SOMETIMES [DISCONTINUED]

By badgal97

131K 11.9K 1.8K

Allegra Stewart. Gadis bengis, rakus, aneh, angkuh, dan menyebalkan. Wajahnya juga tidak terlalu cantik. Yaa... More

PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 22
BAGIAN 23
BAGIAN 24
BAGIAN 25
BAGIAN 26
BAGIAN 27
BAGIAN 28
BAGIAN 30
AUTHOR NOTES
BAGIAN 31
BAGIAN 32
BAGIAN 33
BAGIAN 34
BAGIAN 35
BAGIAN 36
BAGIAN 37
BAGIAN 38
BAGIAN 39
BAGIAN 40
BAGIAN 41
BAGIAN 42

BAGIAN 29

2.1K 255 75
By badgal97

Bagian 29


Ia melihatnya. Ia melihatku.

Tubuhku terasa tersengat dan dibekukan sekaligus. Tak bisa kuambil alih sedikit pun. Iris matanya kini memancarkan sirat yang tidak kusukai, begitu dalam sekaligus menyakitkan.

"Justin,"

Dan baru saja aku mencoba melangkahkan kaki, ia berbalik lalu berlari. Membiarkan sebuket bunga yang jatuh begitu saja. Membiarkan aku yang meraung-meraung memanggil namanya tanpa henti. Justin, Justin. Nyatanya semua sia-sia. Aku tak tahu harus melakukan apa, terlebih, ketika Harry menahan tanganku untuk pergi.


Author's View


Piazza San Marco kini tampak ramai dikunjungi, baik oleh turis asing maupun rakyat Italia asli. Musik klasik yang dimainkan di tengah panggung tampak dinikmati oleh para pengunjung dengan segelas kopi hangat di meja masing-masing. Malam yang mereka habiskan terasa begitu indah. Ya, malam yang indah.

Dan semua itu jauh dari ekspektasi Allegra. Apa yang ia harapkan soal kesenangan di Piazza San Marco sama sekali tak ia dapatkan. Pikiran dan raganya seakan melayang jauh, berkelana tanpa berpulang. Membuat sosok Allegra hanya teronggok lemas di atas kursi tanpa menyentuh kopi hangat yang tersedia sama sekali.

"Alle," gumam Cara sambil menatap Allegra penuh iba. Ia tahu apa yang Allegra alami, apa yang membuatnya sedih. Tapi, seperti yang sudah diketahui, ia tak bisa berbuat banyak.

"Minumlah, nanti kopimu dingin." Selena menambahi dengan cicitan kecil. Takut jika Allegra tiba-tiba bertindak diluar dugaan dan menerkamnya. Pikiran yang konyol, tapi Selena sanggup membayangkannya bila itu terjadi.

Tanpa menghiraukan bujukan teman-temannya, Allegra bungkam. Ia hanya memandang kosong jemarinya sendiri yang terletak di atas meja, lalu memainkannya dengan halus. Ia benar-benar kalut dan benci mengalami hal sialan seperti ini. Setiap detik ulu hatinya terasa berkedut memancarkan rasa sakit. Pikirannya terus berkelana dan merutuki kesalahannya sendiri. Seperti, mengapa harus seperti ini? Mengapa harus dia yang mengalami hal menyakitkan seperti ini? Dan mengapa Allegra menjadi begitu... perasa? Mengapa Allegra harus kebingungan dalam menyikapi cinta? Holy crap, rasanya ia ingin menjatuhkan diri ke dalam jurang.

Dan Allegra bangkit secara tiba-tiba dari duduknya saat sudut matanya menangkap sosok Justin yang tengah berjalan cepat ke arah gerbang keluar kawasan Piazza San Marco. Tanpa peduli seruan teman-temannya yang banyak omong, Allegra berderap melewati meja-meja dan menyusul Justin. Dan tanpa peduli suasana ramai yang menyenangkan di sekitarnya, Allegra berteriak sekencang-kencangnya, tidak mau jika Justin terburu pergi dari pandangannya.

"JUSTIN!"

Dan Justin berhenti, beberapa pengunjung yang mendengar teriakan keras Allegra sontak memandangnya bingung. Lagi-lagi Allegra tidak memedulikan reaksi orang lain. Alih-alih ia berlari menyusul Justin yang kembali melanjutkan langkahnya.

"Justin!" seru Allegra lagi tanpa berhenti berlari. Justin sama sekali tidak menoleh, namun Allegra tahu lelaki itu mendengar seruannya.

"Justin! Tunggu!"

Allegra langsung mencekal tangan Justin saat itu juga. Ia berhasil menyusul Justin dengan berlari secepat mungkin dan mencegat lelaki itu agar tidak pergi. Justin terdiam di tengah langkahnya, dengan tangan yang terjaga oleh jemari Allegra yang menautnya. Tangan Justin terasa dingin, dan seketika itu Allegra gusar.

"Jangan menghindar, kumohon, dengarkan aku."

Justin perlahan membalikkan badannya, hingga iris mata karamel yang kini tampak memerah itu kini mengarah pada Allegra dengan telak. Mengunci, mengintimidasi. Wajah Justin dipenuhi keringat, dan Allegra bisa mencium campuran rokok dan alkohol juga parfum Justin yang menyatu.

Allegra mengerjap. Menahan diri untuk..bertahan. "Aku--"

"Pergi,"

Suara Justin terasa menusuk. Begitu tajam dan menghunus dalam. Lelaki itu kini memandang Allegra semakin berang, serasa ada kobaran api di pancaran matanya. Amarah menguasai Justin. Setelah sekian jam Allegra menunggu saat yang tepat, nyatanya ia mengambil waktu yang salah. Tetapi, Allegra tak peduli. Semua masalah ini harus segera diselesaikan, semua salahnya. Ya, dan jujur saja, Allegra tak bisa memungkiri penyesalan yang kini menderanya.

"Justin, aku--"

"Pergi,"

"Justin--"

"Pergi!"

Allegra tersentak, pertama kali baginya mendengar Justin membentaknya begitu keras. Keras dalam artian... kecewa. Justin kecewa padanya. Kebekuannya dalam bicara serta tatapannya yang menyiratkan emosi begitu dalam membuat Allegra gusar. Sekali lagi, jujur, Allegra menyesal. Apalah daya seorang gadis yang belum pernah berciuman sebelumnya. Dan kini ia dihadapkan dengan situasi sulit karena kebodohannya sendiri.

"Kubilang--"

"Aku tidak akan pergi sebelum kau mau mendengar penjelasanku!" seru Allegra memotong perkataan Justin dengan terbata. Entah apa yang membuatnya seperti ini. "A--atau paling tidak, aku ikut denganmu."

Allegra mendongak semakin berani kala kernyitan di dahi Justin perlahan mengendur, ekspresi Justin sedikit mengalami perubahan dan bisa Allegra lihat bibir Justin sedikit bergetar. Justin memalingkan wajahnya sekilas, seperti menolak mentah-mentah tatapan Allegra yang mengarah penuh padanya. Beberapa detik kemudian Justin kembali menjatuhkan pandangannya. Dan kobaran dalam sirat mata Justin tiba-tiba semakin besar. Deru napas Justin berhembus kasar.

"Jangan keras kepala, Stewart." desisnya tajam. "Cepat pergi dari hadapanku!"

"Tidak!" Allegra bersikeras.

"Pergi.sekarang!"

"Tidak akan!"

"Jangan salahkan aku jika kau kusakiti." Justin tersenyum miring. Jenis senyum culas yang... asing. Dan di detik berikutnya, senyum itu lenyap. "Pergi, Stewart."

"Harus berapa kali aku bilang, tidak??"

Justin mengusap wajahnya sekilas, deru napasnya semakin terdengar kasar. Rambut pirangnya yang kini berantakan semakin terlihat berantakan saat Justin menjambaknya dengan gerakan frustasi.

"Pergi," desisnya lagi lebih tajam. Justin harap Allegra menuruti peringatan terakhirnya.

"Kubilang, tidak!"

Justin mengerang. Tatapannya kian mematikan dan tak diduga ia menarik tangan Allegra lantas menuntunnya pergi dengan cepat. Allegra tertatih di belakang langkah Justin yang gusar. Mereka keluar dari kawasan Piazza San Marco dengan langkah gelisah. Dan Allegra tersentak saat rasa panas sekaligus kebas ini menjalar di sekitar pergelangan tangannya yang Justin cengkram. Itu menyakitkan.

"Justin!"

Menganggap seruan Allegra angin lalu, Justin berjalan semakin cepat dan cepat. Ia mengambil jarak yang besar di setiap langkahnya, kakinya terhentak bak melesatkan emosi di jalanan aspal. Mereka mulai memasuki kawasan parkiran.

"Justin!"

Allegra berusaha menahan rasa sakit di pergelangan tangannya. Namun rasanya cengkraman Justin semakin kuat dari detik ke detik. Allegra kontan meringis kala merasakannya, Justin bisa membuat pergelangan tangannya lecet. Ia yakin akan ada bekas merah yang menapaki telapak tangannya nanti. Terlalu menyakitkan, Allegra tak pernah dicengkram sekeras ini sebelumnya.

"Justin!" ringisnya lagi dengan kaki yang kian tertatih mengikuti langkah Justin. Lagi-lagi, Justin tak menghiraukannya. Allegra nyaris saja berteriak saat cengkraman itu kian menguat. "Hentikan!"

Seruan-seruan Allegra justru membuat Justin kalap, lelaki itu menarik pergelangan Allegra yang terasa sakit, membuat Allegra kian tertatih dan nyaris limbung. Langkah Justin semakin gusar, amarah kian menguasainya. Ingin rasanya Justin meninju seseorang saat ini.

"Hentikan! Kau menyakiti tanganku!"

Justin menyentakan tangan Allegra begitu saja, lantas berbalik cepat hingga pandangan mengintimidasi itu lagi-lagi mengarah padanya. Allegra membalas pandangan itu dengan tatapan tak percaya. Ia menggeleng kecil, lantas bibirnya bergetar kala menggumamkan kata. "K--kau menyakitiku!"

Jauh dari ekspektasinya, Justin tersenyum kecut lantas menyahut sarkastik. "Lantas bagaimana denganmu?"

Allegra terdiam.

"Sudah kubilang.." Justin kembali tersenyum kecut. "..enyahlah. Soal kau yang tersakiti, aku sudah meperingatkanmu sebelumnya."

Belum sempat Allegra membalas perkataannya, Justin berbalik dan pergi memasuki area parkir lantas menghampiri mobil Porsche hitam yang entah didapat dari mana. Saat itu juga Allegra merasa sesuatu dalam dirinya hancur. Kehancuran yang..asing sekaligus lazim. Pikirannya seakan beradu dengan banyak ingatan yang menimpanya. Allegra kehilangan disorientasi. Kesakitan yang dialaminya membuat Allegra teringat sosok sang ayah. Sosok ayahnya yang pergi begitu saja dan menikahi wanita lain.

Rasa sakit ini sama, namun sakit dengan rasa yang berbeda.

Allegra hanya bisa memandang nanar mobil yang dikendarai Justin mulai melaju dan pergi dengan kecepatan tinggi. Kepulan asap yang berasal dari knalpot mobil Justin menerpa wajahnya. Allegra menutup matanya kuat selama beberapa detik dan membiarkan asap itu mengotori wajahnya. Kemudian matanya kembali terbuka, iris hijau itu kini mengarah turun, meratapi pergelangan tangannya yang dihiasi kemerahan dan lecet.

"Keparat Justin," gumam Allegra gemetar.


***


Memasuki club terkenal di Italia untuk mencari keberadaan Harry Styles di sana adalah kesalahan besar. Alih-alih Justin terdampar di atas bar ditemani beberapa botol everclear hingga ujungnya Justin berakhir dalam keadaan hangover berat. Ia memilih kembali ke hotel saat beberapa jalang datang dan mulai gencar menggodanya. Untungnya Justin mampu menyetir meski beberapa kali ia nyaris menabrak pejalan kaki.

Kini ia berjalan gontai memasuki lobi hotel dengan langkah serampangan. Tubuhnya beberapa kali nyaris limbung dan beberapa kali terdengar makian keji yang keluar dari mulutnya. Keadaan sekitar tak Justin pedulikan, otaknya seakan kehilangan akal normal dan terus menekan Justin dengan menabrakan banyak bayangan mengenai kesakitannya. Kekecewaannya. Kehancurannya.

Tanpa Justin sadari, setitik air mata timbul di sudut sana. Justin mengerjap tanpa berhenti mengumpat hingga air mata menetes dalam sekejap ke atas lantai. Justin kalut. Ia berusaha sendiri menyusuri hotel dengan menaiki lift dengan susah payah, berjalan tertatih menapaki lorong yang akan membawanya entah ke mana. Justin mengikuti kaki lemahnya berjalan. Persetan dengan tujuan yang akan didapatnya. Justin terlalu kalut dan... lemah. Untuk saat ini.

Berkali-kali hati kecil Justin menggemakan sebuah kalimat; apakah ini nyata? Terus berulang-ulang. Membuat Justin muak dan lagi-lagi meloloskan makian keji penuh dendam. Hatinya seakan mengelak semua yang terjadi dan mengharapkan apa yang ia alami hanyalah sebatas mimpi. Tapi kenyataannya? Justin dapat merasakan pening sekaligus rasa panas yang menjalari perutnya akibat berbotol-botol everclear yang ia tegak. Hanyalah minuman itu yang mampu membuat Justin segila ini dan setidaknya dapat meloloskan pelampiasan amarahnya yang sudah mencapai ubun-ubun. Dan satu lagi, ulu hatinya terasa berkedut setiap otaknya menubrukan bayangan sesosok gadis berambut brunette sebahu. Perempuan yang tak Justin sangka dapat membuatnya sehancur ini.

Allegra Stewart.

Lagi, ulu hati Justin mengedutkan rasa sakit saat nama itu terlintas dalam benaknya. Hati kecilnya lagi-lagi menggemakan kalimat yang sama; apakah ini nyata? Keparat, iya! Justin menegaskan batinnya. Semua nyata meski beribu-ribu kali Justin berusaha mengelaknya. Ciuman itu, pengkhianatan itu. Tapi tanpa dikomando siapapun, hati kecil Justin kembali bertanya; mengapa ia tega melakukan ini?

Setelah Justin mendedikasikan diri bahwa dirinya sangat mencintai gadis itu. Meski gadis itu aneh dan bodoh atau bedebahlah. Justin sangat sangat mencintainya, lebih dari apa yang gadis itu kira. Tanpa pengecualian. Dan pengkhianatan yang dia lakukan sontak menampar benak Justin dengan telak. Menyadarkannya bahwa gadis itu memang belum mencintainya hingga saat ini.

Tanpa sadar kaki Justin terus melangkah, menapaki lorong antah berantah yang Justin tak tahu tepatnya di mana. Kaki Justin terus melangkah dengan instingnya sendiri hingga ia menghampiri kamar bernomor 141 lantas membukanya pintunya dengan lancang. Tanpa peduli kamar milik siapa, Justin melangkah gontai sambil bertumpu pada dinding-dinding. Melewati ruang tengah di sekitar ruang hotel dan memasuki pintu yang diyakini sebagai kamar tidur.

Aroma lilac menguar di indra penciuman Justin kala lelaki itu membuka pintu yang dihampirinya. Matanya yang berkunang-kunang menelisik ke sekitar kamar yang dihiasi cahaya temaram. Mengenal aroma yang tercium olehnya, Justin membuka pintu kamar itu lebih lebar bahkan terkesan menggebraknya.

Terdapat dua orang gadis di dalam kamar itu. Satu gadis tengah sibuk mendengarkan musik dengan headphone berwarna magenta, sementara gadis satunya tengah fokus membaca majalah Vogue bergambar sosok seksi Rihanna yang menghias sampulnya. Kedua gadis itu menengok secara serentak ke arah pintu saat suara ribut yang Justin ciptakan menginterupsi mereka.

"Justin?"

Hailey Baldwin kini memandangnya dengan sirat yang teduh. Membuat amarah dan ulu hati Justin yang bergumuruh serta meletup menyakitkan berangsur lenyap dan teredam. Justin terdiam di ambang pintu. Membalas tatapan Hailey yang kini beralih dari majalahnya dengan tatapan monoton.

"Kau baik-baik saja?" gumam Hailey diikuti Kylie yang bangkit dari atas tempat tidur seraya melepas headphone magentanya lantas menggantungkannya di leher.

"Justin?" gumam Hailey lagi.

Entah apa yang merasuki tubuh Justin. Lelaki itu tiba-tiba saja berderap masuk, secepat kilatan petir, ia menghampiri Hailey lantas menunduk kemudian mencium gadis itu. Justin langsung melesakkan lidahnya menelusuri mulut Hailey. Menciumnya penuh gairah. Tak butuh waktu lama bagi Justin untuk menunggu balasan dari Hailey atas ciumannya. Gadis berambut pirang itu membuka mulutnya lebih leluasa lantas ikut memainkan lidahnya dengan saksama. Membalas ciuman Justin dengan sama panasnya.

Justin semakin tak kuasa membendung hasratnya tatkala Hailey menarik kedua tangannya hingga Justin terhempas dan semakin menggencarkan percumbuan mereka di atas sofa. Tanpa memedulikan eksistensi Kylie yang sangsi melihat kebersamaan mereka. Gadis bertubuh sintal itu perlahan pergi keluar dari kamar. Membiarkan Justin dan Hailey tenggelam bersama-sama dan melanjutkan aksinya dengan bebas.

Justin tidak tahu apakah ini sebuah kesalahan atau justru suatu hal yang harus ia sadari. Menyadari bahwa meskipun Justin terhanyut, selalu ada jalan untuk pulang, tepat di hadapan Hailey itulah tempat Justin berpulang. Justin mulai menekan tengkuk Hailey dan memperdalam ciumannya, sementara Hailey mulai berani melingkarkan tangannya di leher Justin. Ciuman yang mengundang cumbuan, birahi, hingga akhir yang panas di atas ranjang itu cukup membuat Justin berpaling dari kesakitannya. Melupakan masalah besar dalam keluarganya, melupakan rival besarnya yang bernama Harry Styles, melupakan Allegra serta pengkhianatan yang ia lakukan. Hanya karena satu hal yang dapat membuat Justin melupakan segalanya; pelampiasan.

Apakah itu tindakan yang salah? Justin tak mampu memjawabnya. Alih-alih mengangkat tubuh Hailey untuk dibawa ke atas ranjang.


***


Allegra Stewart's View


Me: we need to talk

Me: the garden behind hotel, 11am

Me: i'll be waiting u there

Me: see ya


"Kau yakin tidak akan berkemas dulu sebelum pergi?" Cara berhenti sejenak dari kegiatan berkemasnya, yakni memasukan pakaian-pakaiannya ke dalam koper. "Jangan sampai kau tertinggal lagi."

Kutatap layar ponselku sekali lagi, lantas mendesah lalu menoleh dengan enggan ke arah Cara. Dia menaikkan satu alisnya, menanti jawabanku. Aku hanya membenamkan bibir dengan gusar lantas menggeleng kecil sebagai jawabannya. Dan aku mendesah lagi. Tak kurasakan getaran di ponselku sama sekali, itu berarti Justin tidak membalas pesanku. Aku berencana memperbaiki semuanya hari ini. Menjelaskan semua kesalahanku dan mengakuinya pada Justin. Apa itu kesalahan? Aku ingin semuanya kembali seperti semula, Justin yang bersamaku. Selalu.

Hari ini menjadi hari terakhir kami berada di Italia. Para murid Perkins dibebaskan untuk pergi ke mana saja hari ini dan pukul tujuh malam nanti, kami akan berkumpul di bandara dan terbang kembali ke Los Angeles, California. Cara sudah lebih dulu berkemas dan berencana akan pergi ke beberapa mall dan restoran terkenal bersama Selena. Lalu Selena? Aku belum bisa memastikan keadaannya karena dia tidak satu kamar bersama kami. Well, pengurus acara studytour mengatur penginapan kami sepenuhnya. Satu kamar yang ditempati harus terdiri dari dua orang, tidak boleh lebih maupun kurang. Untungnya aku terbagi bersama Cara. Jika tidak, aku sudah mati berdiri berada satu kamar dengan Selena.

"Kita akan bertemu lagi sore nanti." aku berderap menuju pintu sambil memasukan ponselku ke dalam saku jins biru pucat yang kukenakan. "Kuharap kau membereskan barangku juga, Car."

"Tidak mau!" sungut Cara di belakang sana. Aku mengedikkan bahu acuh lantas membuka pintu dan keluar. "Dan lagi, aku bukan mobil!" terdengar seruannya lagi meski aku sudah menutup pintunya.

Me: we need to talk

Me: the garden behind hotel, 11am

Me: ill be waiting u there

Me: see ya

MyBieber(Jerk): ok


Tak bosan-bosan aku membaca pesan yang terdapat di layar ponselku meski aku sudah menunggu kehadiran Justin selama satu jam. Dia belum juga datang dan aku sudah menunggunya di terik siang hari Italia yang panas seperti orang sinting. Di taman belakang hotel ini hanya ada aku yang duduk di sekitar bangku taman. Hah, tentu saja. Orang bodoh mana yang memilih berdiam diri di taman hotel sementara Italia memiliki banyak tempat yang lebih menyenangkan untuk dikunjungi? Oh, ada, yaitu aku.

Okay, aku berusaha mengenyahkan pemikiran bodohku lantas beralih mengamati taman hotel yang tertata rapi. Banyak tanaman merambat menghiasi pilar di sekitar taman. Kubenarkan letak beanie berwarna tosca yang kukenakan ketika semilir angin berhembus. Well, beanie ini milik Justin. Justin meninggalkannya di kamar hotelku saat ia mengajakku berbelanja saat itu. Hah, semua tampak indah sebelumnya. Dan hanya karena kebodohanku, keindahan itu hancur seketika. Secepat jam berdetik.

Aku tak pernah mau mengakui penyesalan sebelumnya. Tapi kali ini, sungguh aku menyesal. Semua salahku, bodohnya aku yang tidak melakukan tindakan keji seperti biasanya saat Harry menciumku dengan lancang petang kemarin. Alih-alih aku membiarkanya dan menikmati bibirnya seperti seorang jalang! Apa yang kupikirkan saat itu!? Harry? Nyatanya sosok Justin yang kini mendominasi pikiranku dan aku menghindari eksistensiku sendiri jika Harry menampakkan diri di sekitarku.

Aku mulai menyadari perasaanku, yang terbagi.

Aku mengerjap dan memecahkan segala lamunan dan spekulasi yang berkeliaran di otakku. Kutundukkan kembali wajahku untuk memastikan Justin yang mungkin memberi kabar lewat pesan singkat. Nihil. Tak ada kabar mengenai kehadirannya yang benar-benar terlambat. Setahuku Justin selalu tepat waktu jika ia dijanjikan atau menjanjikan sesuatu. Ya Tuhan, kuharap Justin datang. Semua harus selesai ketika kami sudah kembali ke California. Harus.

Sosok yang kuhindari tiba-tiba datang. Harry mengenakan kemeja polos berwarna biru pucat, sama seperti warna jinsku. Rambut ikalnya dibiarkan berantakan dan ia tersenyum ke arahku. Tak bisa kupungkiri senyumnya sangatlah manis. Tapi aku tidak merasakan getaran kecil ataupun gelenyar aneh di perutku seperti biasanya. Alih-alih aku panik memikirkan eksistensi Justin yang bisa muncul secara tiba-tiba dan memergoki kami lagi. Aku tidak mau itu terjadi.

"Menunggu seseorang?" ucapnya setelah sampai di depan bangku taman yang kududuki. Aku mendongak, memandangnya dengan sirat gelisah.

"Ng... tidak juga." aku mengerjap seraya bangkit perlahan dari tempatku. "Hanya mencari udara segar, tapi--Oh aku baru ingat memiliki janji dengan Cara. Well, aku harus pergi. Bye!"

Aku bergegas untuk berbalik lantas berjalan pergi. Namun Harry menahan lenganku. Aku mendesah, Harry pasti menginginkan penjelasan mengenai kami sekarang. Tapi, aku tidak bisa. Belum. Oh maksudku, bedebah! Kepalaku pening memikirkan cinta dan segala dramanya. Yang ingin kulakukan saat ini adalah mendapatkan maaf dari Justin. Hanya itu.

"Allegra--"

"Aku harus pergi."

"Tapi--"

"Harry, tolong. Aku harus pergi."

Aku menyentak tangannya lantas berlari dari hadapannya. Sedikit pun aku tidak menoleh ke belakang untuk memastikan keadannya. Aku belum bisa. Aku belum tahu bagaimana kelanjutan hubunganku bersama Justin. Dan aku belum mau membahas hubunganku selanjutnya bersama Harry. Mungkin ia pikir aku telah memaafkan semua kesalahannya? Hatiku masih sakit dan dendam jika mengingat Scarlett sialannya itu. Jangan dia pikir aku bisa memaafkannya begitu mudah hanya dengan ciuman. Aku masih merasa kecewa. Mungkin aku akan menjelaskan semuanya nanti. Lupakan dia.

Aku berderap cepat, kembali memasuki gedung hotel. Melewati lobi, memasuki lift, aku menunggu dengan gelisah saat kubikel lift membawaku ke lantai lima bersama dua orang pria berjas rapi. Hingga bunyi lift berdenting, aku segera melipir di antara dua pembisnis muda tersebut lantas mendesak keluar dari lift. Kakiku menghentak cepat menyusuri lorong kamar lantai lima. Mencari-cari kamar bernomor 123, kamar Justin dan Jaden. Aku berharap dia tengah sibuk berkemas bersama Jaden. Aku mengharapkan itu, sangat mengharapkannya.

118, 121, 122, gotcha, 123! Aku telah sampai tepat di pintu kamar Justin. Aku tahu nomor kamarnya karena dia mengakuinya sendiri padaku ketika kami tengah makan siang bersama sebelum pergi ke Grand Canal dan drama sialan itu terjadi. Ia mengakuinya secara terang-terangan; Jika kau ingin berkunjung, kau bisa memasuki kamar bernomor 123, Babe. Kita bisa tidur bersama, begitu katanya. Hah, mengingat segala tingkahnya justru membuat perutku melilit. Aku takut dia kembali marah seperti semalam.

Aku mengetuk pintu selama dua kali. Tak ada jawaban. Jengah untuk menunggu, aku meraih knop pintunya lantas mencoba untuk membukanya. Well, tidak dikunci. Jantungku praktis berdegup lebih kencang saat pintu perlahan terkuak semakin lebar, menanti-nanti drama yang akan terjadi jika lelaki bodoh itu tetap enggan mendengar penjelasanku. Oh Dewi Fortuna, kuharap kau memihakku kali ini.

Pintu akhirnya terbuka, sepi. Aku melangkah masuk dan melihat seisi ruangan yang rapi. Tidak ada bau alkohol, atau puntung rokok dan botol-botol anggur yang bertebaran di mana-mana. Alih-alih aroma mint beserta aroma terapi yang menenangkan membelai penciumanku. Kulangkahkan kaki menuju kamar, membukanya dengan cepat dan tak kudapati siapapun di dalam sana. Hanya terdapat satu koper yang kuyakini baru selesai dikemasi. Aku putus asa.

"Cause i just wanna look good for you, good for you, Oh... Baby let me be good to you good to you, Oh...!"

Suara fals khas seseorang membuatku mengernyit. Suara itu berasal dari kamar mandi, bersatu dengan gemercik air dari shower.

"Jaden!" seruku lantang. Membuatnya praktis berhenti menyanyi.

"Gee, Jaden!" teriakku lebih keras. Alih-alih mendapat respon, suara gemercik air di dalam sana semakin terdengar keras.

Aku nyaris berteriak lebih lebih keras lagi jika saja Jaden tak memunculkan kepalanya di balik pintu dengan rambut penuh busa dan bibir yang dilumuri pasta gigi. Aku berjengit melihatnya lantas mendengus kesal. Mengagetkan saja.

"Apa?" gumamnya polos.

"Kemana Justin?" tanyaku to the point.

Firasat buruk menderaku saat kulihat air muka Jaden berubah secepat kilat. Ia menjilat pasta gigi di sudut bibirnya, matanya bergerak-gerak gelisah. Seperti mencari kalimat yang tepat untuk diucapkan kepadaku.

"Dia... sudah pulang. Pulang, ke California. Dan kuharap kau tidak mengamuk jika mendengar.." Jaden memejamkan mata kuat-kuat. Lantas mencicit. "Dia pulang bersama Hailey."

Aku membeku. Seluruh organ di tubuhku seakan berhenti berfungsi selama beberapa detik. Membeku bersama hatiku saat ini. Aku mengerjap, berusaha memahan keterkejutanku atas kabar yang baru kudengar. Justin membalas pesanku sebelumya, dia bilang 'ok'. Lantas apa sekarang? Bastard. Rasanya aku ingin menendang kemaluan orang.

"Alle, dengarkan--"

"Oh, oke. Aku harus pergi."

Tanpa memedulikan Jaden yang kini menatapku ngeri. Aku keluar dari kamar terkutuk ini lantas berderap cepat menuju pintu, membukanya dan menahan kekecewaan yang mengganjal di dalam rongga dadaku. Membuat kerongkonganku terasa sakit menahannya. Tak bisa kutahan lagi amarahku ketika sudah keluar dari kamar hotel. Aku mengerang, lantas meninju pintu kamar Justin dan Jaden hingga hiasan angka bernomor 123 yang menempel di dinding seketika jatuh. Terlepas ketiganya.

Aku tak pernah sesakit ini sebelumnya.


TO BE CONTINUED!

A/N: HIKKKK ALLEGRA, JUSTIN:'(
Btw, kasih gue komentar dong buat chapter ini. Semoga kalian suka terus. Siap-siap lusa Slut gue post ok. See ya.

60 votes, 30 coments, lanjot.

Badgal💋

Continue Reading

You'll Also Like

482K 48.4K 38
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
66.4K 6K 48
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
38.4K 4.9K 43
[DISCLAIMER!! FULL FIKSI DAN BERISI TENTANG IMAJINASI AUTHOR. SEBAGIAN SCENE DIAMBIL DARI STREAM ANGGOTA TNF] "apapun yang kita hadapi, ayo terus ber...
825K 87.2K 58
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...