sepuluh

3.4K 220 38
                                    

Malam-malam berisi ingatan tentang kenangan di waktu lalu.

Seringkali, di antara waktu yang kosong, kepala kita diisi berbagai macam hal yang muncul tanpa diminta. Kita berpikir tentang sesuatu hingga sangat mendalam. Termasuk hal-hal yang berkaitan dengan perasaan.

Juga ingatan tentang masa-masaku bersama Dimas.

Tak perlu lagi aku menjelaskan tentang alasan bodohku untuk tetap mencintainya. Kita bisa jatuh cinta hingga sejatuh-jatuhnya. Karena aku mengalaminya, maka aku berani mengatakannya. Mencintai dalam segala hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan orang tersebut. Bahkan ketika Dimas sudah menjalin hubungan dengan Alma pun, aku masih saja mencintainya---dan berharap ia memiliki sedikit perasaan kepadaku.

Dengan rasa cinta itu, manifestasi perasaan yang kumiliki adalah dengan memberikan isi kepala dan hatiku sepenuh-penuhnya. Aku adalah orang yang selalu mendengarkan setiap cerita Dimas. Untuk setiap kesulitan dan kegembiraan dia.

Ketika aku dan dia saling berkirim pesan untuk mendengarkan cerita-ceritanya. Juga setelah jam pulang kantor, ketika Alma tak masuk hari itu, dan Dimas butuh teman untuk mengisi perut lebih dulu di warung tenda tak jauh dari kantor. Kadang, waktu berjam-jam kami habiskan demi sebuah obrolan. Dan aku akan dengan sangat rela menyediakan waktu tersebut untuknya.

Terkadang pula, waktu dan telingaku saja tak cukup. Pernah suatu ketika, saat ia terjatuh dari sepeda motornya hingga ia mendapatkan luka jahitan. Aku memastikan untuk langsung menengoknya. Membawakan sejumlah makanan agar ia tak perlu repot keluar kamar kos ketika lapar.

Beberapa kali, aku datang dengan jumlah sarapan ekstra. Kerap aku berbohong, "Mama bawain lebih tadi. Buat kamu." Padahal, jelas-jelas aku membelinya dua porsi. Atau, kukatakan padanya si penjual kehabisan uang kecil hingga aku harus menambah satu bungkus lagi. Dan aku bahagia melihatnya menikmati sarapan tersebut.

Dan tak terhitung yang lainnya. Dana ketika ia butuh. Kehadiranku dengan seorang tukang ojek untuk menolong motornya yang mogok. Bahkan ketika ia bertengkar dengan Alma, dan aku mesti duduk menemaninya bercerita panjang lebar. Menjadi pendengar setianya untuk perasaannya yang rapuh itu.

Aku hanya ingin berada di sisinya untuk memastikan ia baik-baik saja.

Aku akan bahagia mengetahui ia baik-baik saja.

Namun, ketika aku menyadari bahwa ia memilih jalan hidup yang telah sangat melukaiku. Apa yang bisa kulakukan selain menyadari betapa aku telah menghabiskan waktuku dengan sia-sia. Mengurung diriku pada ruang dimana tak ada yang mampu membuatku demikian merasa tersudut dengan apa yang telah kulakukan sendiri.

Terlebih ketika Dimas menikahi Alma.

Aku betul-betul ditampar oleh kenyataan tersebut, bahwa selama ini, tak pernah ada namaku di hidup Dimas.

Aku bukan siapa-siapa baginya.

* * *

Ingatan-ingatan itu, membuatku berpikir hari ini, bahwa... jika aku pernah merasakan luka itu. Maka, tidakkah adil jika Dimas merasakan luka yang sama?

Agar dia belajar, bagaimana rasanya ketika kita tengah membutuhkan seseorang, dan orang tersebut tak ada untuk kita?

Tak ada yang lebih buruk dibanding merasa tersisihkan.

Sepagi ini, ketika telepon Dimas mampir di ponselku. Menanyakan punyakah aku waktu untuk bertemu. Aku memilih, tak menyediakan waktu tersebut.

Walau diam-diam, hatiku merasa sakit ketika menolaknya. Karena sesungguhnya, aku tak pernah mampu menggoreskan luka itu.

Aku begitu naif.

* * *

Di pagi yang sama, ketika aku menolak permintaan Dimas. Bayu duduk menemuiku di meja makan. Ia bertanya tentang sesuatu yang tak pernah kutemukan pada dirinya sebelumnya.

"Nad, jika aku bertanya tentang sebuah keinginan. Dan itu tentang kita? Apa yang paling kamu inginkan"

* * *

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 13, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang