tujuh

3K 183 19
                                    

Hari ini tak perlu dibubuhi satu kata yang spesial. Selain karena aku yang tak enak badan. Sudah beberapa hari ini Dimas tak pernah meniti kabar.

Apakah ia dan Alma berbaikan? Aku tak tahu. Sepulang dari perjalanan kami ke Bandung, aku hanya memikirkan tentang segala pertentangan perasaan dalam kepalaku sendiri. Tentang kemungkinan kalau aku mulai masuk ke dalam lingkar yang tak semestinya. Sedang sebagian dari diriku yang lain berkata kalau ini adalah balasan yang pantas untuk Alma yang terlalu menyia-nyiakan cinta Dimas yang begitu besar padanya.

Namun, itu semua hanyalah sebuah praduga. Kita tak akan pernah benar-benar tahu selain dibantu waktu dan usaha sendiri. Meski untuk bertanya lebih dulu, terasa sungkan bagiku. Haruskah aku tetap menunggu?

Untuk mengalihkan pikiran. Aku memilih pulang ke rumah lebih awal. Bayu yang baru selesai berpakaian sampai melongo heran melihatku pulang ketika hari masih terang.

"Tumben kamu pulang cepat?" tanyanya.

"Kamu juga tumben baru mau berangkat." Aku malah balik mengomentarinya.

"Mixer nggak bisa masuk cepat hari ini. Jadwal pengerjaan betonnya jadi dikerjakan agak malam."

Aku hanya berseloroh 'Ooohhhh' sambil menghempaskan tubuh ke atas sofa. Dengan wajah yang tengadah ke atas langit-langit, aku lebih memilih terpejam ketimbang menekuri setiap inci karya Bayu dan anak buahnya yang sudah membangun rumah ini dengan cantik.

"Kamu nggak enak badan?" tanya Bayu lagi. Mungkin ia masih heran dengan keberadaanku di rumah. Atau, sedari tadi memang menunggu jawabanku yang belum muncul?

"Sedikit pusing," jawabku pendek.

"Minum obat dulu. Atau kamu telepon aku kalau memang perlu ke dokter. Nanti aku antar," ucap Bayu, sambil lalu.

Kukira, ia sudah benar-benar pergi dari rumah. Namun tak lama kemudian, kudengar langkah kakinya kembali. Satu kecupan menempel di dahiku. Kurasakan aroma parfum Bayu melintas di depan indera penciumanku.

Aku membuka mata. Bayu belum pergi rupanya. Kami bersitatap selama sekian jenak. Kukira, ada sesuatu yang ingin ditanyakannya lagi. Namun nyatanya tidak. Ia menarik tubuhnya bangkit. Merapikan krah kemejanya.

"Jangan sampai sakit," pesannya.

Tak lama setelah itu. Deru mesin mobilnya terdengar. Dan perlahan menghilang...

* * *

Dering ponsel menyadarkan aku dari lelap. Masih dengan pakaian kerja lengkap dan posisi rebah yang tak berubah. Aku menggapai-gapai setiap sisi sofa. Mencari ponselku yang kuletakkan entah dimana.

Tepat ketika ponsel tersebut kudapatkan, suara dering tersebut padam. Jejak si penelepon masih tertinggal di layar. Mataku menyipit, menajamkan pandangan yang sedikit buram setelah terjaga.

"Dimas?" Aku berbisik. Mendapati namanya tercetak di sana.

Segera kuhubungi ia balik. Kutunggu beberapa saat. Namun kini, giliran panggilanku yang tak terjawab. Hingga membuatku memilih menuliskan pesan akhirnya. Menjejakkan permintaan maaf karena tak sempat menjawab teleponnya sekaligus basa-basi bernada khawatir. Ada sesuatu kah yang begitu penting yang menyebabkan ia menghubungiku?

Menit-menit yang membuatku menunggu. Menjadikanku tak juga bergeser barang sesenti pun dari tempat dudukku. Dan terus membuatku berada di situ.

Bahkan aku sampai memerika ponselku lagi berkali-kali. Tak ada pesan balasan. Tak ada telepon masuk. Jemariku mengetuk tepian sofa, gelisah. Menghubunginya lagi atau menunggu? Menuliskan pesan lagi atau menanti jawaban? Tapi tampaknya, aku kalah pada perasaanku sendiri. Ketika akhirnya aku menggesekkan jari telunjuk ke layar ponselku, mencari nomornya yang tertinggal di panggilan keluar. Dan terulang lagi hingga tiga kali.

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang