tiga

2.7K 195 5
                                    

Pertemuan.

Seperti cara cinta bermula. Hanya itu yang aku minta.

Dimas pernah berkata telah berhutang banyak waktu. Kini, satu balasan serupa kujadikan syarat padanya. Waktu. Yang menjadikan kami tersudut dalam satu ruang bersama.

"Bagaimana kalau kali ini, kita meniadakan sessi curhat dulu." Aku memberi syarat.

"Lho. Kenapa harus begitu?" Dimas nyaris memprotesku.

"Agar kita bisa menikmati waktu. Coba hitung, sudah berapa banyak pertemuan yang diisi obrolan seputar masalah-masalahmu. Kali ini, kita nikmati saja waktu yang ada. Kamu juga perlu menghadiahi dirimu dengan kesenangan."

"Atau kamu bosan, setiap kali aku nyari kamu cuma buat curhat saja?"

Ah, ia selalu pandai menelisik. Tebakannya tidak salah. Aku memang sedikit jengah. Oleh karena itu, aku ingin menikmati sedikit saja kegembiraan bersamanya. Seperti saat-saat kami baru berkenalan dulu. Anggap saja nostalgia. Nostalgia yang menghadirkan romansa.

Namun lebih dari sepuluh menit lamanya Dimas terdiam. Membuatku bersiaga jika tiba-tiba ia ingin pamit pulang. Membuat hatiku ciut. Dengan segala duga atas percakapan-percakapan kami, bahwa tak ada yang benar-benar lebih menarik perhatiannya kecuali membicarakan sang istri sekalipun itu kisah sedih.

Cepat aku memutar otak. Aku yang merasa tahu segala tentangnya, mestinya mudah menemukan jalinan cerita apik untuk kami berdua.

Dimas suka musik. Terutama lagu-lagu jadul. Lebih suka lagi kalau penyanyi bertampang kusut. Macam Payung Teduh itu lah. 

Dimas suka motor-motor nyentrik. Harley Davidson salah satunya. Atau yang agak oldies seperti hasil pabrikan Italia.

Dimas suka ini. Dimas suka itu. Terlalu banyak hal yang kuketahui malah membuat setiap ide berdesakan minta dikeluarkan. Kalau kami membicarakan semuanya. Waktu tak akan pernah cukup sampai akhir dunia.

"Tiba-tiba aku kangen," ucapku akhirnya. Semua yang tadi ada di kepala, menguap seperti air di musim kering. "Kangen masa-masa lajang kita dulu," tambahku.

Dimas tersenyum mendengar kalimatku. Mungkin kepalanya sedang menerawang ke masa-masa yang sama sekarang.

"Ingat waktu pertama kali kamu masuk kerja?"

"Kamu orang pertama yang menyapa aku waktu itu."

Ah. Ia ingat rupanya. Membuat hatiku sedikit gembira.

"Apa yang kamu pikirkan tentangku waktu kita bertemu pertama kali dulu?" lanjutku kembali.

"Kamu..." Dimas terdiam, manik matanya berputar seperti tengah mencari pilihan jawaban. "Kamu cupu." Ia menyeringai, setengah tak enak dengan jawaban itu, namun kata-katanya jujur. Dan bagiku, itu tak masalah sama sekali.

"Karena bajuku?"

Ia mengangguk.

"Kok bisa ya, dulu aku mau-mauan pakai kemeja gombrong yang lengannya digulung sesiku. Rok hitam, dan baju dimasukin ke dalam rok kayak anak sekolah."

"Anak sekolah sekarang lebih modis malah." Dimas menyela cepat. Seolah menegaskan kalau penampilanku di masa lalu benar-benar kacau.

"Tapi nggak ada yang lebih cupu selain berangkat ngantor pakai topi surfing, jaket yang didalamnya berlapis kemeja kerja dan sepatu All Star."

Tawanya meledak spontan. Mukanya memerah. Mungkin sama halnya dengan aku yang teringat betapa lugunya kami di waktu itu. Namun, bukankah semua orang punya masa lalu? Dan masa laluku dan masa lalunya yang justru mengikatku pada jerat kenangan yang sulit kulepaskan.

"Everybody has a past. Jadi, tak perlu merasa diadili begitu."

"I don't," sahutnya, cepat. Lalu kami terdiam dalam seringai senyum tentang ingatan masa-masa itu.

Ketika senyum di bibir kami perlahan memudar. Aku menempelkan ujung telunjukku pada bibir gelas di hadapanku. Kutelusuri sekujur tepian gelas itu hingga berdecit. Sesuatu dalam kepalaku muncul. Sesuatu yang sejak awal pertemuan ini melesak di antara sejumlah memori.

Aku mengangkat wajah. Dimas sedang menungguku dalam tatap. "Aku tiba-tiba kangen kita yang jaman dulu loh."

Kalimat itu terlontar juga dari mulutku. Aku balas menatapnya lurus. Kutunggu jawaban yang akan keluar dari mulutnya.

Aku juga. Aku kangen momen-momen terbaik kita. Aku kangen kamu. Kangen semua yang sudah kita alami dulu.

Sungguh kah?

Tapi bukan itu yang ia katakan. Itu hanyalah sebagian dari harapku. Harap yang berujung khayal.

Sedang nyata, seringnya tak sebanding dengan apa yang kita mau. Dimas cuma terdiam di seberangku. Menempelkan ujung dagunya pada kepalan tangan. Tampak seperti melamun.

Lupakan. Hiburku dalam hati.

"Minggu depan aku ada rencana ke Bandung. Kamu mau ikut?" Aku kembali membuka percakapan untuk mengumpulkan perhatiannya lagi.

"Sama Bayu?"

Aku menggeleng.

"Kenapa suamimu nggak ikut?"

"Ada kerjaan. Dan aku nggak masalah kalau pergi tanpa dia. Aku mandiri. Terbiasa tanpa dia. Dan dia juga nggak terlalu suka ikut urusan-urusanku."

"Aku tanya Alma dulu."

Why? Responku dalam hati. Harus ya, mau ngapa-ngapain minta ijin dulu? Kamu kan lelaki! Lagipula, kenapa sih dia selalu jadi prioritas di atas segala-galanya?

"Kenapa nggak coba sekali-kali lepas dari hal-hal yang ada di sekitarmu."

"Maksudmu?"

"Kamu perlu waktu untuk dirimu sendiri. Melakukan sesuatu tanpa harus meminta pendapat lebih dulu, tanpa harus ada perasaan nggak enak, tanpa ada rasa khawatir. Menikah bukan berarti kamu kehilangan hidupmu kan?"

Dimas terdiam mendengar argumenku yang panjang.

"I mean, you are in trouble. Let's be somewhere. Menepi dari masalah ini sejenak. Mungkin setelah itu kamu akan lebih fresh," tambahku lagi, menjelaskan.

Ia meragkum jari-jemarinya. Tertunduk, lalu menatapku lagi.

"Where to? Ada urusan apa kamu di sana?"

"Ketemu supplier. Setelah itu free. Aku mau duduk-duduk di pinggir hutan. Atau jalan kaki di kebun teh. Melepas penat lah. Sorenya kembali ke Jakarta. Mungkin malam baru tiba."

Dimas menimbang sejenak.

"Oke, aku ikut."

Aku menempelkan punggungku pada sandaran kursi. Melipat kaki dan meneguk minuman dingin hingga tandas.

"Just tell her, you have a business to do. Itu pun kalau dia nanya."

Belum apa-apa, sudah kuajari dia caranya berdusta.

* * *

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang