enam

2.2K 158 4
                                    

Cinta.

Apa yang kamu ketahui tentang cinta?

Membicarakannya justru hanya mengingatkanku pada masa-masa dimana aku mengenal cinta sebagai satu kesungguhan.

Apa yang benar-benar bisa kita harapkan dari cinta? Selain perasaan yang berbalas? Selain memberikan seluruh rasa dengan sungguh? Selain menjadikannya sebuah harap? Selain janji tentang setia? Selain kesungguhan untuk menjaga cinta itu sendiri.

Sebut aku idealis. Namu sejak saat aku mencintai Dimas. Yang ada dalam hatiku hanyalah kesungguhan, bahwa aku mampu mencintainya tanpa satu syarat pun.

Jika cinta tak punya tandingan. Kukatakan dengan berani dan percaya diri. Aku satu-satunya yang memiliki cinta seperti itu untuk dia.

Namun, kenapa kah ia memilih cinta yang lain? Jawaban untuk pertanyaan itu tak pernah kudapatkan.

Cinta tak pernah seideal yang kukatakan. Siapa berani menjamin? Karena, yang kudengar dari Dimas ketika ia bicara tentang cintanya pada Alma. Ia mencintai wanita itu dengan seluruh yang ia miliki.

Bodohkah ia?

Tidak.

Aku pun seperti dirinya. Hanya saja, cintaku tak berbalas padanya. Sedang cintanya pada Alma disambut dengan suka cita.

Apakah aku patah hati? Sudah tentu. Namun jangan pernah bayangkan aku menghukumnya dengan perasaan kecewaku. Dimas tak pernah tahu kalau aku mencintainya. Aku tidak mengatakan kepadanya. Dan ia tak berhak mendapatkan perlakuan seperti itu dariku.

Maka kututup setiap luka hati itu rapat-rapat. Semua tampak baik-baik saja. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah itu. Dia dan kisah cinta itu. Aku yang tetap dianggap sebagai teman terbaik olehnya. Dan Alma yang masih menjadikanku tempat berbagi cerita.

Berbeda dengan Dimas yang menyatakan cinta dengan sungguh-sungguh. Alma hanya bicara tentang betapa senangnya ia memiliki seorang kekasih seperti Dimas.

Dimas baik. Dimas perhatian. Dimas selalu memprioritaskan dirinya di atas kepentingan pribadi Dimas sendiri. Dan sederet kata sifat bermakna positif lainnya yang selalu Alma gunakan untuk membentuk sosok Dimas di mataku dan orang lain.

Namun, pernahkah ia bercerita tentang cinta itu sendiri? Sepanjang pengalamanku menjadi telinga baginya. Kurasa, kata itu hanya muncul beberapa kali.

Terkadang, kita memang terlalu sibuk memikirkan apa yang datang pada diri kita, tanpa memikirkan apa yang mesti kita berikan sebagai balasan. Kurasa, Alma pun begitu.

Rasa bahagianya itu tak pernah salah. Aku mengerti, betapa bahagia dicintai oleh sosok seperti Dimas. Tapi, apakah tak terpikir baginya untuk memberikan balasan cinta yang serupa? Bagaimana jika kalimat 'Dimas baik' itu diselaraskan dengan, aku pun akan menjadi Alma yang baik untuknya. Hingga kelak, Dimas bisa dengan bangga berkata pada teman-teman dan kerabatnya bahwa Alma baik, Alma perhatian, Alma selalu memprioritaskan diri Dimas di atas kepentingan pribadinya sendiri.

Atau, kebanyakan mereka yang dicintai memang seperti itu? Mengharap cinta yang baik untuk datang, bukannya memberi cinta yang baik terlebih dahulu. Memberi untuk menerima. Bukan malah menerima, kemudian baru memberi.

Tapi, sudah lah. Siapa lah aku? Sedang aku bukan Tuhan yang berhak menghakimi apalagi menilai sesamaku. Maka yang kulakukan adalah menjalankan peranku seperti ini. Terus-menerus.

Hingga semua yang kupikirkan tentang bagaimana seharusnya cinta berbalas, datang suatu hari. Ketika akhirnya Alma mengatakan padaku, bahwa pernikahannya dengan Dimas tak lebih dari status hukum dengan cinta yang terisi sebelah.

Aku tak mengerti bagaimana ia berkesimpulan demikian. Bukankah, jika cinta itu hanya sebelah hati, tak sebaiknya ia sudahi sejak dulu? Apakah tak sebaiknya pernikahan itu tak pernah dimulai?

"Waktu itu, aku memang menyukai Dimas. Kupikir, pernikahan itu seperti pertama kali jatuh cinta yang terjadi terus menerus setiap hari. Nyatanya, aku bosan." Begitu pembelaan Alma.

"Apa kamu nggak pikirkan matang-matang, sewaktu Dimas bilang mau melamarmu?"

Tatapan Alma ketika pertanyaan itu dilontarkan mengisyaratkan kalau hal itu tak lebih dari pertanyaan aneh nan konyol yang tak perlu ditanyakan.

"Kalau ada orang yang suka kamu, dan kamu suka sama dia. Lalu orang itu mau serius dan menikahi kamu. Masa kamu tolak? Nad, semua perempuan itu punya takdir yang sama, dipilih untuk menjadi istri. Tujuan besar masyarakat kita apa? Berkeluarga kan? Lagipula, keluargaku semuanya setuju. Kalau sampai aku menolak Dimas, sama artinya dengan menolak permintaan keluargaku."

"Lalu ketika kamu mengalami kebosanan itu? Apa pada akhirnya kamu bisa meminta pertanggung jawaban keluargamu atas pilihan mereka?"

Tawa Alma menggelegak.

"Kamu polos banget ya. Memangnya kamu pikir, ada rumah tangga yang benar-benar sempurna? Semua suami-istri yang sudah bertahun-tahun tinggal bersama, pada akhirnya kehilangan perasaan cinta mereka juga. Mereka nggak lebih dari menjalankan rutinitas hidup sehari-hari. Suami mencari nafkah, istri mengurus anak dan rumah. Apa kamu pernah cek obrolan mereka? Masih sama kah dengan ketika pacaran dulu?"

"Jadi, kamu anggap kebosanan kamu dengan Dimas ini hal yang wajar?"

Alma mengulum senyum.

"Yang penting status hidupnya, Sayang. Itu aja. Nanti juga aku bakal kangen Dimas kok. And we will be fine. Aku yakin itu."

Ya. Keyakinan yang membawa Alma berjalan seperti itu. Keyakinan bahwa status lebih penting dibanding kehidupan dalam pernikahannya, yang malah membawanya pada satu babak baru.

Babak dalam hidupnya untuk melewatkan sang suami. Babak dalam hidupnya untuk mencari serpihan perasaan yang tak pernah ia miliki.

Sialnya, ia menemukan hal itu bersama orang lain.

"Namanya Anggara. Silakan kalau kamu mau bilang soal dia ke Dimas. Aku tak peduli," titahnya tanpa kehilangan ukiran senyum.

* * *

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang