Moonlight Sonata

Autorstwa x_lady_x

148K 5.1K 220

Sejak awal kau memang tak tergoyahkan... Sejak awal pilihanmu adalah dia... Akulah yang masuk ditengah-tengah... Więcej

Moonlight Sonata
Chapter 2 : Photoshops get real!
Chapter 3 : Why so hurt to loving you, Husband?
Chapter 4 : Your smile in our wedding photo is...for her?
Chapter 5 : Like mother, like...daughter???
Chapter 6 : You are more stupid than I thought, Eve!
Chapter 7 : The next second, we both on fire...
Chapter 8 : I am being so addicted to you...
Chapter 9 : Thanks for gave me a sister..,
Chapter 10 : Stop over acting! (Eve POV)
Chapter 10 : It's not a big problem, I've just...almost get killed! (Author POV)
Chapter 11 : So...you like to 'playing' with ice cream? (Jackson POV)
Chapter 12 : Trust you...or her?
Chapter 13 : Every choice has a risk..!
Chapter 14 : Wanna try a new style?
Chapter 15 : Ending
Bonus Chapter (Jackson POV)

Chapter 1 : This is how I could taste your lips

11.1K 361 9
Autorstwa x_lady_x

            Aku bahkan tak pernah yakin bagaimana harus mengucapkan kata ‘bersedia’ dalam pernikahanku sendiri. Apa hatiku sudah cukup besar untuk memulai semua ini? Apa sudah cukup besar untuk menyimpan semuanya? Apa aku sudah siap mengarungi bahtera yang timpang ini? Apa benar...aku siap?

            “Ya, aku bersedia...” itulah yang meluncur dari bibirku yang kemudian menjadikan aku terlahir kembali sebagai seorang isteri dari seorang pria yang aku tak tahu mencintaiku atau tidak. Bahtera rumah tangga ini tidak akan bertahan lama, hanya ditopang oleh cintaku saja. Cintaku yang egois. Dan akhirnya mengombang-ambingkan aku dalam ketidakpastian. Haruskah aku teruskan? Tapi, bukankah untuk bercerai terlalu cepat? Pernikahanku baru saja diresmikan sepuluh menit yang lalu. Sudah kepalang basah, kenapa tidak berenang sekalian?

            Aku terus menikmati raut-raut wajah bahagia yang menghadiri pernikahanku dengan Jackson. Menikmati dekorasi dan dentingan piano yang mengiringi acara ini. Aku pantas mendapatkan ini semua. Semua ucapan selamat dan ciuman kebahagiaan memang pantas untukku. Aku adalah anak satu-satunya dan menderita ataupun bersedih tak ada dalam kamus hidupku. “Nikmati saja sayang...jangan mempersulit keadaan,” bisikku pada Jackson. Senyuman hambar tersungging di wajahnya. Kusambut dengan senyuman manis meski hatiku tercabik. Tidak! Aku sama sekali tidak sedih. Jika ada perlombaan gadis paling bahagia di dunia maka akulah orangnya, akulah yang mendapatkan segalanya tanpa harus mengorbankan apapun yang kumiliki.

***

            Baru tiga hari sejak pesta pernikahanku yang adalah putri semata wayang keluarga besar Sugar dengan putra bungsu keluarga Miller. Kami berdua bergegas pulang pada hari kedua setelah malam pertama. Seharusnya kami menghabiskan waktu seminggu, tapi aku justru ingin segera kembali beraktivitas, ingin segera melupakan pada malam mengerikan yang memalukan itu.

            Tak ada satupun yang tau kepulangan kami selain para pembantu yang terkejut karena terlalu cepatnya kami menghabiskan waktu yang seharusnya kami nikmati. Dan hari ini, para pegawai di kantor terlihat berbeda membuatku merasa tak nyaman. “Lina...apa yang terjadi? Aku baru meninggalkan mereka tiga hari dan mereka sudah berbeda, apa ada isu-isu tak sedap yang beredar?” tanyaku pada Lina sekretarisku. Lina terlihat ragu. “Katakan saja,” lanjutku tegas.

            Lina menatapku serius, “Aku akan mengatakannya sebagai seorang teman, Evelyn...kamu lebih dari tau situasi seperti ini seharusnya dapat kau cegah, mereka membicarakanmu karena bulan madumu yang tak sampai 3 hari, setidaknya kau bisa berdiam di rumah jika ada hal-hal yang tak membuatmu nyaman selama di hotel bersamanya,” dan tepat sekali perkataan Lina mengena hatiku. Aku meringis sambil menyandarkan punggungku di sofa, berusaha meringankan sedikit bebanku, “Tapi aku bisa apa? Aku sudah mendapatkannya tapi aku tak bahagia...aku tak bisa berpura-pura bahagia lagi,” aku menatap Lina, “kau...lebih dari tau tentang aku.., kan?” tanyaku.

            Lina terlihat menghela napas panjang dan berjalan mendekat ke arahku, tangan kirinya menepuk bahuku, “Aku...karena aku mengenalmu, sudah sejak dulu kukatakan untuk tak bermain api...sudah kukatakan untuk tidak selalu memaksa kehendakmu pada orang lain...manusia memiliki hati yang tidak bisa dihitung dengan angka, bahkan untuk dijabarkan dengan kata-kata pun sukar, sayang...” Lina sudah akan menjauh dan keluar dari ruangan tapi sebelum dia membuka pintu, aku memanggil namanya. Lina menoleh. “Lalu kenapa kau bertahan denganku, apa yang selama ini kau inginkan dariku?” Lina tersenyum.

            “Aku mengenalmu bukan satu atau dua tahun, aku mengenalmu jauh dari sejak kita mengenal apa itu kosakata, aku mengetahuimu sejak dulu, dan bagiku hubungan kita lebih dalam dari sebuah pertemanan atau persahabatan dan semacamnya, dan juga karena kamu berbeda, kamu tidak menganggap orang selalu baik namun ada kalanya membuat kesalahan, sejauh aku mengenalmu hingga detik ini, aku belum menemukan kesalahan pada tindakanmu, hanya saja kamu memiliki cinta yang terlalu besar yang bahkan kau sendiri tak mampu menghadapinya...aku sebagai seorang teman, sebagai seorang saudara, dan juga sebagai sekretaris kepercayaanmu akan mendukung setiap langkah dan kebijakan yang kau tentukan, Nyonya Miller..,” aku menengadahkan kepalaku kelangit-langit sambil bersandar di sofa. Tak lama terdengar bunyi pintu tertutup.

            “Lina...aku ternyata hanya manusia biasa...aku juga...bisa salah...aku juga bisa...” aku memejamkan mataku sambil menggigit bibir bawahku kuat-kuat, “salah...” lanjutku dalam hati. Butiran panas mengalir menjadikan anak sungai di wajahku.

***

            Papa bilang cinta itu berkorban. Mama bilang cinta itu tak pernah salah. Tapi kurasa untuk menempatkan Jackson dalam pihak yang berkorban bukan hal yang hebat untukku, akulah yang akan berkorban agar kau menoleh, atau setidaknya melirik padaku, pada cintaku yang terlalu besar dan tak kuasa kusimpan sendiri. Aku ingin membaginya bersamamu, Jackson, suamiku.

            Aku memang tak hebat untuk membuat sarapan, tapi setidaknya untuk hanya sekedar telur dadar aku bisa. Telur dadar tanpa minyak dengan irisan tomat ceri, beberapa baso ikan, sudah cukup untuk porsiku. Kubuat sedikit ekstra besar untuk Jackson,  dia pria dan membutuhkan energi lebih banyak. “Selamat pagi, sayang...” sambutku pada Jackson. Matanya melirikku seolah aku, dan masakanku, adalah sampah baginya. Tanpa menyentuh makanan atau pamit, dia langsung pergi. Aku buru-buru mengejarnya, “Sayang...” panggilku sambil mengikuti langkah kakinya yang cepat, “kamu tidak sarapan?” Jackson tak memerdulikan pertanyaanku dan langsung pergi dengan motor ninjanya. Begitupun hari-hari selanjutnya, Jackson sama sekali tak memperdulikanku. Dia jarang dan bahkan tak pernah mau bicara denganku. Semua perhatianku tak menarik simpatinya sedikitpun. Tiap malam hanya ada sepi dan dingin, Jackson selalu pulang saat subuh membuatku frustasi.

            Lina menatapku cemas, lingkaran hitam di bawah mataku tercetak jelas. “Apa ketidak bahagiaanku tertulis jelas, Lin?” tanyaku pelan.

“Evelyn...hentikan semua ini...kau dan dia tidak bahagia...” Lina meremas pundakku pelan, seperti menguatkan bahuku yang akhir-akhir ini begitu turun, memberiku sedikit ketabahan hanya dari tatapan matanya. Meskipun solusi yang diberikannya hanya menghancur hatiku.

            Aku menatapnya lemah, “Aku...masih belum mau menyerah...” Lina menghela napas panjang. “Baiklah...aku mau melanjutkan pekerjaanku..,” kataku lirih. Lina menepuk pundakku, “Jika ada yang bisa kulakukan, tolong katakan padaku...teman,” ia tersenyum manis, cukup manis untuk membuat hariku tidak terlalu pahit. Beruntungnya aku memiliki sahabat sepertinya, dia...tidak menghakimiku. Aku tersenyum kecil kemudian Lina berbalik berjalan keluar dari ruanganku.

***

            Siapa bilang terjebak macet membosankan? Aku dapat menyusun segala macam cara untuk memikat Jackson. Aku tersenyum memandang fotonya, “Kau tampan sekali saat tersenyum..,” dan saat itu aku melihat seseorang mirip suamiku bersama seseorang yang mirip sahabatku dari seberang jalan, Jackson dan Lina, dahiku berkerut.

            Yang kulihat adalah wajah Jackson yang seperti memohon dan wajah Lina yang mengeras. Mereka terlihat berargumen panjang sebelum akhirnya...Jackson menarik Lina dan menciumnya di muka umum. Butiran panas mengalir perlahan di pipiku melihat suami dan sahabatku berciuman. Ciuman yang tak pernah kudapatkan bahkan sebagai isterinya. “Brengsek..!!!!” kupukul setir hingga tanganku rasanya mau lepas, kupaksa pandangan mataku agar tetap menatap lurus. Tapi air mata ini, kenapa tak mau berhenti.

            Kuputuskan untuk menginap di villa yang membutuhkan waktu 2-3 jam perjalanan, aku butuh waktu sendiri, setidaknya untuk saat ini.

***

            “Selamat pagi, Bu,” sapa Lina, aku memilih untuk tidak mengalihkan mataku dari laptop dan hanya membalasnya dengan ‘hmm’ saja. Dapat kutebak ekspresinya yang merasa aneh dengan perlakuanku, “Ini berkas-berkas yang Ibu minta kemarin,” lanjutnya. Bertindaklah profesional Evelyn, aku berhenti mengetik dan beralih pada Lina.

            Srreet, sreet srreet, duaar..., itu suara yang kudengar dari hatiku yang tercabik dan persahabatan palsu yang kuledakan. Bohong aku tak membencinya, aku bahkan ingin sekali berteriak di wajahnya, “KAU DIPECAT PEREMPUAN SIALAN...!!!” dari skala satu sampai sepuluh, aku memilih 15. Aku menarik napasku dan menghembuskannya pelan, “Terima kasih, kau boleh keluar,” aku tersenyum datar dan kembali ke laptopku.

            “Evelyn...” panggilnya seolah ingin menyampaikan sesuatu. Ya, aku menanti pengakuannya, tapi mulutnya hanya bisa terbuka-tertutup tanpa suara membuatku menggeram frustasi. “Putuskan dulu apa yang ingin kau katakan, sebenarnya aku tak ingin membicarakan masalah lain selain pekerjaan saat ini, aku...” kuhentikan pekerjaanku sebentar kemudian menyandarkan punggungku yang tegang, “lelah...” lanjutku sambil memejamkan mata.

            “Bisakah kau keluar?” tanyaku lirih, sebagian dari diriku mengutuk diriku, harusnya kau berteriak “KELUAR SANA, PENGKHIANAT,” bukan meminta seperti itu terutama pada orang yang sudah kau percayai tapi mengkhianatimu. “Dan, aku tak ingin bertemu siapapun,” kubuka mataku yang sudah berair dan kembali mengetik.

            Saat Lina keluar, bahuku kembali rileks. Dengan kedua tanganku, aku menopang dahiku dan saat itulah air mata kembali mengalir untuk kesekian kalinya, menghancurkan make-up yang sempurna. Aku menangis terus, padahal aku sudah menghabiskan semalam suntuk di villa dan meraung-raung seperti anak kecil tapi ternyata belum cukup.

            Intercom berbunyi, “Bu, ada Pak Jackson,” aku mengelap air mataku, kemudian mengambil tisu basah dan menghapus semua make-upku. “Suruh masuk, Lin,” jawabku berusaha menyembunyikan sisa-sisa tangisku. Aku mengeluarkan peralatan make-upku disaat yang sama, Jackson masuk. Dia menatapku sebentar kemudian menutup pintu. “Siapa yang menyuruhmu kemari?” tanyaku sambil terus memulas bedak.

            “Seseorang...” jawabnya yang langsung dapat kuduga siapa orang itu. “Kalau begitu temuilah orang itu,” balasnya enteng. Dasar tak berperasaan!

           

            “Aku sudah menemuinya jauh sebelum menemuimu,” ya, sepertinya pria ini sadar kalau aku sudah tahu perselingkuhan mereka. Aku menarik napas. Aku punya harga diri. Dan aku tak terbiasa kalah. Kupoles lipstik merahku dengan rata, dan setelah memastikan semuanya sempurna, aku menatapnya yang terlihat bosan kemudian berdiri berjalan menuju coffee-maker di sudut ruangan. Kutuangkan kedalam dua cangkir kecil. Satunya kuberikan pada Jackson. “Minumlah...kau butuh ini untuk menghadapiku,” aku terkekeh melihat rautnya yang datar dan culas. “Kita akan bicarakan lagi dirumah, aku tak mau salah satu pegawaiku mendengar pembicaraan kita dan menggosipkan aku lagi...” sudah jelas bukan? Aku sudah berada dalam tahap gila sekarang.

            Aku meminum kopiku pelan-pelan. Pria di depanku terlihat begitu tampan dengan balutan jas, wajahnya begitu segar meskipun rautnya datar, alis matanya tebal, rambutnya seperti berteriak padaku untuk menelusurinya dengan jemariku. Aku menghela napas kemudian duduk dan kembali mengetik, membiarkan pekerjaan menguasaiku seorang diri, meskipun sesekali aku meliriknya, “Dia tak tergoyahkan,” pikirku. Jackson meminum kopinya hingga habis kemudian berdiri dan keluar. Tanpa pamit lagi. Dasar tak beretika!

            Aku tersenyum melihat cangkir kopi yang sudah kosong. Entah kenapa, aku justru senang dan mengambil cangkir itu. Aku tertawa sendiri melihat bekas minumnya, “Maaf, dengan cara seperti ini aku mencuri ciumanmu,” kutempelkan bekas minumnya pada bibirku, berusaha meraih sedikit saja rasa dari suamiku. Sepertinya memang aku harus mengecek kalau-kalau aku sudah tak waras lagi.

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

695K 17.8K 11
saat menjaga nenek yang sedang dirawat di rumah sakit, Arty yang saat itu masih berusia lima belas tahun, diperkosa oleh salah seorang dokter magang...
4.8M 176K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
19.4K 3.6K 49
ROMANCE-FANTASY Kim Taehyung x Kim Sejeong Tidak ada yang pasti, nyata dan palsu. Semua hanya ilusi dan manipulasi. Kau takkan mempercayainya sampai...
35.7K 2.9K 20
Kau keluar dari semua ini, karena kekasihmu? Maafkan aku.. ** Aku berjanji kita akan menikah setelah ini, Aku mencintaimu. Aku menyimpan perasaanku...