Sketcher's Secret

Par lychadiva

231K 18.5K 1.2K

(Completed) Bagi orang-orang lain, Aidan itu; -Cakep -Suka musik dan basket -Agak pendiam -Suka bawa buku ske... Plus

Prolog
Satu|Loker
Dua|Hujan
Tiga|Sketsa Pertama
Empat|Festival Kembang Api (1)
Lima|Festival Kembang Api (2)
Enam|Sketsa Baru
Tujuh|Tekad Anya
Delapan|Teman Lama
Sembilan|Berubah
Sepuluh|Amarah
Sebelas|Kenyataan(1)
Dua Belas|Kenyataan(2)
Tiga Belas|Sepatu dan Jas Hujan
Empat Belas|Manis
Lima Belas|Misterius
Enam Belas|Sketsa yang Jatuh
Tujuh Belas|Tersembunyi
Delapan Belas|Surat
Sembilan Belas|Target
Dua puluh|Misi (1)
Dua Puluh Satu|Misi (2)
Dua Puluh Dua|Rasa
Dua Puluh Empat|Waktu
Dua Puluh Lima|Momen
Dua Puluh Enam|Hilang
Dua Puluh Tujuh|Hitam Putih
Dua Puluh Delapan|Dokumen
Dua Puluh Sembilan|Lima Lembar
Tiga Puluh|1095 days of Kira and Dino.
Tiga Puluh Satu | 1095 Days of Anya and Aidan
Tiga Puluh Dua| Akhir yang Baru
Epilog
Hai!

Dua Puluh Tiga|Kesalahan

6.7K 515 64
Par lychadiva

Dear Penny,
---

***

Kira's POV

     Satu langkah kuambil, namun terlambat. Mobil polisi itu telah melaju kencang, membawa Dino yang ikut naik di dalamnya.

       Grace menatapku simpatik. Aku benci di tatap seperti itu.

      "Kenapa lo natap gue kayak gitu?" Pelupuk mataku penuh, pandanganku mulai memburam. "Jangan liat gue kayak gitu."

       "Lo jelek kalau nangis, Kir," ucap  suara serak dan lemah dari samping kananku. Aku menoleh menatap Anya. Sahabatku itu menatapku datar, matanya nyaris tertutup.

       Aku hanya bisa berjongkok, menangis dengan teriakan yang sama sekali tidak bisa kukontrol. Setiap ringisan dan isakan tidak bisa bertahan di leherku. Seperti berdesakan dan memaksa untuk dikeluarkan.

     Rasanya sakit sekali.

       Entah sejak kapan Grace datang dan memelukku. Cewek itu dari tadi memang kelihatan canggung dan ikut murung.

      "Sebenarnya gue jijik meluk lo kayak gini," ucapnya. "abis kalau nangis lo bikin telinga gue terganggu."

      Aku terus terisak.

     "Berhenti menangis," ucap Grace lagi.

      Tapi nyatanya, cewek itu juga mengucapkan kalimatnya dengan suara yang bergetar.

***

Aidan's POV

      Aku menguatkan gendongan Anya yang sama sekali tidak bergerak di punggungku. Dapat kurasakan kepalanya menyandar lemah di bahuku.

     Liat saja, aku rasanya ingin benar-benar menonjok supir ambulans yang terlambat datang karena alasan macet. Ambulans macam apa itu? 

      Keringat di dahiku semakin   mengucur. Melihat Anya yang seperti sekarat, aku jadi panik sendiri. Rasanya emosiku meletup-letup.

      Jika dia mendapatkan luka luar yang banyak, tidak mungkin dia selemas ini. Aku menelan ludah panik, mengisyaratkan kepada Grace dan Kira untuk menelpon ambulans itu sekali lagi.

       "Aidan...." Mataku melebar. suara Anya yang kecil itu terdengar jelas di telingaku.

       "Anya? Kenapa? Lo butuh sesuatu?" tanyaku dengan nada suara yang tinggi. Membuat Kira dan Grace ikut menoleh dan terdiam.

     "T-t-turunin gue," cicitnya pelan.

     "Eh, tapi-"

     "Turunin gue, Dan," potongnya.

       Dengan anggapan bahwa ada bagian tubuhnya yang sakit atau apalah itu, aku menurunkannya. Tetap menstabilkan pijakannya. Kakinya terkena sayatan, pasti nyeri jika harus menumpu badannya.

        Ludahku terasa menyangkut di leher kala kulihat tangan Anya menggenggam jari telunjukku. Dengan langkah pincang, ia menarik jariku ke arah pintu.

      "Ayo pulang," ucapnya.

      Aku menatapnya panik, aku yakin pasti wajahku sekarang tampak sangat kacau.

      "Ayo pulang, Aidan. Ajak Kira sama Grace juga," ucapnya lemah.

      Dan sesaat setelah ia menyelesaikan kalimatnya, cewek itu ambruk ke depanku. Mataku melebar, refleks aku menangkapnya.

       Kira dan Grace yang terkejut langsung berlari menghambur ke depanku, membantu membalikkan tubuh Anya.

       "Anya! Anya!" mataku melebar begitu melihat wajah Anya yang pucat, bibirnya nyaris tak berwarna. "Anya, jangan biarkan mata lo tertutup!" tanganku bergetar menahan tubuhnya begitu kulihat matanya tak lagi terbuka sedikit pun.

       "Oh astaga!" seru Grace panik, matanya menatap nanar ke arah lantai.

      Aku dan Kira yang menyadari itu langsung melihat ke arah pandangan Grace.

       Mataku menatap nanar lantai di bawah punggung Anya itu, darah berceceran di sana. Tanpa kendali, aku memeriksa punggungnya.

      Sialan!

      Jadi ini yang membuatnya lemas, ada luka tusukan di belakang punggungnya. Darah mengalir keluar, sudah membasahi pakaian yang ia kenakan.

        Tenggorokanku sesak. Berapa kali aku menahan tubuhnya, memandangi wajahnya yang pucat pasi, jantungku serasa mau lepas ketika kulihat matanya benar-benar tertutup total.

       Di ujung mataku, dapat kulihat Kira yang hampir menangis, menempelkan ponsel di telinganya. Samar-samar kuengar ia berkata "Ambulans" sesekali. Tapi bahkan aku tidak bisa fokus mendengar apa yang ia ucapkan. Cemas yang berlebihan seperti menutup semuanya.

      "Mari sini ponsel lo!" aku hampir saja membentak Kira.

       Dengan tangan yang bergetar, cewek itu menyerakan ponselnya ke arahku. Gigiku bergemeletuk kesal kala kudengar suara laki-laki di ujung ponsel.

     "CEPAT KE SINI, BANGS*T!"

***

      Aku menutup mataku, kuusap seluruh wajahku dengan telapak tangan. Sejak tadi, aku berusaha mengatur napas, tapi sampai sekarang aku tetap tidak bisa tenang.

     Aku terduduk di kursi besi dengan wajah yang masih babak belur, rasanya luka-luka di badanku tidak bisa kurasakan. Jariku yang masih bergetar kuat bergerak mengusap pangkal hidungku.

      Pikiranku masih ke mana-mana. frustasi dan firasat buruk masih berkelebat.

      Aku mendongak, melihat tanda di atas pintu kaca di sebelah kiriku, "UGD" dengan lampu merah yang menyala di atas tanda itu, pertanda bahwa ada operasi yang sedang berlangsung.

      Aku menghela napas berat, kembali aku mengusap wajah kala kurasakan cemasku masih terus bertambah. Kuarahkan kepalaku ke depan, melihat Kira dan Grace tertidur duduk. Keduanya kelihatan acak-acakan, namun tidak terluka, untung saja. Bahkan Grace masih mengenakan pakaian cheerleader-nya

11 : 30

     Sekarang hampir tengah malam, koridor rumah sakit sudah sangat sepi. Tidak ada orang di sekitar sini, sebagian lampu bahkan sudah dimatikan. Sementara aku duduk sambil menangkup kedua tangan di wajahku saat berusaha menelan bulat-bulat rasa cemas dan khawatir, berusaha meyakinkan bahwa dia tidak apa-apa di dalam sana. 

       Aku melirik pintu kaca, sedari tadi aku berusaha melihat ke dalam, berusaha menerawang berharap menemukan Anya, melihat kondisinya. Tapi sia-sia saja, pintu kaca itu terlalu buram.

       Lamunanku buyar begitu kurasakan getaran di bagian saku celana jeans-ku. Langsung saja kumatikan ponselku begitu mendapati nama Reza tertera di sana. sudah berapa kali dia menelpon, mungkin sekitar lima belas kali namun aku enggan mengangkatnya.

      Seluruh pikiranku diisi Anya dan Anya. Apa dia merasa kesakitan? Apa dia akan selamat? Firasat buruk datang menyelubungiku, menghilangkan keyakinan penuh bahwa dia akan baik-baik saja. Alhasil aku hanya bisa duduk dan mengusap wajah.

     Drap ... Drap ... Drap...

     Suara langkah kaki cepat itu tiba-tiba bergema di sepanjang koridor. Lama kelamaan temponya semakin cepat.

      Aku bangun dari sandaran kursi, duduk tegak memperhatikan seseoang berlari menyusuri lorong rumah sakit. Sepertinya orang itu akan menuju ke sini.

    Aku menyipitkan mata, berusaha mengira-ngira siapa itu. Sampai akhirnya ia semakin dekat, dan kemudian berdiri di depan pintu kaca UGD dengan tatapan takut, matanya terlihat berkaca-kaca.

      Aku masih memperhatikan wajahnya, ia terlihat sangat tidak asing. Mirip Anya, sangat mirip bahkan. Hanya saja rambutnya lebih panjang dan berwarna cokelat muda, terlihat asli tanpa diwarnai.

      Tiba-tiba saja aku teringat ucapan Reza jauh sebelum hari ini, di ruang tamu rumah, sambil menonton televisi.

      "Lo mau ke mana, Rez?" tanyaku bingung, tidak mengalihkan pandangan dar televisi.

      "Ketemu gebetan," jawabnya dengan nada songong campur jenaka.

      "Emang ada yang mau sama elo?" tanyaku datar, namun sepenuhnya aku bercanda, dan Reza tahu itu.

      "Denger ya, . Lo kira lo doang yang bisa terkenal di sekolah? Gue udah dari dulu, Bro," cerocosnya, membuatku memutar bola mata malas sembari menekan-nekan remot.

      "Cih, emang orangnya secantik apa?"

      "Nah kepo juga kan?" ujarnya ketus sambil tertawa setelahnya. "Namanya Lya, dan gue baru tau ternyata dia sepupunya Anya. Mirip-mirip lah sama gebetan lo itu. Tapi bedanya dia bule, rambutnya warna cokelat muda. Kalau mirip Anya, lo bisa bayangin lah ya, cantiknya kayak gimana. Unyu-unyu lah, manis."

      "Anya bukan gebetan gue," ucapku sekenanya.

      "Halah, gak usah malu-malu kucing lo, jadi yang minggu lalu yang ngajakin anak orang nge-date di festival kembang api siapa? Setan?" ucap kakakku itu sarkastis. "Kalau lo gak mau, biar gue yang macarin Anya."

       Aku mendelik, menyadari Reza yang menatapku jahil, aku mengalihkan pandangan ke televisi lalu segera memasang wajah datar tak peduli.

      Aku menyesuaikan semua deskripsi dari Reza ke cewek yang ada di depanku, menatap UGD nanar seolah aku tidak ada di sini.

      Tak salah lagi, dia pasti Lya yang sering dibicarakan Reza itu. terlihat dari caranya menatap pintu kaca dengan khawatir, dia pasti orang yang dekat dengan Anya, tepatnya sepupunya.

      Lya berbalik ke kanan, memperhatikan Kira dan Grace yang tertidur, cewek yang masih mengenakan jas kuliah itu terlihat benar-benar berantakan. Wajahnya lelah, dan rambutnya tidak beraturan.

      Aku terkejut ketika ia menoleh dan menatapku. Sepertinya ia juga terkejut dengan kehadiranku di situ. Cewek berwajah sangat mirip Anya itu menyipitkan matanya ke arahku, terlihat menerawang dan berpikir.

      "Kamu ... yang namanya Aidan?" tanyanya sambil memiringkan kepala. Aku tersenyum, wajah dan ekspresinya yang seperti itu mengingatkanku pada Anya. Namun persepsi itu justru terlihat meremehkanku, menambah rasa cemasku pada cewek itu semakin bertambah.

       Aku menghela napas berat, lalu menoleh dan memandang Lya. Sebenarnya aku bingung, dari mana Lya tau namaku.

      Dengan rasa penasaran tinggi, aku mengangguk sembari menatap manik matanya yang kecokelatan.

      Lya tersenyum paksa, dapat kubaca dari matanya, ia menyimpan sesuatu yang ikut membuatku gusar dan gelisah. Lya menatapku serius, lalu cewek itu berkata, "Kita harus bicara."

***

      Entah sudah berapa sketsa wajah yang telah kugambar. Mungkin sudah dua puluh atau lebih. baru kali ini aku merasa benar-benar buruk, membayangkan Anya di sana, terbaring di tempat tidur rumah sakit membuat emosi dan sesalku bertambah.

      Kenapa kau keras kepala mengikutiku?

     Kenapa kau yang harus menahan sakit?

      Dan yang lebih buruk lagi, kenapa aku harus menyukaimu sekarang? Di saat semuanya sudah terlambat.

      Aku menyandarkan belakang kepalaku pada tembok kamarku yang dingin, tak menghiraukan bagian leherku yang lecet.

      Aku meringis frustasi, lagi-lagi merobek dan melempar kertas itu ke lantai. Lantai penuh dengan remasan kertas yang berceceran. Aku duduk menyandar dinding, menatap kosong kea rah luka di kakiku yang tak kunjung kering semenjak kemarin.

      Seluruh emosi di dalam diriku benar-benar membuatku ingin melampiaskannya dengan melempar seluruh barang yang ada di sekitarku. Aku kesal pada diriku sendiri.

      Yang dengan bodohnya, melindungi Anya, tanpa sadar bahwa aku sendiri pernah melukainya.

      Yang dengan bodohnya, tidak sadar dengan perasaannya sendiri, dan akhirnya mendapati dirinya menginginkan setiap momen bersamanya lebih banyak.

      "Sekarang sudah berakhir 'kan?" tanya Lya, membuatku bingung sendiri. Cewek bermata cokelat itu menunduk, dapat kulihat rasa bersalah di raut wajahnya. "Maaf."

      Sedikit firasat buruk muncul di benakku. Dengan mata yang menajam, aku berkata, "Kenapa lo minta maaf? Ada sesuatu?" tanyaku was-was.

      "Gue ... mau lo jauh dari Anya, jangan datang ke rumah sakit kalau dia sudah sadar," ucapnya tegas, namun dapat kulihat matanya menyorot sendu.

      Mataku melebar, jantungku berpacu lebih cepat. "K-kenapa?" tanyaku, mataku meredup. Rasanya semua angan-angan ku buyar. Menyisakan kecewa besar yang membuat rahangku bergetar, tidak tau mau mengatakan apa. Namun sisi aku mengerti, aku tahu.

     Tidak ada lagi alasan untukku pantas muncul lagi di depannya.

     Bahkan aku tidak berani melihat wajah Lya.

      "Orang tua Anya udah denger soal peristiwa ini, dan karena itu mereka mau Anya ikut denganku ke Seattle," ucapnya datar. "Mau tidak mau, Anya harus ikut. Dia gak lagi dikasih pilihan buat tinggal."

     Hening, aku diam menatap meja. Datar, kepalan tanganku mengeras. Pikiranku kacau. Keinginanku sesaat setelah ia terbangun, mendadak hilang. Aku terdiam, tak mempedulikan Lya yang menatapku serba salah.

       Suasana heningnya malam tidak kunjung pecah. Aku dengan pikiranku yang kacau, jantungku yang berdegup kencang masih menatap kosong. Sampai akhirnya Lya berkata, "Sebentar lagi."

       Dua kata itu sukses membuatku mengangkat kepala. Menatapnya tajam, mengisyaratkan bahwa aku menunggu penjelasannya.

      Lya menghela napas berat, dan berkata, "Kami bakal pergi, secepatnya."

      Aku dengan bodohnya tidak tau sama sekali, bahwa semuanya sudah terlambat.

      Aku menggeram, mengacak rambutku frustasi. Rasanya setiap perlakuanku terus terngiang. Bagaimana aku tidak tau ia sedang menahan sakit, namun aku sibuk menceritakan tentang orang yang aku sukai.

       Bagaimana ia berharap bahwa aku menggambar dirinya, namun aku malah memberikan kertas gambaranku, yang bergambar rupa orang lain.

       Rasanya sedih ketika mengetahui; kau menginginkan waktu lebih bersama seseorang di saat waktumu akan segera habis, bahkan sebelum kau melakukan sesuatu yang benar-benar berarti baginya.

***

Kira's POV

       Aku melihat Anya terbaring di tempat tidur. Matanya menutup tenang, rasanya menyedihkan melihat orang yang sering kautertawakan, menertawakanmu, atau tertawa bersamu sekarang tidak bisa melakukan apa-apa.

      Jika itu belum cukup menyedihkan, ditambah lagi dengan pernyataan bahwa orang yang pernah kausayangi, atau mungkin yang masih kausayangi adalah penyebab terjadinya semua itu.

       Aku Cuma bisa mentap Anya dengan tatapan kosong, namun menyimpan sedih. Biasanya siang-siang begini, kami berdua sudah jalan ke mana saja, membeli es serut di depan perumahan, atau sekadar menonton film di rumahku sambil memakan popcorn bikinan sendiri.

      Tapi apa yang kau lakukan di sana, Anya?

       Semua pikiran itu benar-benar ingin membuatku menangis. Oh, ayolah. Dia pasti bangun kok, dia pasti bangun. Cuma koma biasa, operasinya kan berhasil.

      Berapa kali aku mengucapkan kalimat itu, tapi Anya belum juga bangun. Membuatku duduk-berdiri-duduk-berdiri gelisah.

       Aku memperhatikan wajah Anya yang sekarang dihiasi luka-luka biru dan perban.

        "BERHENTI!" aku dan Grace berteriak histeris seperti mau mati ketika melihat di dalam pondok itu, seseorang memegang balok kayu besar, lalu mengangkat dan hendak mengarahkannya kepada Aidan dan Anya yang terduduk di pojok ruangan.

       Dengan cepat, walau penuh ketakutan, orang waras mana yang ingin sahabatnya dipukuli begitu saja dengan balok kayu? Maka aku dan Grace nekad berlari dan menahan balok kayu itu hingga berhenti di udara.

      Mataku menatap nanar begitu cahaya bulan menyinari wajah si pemukul. Jantungku berdegup kencang, di saat itu juga, rasanya seluruh ketakutan bahkan lenyap, namun diganti dengan kecewa yang dalam. Kulihat wajah Dino ikut menatapku.

     Hanya ada terkejut, dan amarah.

     Tapi aku juga tau, matanya menyorot sedih.

      Kalau boleh jujur, Anya. Aku benar-benar ingin menangis terisak, kau tau? Dino di sana, hendak membunuhmu seperti monster. Faktanya aku masih menyayanginya, dan itu semakin membuat rasa bersalahku padamu bertambah.

      Saat melihat cowok itu dimasukkan ke dalam mobil polisi, otakku secara otomatis memutar setiap canda tawa yang ia lontarkan. Namun setiap aku menutup mata, otakku juga secara otomatis memutar kejadian di mana ia benar-benar menghajarmu sampai dioperasi begini. Akhirnya yang ada cuma rasa kecewa.

      Aku tau kau bosan mendengar celotehanku yang bodoh ini.

      Tapi akhirnya gue tau, menyayangi seseorang itu punya konsekuensi. Kekecewaan adalah salah satunya.

       "Sekarang gue nyesel, Anya." Ada satu kalimat yang berhasil keluar dari pikiranku. "Bukan cuma karena gue merasakannya sekarang. Tapi juga karena lo pernah merasakan hal yang sama, dan gue yang jadi penyebabnya."

      Aku tidak tau rasanya sesakit ini. Jadi maafkan aku waktu itu.

      "Maafin gue, Nya," ucapku pelan dan serak. Aku lagi-lagi mengusap air mataku kasar.

      Menggelikan sekali hari ini aku harus menangis seperti anak kecil di depanmu. Kalau bertaruh, kau pasti akan menetawakanku sekarang.

      Untuk mengalihkan perhatian diriku sendiri, aku mencoba menelpon Grace. lama sekali nada panggilan terus berbunyi sebelum ia mengangkat teleponnya.

      "Grace lo di mana?!" tanyaku sok panik.

     "Di mall, kenapa? Ini kan liburan," ucapnya tak peduli.

      "Bisa-bisanya lo ya, Anya lagi krisis ini, Nyet!" seruku 'sok' panik. 

      "Apa peduli gue?" ucapnya sok enteng, padahal nada suaranya meninggi satu oktaf.

      "Yaallah! Anyaa! Hiks," seruku seperti hendak menangis.

      "Eh, eh, lo kenapa?! Kir-"

       Aku mematikan sambungan telepon dengan senyum penuh kemenangan. Percaya atau tidak, Grace sebenarnya adalah anak yang baik. Terlihat dari tingkahnya sewaktu kami melakukan 'petualangan' kemarin. Hanya saja jika ia sedang marah, bisa membuat orang mana pun menjambak rambut pirangnya itu. Aku contohnya.

     Aku hampir terlonjak dari kursi begitu kulihat Kak Lya tiba-tiba membuka pintu. Sejak kemarin, Kak Lya seperti mayat hidup. Tak terkendali dan berantakan.

      "Anya belum bangun juga?" tanya Kak Lya padaku. Perempuan cantik itu melangkah ke tepi tempat tidur Anya. Memperhatikan wajah adik sepupunya dengan wajah yang sendu, bahkan air di pelupuk matanya hampir turun jika ia tidak berkedip.

       Aku menghela napas berat. "Belum, Kak," ucapku lemas.

       "Gue kasihan sama dia," cicit Kak Lya nyaris tak kudengar, ia melangkah satu kali hingga tangannya menyentuk siku Anya. "Bahkan pas koma, pas di rumah sakit, Nyokap atau Bokapnya gak ada."

       Aku menelan ludah sesak. Teringat kejadian sewaktu di perpustakaan waktu itu. "I-iya, Kak," jawabku sembari menunduk dalam.

     Hening. Hingga aku memutuskan mengalihkan perhatian Kak Lya.

     "Kak Lya hari ini gak ada kuliah?" tanyaku langsung.

      "Hari ini sebenarnya ada quiz, Kir. Tapi, gue gak bisa ninggalin Anya," ucap cewek yang seperti 'fotokopi'-nya Anya itu.
   
       "Astaga, Kak. Biarin aku aja yang jagain Anya, Kakak pergi kuliah dulu aja." Lagipula di rumahku tidak ada orang, lebih baik aku di sini menjaga Anya.

      "Wah?! Tapi sampai malam lo, Kir. Jam setengah sembilan baru pulangnya, lo gak apa-apa tinggal di sini sampai jam segitu?" tanya Kak Lya khawatir.

      "Gak apa-apa kok, Kak. Di rumahku gak ada orang," ungkapku meyakinkan.

     "Kalau gitu gue pergi dulu ya, maaf ngerepotin Kir." Kak Lya segera mengambil tas nya di kursi dekat tempat tidur Anya. "Dan ohya, kabarin kalau Anya udah sadar ya."

      Aku cuma bisa tersenyum sambil memperhatikan Kak Lya keluar dari kamar. Sesaat setelahnya, aku teringat seseorang.

Flashback

     "Aidan, astaga kaki lo," ringisku melihat penampilan Aidan sesaat setelah aku bangun dari tidurku di kursi tunggu kemarin malam. Mataku melebar begitu melihat celana jeans hitamnya yang dipenuhi darah.

      Kuingat lagi tentang kakinya yang kena sayatan, namun masih memaksakan berdiri sambil menggendong Anya. Pasti lukanya sakit dan parah sekali.

      Tapi seakan tidak merasakan sakit, cowok itu malah menatapku datar. Dan astaga! Wajahnya lebam-lebam. Matanya membengkak, bibirnya berdarah, dan pipinya membiru. Ia babak belur.

       "Kalau Lya udah pergi kuliah, kabarin gue," ucap Aidan parau. "Dia ngelarang gue jenguk Anya, jadi tolong kabarin kalau dia lagi gak ada."

      "K-kenapa Kak Lya ngelarang lo je-"

      "Ceritanya panjang," potongnya. "Gue ... Cuma mau liat Anya."

       Kalau saja atmosfernya tidak setegang ini, aku pasti bakalan berteriak. "ACIEEEEEE!" sambil tersenyum jahil. Tapi untuk sekarang rasanya itu tidak wajar.

       Aku cuma menatap punggung cowok berjaket hitam itu perlahan berjalan menjauh, dengan kaki yang terpincang-pincang.

Flashback end

     Walau agak ragu, aku buru-buru mengambil ponsel.

14:17 p.m

Sent to: Aidan.

      Buruan ke sini, Dan. Kak Lya udah pergi kuliah, bakalan pulang jam setengah Sembilan malam nanti.

      Dengan keyakinan bahwa Aidan tidak mungkin melakukan hal buruk di saat aku tau dia yang babak belur karena menyelamatkan Anya, aku mengirim pesan singkat itu ke nomor Aidan.

      Aku yakin, Kak Lya melarang Aidan menjenguk Anya adalah karena sebuah alasan yang tidak kuketahui.

      Aku mengernyitkan dahi, berkata di dalam hati, "Tapi apa alasannya?"

***

Aidan's POV

       "AIDAN lo mau ke mana?!" seru Reza emosi begitu melihatku tiba-tiba berlari terpincang-pincang dengan uring-uringan menuju pintu rumah, memegang jaket dan kunci mobil di tanganku.

       "Lo pikir lo bisa seenaknya keluar lagi setelah kemarin malam lo pulang dengan kondisi babak belur parah?!" teriaknya, menghadang jalanku.

     "Minggir," ucapku hampir berbisik.

     "Heh, lo kenapa hah?! Liat wajah lo, bengkak besar di mata kiri lo itu ngeri!" seru Dino. "Dan, astaga! kaki lo masih berdarah! Lo sebenarnya sadar apa enggak?!"

      "GUE BILANG MINGGIR!" teriakku emosi.
 
     Mendengar itu, mata Reza menajam. Sudah lama aku tidak melihat raut wajah tegas Reza yang mengintimidasi. Seperti yang ia tunjukkan sekarang. Ia menyipitkan matanya, "Apa karena Dino?" ucapnya pelan. Namun tajam.

       Aku terdiam sesaat, menunduk memandang betisku yang luka parah. Di saat itu juga, aku bisa merasakan mataku yang membengkak terasa berdenyut-denyut. Bibirku yang berdarah juga baru terasa perih.

      "Tolong biarin gue keluar, Rez" ucapku, menatap mata Reza dan sorot yang tidak kalah tajam. "Lo menghambat semuanya."

     Reza mengerutkan dahinya.
  
      "Iya, ini soal Dino."

      Dengan satu kalimat itu, kini aku terduduk di mobil sembari menginjak pedal gas kuat-kuat. mengabaikan luka di betis kananku.

14:20 p.m

Sent to: Kira

Gue udah di jalan.

***

      "Eh, Aidan! Ngetuk dulu napa?" kudengar suara Kira samar-samar dari pojok ruangan.

      Namun tidak kufokuskan karena mataku sibuk menangkap satu objek, seseorang yang menutup mata, terbaring lemas di temat tidur. Aku melagkah maju.

      Kulihat wajah Anya. Rasanya bingung ingin melakukan apa. Wajahnya lebam, penuh perban di sekujur tubuhnya. Rasa bersalah yang telah menumpuk selama berhari-hari, yang tidak membiarkanku tidak barang sejam pun, membuatku ragu muncul di depannya, berbicara padanya.

      Tapi ada rasa yang lebih besar.

      Jadi aku hanya tetap berdiri, menatap ke arahnya dengan berbagai macam perasaan yang campur aduk. Tidak peduli kepalaku yang sudah mulai pusing karena bau khas rumah sakit. Yang mengingatkanku pada Ibu yang dulu sering sakit-sakitan.

      Seakan ditampar bolak-balik, kenyataan lewat dan mengatakan hal yang membuatku meringis. Menatap cewek itu sendu, kosong . Tau, bahwa dia akan pergi tak lama lagi

      "Woy!" lamunanku buyar seketika. Sontak aku langsung menatap Kira yang tanpa kusadari, sudah berdiri di tepi tempat tidur yang berlawanan.

      "Gue dikacangin mulu dari tadi," ucap Kira jahil. "Ngeliatin Anya segitu amat, suka ya?"

       "Iya, kenapa?" jawabku spontan.

       "Gila, lo to-the-point banget ternyata," katanya sambil memasang ekspresi takjub yang berlebihan. "Seandainya gue ngerekam ucapan lo yang tadi."

      Selanjutnya hening. Aku dengan pikiran yang cuma terfokus pada satu subjek, dan Kira yang entah memikirkan apa.

     "Aidan, soal lo yang di perpustakaan ama Anya itu...,"

     Mataku melebar,  aku menoleh pada Kira.

     "lo ... serius?" tanyanya ragu-ragu

     Aku terdiam sesaat. Lalu menoleh pada Anya dengan tatapan sendu.

     Pada hari itu, bagaimana perasaanmu, Anya?

       "Enggak, waktu itu gue masih belum sadar kalau ternyata gue udah gak ngerasain apa-apa lagi, gue belum sadar kalau itu cuman ingatan gue doang."

       Kira tersenyum lalu berkata, "Kalau sekarang?" tanya Kira jahil, dasar pengalih pembicaraan yang ulung. "Lo suka sama Anya sampai gimana?"

      Sampai gue takut setengah mati kalau dia pergi.

      "Gak tau."

       Kira mendesis lagi dengan cara yang berlebihan. "Yee! Yaudahlah, gue mau pergi dulu," ucapnya lalu kemudian bangkit dari duduknya. Belum sampai setengah langkah menuju pintu, cewek itu berhenti lalu menoleh lagi.

       "Eh, by the way, lo gak bakalan ngapa-ngapain temen gue, kan?" tanya Kira setengah bersungguh-sungguh.

       Aku memutar bola mata sembari menghela napas. Dengan malas aku berkata, "Gue bakal lempar dia ke luar jendela-ya enggak lah," jeda. "Logak lliat kemarin gue di depan Dino ngapain?" 

      Sialan, salah ucap.

      Mendengar nama itu, mungkin Kira teringat semua perbuatan cowok itu. Raut di wajah Kira berubah menjadi agak canggung, cewek itu menunduk lalu tersenyum paksa, "Awas kalau lo ampe ngapa-ngapain Anya." Kira tertawa kaku. "G-gue pergi dulu."

      Sebenarnya, berada di posisinya juga adalah hal yang sulit. Aku tau betul itu. Karena kami memiliki sedikit kesamaan; Akan meninggalkan, dan ditinggalkan. Oleh orang yang mengisi kepala kita hampir setiap saat.

      Aku menoleh dan menatap Anya dengan mata sendu. "Kalau lo udah mau pergi," aku menghela napas pelan. "Mari bikin banyak hal yang bisa lo ingat di kemudian hari."

***

Kira's POV

      "Pak, saya turun di sini aja," ucapku kepada sopir taksi berbaju biru itu, setelah menyerahkan uang, aku segera turun dan menatap bangungan di depanku dengan sorot penuh keraguan.

      Kantor polisi.

      Perlahan tapi pasti, aku melangkah masuk. Setelah menjelaskan keteranganku untuk datang ke sana kepada sosok bertubuh besar yang menjadi penjaga, aku diperbolehkan masuk.

       Di sana aku diantar menuju salah satu ruangan, yang sukses membuat mataku melebar begitu melihatnya duduk sendiri di sana, di kursi besi sambil menatap meja di depannya.

      Melihatnya seolah kosong dan suram seperti  membuat aku sendiri ingin segera berlari ke arahnya, mengatakan kalau semuanya baik-baik saja, mengatakan kalau semuanya bisa kita lewati dengan baik, seperti yang biasa ia lakukan padaku.

       "Tapi mengetahui fakta kalau aku cuma bisa berdiri membeku di luar ruangan, memandang dan berusaha keras untuk tidak menangis seperti anak kecil di sana.

      Aku mengepalkan tangan, ingin sekali aku berlari ke sana dan tersenyum padamu. Tapi setiap kali aku ingin mengambil langkah, pasti ingatanku memutar kejadian di mana kamu terlihat seperti monster. Ingin memukul sahabatku sendiri. Mencelakainya hingga sekarang tidak sadar di ranjang rumah sakit.

      Sebenarnya sangat lucu aku masih datang ke sini kan, Dino?

      Tapi aku merindukanmu. Kamu yang sudah lama berubah. Kamu yang seolah mengerti segalanya tentangku, kamu yang membuatku tertawa.

      Bukan kamu yang hampir membunuh sahabatku, yang menempatkanku di posisi serba salah, yang membuatku menangis.

      Melihat kamu yang babak belur parah di sana, dengan wajah yang mengerikan karena tertutup bengkak dan lebam. Rasanya benar-benar mengerikan karena aku tidak bisa melakukan apa-apa dan cuma bisa diam saja.

       Lalu waktu seolah berhenti. Ketika kamu melihatku, kita saling bertukar pandang, kau di sana, duduk di kursi dibalik jeruji besi. Kulihat wajahmu pusat pasi, terlihat kacau tapi kenapa kamu masih bisa tersenyum? Kenapa lagi-lagi kamu mengisyaratkan "semuanya baik-baik saja." dengan gerakan bibir ketika aku tidak tahan lagi dan akhirnya menangis?

      Padahal kamu yang menahan sakit. Padahal kamu yang membutuhkanku di sana.

       Tapi kakiku melangkah mundur, Dino.

      Aku terlalu takut menghadapimu, berbicara padamu. Rasa kecewa membuatku berbalik arah, melangkahkan kakiku keluar dan menjauh.

      Tapi seiring aku berjalan, seiring langkahku menjauh, rasa suka tetap ada. Yang membuatku menyesal, membuatku ingin kembali.

      Namun sepertinya, rasa kecewaku menang. Langkahku semakin melebar, menjauh, dan akhirnya pergi. Menahan rasa suka yang walaupun kalah, masih tetap membuatku menangis terisak sepanjang perjalanan.

       Oleh karena itu, Dino. Aku berharap kamu tidak benar-benar suka padaku, tidak benar-benar menyayangiku.

      Karena aku tidak ingin kamu merasakan hal yang sama."

***

Anya's POV

      Aku melihat sekitarku. Mataku nyeri dan panas ketika cahaya silau dari lampu di atasku seperti menerobos dan menusuk mata. 

      Membuatku menutup mataku lagi, lalu membukanya kembali sambil menahan silau, entah berapa lama aku menutup mata hingga penglihatanku terlihat begitu aneh sekarang.

        Ketika siluet-siluet buram itu berubah menjadi jelas dan detail, aku mendapati diriku sedang berbaring di tempat tidur, aroma khas rumah sakit langsung memasuki hidungku.

      PLAK

      Aku merasakan balok kayu itu memukul punggungku, membuat luka yang cukup dalam di sana. perlahan napasku mulai menipis, sesak di dadaku bertambah. Kulihat wajah Aidan samar-samar, tetapi sesaat setelahnya, mataku memaksaku berhenti.

       Di saat itu jugalah, punggungku terasa ngilu dan nyeri, sehingga niatku untuk duduk kuurungkan kembali. Ingatan-ingatan mengerikan yang entah sudah beberapa hari yang lalu itu seolah bisa mengirimkan rasa sakit ke sekujur tubuhku.

      Berusaha melupakan tentang hal itu, aku bertanya dalam hati. Lalu jika aku di sini? Ke mana orang-orang?

      Aku menyapu pandangan ke sekeliling ruangan, aku terhenyak begitu mataku terpaku kepada seseorang yang ternyata sedari tadi menemaniku.

         "Aku teringat kamu yang waktu itu tiba-tiba datang, dipukuli, ditendang, hingga betismu terkena sayatan dalam yang parah sekali. Sesaat setelah itu, aku ingin tau kabarmu, apa yang terjadi padamu.

       Mataku menerawang ke seluruh pelosok ruangan segi empat itu, lalu mataku melebar terkejut kala melihatmu tertidur duduk di sisi tempat tidurku, kepalamu bertumpu pada kedua lipatan tanganmu yang berada di atas pinggir tempat tidur.

      Wajahmu lebam, bengkak, dan bibirmu berdarah.

       Kamu yang malam itu datang, padahal harapanku padamu sudah habis.

       Malam itu terlihat seperti adegan klise pada film-fim remaja, yang selalu kuanggap cheesy. Tapi kali ini kenyataan seolah menampar, ketika aku mendapati diriku sendiri tersenyum lembut ke arahmu.

       Aku akhirnya tau, adegan cheesy itu seratus delapan puluh derajat berbeda ketika pemeran utamanya adalah aku, Aidan.

        Mungkin kau tidak tau, sudah lama sekali aku mengharapkan ini, melihatmu dengan wajah yang tidak dingin,tidak datar. Melainkan tenang.

      Malam itu aku benar-benar tersenyum.

       Karena aku berhasil melihatmu dengan ekspresi yang setenang itu, seteduh itu untuk kali pertama. Rasanya waktu berhenti, dan seterusnya akan seperti itu.

       Nyatanya waktu selalu punya trik-nya sendiri. Kala itu, meskipun aku merasakan waktu sedang berhenti, tapi ternyata waktu justru berputar lebih cepat dari yang kuharapkan.

       Dan membuat semua yang terjadi pada malam itu menjadi kali terakhir pula.

       Nyatanya, Aidan, semua pemeran utama yang mendapatkan adegan manis dan klise tidak semuanya mendapatkan akhir yang manis pula."

***

4000 Words. terima kasih atas 9k readers dan 1k votes-nya!;) semoga angka itu semakin meningkat dan meningkat lagi. Ohya, dua minggu ke depan saya sudah mulai ujian naik kelas menuju kelas sembilan. Jadi mungkin untuk sementara ini chapnya pendek pendek dulu ya:( maaf soal hal itu dan semoga kalian sukaa

🌹,
Lycha



Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

2.9M 164K 40
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...
The Ugly Truth Par The Lazy Alien

Roman pour Adolescents

57.7K 2.4K 44
Sebenernya, happy ending itu ada beneran gak sih? Apa karma benar - benar nyata? Apa kehidupan yang di novel - novel itu beneran ada? Yang selalu ber...
266K 8.7K 38
WAJIB FOLLOW SEBELUM BACA! COMPLETE ✅ HR #72 in Fanfiction 17/05/2018 Ketidak tahuanya akan maksud buruk dari lelaki yang menikahinya, membuatnya har...
1.5M 55.2K 20
Sebagai perempuan modern yang sukses dalam karier, dijodohkan adalah sesuatu yang sangat konyol dalam hidupku. Tapi ketika aku mulai mengenalnya apak...