[2] Baby, Dont Cry [SUDAH DIT...

By precious_unicorn91

2.3M 100K 5.7K

[CERITA AKAN DITERBITKAN SECARA SELF PUBLISH SEHINGGA SEBAGIAN BESAR BAB SUDAH DIHAPUS] "Aku akan membahagiak... More

PROLOG
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
EPILOG
Bonus Story: When We Grow Older

BAB 7

60.8K 4.7K 348
By precious_unicorn91

REVAN

"Re." Suara lembut yang kurindukan itu terdengar memanggilku sejak tadi. Suara yang perlahan membangunkanku dari tidur. Memanggilku dari alam bawah sadar.

"Re."

Jam berapa sekarang? Siapa yang terus memanggilku?

Perlahan, aku membuka kedua mataku yang terasa sangat berat. Saat aku membuka mata, samar aku melihat bayangan seseorang di hadapanku.

Demi?

"Bangun!" suaranya perlahan semakin jelas.

"Demi?" panggilku dengan suara serak.

"Papa, bangun!" Papa? "Papa, bangun!"

Saat aku sepenuhnya terbangun, barulah kusadari bahwa yang kudengar sejak tadi adalah suara Dee yang berusaha membangunkanku. Dia duduk di sebelahku dan mengguncang-guncang tubuhku agar aku terbangun. Ternyata, aku hanya berhalusinasi mendengar suara Demi tadi.

"Pa, udah jam 5," seru Dee tidak sabar. "Papa bangun dong!"

"Iya, sayang. Ini Papa mau bangun," kataku sambil mengusap puncak kepala mungilnya.

"Jangan tidur lagi ya, Pa!" kata Dee sambil menyengir lebar dan kemudian mengecup pipiku sebelum beranjak meninggalkan kamar. "Kak, Papa udah bangun!" teriaknya di luar dengan lantang.

Aku menoleh ke sampingku dan melihat bagian ranjang tempat Demi biasa berada kemudian menghela napas karena lagi-lagi menemukan kekosongan di sana.

Sudah dua bulan berlalu, namun Demi belum juga sadar. Dokter menyatakan Demi mengalami koma walaupun setelah pemeriksaan lebih lanjut, tidak ditemukan sama sekali keanehan dalam tubuhnya. Semuanya normal. Tapi entah kenapa dia tidak juga sadarkan diri.

Dua minggu pertama aku habiskan menunggu Demi di rumah sakit, tidak ke kantor dan hanya pulang ke rumah untuk mengganti baju. Namun melihat tidak ada tanda-tanda Demi akan sadar dalam waktu dekat, aku pun memutuskan untuk melanjutkan hidup seperti biasa setelah itu.

Aku tidak bisa terus melalaikan tanggung jawabku karena ada keempat anakku yang juga butuh perhatian. Dibandingkan aku, mereka jauh lebih terpukul dengan kondisi Demi saat ini. Karena itu, hingga Demi kembali membuka matanya, maka aku yang akan menggantikan tugasnya.

Aku sesekali masih ke kantor dan bekerja seperti biasa tapi hanya untuk hal-hal penting saja. Selebihnya, aku mempercayakan kepada wakil-wakilku di perusahaan untuk menanganinya. Aku lebih fokus pada anak-anak saat ini. Mereka sudah kehilangan Mamanya, aku tidak ingin mereka pun merasa kehilangan Papanya karena terlalu sibuk bekerja.

"Kalian mau sarapan apa?" tanyaku pada anak-anak yang sedang mondar mandir bersiap ke sekolah, rutinitas yang tidak pernah berubah sejak dulu.

"Pancake!" teriak Rion lari ke kamar mandi terburu-buru, hanya memakai celana pendeknya. Dia pasti baru bangun. Padahal saudaranya yang lain sudah selesai dari tadi.

"Iya, Dee juga mau," sambung Dee yang duduk di kursinya, menemaniku memasak, sedangkan Livie membuat teh dan susu.

"Oke, pancake," gumamku sambil mengambil bahan-bahan di lemari.

Meskipun tidak mahir seperti Demi, tapi setidaknya aku bisa sedikit memasak karena saat kuliah dulu aku tinggal sendiri sehingga sesekali memasak. Walaupun ada asisten rumah tangga, tapi aku harus menyiapkan makanan untuk mereka sendiri karena anak-anak protes kalau yang memasak asisten rumah tangga. Mereka kangen masakan Mamanya sehingga mereka memintaku yang memasak.

"Liv, tolong Papa ambilkan telur di kulkas!" pintaku pada Livie yang sudah menyelesaikan tugasnya. "Ambil dua aja."

Livie kemudian mengambil dua butir telur di kulkas dan meletakkannya di meja tempatku mengaduk adonan. Livie diam sejenak sambil menatapku yang sibuk mengaduk di dalam mangkuk besar.

"Pa, besok kan Hari Ibu," katanya perlahan yang membuatku menghentikan gerakan tanganku sejenak, sebelum kembali mengaduk adonan yang sudah mau jadi.

Aku sama sekali tidak teringat akan hal tersebut. Padahal biasanya, di Hari Ibu, aku dan anak-anak selalu mengadakan perayaan untuk Demi. Perayaan sederhana tapi mampu membuat istriku bahagia selama berhari-hari. "Kita ga kasih hadiah untuk Mama?"

Aku tersenyum simpul pada putri sulungku. "Kamu mau beliin Mama apa?"

Livie terdiam tampak ragu mengutarakan pikirannya. "Hem, aku baca di internet, kalau di Jepang saat ada orang sakit lalu dibuatin bangau dari kertas, katanya mereka bisa cepat sembuh. Apalagi kalau kita membuatnya banyak."

"Kamu tahu kan, kalau itu hanya kepercayaan orang Jepang? Yang membuat seseorang sembuh itu bukan bangau kertas, melainkan doa dari orang-orang terdekatnya."

"Aku tahu, Pa. Tapi maksudku, kita kan bisa tulis doa untuk Mama di kertas bangaunya. Doa sebanyak-banyaknya dari kita, supaya Mama cepat sembuh. Berdoa tidak harus selalu saat sholat kan Pa? Lagipula, Mama pasti senang banget waktu bangun liat bangau kertasnya. Mana tau kalau Mama tau kita membuatkan bangau kertas, Mama cepat bangun karena ingin lihat."

Hatiku tersentuh mendengar ucapan Livie. Tidak menyangka anak berumur 7 tahun sepertinya, bisa memikirkan hal seperti ini. Di saat aku bahkan tidak pernah memikirkannya.

"Oke. Kita buat untuk Mama," ucapku yang membuat kedua mata Livie melebar senang.

"Benar, Pa?"

"Tentu saja. Mama pasti sangat bahagia menerimanya." Senyuman Livie pun semakin melebar dengan matanya yang berbinar penuh kebahagiaan. 

Malam itu, kami berlima melipat bangau kertas sebanyak-banyaknya. Anak-anak menuliskan berbagai macam pesan, doa, dan harapan di kertas. Aku juga menuliskan seluruh perasaanku pada Demi di kertas-kertas yang aku buat. Aku tahu hal ini belum tentu bisa membuat Demi bangun dari tidurnya, tapi melihat anak-anak senang aku tahu hal yang kami lakukan bukanlah perbuatan sia-sia. Saat Demi bangun nantinya, dia pasti menangis terharu melihat hadiah untuknya yang sangat indah ini.

Saat tengah malam, 1000 bangau berhasil terbentuk. Mereka sangat senang bisa membuat hingga sebanyak itu. Aku kemudian menyuruh mereka tidur karena hari sudah terlalu larut. Setelah itu aku melanjutkan merangkai semua bangau menjadi satu. Saat semua telah selesai, aku melihat dengan puas hadiah untuk Demi yang sangat indah sambil berharap Demi akhirnya bangun dan melihat sendiri jerih payah anak-anaknya agar dia bisa secepatnya sembuh.

Melihat, bagaimana sayangnya mereka terhadap dirinya.


***


"Papa, ayo!" teriak Rion yang menggema di lorong rumah sakit.

Dia berlari tidak sabar ke kamar Mamanya yang letaknya diujung lorong rumah sakit. Tidak memedulikan bagaimana langkah kakinya menimbulkan suara kencang yang bergema di tempat sepi ini. Karena dia begitu bersemangat melihat Mamanya.

"Rion, Papa bilang apa tadi?" tegurku dengan tegas. Padahal aku sudah mengatakan padanya untuk tidak berlari dan berteriak di rumah sakit karena akan mengganggu pasien lain. Tapi seperti biasa, ucapanku hanya masuk ke kuping kanan dan keluar di kuping kiri.

"Rion, jangan lari-lari!" tegur Devan ikut mengingatkan adiknya yang keras kepala. Tapi Rion tidak peduli dan akhirnya masuk ke kamar Demi dengan cepat. Saat aku dan ketiga anakku masuk kamar, Rion sudah berbaring di sebelah Demi dan memeluk tubuh mamanya dengan erat. Pemandangan yang lagi-lagi membuat dadaku nyeri karena melihat bagimana anak-anakku begitu merindukan mamanya.

"Rion, sepatu kamu kan kotor!" tegur Devan kesal saat melihat Rion masih menggunakan sepatu di atas tempat tidur. "Turun!"

"Pa, aku juga mau peluk Mama!" pinta Dee agar aku mengangkatnya ke tempat tidur, karena tinggi badannya yang tidak dapat menjangkau tempat tidur yang tinggi.

Aku meletakkan barang-barang yang kubawa di meja yang terdapat di dalam ruangan dan kemudian mengangkat Dee ke bagian tempat tidur satu lagi. Karena Rion masih bermanja-manja dengan Demi di bagian lainnya.

Dee pun ikut memeluk Demi dengan erat. Mencium pipi Demi berkali-kali dan memeluk leher Demi sambil menempelkan pipinya ke pipi Demi.

Mataku semakin memanas dan dadaku nyeri melihat pemandangan ini. Mereka berusaha menunjukkan sayang mereka pada Mamanya, tapi Demi tidak memberikan respon apapun selain berbaring tak bergerak.

Livie kemudian mendekati tempat tidur dan mengecup pipi Demi, begitu juga Devan.

"Ma, kita bawa hadiah buat Mama. Kan hari ini Hari Ibu, jadi Mama dapat hadiah," seru Dee dengan semangat. "Kita sama Papa yang buat. Ada 1000 bangau!" ucapnya ditutup dengan tawa yang menggemaskan.

"Iya, biar Mama cepat bangun. Aku pengen makan masakan mama, masakan Papa ga enak," sambung Rion lagi. Aku tertawa mendengarnya yang protes dengan masakanku. Aku memang tidak mungkin bisa menandingi masakan Demi yang rasanya mirip dengan masakan restoran kelas atas.

"Selamat hari ibu ya, Ma. Livie sayang Mama," ucap Livie yang suaranya mulai bergetar. "Semoga Mama cepat sembuh!" Livie memang mudah menangis karena hatinya sangat lembut. Walaupun selama ini dia hanya diam saja, tapi aku tahu seberapa besar sayangnya pada Demi.

Kulihat anak sulungku yang terdiam menatap wajah Mamanya. Dia kemudian meraih tangan kiri Demi dan menggenggamnya erat.

"Mama, selamat Hari Ibu. Makasih karena udah ngelahirin Devan dan adek-adek. Makasih karena udah ngerawat kami. Maaf ya, Ma, kalau kami suka nakal dan bikin Mama marah. Suka bikin Mama repot. Devan janji akan bantuin Mama jagain adek-adek. Devan janji jadi anak yang pintar, baik, dan shaleh." Devan terdiam sejenak saat suaranya perlahan berubah serak.

Ketiga adiknya menatap Devan, menunggu lanjutan ucapan kakaknya itu dengan ekspresi penuh kesedihan.

"Makanya .... makanya Mama bangun ya! Papa kangen Mama, adek-adek juga kangen sama Mama." Devan menarik napasnya dan kemudian terisak. "Devan juga kangen banget sama Mama," ucap Devan  bersamaan dengan air mata yang mengalir dari kedua matanya.

Aku tidak pernah melihat Devan menangis selama ini. Dia anak yang kuat. Saat tahu Demi koma pun dia hanya diam bahkan menenangkan adik-adiknya yang menangis. Tapi kali ini dia akhirnya mengeluarkan air mata yang selama ini ditahannya. Devan menangis karena sangat merindukan Mamanya.

Ketiga anakku yang lain melihat kakaknya dengan terkejut. Mereka pun tidak menyangka Devan akan menangis. Karena yang mereka tahu, kakak tertua mereka adalah anak yang tegar. Tapi kali ini, benteng pertahanannya runtuh sudah. 

"Kak, kok nangis?" tanya Dee yang mulai berkaca-kaca matanya. Dia melompat turun dari tempat tidur dan memeluk Devan. Berharap Devan bisa berhenti menangis. "Kakak jangan nangis, Dee jadi sedih," kata Dee terdengar hampir menangis.

Devan menggosok matanya mencoba menghentikan air matanya namun tangisannya malah semakin terdengar keras. Satu per satu adiknya yang lain memeluk Devan. Mereka menangis bersama sambil berpelukan. Pemandangan yang lagi-lagi membuatku mengutuk kebodohanku.

Aku pun menghampiri mereka. Saat aku mengusap puncak kepala mereka bergantian, mereka pun berhamburan satu persatu ke pelukanku. Tangisan mereka yang terdengar pilu membuat hatiku terkoyak-koyak.

"Dev."

Suara lirih tertangkap indera pendengaranku. Aku melihat Demi dengan jantung berdebar. Namun, saat melihatnya masih terbaring tidak bergerak, aku sadar itu hanya imajinasiku saja.

"Dev." Suara itu lagi dan kali ini lebih kencang.

Anak-anak akhirnya ikut menoleh melihat Demi. Menandakan apa yang kudengar juga bisa mereka dengar. Devan menghapus air matanya dan berjalan menghampiri Demi. Memastikan apakah suara tadi berasal dari mamanya.

"Mama?"

"Ja..ngan na..ngis!" suara tersendat-sendat itu pun terdengar, membuatku dan anak-anak melebarkan mata begitu terkejut.

Ketiga anakku pun langsung berlari ke Demi dan memeluknya sambil berseru bahagia. Devan bahkan kembali menangis saat memeluk Demi dengan erat. Demi menatap anak-anaknya sambil tersenyum kaku. Terlihat kebingungan akan reaksi mereka yang menangis bersamaan.

Aku melihat kelimanya sambil menjaga jarak. Hingga akhirnya tatapanku bertemu dengan Demi. Demi melihatku terlihat bingung di saat jantungku berdebar kencang. Bahagia namun juga takut. Tapi perlahan, senyuman lembut tersungging di bibir pucatnya. Bibirnya kemudian bergerak, ingin mengucapkan sesuatu. Aku pun mendekat dan berdiri di sebelahnya. Menunggu akan apa yang ingin dia katakan dengan cemas. Berharap apa yang kulihat saat ini, bukan lah mimpi indah lainnya seperti yang kualami selama ini. Melainkan sebuah kenyataan. Bahwa Demi, akhirnya tersadar dari tidurnya.

"Yang ..... haus," ucapnya manja dengan suara serak. "Minum."

Dan air mataku pun tumpah saat itu juga. Aku merangkum wajahnya dan mengecup keningnya dengan air mataku yang terus mengalir. Merasakan hangat di tubuhnya, yang perlahan kembali, di bibirku. Sambil mengucapkan kata cinta berulang-ulang kali padanya dan juga syukur pada Tuhan, karena telah mengembalikan Demi pada kami.


TBC



Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 73.4K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
18.1K 312 3
Semuanya berawal ketika sang ibu memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang duda pengusaha kaya raya yang memiliki seorang anak laki-laki Yang sec...
716K 49.6K 9
But you can't stay away from me
1.2M 56.7K 67
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...