Sketcher's Secret

By lychadiva

231K 18.5K 1.2K

(Completed) Bagi orang-orang lain, Aidan itu; -Cakep -Suka musik dan basket -Agak pendiam -Suka bawa buku ske... More

Prolog
Satu|Loker
Dua|Hujan
Tiga|Sketsa Pertama
Empat|Festival Kembang Api (1)
Lima|Festival Kembang Api (2)
Enam|Sketsa Baru
Tujuh|Tekad Anya
Delapan|Teman Lama
Sembilan|Berubah
Sepuluh|Amarah
Sebelas|Kenyataan(1)
Dua Belas|Kenyataan(2)
Tiga Belas|Sepatu dan Jas Hujan
Empat Belas|Manis
Lima Belas|Misterius
Enam Belas|Sketsa yang Jatuh
Tujuh Belas|Tersembunyi
Delapan Belas|Surat
Sembilan Belas|Target
Dua puluh|Misi (1)
Dua Puluh Satu|Misi (2)
Dua Puluh Dua|Rasa
Dua Puluh Tiga|Kesalahan
Dua Puluh Lima|Momen
Dua Puluh Enam|Hilang
Dua Puluh Tujuh|Hitam Putih
Dua Puluh Delapan|Dokumen
Dua Puluh Sembilan|Lima Lembar
Tiga Puluh|1095 days of Kira and Dino.
Tiga Puluh Satu | 1095 Days of Anya and Aidan
Tiga Puluh Dua| Akhir yang Baru
Epilog
Hai!

Dua Puluh Empat|Waktu

6K 459 20
By lychadiva

Dear Penny,

       Dan moment hangat itu serasa tidak akan pernah berakhir. Padahal ternyata waktu membuat semuanya berjalan semakin cepat menuju perpisahan.

***

Aidan's POV

       Aku membuka mataku pelan, samar-samar kurasa rambutku bergoyang. Bukan, bukan karena ditiup angin atau pun hal lainnya. Tapi seseorang menarik-nariknya.

      Aku mengangkat kepala pelan, merasakan punggungku yang agak sedikit sakit. Penglihatanku masih buram ketika aku menyadari bahwa aku tertidur duduk dengan mengunakan dua lengan sebagai tumpuan.

       Lalu tiba waktu ketika mataku terbuka lebar begitu melirik ke atas dan mendapati seseorang yang juga memasang wajah kaget luar biasa. Dengan rambut acak-acakan yang sebagian turun menutupi kening, dengan sigap tanpa memikirkan apa pun lagi, aku segera berdiri.

      PLAK!

       Kakiku berdenyut-denyut begitu salah satu jarinya menyambar kaki kursi dengan posisi yang menyedihkan.

      "Hei!" serunya kaget.

       Dengan kaki yang setengah kram, aku segera mengarahkan jari telunjuk ke tombol merah di dekat tempat tidur.

       Sepersekian detik kemudian, dokter dan susternya membuka pintu dan menghambur masuk ke dalam ruangan.

***

        Aku menoleh terkejut ketika kulihat dokter  telah keluar dari kamar Anya beserta suster-susternya. Setelah tersenyum hangat kepadaku, aku segera menghambur masuk ke dalam ruangan itu tanpa berpikir dua kali.

        Aku benar-benar lega, senang, gugup, sedih, bersalah, semuanya campur aduk begitu tanganku memegang gagang pintu.

     Sesaat setelah membuka pintu itu, mataku menemukannya. Duduk di sana sambil memain-mainkan ujung selimutnya.

     Sadar bahwa aku sudah ada di dalam ruangan, Anya yang tadi menunduk kini mengangkat kepala lalu melihatku tepat di manik mataku.

     Melihat itu, aku menelan ludah lalu segera menunduk. Melihat responku, Anya juga ikut menunduk.

     Lalu beberapa detik kemudian di saat yang bersamaan, kami mengangkat kepala dan kembali bertukar tatap, lalu bersamaan kembali menunduk lagi.

     Gelagat kami itu bahkan terulang lagi satu kali.

     Wajahku rasanya memanas. Apa ini? Sejak kapan aku jadi begini di depan Anya?

      Begitu melihat pipi Anya yang merah dan bibirnya yang ia gigit karena gugup, aku refleks menoleh ke kiri sambil memegang belakang leherku, terus-terusan menghindari tatapannya.

      Hening sampai lima detik, hingga aku akhirnya memutuskan untuk melangkahkan kaki dan duduk di kursi samping tempat tidur Anya.

      Cewek itu diam saja sambil memandangku dengan senyum yang tidak bisa kuartikan sama sekali. 

      Aku berdeham, menunduk sambil berusaha menyiapkan kalimat-kalimatku.

      Bodoh sekali, sebelumnya aku bahkan tidak pernah berpikir sebelum mengeluarkan kalimatku di depannya.

       Aku berdeham lagi. "Em, lo udah agak  baikan?" tanyaku sambil melihat ke luar jendela, tidak berani lagi melihat wajahnya.

     Lama-lama tingkahku yang aneh secara tiba-tiba ini membuatku muak juga, tapi walaupun begitu, aku tidak bisa menahannya,  terjadi begitu saja.

       Anya menoleh, menatapku tepat pada manik mata. Mau tak mau aku juga menatapnya, tidak lucu jika kali ini aku menunduk dan malah menatap sepatuku. lagi. 

     Lama Anya diam, hingga kami cuma saling menatap.

      Lalu tanpa niat, tanpa sengaja, bibirku mengulum senyum. Dan itu alasan kenapa mataku terus mengalih-ngalihkan pandangan ke mana-mana, menghindari manik mata Anya.

      Aku buru-buru membentuk bibirku menjadi garis tipis lalu mengubah ekspresiku agar lebih normal, agar lebih seperti biasanya.

      Anya tersenyum hangat, "Lumayanlah."

      Aku cuma mengangguk sambil balas senyum. Dalam hati aku bersyukur berkali-kali mendengar suaranya telah kembali.  Lalu aku menghentak-hentakkan sepatuku pelan, walau terlihat tenang, otakku sedang berkerja keras mencari topik pembicaraan.

      Ini kali pertama aku benar-benar kehilangan semua image yang kubangun di depan seseorang. Tidak pernah kubayangkan orang itu akan menjadi Anya.

      Hening lama sekali. Sampai detik-detik jarum jam dinding di dekat nakas ruangan terdengar jelas, beradu dengan sepatuku yang menghentak pelan, dan jari-jari Anya yang memainkan ujung selimut.

      Lalu kemudian sebuah suara memecah keheningan.

       "Kruyuuk." Jelas sekali itu suara perut kelaparan yang berbunyi, dan suara itu bukan berasal dari perutku.

      Aku mengangkat kepala lalu menatap Anya yang sekarang berusaha menutupi wajah salah tingkahnya dengan helai-helai rambut.

      Aku menoleh ke samping, berusaha keras menahan tawa yang hendak keluar, hanya seulas senyum tipis  kutunjukkan, dan itu cukup membantu agar tawaku tidak membuncah.

        Anya melihat reaksiku dan berkata, "Yah wajarlah," ucapnya dengan suara yang mencicit seperti tikus. "Gue kan belum makan entah dari kapan, kalau gue lapar sekarang kan wajar." Ia menunduk malu, kulihat pipinya yang agak merona dari sela-sela rambutnya.

     Melihatnya seperti itu, aku tidak bisa lagi menutup rasa senang karena melihatnya sudah kembali, aku lagi-lagi mengucap syukur berkali-kali.

       "Yah emang siapa yang bilang kalau itu gak wajar?" tanyaku yang akhirnya berhasil menunjukkan wajah datar ketika tanganku menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya. Tapi ekspresiku kembali lagi seperti semenit lalu ketika mataku melihat Anya yang melirikku sedikit-sedikit sambil berusaha menunduk menyembunyikan semburat merah muda di pipinya. "Apa gue perlu minta suster bawain makanan buat lo?"

      Anya tidak menjawab.

       Aku mentapnya bingung, sambil mengedikkan bahu, aku bangkit dan segera berdiri untuk keluar dari ruangan.

       Baru beberapa langkah kuambil, kakiku langsung berhenti lagi sesaat setelah telingaku mendengar suara Anya yang agak lebih besar dari sebelumnya.

      "Aidan?" panggilnya.

      Aku berbalik sedikit, hingga dapat didefinisikan sebagai menoleh karena aku tidak melihat wajahnya sama sekali.

      "Hm?" gumamku.

        "Eh, g-gue gak bisa makan makanan rumah sakit," jeda. "gue pasti muntah, beneran, gue serius."

       Aku berbalik, berusaha lagi memasang ekspresi datarku yang normal seperti biasa. Lalu lagi-lagi usahaku hancur ketika mataku menangkap wajah Anya yang agak canggung campur takut campur sisa-sisa salah tingkahnya beberapa menit yang lalu.

     Sepertinya otot-otot di wajahku tidak lagi sinkron dengan otakku, mereka tidak mau mendengarkan perintah dan malah seenaknya memasang ekspresi yang tidak bisa kukendalikan.

      "Iya, iya gue percaya," jawabku setengah tertawa. "Trus lo mau makan apa?"

       Anya nyengir sambil mengeluarkan setengah lidahnya.

       "Bubur ayam pinggir jalan dekat toko obat tradisional belakang gedung rumah sakit pake ayam gak pake daun bawang trus bawang gorengnya dipisah pake telur rebus dua ayamnya banyakin kerupuknya gak usah terlalu banyak," cerocos Anya dalam satu kali napas.

      Aku terpaku melihat wajahnya, ia memandangku lekat, matanya berbinar dan ia tersenyum, rambutnya sedikit berkilau karena terkena sinar matahari dari jendela kamar.

       Melihat itu, aku memutuskan untuk berhenti berusaha memasang ekspresi normalku. Oleh karena itu, sebelum aku keluar ruangan, aku tertawa kecil sambil berkata, "tunggu ya, bentar lagi gue balik."

***

        Sekotak bubur ayam dibungkus kantong plastik transparan kuletakkan di atas nakas kayu di samping tempat tidur.

       Dahiku mengernyit bersamaan dengan kepalaku yang menoleh ke kiri dan ke kanan. Aneh. Kamar rumah sakit yang tadinya ditempati Anya itu sekarang kosong. Ke mana dia?

      Aku tidak tahu apa karena ini efek dari insiden kemarin, tapi aku mulai panik bukan main.

      Lalu terdengar bunyi kenop pintu difungsikan disertai dengan kehadiran seorang perempuan berbadan kecil dengan baju tidur yang kelonggaran.

     "Eh, sejak kapan lo udah datang?" tanyanya dengan nada ingin tahu.

       Aku menghela napas lega. "Lo dari mana aja? jangan seenaknya jalan mondar-mandir turun dari tempat tidur. Nanti kalau lo disenggol orang trus jahitan lo kebuka yang sakit siapa?"

     Anya memasang ekspresi aneh yang lagi-lagi tidak bisa kubaca. "Yang sakit kan gue, kenapa lo yang panik?"

     Eh iya

     Aku berdeham lalu menoleh, menghindari mata Anya sambil mengelus belakang leherku dengan tangan kanan.

      Lagi-lagi hening, hingga akhirnya mataku menatap sesuatu di atas nakas samping tempat tidur. "Eh, itu gue udah beli bubur ayamnya," ucapku. "Lo gak mau?"

      Percayalah, aku kurang ahli dalam hal mengalihkan pembicaraan.

      Tapi untungnya, Anya juga kurang ahli dalam menyadari pengalihan pembicaraan.

      Dengan cepat, ia menghampiri kotak berbungkus plastik di atas nakas dan menggengamnya di telapak tangannya yang sudah tidak terlihat karena ditutupi piyama yang kelewat longgar.

      "Ikut gue!"

      Dengan sigap Anya meraih telapak tanganku, seolah lupa dengan bagaimana atmosfer di antara kami sebelum itu. Lalu sambil menenteng sebungkus bubur ayam di tangan kirinya, cewek itu berlari keluar pintu sambil menggenggam tanganku dengan tangan kanannya

      Mebiarkan dia berlari di depan, seolah menjadi petunjuk arah. Aku yang penasaran hanya bisa tertawa kecil melihat dia berlari di depanku, tersenyum penuh arti melihat tautan tangan kami yang tidak berjarak. 

     "Mau ke mana?" tanyaku. Anya tidak menjawab.

       Di tengah-tengah suara derap langkah kami yang saling beriringan, ada sedih yang ikut datang. Seperti deadline, mengingatkanku pada semua keterlambatan.

      Namun saat mataku melihat helai-helai rambutnya yang bergerak-gerak saat kami berdua berlari, bibirku masih mengukir senyum tanpa ia ketahui. Menambah satu hal lagi tentang Anya, bahwa ia satu-satunya seseorang yang kutahu, dapat membuat suasana secanggung apa pun berubah menjadi atmosfir baru yang lebih nyaman ketika kami berdua berdiri berdekatan.

***

      "Jadi kamu tadi ke sini?" tanyaku sembari kembali menghadap ke depan, membiarkan angin mengibas rambutku, menyeruput kopi yang tadi kubeli bersamaan dengan makanan pesanan Anya. 

       Sesaat setelah mendengar kalimat yang kuucapkan, Anya batuk, hampir tersedak dengan bubur yang ia makan.

      Aku langsung menoleh ke arahnya. "Eh? Kenapa, kenapa? Mau minum?" tanyaku panik.

      Lalu aku tersenyum bingung kala melihat wajah Anya kembali menunduk. Cewek itu berdeham pelan lalu berkata, "tadi lo bilang apa?"

       Aku semakin bingung. "Jadi kamu tadi ke sini?" Aku mengulang pertanyaanku.

       Anya tidak lagi bersikap seaneh tadi ketika kalimat tadi kuucapkan kembali, ia memilih memasukkan sesendok suap bubur lagi ke dalam mulutnya. "Iya, tadi gue ke sini," ucapnya tanpa mengalihkan fokus sama sekali dari makanannya.

       Sambil dengan otak yang beradu masih memikirkan apa yang aneh dari kalimat itu,  aku menyeruput kopi hangat yang belum mencapai setengah habis di tanganku.

       Sepersekian detik kemudian, otakku akhirnya mencerna apa maksudnya. Itu hanya kebetulan dan ketidaksengajaan, tapi aku mengukir senyum jahil ke arah Anya.

       Anya menyadari ekspresiku dan langsung mengerut bingung, setengah memasang wajah antisipasi.

        "Oh, kamu ya?" ucapku jahil setengah tertawa.

       Pipi Anya kembali memerah. Dan bagus, karena itu yang ingin kulihat.

      "Karena sebutan 'Kamu' kan?" tanyaku jahil. "Kalau gitu, gue mau manggil lo dengan sebutan 'kamu' terus walau rada-rada aneh."

       "Apaan sih lo ah!" Anya hampir saja melempar sendoknya ke arahku, namun sepertinya tidak tega dengan kotak makanan di tangannya yang sisa setengah itu.

     Setelah puas menjahili terus-terusan, aku memilih kembali menghadap ke depan. Memandang langit yang kini sudah menampilkan semburat jingga tipis-tipis. Menuai gradasi lembut yang membuatku tersenyum samar-samar.

        "Eh, ngomong-ngomong ngapain lo ke sini tadi?" tanyaku serius pada Anya yang kini akhirnya berpaling dari makanannya. "Lo tau, bahaya bagi orang ceroboh kayak lo naik ke rooftop rumah sakit yang pinggirnya serendah ini. Kalau lo jatuh, yang mati siapa?"

        Anya tidak menjawab pertanyaanku, dan lebih memilih menyendok buburnya ke mulut tanpa jeda. Aku meringis. "Kenapa gak ditelan sekalian sama sendoknya?"

       Anya memandangku sinis sembari memakan satu suap terakhir. Lalu tanpa peduli, ia menutup kotak makanan yang habis itu dan mengemasnya kembali dalam kantongan plastik.

       "Kenapa lo ke sini?" tanyaku lagi. 

       "Tadi gue bosen, pengen cari udara seger, terus keinget drakor yang ada adegan di rooftop rumah sakitnya dan pemandangan di situ bagus banget," ucapnya. "Jadi yah gue coba-coba aja dan ternyata pemandangan di sini juga bagus."

      "ckckck." Aku mendecak. "Jangan pergi sendiri, bahaya! kesandung dikit, jahitan lo bakal robek! Mau?" Aku melemparkan gelas styrofoam ke arahnya, kopinya sudah habis.

      "Ih Aidan! jangan buang sampah sembarang," gerutunya sembari menangkap gelas itu lalu mengemasnya bersama plastik makanannya yang tadi.

        "Iya, iya maaf," ucapku, maju selangkah sambil menoyor pelipisnya.

        "Aw," Anya meringis, lalu kemudian melirikku, berusaha keras untuk memasang mata sinis yang natural. Tapi aku yakin dia tidak bisa, dan itu lucu. "Lo lupa kalau gue ini pasien yang beberapa jam lalu habis dioperasi gara-gara luka tusukan sampai darah gue hampir ludes?"

       "Lo gak sadar lo bertingkah seolah lo juga lupa?" balasku.

       "Yaudah deh lo menang," ucapnya agak sarkastis. Namun beberapa detik kemudian, ia tertawa. Benar-benar tertawa. "Lo ingat kapan terakhir kali kita berada di dalam dialog-dialog kecil kayak gini? Dalam conversation kecil yang kadang lebih dari setengahnya adalah hal-hal yang tidak berpoin." ucapnya kemudian.

        Aku yang sedari tadi menikmati angin sambil memandang semburat jingga di sana, menoleh begitu mendengar pertanyaannya. "Hm?"

      "Lo ingat kapan terakhir kita berada dalam dialog-dialog kecil kayak gini?" tanyanya, angin senja menggoyangkan helai-helai rambutnya. "Aneh ketika tau kalau dari semua kejadian besar yang pernah kita alami di masa lalu, gue lebih milih hal-hal yang paling kecil di dalamnya untuk diulang kembali."

        Lalu Anya tersenyum simpul sembari menoleh ke arahku, lalu ia berpaling dan menghadap ke depan. Memandang langit yang sudah mulai menggelap. Matanya tenang, tidak sama sekali terdapat rasa takut akan waktu yang bergegas menghabisi satu dari entah berapa hari-hari terakhir sebelum jarak semakin melebar.

        Aku menghela napas, mataku melembut, berusaha memasang senyum simpul sambil terus melihatnya memandang langit, tanpa sepengetahuannya.

       "Gue tau lo bakalan beranggapan begitu," ucapku, menanggapi ucapannya. "Gue tau betul lo beranggapan begitu."

      Anya menoleh selama tiga detik, lalu kembali memandang langit, menikmati angin.

       Justru karena itu, hari ini gue mau membuat semuanya terulang kembali untuk lo sebelum terlambat.

      "Hah? Tadi lo bilang apa?"

       Aku hampir terlonjak begitu mendengar pertanyaan Anya. "Uh, um, gak ada," ucapku berbohong, aku semakin berpikir seolah Anya tahu itu, ekspresinya yang terlihat curiga namun jahil terpampang jelas di wajahnya. "Eh, liat, matahari udah mulai tenggelam," ucapku sembari berbalik ke belakang, arah di mana mata hari tenggelam. Dengan Skill-mengalihkan-pembicaraanku yang tidak seberapa.

        Anya tidak berbalik sama sekali. Aku mengernyitkan dahi heran begitu melihat ia malah menunduk dalam, tangannya masih terlipat di atas pinggiran dinding balkon rooftop yang agak tinggi baginya.

      "Sunset ya?" ucapnya pelan. "Gue gak suka sunset sama sekali."

        Aku menoleh ke arahnya heran. "Kenapa?" tanyaku. "Kebanyakan orang malah suka liat sunset."

      "Yah gue bukan salah satu dari mereka."

      "Kenapa?" Aku masih memandangnya lekat.

       "Karena ... gue gak suka aja," ucapnya. "Sunset itu cantik, cantik sekali. Tapi entah kenapa gue takut setiap liat matahari yang terbenam. Gue Cuma ngerasa kalau ... ada lagi satu hari yang berakhir, dan semua yang terjadi di hari itu akan berakhir jadi ingatan di kepala, yang kalau diulang gak bakal sama lagi, atau bahkan gak akan pernah terulang sama sekali."

     Ucapan Anya itu seolah menampar.

      Maka dengan kalimatnya itu, aku cuma tersenyum simpul padanya, lalu ia juga membalas senyumku.

       Kami memikirkan hal yang sama, hanya saja aku mengetahui bahwa kejadian yang didasarkan oleh analoginya tentang sunset itu akan terjadi dan semua ini akan menjadi kali yang terakhir.

       Kami melihat langit bersemburat oranye yang sama, hanya saja aku melihat proses di mana langit mulai berubah menjadi gelap peralahan-lahan, menonton cahaya bergulir hingga lenyap di ujung yang terlihat sangat dekat dari tempatku berdiri. Sedangkan Anya membelakangiku, melihat sisi berlawan, ia benci melihat proses terang yang perlahan lenyap, dan memilihi memandang langit yang masih cerah di ujung yang lainnya, lalu menggelap dalam sekejap saja.

***

       "Well, Aidan," Anya menunduk, menaikkan selimutnya. "Ini malam jumat."

      "Oke, lalu?"

       "Lo tau, ini rumah sakit dan—dan di malam jumat sering beredar kabar bahwa akan ada makhluk-makhluk itu dan lagi, banyak orang meninggal di rumah sakit, aku takut sendirian, malam ini gelap, dan rumah sakit ini ... sunyi. Dan di ujung sana ada kamar mayat. Dan—dan gue...."

        "Lo takut kalau mayat dari ruangan itu bakalan tiba-tiba berdiri dan ngetuk pintu kamar lo pelan-pelan berirama, trus lampu kamar lo kebetulan lagi mati gitu?" tanyaku sambil tersenyum menantang.

       "Oh, lo selalu tau apa yang harus lo katakan selanjutnya," jeda "dan lagi-lagi ya, dan ya, lo bener. Gue bahkan ngebayangin mereka masuk dan ngelus tangan gue."

      "Lo punya imajinasi yang berlebihan." Aku meringis.

       Anya ikutan meringis.

        Hening agak lama sesaat setelah aku melihat ke sekelilingku dan tidak menemukan tempat untuk tidur selain karpet lembut tebal di lantai dan sofa kecil di dekat tempat tidur.

     "Em, Aidan?" panggil Anya.

      "Hm?" sahutku.

      "Tempat tidurnya cuma cukup buat satu orang," ucap Anya dengan suara yang mencicit malu.

       Tiba-tiba wajahku rasanya merah sampai ke ujung kepala. Aku lagi-lagi menoleh menghindari mata Anya, kuacak-ngacak rambutku dengan satu tangan.

       "God, Anya. Lo bahkan mengira gue bakal ngusulin tidur di sebelah lo?" Keinginanku untuk menjahilinya muncul lagi.

       "B-bukan gitu, maksud gue," aku tersenyum di sela-sela tawaku ketika melihat wajahnya yang lagi-lagi memerah. "Maksud gue, eh, um ...."

      "Apaaaa?" tanyaku jenaka.

       "Heck, lo tidur aja di lantai!" serunya berusaha mengubah ekspresi wajahnya. Dan lagi-lagi aku harus megatakan kalau itu lucu karena dia tidak bisa.

     Aku cuma bisa tertawa bersamaaan dengan Anya yang malah melempariku dengan bantal. Aku menangkap bantal yang gagal mengenai wajahku dan membuangnya ke lantai. Aku berbaring, dan untung saja karpetnya sangat tebal.

      "Jam berapa sekarang?" tanyaku.

      "Jam tujuh lewat lima," jawab Anya singkat.

        Hening selama beberapa menit hinga akhirnya Anya berkata, "Aidan?"

       "Hm?" Aku menoleh ke arah tempat tidur, namun aku tidak bisa melihat wajah Anya sedikit pun dari atas permukaan karpet.

      "Gue selalu mau nanya ini ke lo tapi gak pernah punya waktu yang tepat," jeda. "sejak kapan lo suka sama Kira?"

        Aku tertawa kecil. "Gue gak tau kalau perasaan suka yang asli itu mirip banget dengan ingatan masa lalu kita sewaktu masih menyukai seseorang, gue gak sadar sampai akhirnya mengerti. Walau ternyata gue terus menerus jadiin dia objek gambaran gue, saat ngegambar dia rasanya biasa-biasa aja, dan gue malah fokus ke tekhnik gambar gue daripada dia-nya. Awalnya sih ada niat mau kenal lebih dekat jauh sebelum hari ini, tapi lama kelamaan perhatian gue teralihkan secara gak sengaja ke sesuatu yang baru. Dan berakhirlah gambar-gambar gue di tempat sampah sekolah, dan lo berhasil nemu," ucapku. 

       Anya tertawa kecil begitu aku mengucapkan bagian terakhir kalimatku, lalu ia bertanya, "Tadi lo ngomong apa? Sesuatu yang baru?"

       Aku mengangguk walau yakin Anya sedang tidak melihatku. "Sesuatu yang baru, 'seseorang.' Yang pas datang langsung ngerusuh dan buat gue terbuka, gak sadar kalau sekarang gue akhirnya ngerasain bagaimana bener-bener dEepLy iN lOvE wiTh someone." Aku sengaja membuat-buat suaraku agar kalimat yang terakhir tidak terlalu membuatku geli.

      "Heck, gue gak tau lo se-cheesy itu." Anya lagi-lagi tertawa kecil. "Who's that someone by the way? Bagaimana lo dengan dia?"

       "Tapi sekarang gue harus ngebiarin dia pergi, bahkan sebelum dia tau perasaan gue. Bukannya itu lebih baik buat dia 'kan?" jeda. "Soal siapa orangnya, gue gak bakalan ngasih tau ke lo, kepo."

       "Oh, pasti bakal susah nantinya, ya gue harap sih lo bisa ngelupain dia," ucap Anya pelan.

      Aku tersenyum hambar, kemudian berkata, "Kalau lo? Bagaimana dengan lo sendiri?"

       "Gue? kalau gue sih punya seseorang yang gue sukai juga. Dan nanti, cepat atau lambat gue pasti ngasih tau perasaan gue ke dia. Iya, iya, gue tau agak aneh karena gue cewek tapi—tapi, entahlah. Yang jelasnya gue bakal ngasih tau semuanya ke dia, pasti nanti. Dan yang jelasnya lagi, bukan sekarang," jelasnya panjang lebar.

        "Gue harap lo bisa cepat-cepat bareng dia," ucapku, tersenyum menatap langit-langit rumah sakit.     "Inget, poin utama, jangan minta makanan terus ama dia, kalau lo berdua udah jadian nanti," ucapku setengah bercanda, setengah serius.

       "Untuk poin itu sih, gue udah ngelanggar entah berapa kali haha," ucap Anya, terdengar seperti nada main-main.

***

      "Malam itu kita seakan-akan hanyut ke dalam pembicaraan yang tidak memiliki ujung, jika dipikir-pikir, itu cukup lucu karena kita saling membicarakan satu sama lain, dan lucunya lagi, dalam hati masing-masing, kita sebenarnya tahu itu, walau sedikit ragu.

        "Dan pada malam itu pula aku telah melakukan kesalahan yang membuat waktumu di sini pada saat itu semakin habis.

       Kita terlalu hanyut dalam pembicaraan hingga tertidur. Aku di atas karpet tebal, dan kamu di ranjang rumah sakit. Seharusnya aku terbangun pada pukul Sembilan, di mana ponselku berdering tanpa henti, dipenuhi oleh panggilan tak terjawab."

Kirana Muthiara

08:57

Kak Lya sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit, lo harus pulang sekarang.

      "Namun semuanya sudah terlambat. Pada pukul sembilan lewat sepuluh, seorang perempuan berambut cokelat muda berdiri di depan kamar inapmu, masih memakai jas kuliah sambil menerima telepon dari orang tuamu.

      Mengucapkan kata "Baiklah" begitu mereka menyuruhnya membawamu pergi secepatnya."

***


   Aghs! Chapter ini bener-bener hangat plus unyu (setidaknya bagi gue hehe) aku harap feel nya sampai dan yah UKK dah selese wan kawan jadi chap ke depan bisa bebas! Bentar lagi aku udah mau SMA! huhu. Semoga ketemu di chap selanjutnyaaaa

🌹,
Lycha

Continue Reading

You'll Also Like

EX By Lev

Teen Fiction

148K 6.5K 45
Dunia itu berputar. Di dunia berlaku yang namanya hukum alam. Artinya, apa yang kau lakukan ke orang, baik atau buruk, suatu hari nanti pasti akan be...
2.1K 200 17
Ini tuh versi pendek cerita SUMMIT ATTACK! Cuma mengisahkan perjalanan naik gunungnya mereka aja. Seseorang yang spesial, yang bisa mengubah hidupmu...
36.9K 3.9K 49
Tentang seorang gadis bernama Ruina yang harus menjalani hukumannya ke Moskow, Rusia untuk melanjutkan pendidikannya. Keputusan sang Papa itu bukan h...
1.5M 55.2K 20
Sebagai perempuan modern yang sukses dalam karier, dijodohkan adalah sesuatu yang sangat konyol dalam hidupku. Tapi ketika aku mulai mengenalnya apak...