dua

3.7K 260 16
                                    

Lepas dari panggilan telepon yang terputus itu. Dimas menghubungiku kembali. Bukan untuk sebuah curhat lewat udara, melainkan pertemuan yang diinginkannya.

"Beberapa menit saja, kalau kamu nggak sempat, Nadia," rajuknya di telepon. Bukan aku tak punya waktu. Menghindar seringkali jadi pilihanku, meski aku tahu kegagalan itu akan selalu terjadi lagi. Ketika pada akhirnya, aku menyerah pada permintaannya.

"Besok. Hanya besok ya. Tidak di hari yang lain." Nada bicaraku dibuat seyakin mungkin kalau dia lah yang menginginkan pertemuan ini. Bukan aku.

"Oke. Sampai ketemu, Nadia," jawabnya menyetujui. Dan pertemuan pun terjadwal sesuai rencana.

Sengaja aku datang terlambat untuk mendukung pengesananku akan sulitnya memenuhi permintaan temunya. Namun, Dimas selalu tahu bagaimana pertemuan ini akan berjalan.

Setidaknya, setelah kami duduk dan mulai bicara. Waktu akan terhitung demikian cepat. Melesat tanpa lupa berdetak. Dan, obrolan demi obrolan yang terangsur begitu saja, hanya lah upayaku untuk menahan keberadaannya lebih lama di sini. Karena dengan cara itu, aku bisa terus menatapi wajahnya dengan sejuta kagum yang tak pernah berkurang jumlahnya.

"Ada cerita galau apa lagi yang mau kamu bagi?" tanyaku begitu kami bertemu tatap.

"Maksud pertanyaan kamu kemarin apa?" Dimas memilih tak menjawab. Sebaliknya, menanyakan maksud pilihan yang kuajukan padanya.

"Hidup itu kan soal keputusan. Menentukan pilihan-pilihan yang ada. Kesimpulanku dari cerita-ceritamu ya seperti itu."

"Antara mencintai atau dicintai?"

Aku mengangguk.

Maaf, mohon jangan tersinggung dengan pertanyaan tersebut. Dan jangan salahkan aku juga jika Dimas terlalu jujur membagi semua ceritanya kepadaku. Tapi bertahun-tahun setelah ia menikah. Setelah sederet curhat yang serasa tak pernah habis dibagi. Juga cerita-cerita yang dituturkan Alma kepadaku. Kurasa, ada yang tak beres dengan hubungan dua orang itu.

Begini jika mudah diilustrasikan. Kamu mencintai seseorang, namun orang tersebut tidak sepenuhnya mencintaimu. Hati kan punya mata. Hanya dengan merasa, kita tahu kejujuran seseorang. Yang ia keluhkan, kurang lebih begitu.

Anggap ini cuma tebak-tebakan saja. Tapi cara lelaki menduga selalu disertai logika. Alasan-alasan yang diungkapkan istrinya ketika terlambat sampai di rumah. Akhir pekan yang dicuri urusan kantor. Sampai soal membawa ponsel ke kamar mandi. Memangnya, ia mau mengunduh aplikasi di dalam kakus sana?

Sederet keluhan itu, rasanya tak juga cukup jika tidak disertai cumbuan yang tertolak. Sebagai perempuan, aku tahu, bagaimana kaum hawa rela menyerahkan tubuhnya setelah hatinya lebih dulu dimenangkan.

Ah, atau mengatas namakan intuisi? Orang bilang, mereka yang saling jatuh cinta, genggaman tangannya akan selalu terasa hangat. Kecupannya menciptakan gejolak. Sentuhan tubuhnya mengalirkan listrik. Dan hal itu tak terjadi pada istrinya.

"Mungkin kamu terlalu bernafsu kali." Penyangkalanku padanya suatu kali. Namun Dimas menolaknya tegas.

"Kalau aku pakai nafsu. Sudah kuturuti libidoku."

Dan aku langsung angkat tangan. Separuh kuyakini dirinya benar. Separuh lainnya, kutemukan fakta kebenaran tentang Alma beberapa waktu kemudian.

"Jadi, kalau diharuskan membuat pilihan. Apa yang kamu pilih?" Pikiranku yang berkelana, kembali tersudut pada wajah lesu di hadapanku.

"Harus membuat pilihan? Bukan dibolehkan membuat pilihan?" Dia mengoreksi kalimatku.

"Kalau dibolehkan, kamu nggak akan memilih kan? Aku kenal kamu luar dalam."

Tawanya terdengar getir. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Pandangannya tertuju pada langit-langit ruangan ini. Dan tak lama setelahnya, jatuh kembali tepat di depan tatapku.

"Mencintai." Ia menjawab perlahan.

Pilihanmu tak juga berubah pada akhirnya. Aku berucap dalam hati. Dia terlalu mencintai Alma. Dia memalingkan wajah dari segala kekecewaan yang dihadapinya. Dia menerima segala kebodohan dirinya.

Meja ini menjadi dingin. Tanpa suara. Tanpa ada satu kosa kata.

Dimas tampak kikuk selama beberapa jenak kekosongan. Hingga pertanyaan itu dilontarkannya dengan sia-sia.

"Kamu nggak bisa nerima pilihanku ya?"

Iya. Kamu bodoh.

"Aku juga. Tapi aku nggak bisa membuat pilihan lainnya."

Dan kamu mau selamanya begitu?

"It's all yours. On your hand. Pada akhirnya, kamu menentukan jalan hidupmu sendiri. Tapi kalau aku boleh berkomentar. Curhatan kamu selama ini sia-sia saja. Kamu mengeluhkan banyak hal, dan kamu malah menikmati kesengsaraan di dalamnya."

"Aku cinta dia. Terus harus gimana?"

Aku tahu. Cinta kamu buat dia memang nggak pernah habis.

"Kalau kamu jadi aku, kamu pilih yang mana? Mencintai atau dicintai?" Ia balik bertanya padaku.

Mencintai.

"Ah, buat kamu mungkin nggak ada efeknya ya. Kamu dan Bayu kan nggak pernah ada masalah apa-apa. Kamu cinta dia, dia cinta kamu. Urusan kalian akan selalu selesai kalau pakai alasan cinta."

Kamu salah. Aku tidak mencintai Bayu. Aku cinta kamu.

Dan kamu nggak pernah tahu.

Kamu nggak pernah peduli untuk tahu.

* * *

Dimas menjabat tanganku. Mengucapkan terima kasih untuk pertemuan yang pendek ini.

"Aku berhutang banyak waktu sama kamu. Lain kali, aku pasti meminjam waktu yang sama lagi," ucapnya di salam perpisahan.

"Anytime," jawabku, mengingkari kesibukan yang kujadikan alasan padanya kemarin.

Dia yang datang lebih awal dariku. Dia juga yang pergi lebih dulu meninggalkan tempat ini. Langkahnya yang menjauh, meninggalkan punggung yang kutatapi dan jejak kepergian yang selalu kutangisi. Betapa akhir dari pertemuan, sama sakitnya seperti ditinggalkan. Karena aku tak pernah tahu, kapan ia akan kembali padaku. Sedang aku selalu tahu, ia tak pernah datang dengan cinta yang kumau.

Aku terduduk setelah bayangannya hilang di sudut mata. Cerita yang belum berganti itu semakin menguatkan inginku untuk mengatakan segalanya. Semua yang benar dan tak benar. Semua yang diketahui dan tak diketahui. Semua yang seharusnya ia miliki.

Bahwa seharusnya, cinta tak begini...

Bermenit-menit lamanya lamunan itu menjebakku. Seluruh kesadaran dan akal sehat menguap seiring bayang-bayang tentang bagaimana semestinya cinta. Atau... bagaimana cinta yang kuinginkan.

Dalam sekejap inginku. Ponsel di atas meja itu terlalu menggoda untuk disentuh. Aku meraihnya cepat. Membuka kunci layar. Mencari nomornya dalam daftar kontak. Kukirimi ia pesan singkat. Kukatakan padanya satu pertemuan tanpa embel-embel curhat.

Bagaimana kalau ini adalah hadiah untuk diri kita masing-masing? Sebuah kesempatan untuk menyenangkan diri sendiri? Mungkin nonton, jalan-jalan, shopping, karaoke, makan?

Sederet gagasan kuberikan padanya. Bukankah pantas bagi kita untuk membahagiakan diri sendiri untuk lupa sejenak pada segala kesusahan?

Dia tak lekas menjawab. Dia belum juga membaca pesan itu. Dan aku masih menunggu. Namun di tengah harap itu, sesuatu datang menggangguku.

Bukan. Bukan karena Bayu menghubungiku. Dimas juga tidak mengirim pesan padaku. Ini hanya suara kecil hatiku sendiri. Jangan-jangan, aku tengah melakukan cara yang sama seperti yang istrinya lakukan pada laki-laki lain.

Hati memang tak pandai berbohong seperti mulut.

* * *

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang