delapan

1.8K 160 14
                                    

Jika ia sudah tahu, lalu apa yang akan dilakukannya nanti?

Meja di antara kami menjadi sunyi tanpa sepotong katapun. Sedang di dalam sini, di otak dan hatiku, gejolak serta ratusan kata sudah saling berjejalan minta dikeluarkan.

Aku sudah tahu.

Alma sudah cerita padaku.

Aku sudah tahu sejak lama.

Istrimu itu memang terlibat affair dengan pria lain.

Alma sendiri yang mengaku padaku sewaktu kami bertemu beberapa waktu lalu. She even told me the name.

Dan berbagai kalimat lainnya yang cuma tertahan di ujung lidah. Yang pada akhirnya, menutup pertemuanku dengan Dimas malam ini.

Dalam perjalanan, aku masih saja memikirkan hal yang sama. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kemudian. Memikirkan sejumlah kesedihan yang Dimas tanggung, dan seolah bagiku, aku berada dalam penanggungan duka yang sama.

Kenapa aku bisa merasa demikian. Aku sendiri tak mengerti. Telah kukatakan, bahwa emosiku mungkin sudah sedikit tak sehat sejak Dimas menemuiku kembali. Dulu, ketika aku begitu mencintainya, aku merasakan dan melakukan hal yang sama. Merasakan kesenangannya ketika ia senang, dan ingin berbagi kesenangan tersebut bersamanya. Merasakan kesedihan ketika ia terluka, dan ingin menanggung duka itu bersama.

Apakah ketika kita mencintai seseorang, kita selalu melakukan hal yang demikian?

Aku tak paham.

Baru sekali dalam hidupku, aku merasakan cinta yang demikian besar. Dan itu terjadi pada rasaku terhadap Dimas.

Dimas lagi... dan Dimas lagi...

Akal sehatku sudah menyindir pembelaanku terhadap perasaanku sendiri.

Kalau ini diibaratkan tayangan televisi. Sudah ada dua bocah yang saling berebut siaran dengan menekan channel melalui remote TV bergantian. Satu yang mengatasnamakan rasa mengatakan, bahwa wajar bagiku untuk menaruh Dimas di kepala.

Cinta itu perlu tempat dan ruang. Kamu mau mengusirnya begitu saja? Kamu nggak kasihan sama dirimu sendiri? Bertahun-tahun kamu mencintai dia, dan kamu cuma jadi orang di belakang layar yang nggak pernah benar-benar dapat kesempatan mengasihi dia? Ini waktunya Nadia. This is the time. Dia sedang terluka dan kamu punya kesempatan untuk membuktikan ke dia, siapa yang lebih bisa membuat dia bahagia. Kamu berada di dekatnya, kamu menemaninya, kamu menguatkannya. Dia tidak buta dan tuli. Dia bisa melihat keberadaanmu. Mendengar suaramu. Kamu ada di sana buat dia. Dia pasti nggak bisa menampikkan ketulusan dan kasih sayang kamu ke dia. Lagipula, memikirkan juga nggak ada salahnya. Kamu juga menikmatinya, kan? Sebelum dia betul-betul bisa memenuhi perasaanmu. Apa salahnya memenuhi dulu perasaanmu sendiri. Think about him is not a crime. Ikuti saja kata hatimu.

Lalu, bocah lainnya yang mengatasnamakan logika mengatakan yang sebaliknya.

Sederhana, orang yang benar-benar cinta, nggak meminta diperjuangkan. Sebaliknya, dia akan berjuang sepenuhnya untuk kamu. Coba kamu ingat, berapa kali dia datang ke kamu dan apa alasannya? Bukankah, dia mencari kamu ketika butuh? Bukankah, kamu yang lebih banyak berjuang untuknya. Bukan dia berjuang untukmu? Nadia... dulu kamu sudah berjuang mati-matian untuk bebas dari Dimas. Kamu rela pergi meninggalkan kehidupan kamu untuk nggak berada di antara Dimas dan Alma. Karena kamu sadar, kamu nggak mungkin bisa bertahan hidup dengan patah hati. Dengan melihat kebahagiaan Dimas dan Alma, sementara kamu cuma gigit jari sambil meratap sedih untuk perasaan yang nggak berbalas. Lalu, sekarang kamu mau membuka luka itu lagi? Kamu merelakan dirimu untuk masuk ke kehidupan yang lama lagi? Think about it, Nad!

Lamunanku berakhir tepat ketika moncong mobilku merapat di belakang mobil Bayu. Ia pulang ke rumah lebih dulu dariku. Ia menunggu di balik pintu, ketika aku melangkah masuk ke dalam.

"Kamu darimana?" tanyanya.

"Kamu sudah selesai? Tadi katanya baru selesai menjelang tengah malam?" Aku balik bertanya. Pertanyaan yang disertai perasaan was-was.

"Aku khawatir, karena tadi sore kamu bilang nggak enak badan. Kebetulan ada mandor yang bisa kupercaya. Makanya aku memilih pulang untuk menengok kamu."

Aku melangkah melalui Bayu, menghindari tatapannya yang penuh tanya. Kalau-kalau ia akan bertanya lagi.

"Nad, you even didn't answer me."

Aku mengambil napas panjang. Meletakkan clutch-ku di meja makan. Menuang air putih ke dalam gelas kaca, dan meneguknya habis.

"Temanku tadi menelepon." Aku tak berbohong. "Dia sedang ada masalah. Dia butuh aku."

"Harus ketemu?"

Aku mengangguk. Bayu mungkin sulit percaya. Namun ia tak bertanya, siapa temanku itu? Apa masalahnya? Kenapa aku harus pergi ke sana. Teman yang mana? Teman dekat, teman kantor, teman arisan atau teman kuliah dulu?

Tiba-tiba, aku sadar kalau Bayu tak pernah bertanya lebih padaku. Dan hal itu terjadi bukan hanya sekali ini, namun sudah sejak aku mengenalnya dulu. Entah karena ia terlalu percaya padaku, atau malah sebaliknya. Ia tak peduli?

"Bay?" Aku memanggilnya. Bayu sudah berbalik untuk pergi ke kamar. Dia tak mau menginterogasiku? Tak mau bertanya ini-itu padaku? Kenapa?

"Ada apa, Nad?" tanya Bayu di ambang pintu.

"Kamu nggak marah sama aku? Kamu nggak nanya, siapa teman yang aku temui? Cowok atau cewek? Atau..." Aku malah kehabisan kata untuk menanyai diriku sendiri.

Dan Bayu cuma menjawab. "Kalau kamu bilang begitu. Kenapa aku harus ragu?"

Sesungguhnya, dalam jawaban tersebut, ada sekat tipis di antara percaya dan rasa tak peduli. Aku menatapi punggung Bayu yang menghilang dengan dua perasaan itu.

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang