya

Hari ini tak perlu dibubuhi satu kata yang spesial. Selain karena aku yang tak enak badan. Sudah beberapa hari ini Dimas tak pernah meniti kabar.

Apakah ia dan Alma berbaikan? Aku tak tahu. Sepulang dari perjalanan kami ke Bandung, aku hanya memikirkan tentang segala pertentangan perasaan dalam kepalaku sendiri. Tentang kemungkinan kalau aku mulai masuk ke dalam lingkar yang tak semestinya. Sedang sebagian dari diriku yang lain berkata kalau ini adalah balasan yang pantas untuk Alma yang terlalu menyia-nyiakan cinta Dimas yang begitu besar padanya.

Namun, itu semua hanyalah sebuah praduga. Kita tak akan pernah benar-benar tahu selain dibantu waktu dan usaha sendiri. Meski untuk bertanya lebih dulu, terasa sungkan bagiku. Haruskah aku tetap menunggu?

Untuk mengalihkan pikiran. Aku memilih pulang ke rumah lebih awal. Bayu yang baru selesai berpakaian sampai melongo heran melihatku pulang ketika hari masih terang.

"Tumben kamu pulang cepat?" tanyanya.

"Kamu juga tumben baru mau berangkat." Aku malah balik mengomentarinya.

"Mixer nggak bisa masuk cepat hari ini. Jadwal pengerjaan betonnya jadi dikerjakan agak malam."

Aku hanya berseloroh 'Ooohhhh' sambil menghempaskan tubuh ke atas sofa. Dengan wajah yang tengadah ke atas langit-langit, aku lebih memilih terpejam ketimbang menekuri setiap inci karya Bayu dan anak buahnya yang sudah membangun rumah ini dengan cantik.

"Kamu nggak enak badan?" tanya Bayu lagi. Mungkin ia masih heran dengan keberadaanku di rumah. Atau, sedari tadi memang menunggu jawabanku yang belum muncul?

"Sedikit pusing," jawabku pendek.

"Minum obat dulu. Atau kamu telepon aku kalau memang perlu ke dokter. Nanti aku antar," ucap Bayu, sambil lalu.

Kukira, ia sudah benar-benar pergi dari rumah. Namun tak lama kemudian, kudengar langkah kakinya kembali. Satu kecupan menempel di dahiku. Kurasakan aroma parfum Bayu melintas di depan indera penciumanku.

Aku membuka mata. Bayu belum pergi rupanya. Kami bersitatap selama sekian jenak. Kukira, ada sesuatu yang ingin ditanyakannya lagi. Namun nyatanya tidak. Ia menarik tubuhnya bangkit. Merapikan krah kemejanya.

"Jangan sampai sakit," pesannya.

Tak lama setelah itu. Deru mesin mobilnya terdengar. Dan perlahan menghilang...

* * *

Dering ponsel menyadarkan aku dari lelap. Masih dengan pakaian kerja lengkap dan posisi rebah yang tak berubah. Aku menggapai-gapai setiap sisi sofa. Mencari ponselku yang kuletakkan entah dimana.

Tepat ketika ponsel tersebut kudapatkan, suara dering tersebut padam. Jejak si penelepon masih tertinggal di layar. Mataku menyipit, menajamkan pandangan yang sedikit buram setelah terjaga.

"Dimas?" Aku berbisik. Mendapati namanya tercetak di sana.

Segera kuhubungi ia balik. Kutunggu beberapa saat. Namun kini, giliran panggilanku yang tak terjawab. Hingga membuatku memilih menuliskan pesan akhirnya. Menjejakkan permintaan maaf karena tak sempat menjawab teleponnya sekaligus basa-basi bernada khawatir. Ada sesuatu kah yang begitu penting yang menyebabkan ia menghubungiku?

Menit-menit yang membuatku menunggu. Menjadikanku tak juga bergeser barang sesenti pun dari tempat dudukku. Dan terus membuatku berada di situ.

Bahkan aku sampai memerika ponselku lagi berkali-kali. Tak ada pesan balasan. Tak ada telepon masuk. Jemariku mengetuk tepian sofa, gelisah. Menghubunginya lagi atau menunggu? Menuliskan pesan lagi atau menanti jawaban? Tapi tampaknya, aku kalah pada perasaanku sendiri. Ketika akhirnya aku menggesekkan jari telunjuk ke layar ponselku, mencari nomornya yang tertinggal di panggilan keluar. Dan terulang lagi hingga tiga kali.

Masih tak ada jawaban.

* * *

Malam hampir larut. Dan aku sudah berganti baju tidur.

Menunggu Dimas menjawab teleponnya ternyata cuma sia-sia belaka. Pesanku juga tak dibalasnya meskipun terkirim. Awalnya, hal itu membuatku khawatir. Jangan-jangan terjadi sesuatu padanya. Berkali-kali aku menengok ponselku. Hingga pada akhirnya, aku jenuh sendiri pada hasil yang selalu sama.

Aku menghubungi Bayu dan bertanya jam berapa ia akan pulang. Mungkin, dengan keberadaannya di rumah, rasa kesalku bisa sedikit teralihkan. Entah ini hal baik atau sebaliknya. Menjadikan suami sendiri sebagai pengalih kegalauan. Kurasa, otakku mulai sedikit tak sehat.

Sialnya, Bayu bilang, urusan mengecor bangunan tak bisa dikerjakan seperti memoles krim pada bolu ulang tahun. Butuh waktu dan proses yang tak singkat. Jadi, di sinilah aku. Duduk di kamar sendirian sambil menyaksikan acara TV yang tak terlihat menarik. Berharap cepat lelap. Tapi kantuk tak juga datang.

Kukira, Bayu menelepon dan mengabari kalau ia batal pulang telat malam ini. Siapa tahu, anak buahnya mampu menangani pekerjaan konstruksi itu dan membuatnya bisa pulang ke rumah segera. Namun ternyata, panggilan telepon itu justru datang dari sosok yang sudah kutunggu sejak tadi siang dan lenyap selama berjam-jam.

"Hallo, kamu tadi nelepon aku?" serobotku cepat begitu panggilan tersebut kuterima.

"Iya. Cuma mau nanya, tadi sore kamu lagi dimana? Mungkin bisa ketemu dan makan bareng." Nada bicaranya terdengar santai. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang disembunyikannya.

"Aku di rumah. Where are you now?" tanyaku lagi, masih dengan kecepatan maksimal.

"I'm in the middle of nowhere."

"Are you in trouble?"

Dimas menunggu sekian jenak. "Sedikit."

"Aku ketemu kamu sekarang ya!"

"Nggak usah, Nad. Ini sudah malam."

"Baru jam delapan lewat."

"Seriously. Aku juga nggak tenang kalau di rumah dan tahu kamu lagi ada masalah," jelasku, memaksa.

"Nggak enak sama Bayu. Masak malam-malam istrinya keluar rumah buat nemuin cowok."

"Bayu masih di proyek. Aku ke sana sekarang. Send me your location!" Saat kalimat terakhir tadi kuucapkan, aku sudah berada di depan lemari baju. Menarik sepotong pakaian dan sweater yang bisa menjagaku dari udara malam.

Aku bergerak demikian cepat. Hingga dalam hitungan menit sudah berada di dalam mobil. Di tengah perjalananku menemui Dimas.

* * *

Dimas duduk di satu meja di kawasan Semanggi. Di hadapannya, sebotol bir dingin dan piring kotor bekas makanan ringan tergeletak. Aku langsung menjatuhkan tubuh di depannya. Menatap botol bir dan wajah Dimas bergantian.

"Kamu minum?" tanyaku, merasa heran. Dimas bukan pria seperti itu. Aku sudah lama mengenalnya. Bahkan, rokok pun tak dijangkaunya.

"Aku suntuk."

"Dan lari dengan cara begini?" Aku menghela nafas. Membuang pandangan ke arah lain sebelum kembali pada sosok di hadapanku yang kian kusut.

Saat Dimas hendak meraih botol birnya lagi, aku menarik botol tersebut dan menjauhkan dari jangkauannya.

"You just need a right person to share your problem with."

"I had you."

"Kalau begitu, let's talk. Kamu butuh itu kan? Itu yang kamu bilang ke aku waktu itu."

Aku memanggil waiter untuk meminta segelas air putih yang datang tak lama setelah itu. Kusorongkan gelas tersebut kepada Dimas. Ia meneguknya hingga tandas. Sambil memperbaiki posisi duduknya, Dimas menarik nafas panjang dan memulai sessi curhat kami malam ini.

"Aku menemukan sesuatu." Ia menarik nafas panjang lagi untuk kesekian kalinya.

"..."

"Obrolan di ponsel Alma. Pagi tadi, sewaktu dia mandi sebelum berangkat kerja. Aku mencari ponselnya dan obrolan tersebut ternyata belum dihapus."

"Obrolan seperti apa maksudmu?"

"Kamu paham maksudku, Nadia. Kadang-kadang, Alma mengunci ponselnya dengan password demi alasan keamanan dari teman-temannya yang suka iseng. I deal with it. Awalnya. Tapi sebagai pasangan, aku pun berhak tahu kehidupan dia di luar rumah. Dan ketika ponselnya nggak dikunci, isinya hampir bersih. Apakah itu nggak menghasilkan kecurigaan?"

"Lalu?"

Dimas menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia menautkan jari-jemarinya. Menempelkannya ke dagu, menurunkannya lagi ke atas meja. Gerak-geriknya, tampak serba salah.

Ia tertunduk sebentar. Dan mengangkat wajahnya kemudian. "Namanya Anggara." Ia memberi tahuku.

Setiap sendiku terasa mengeras. Membuatku diam mematung mendengar nama itu disebut.

Dimas tahu yang sebenarnya sekarang?

* * *

Continue Reading

You'll Also Like

1M 47.3K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
1.7M 134K 29
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.4M 267K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1M 14.7K 35
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...