SOMETIMES [DISCONTINUED]

Galing kay badgal97

131K 11.9K 1.8K

Allegra Stewart. Gadis bengis, rakus, aneh, angkuh, dan menyebalkan. Wajahnya juga tidak terlalu cantik. Yaa... Higit pa

PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 22
BAGIAN 23
BAGIAN 24
BAGIAN 25
BAGIAN 26
BAGIAN 27
BAGIAN 29
BAGIAN 30
AUTHOR NOTES
BAGIAN 31
BAGIAN 32
BAGIAN 33
BAGIAN 34
BAGIAN 35
BAGIAN 36
BAGIAN 37
BAGIAN 38
BAGIAN 39
BAGIAN 40
BAGIAN 41
BAGIAN 42

BAGIAN 28

2.4K 250 85
Galing kay badgal97

Bagian 28



Allegra Stewart's View


Venesia, Italia. Orang-orang bilang kota ini adalah kota air yang romantis. Dengan pemandangan indah dan suasana yang hangat dan memesona. Dan orang-orang juga mengatakan bahwa kota ini tak kalah romantis dibanding Paris. Huh, romantis atau tidak, itu tidak berpengaruh untukku. Semua kota sama aja. Venesia tak jauh dari kota biasa yang memiliki genangan air di mana-mana. Okay, aku tahu mungkin kedengarannya aku ini menghina. Tapi, aku tidak. Maksudku, mungkin orang-orang terlalu melankolis dalam mengerti soal apa itu romantis. Dan itu menjijikkan, benarkan?

Rombongan murid Perkins--bersama aku tentunya--kini tengah mengunjungi Venesia. Setelah bersenang-senang di Monterosso kemarin, kota air ini menjadi tujuan selanjutnya. Well, di Venesia kami memiliki jadwal kunjungan yang cukup padat. Seharian tadi kami sudah mengunjungi Museum Correr, Gereja St. Mark's Basilica,--lalu mampir ke restoran terdekat untuk makan siang--dan sekarang kami tengah dibebaskan untuk mengunjungi berbagai tempat lain. Sebelum akhirnya kami akan berkumpul kembali dan berkunjung bersama ke Piazza San Marco untuk menikmati kopi dan akhir malam ini di sana. Well, di sana akan ada pertunjukan musik klasik dan aku tak sabar untuk menyaksikannya.

"Jaden! Jangan memasukan tanganmu seperti itu--Jaden! Geez, kau membuatku basah!"

Aku memutar mata jengah melihat Selena dan Jaden yang kini bertengkar. Well, pertengkaran yang manis. Ha-ha. Aku tidak tahu sejak kapan mereka mulai dekat seperti sekarang. Bahkan Selena mencampakkan Cara yang tengah sibuk berbelanja pakaian. Dan melihat mereka yang saling bertengkar di tengah genangan air Grand Canal bukanlah pemandangan yang bagus.

"Jaden! Berhenti menggodaku!"

Pekikan nyaring Selena terdengar lagi, kini ia tampak memalingkan wajahnya dan Jaden tengah berusaha menggodanya lagi. Geez, mengapa suara mereka bisa terdengar begitu berisik meski kami berada dalam jarak yang cukup jauh? Well, kami tengah menaiki Gondola--perahu--di Grand Canal. Meski sama-sama tengah berkunjung ke Grand Canal, tapi kami menaiki Gondola yang berbeda. Mereka berada di depanku, berdua. Dan aku? Kalian tentu tahu aku berada di sini bersama siapa. Benar, Justin Bieber Perkins.

"Sepertinya kau tidak suka melihat temanmu bersenang-senang bersama sahabatku."

Kutolehkan kepalaku ke samping lantas mendengus kala mendengar perkataan bodoh Justin. Dia tersenyum miring tanpa menatapku, matanya sibuk terpancang pada layar ponsel di tangannya. Dapat kupastikan dia tengah memotret sesuatu di depannya. Sedetik kemudian Justin mengigit bibirnya lantas terkikik geli. Sontak saja aku penasaran, aku mengernyit seraya melihat gambar apa yang telah ia ambil. Dan kau tahu apa? Dia memotret bokong seorang gondolier yang tengah melajukan perahu ini di depan kami. Dasar sinting!

Aku memilih untuk memutar mata, enggan berkomentar atas kelakuan bodohnya itu. "Selena terlihat frustasi bersamanya," balasku acuh, membalas perkataannya yang sempat terbengkalai.

"Tapi dia menikmatinya."

"Tapi aku tidak setuju jika Selena bersama Jaden! Aku tidak mau dia terkena penyakit hipertensi karena menghabiskan waktu bersamanya. Dan lagi, Jaden itu sepertimu! Aku tidak bisa bayangkan Selena menangis seperti bayi bodoh jika Jaden meninggalkannya." ceracauku panjang. Well, apa peduli pada sahabat merupakan kesalahan?

"Jaden sepertiku?" Justin menoleh ke arahku seraya menaikkan satu alisnya. Cih, sok tampan! "Aku jauh lebih tampan darinya. Tapi, soal wanita, kuakui Jaden memang cukup hebat. Daya pikatnya hampir menyamai kemampuanku."

Aku mendengus. Lihat si bodoh di depanku ini, dia begitu narsistik. "Kau melewati satu fakta lain."

"Apa itu, Babe?" ujar Justin seraya merangkulku. Aku kembali mendengus.

"Mulut Jaden itu bau! Kau tahu? Campuran Pizza dengan alkohol busuk sangatlah menjijikkan," balasku seraya bergidik. Mengingat mulut Jaden yang terbuka lebar dihadapanku disaat aku terbangun dari tidur sangatlah membuatku muak.

Tiba-tiba Justin terperanjat dari duduknya. Ia membulatkan matanya lantas menatapku dengan pandangan bodoh. "Kau pernah menciumnya?"

"Tentu saja tidak!" aku tersentak lantas memukul pundaknya, "Dasar sinting!"

"Babe, katakan padaku kenapa kau bisa mengetahuinya," Justin mendesah frustasi, lantas menggeleng tak percaya. Geez. "Kau membuatku syok."

Aku mendelik seraya membuang tatapan darinya. Lebih baik aku bungkam saja daripada mengatakan yang sejujurnya pada Justin. Apa aku harus menceritakan peristiwa menjijikkan itu? Dimana aku yang menginap di rumah Justin dan terbangun dari tidur karena bau dari mulut Jaden yang terbuka di hadapanku? Yang benar saja.

"Babe?"

Aku menghela napas. Kembali kutolehkan kepalaku ke arah Justin yang kini tengah menatapku. Iris mata karamelnya memandangku begitu intens, mengarah tepat ke mataku. Desiran angin lembut menerbangkan beberapa helai rambutnya. Tangannya yang merangkulku beralih menelusuri lenganku hingga berakhir di tanganku yang tergolek di atas pangkuan. Dia menggenggamnya. Oh, aku tak tahu mengapa tapi apa yang dia lakukan sekarang sejujurnya membuatku merasa sedikit lebih..tenang.

"Aku tidak mengerti, bagaimana bisa aku menjadi seperti ini." ujar Justin seraya menghela napasnya. Aku hanya bisa terdiam memerhatikannya. Ini tengah menjadi serius dan kurasa ia akan mengutarakan sesuatu. "Aku mengenalmu, menganggapmu gila karena semua kelakuan anehmu membuatmu muak. Lalu? Ketika aku berusaha menciummu, kau meninju wajahku. Itu benar-benar gila."

"Jangan membahas peristiwa gila itu lagi," gumamku cepat. Kejadian itu sudah lama berlalu. Entahlah, rasanya aku sangsi mengingat-ngingat awal pertemuanku dengan Justin yang penuh drama dan tentunya menjijikkan.

"Dengarkan aku dulu, Babe," tukasnya. "Setelah itu, semua berjalan begitu saja, mengalir dengan sendirinya. Entah bagaimana bisa perasaan ini timbul setiap melihat wajahmu yang menyebalkan itu, Babe."

Aku? Menyebalkan katanya? Cih, apa dia tidak sadar kalau dia lebih menyebalkan dariku!? Aku mendelik mendengar perkataannya yang konyol tanpa enggan membalasnya. Aku biarkan saja dia berceloteh, karena sesungguhnya, di balik wajahnya yang sok tampan dan sok cool itu, dia memiliki mulut yang cerewet. Asal kau tahu saja.

"Kau itu aneh, rakus, cerewet, dan menyebalkan. Sesungguhnya kau sama sekali bukan tipeku, Babe. Dan kau beruntung bisa mendapatkan pacar setampan dan sekeren aku. Banyak yang menginginkanku, kau tahu itu."

"Oh, aku tahu sekali," enggan berdebat soal siapa yang paling baik di antara kami, aku membalas dengan sindiran sarkastik. Lantas kembali mendelik padanya. "Jadi intinya?"

"Intinya, aku hanya ingin bilang bahwa.." Justin memalingkan wajahnya sejenak, lantas kembali menatapku. Iris matanya seakan menarikku untuk balas menatapnya. Menatap kedalaman matanya hingga kutemukan kebekuan di dalamnya. Beku yang sama seperti dulu, begitu tersembunyi. Tapi di balik kebekuan itu, Justin menyiratkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang, nyata. Yang membuatku terpaku menatap warna matanya yang sama sekali tidak istimewa. "Aku mencintaimu. Perlu kau tahu bahwa aku tidak pernah mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada orang lain, bahkan pada Jaden sekali pun. Dan percaya atau tidak, aku mencintaimu."

Hening, tak ada makian atau dengusan sebal keluar dari mulutku. Alih-alih aku terdiam memandangi genangan air yang memantulkan bayangan wajahku. Apa yang diucapkannya barusan bukan main-main. Dan rasanya lidahku kelu untuk membalas perkataannya itu. Kami berpacaran, aku tahu. Tapi, aku hanya berusaha menjalaninya, dan merasakan bagaimana rasanya dimiliki orang lain, diperhatikan, disayangi oleh orang lain selain ibuku, dan..diistimewakan. Selama Justin bersamaku beberapa minggu ini, aku merasakan kenyamanannya. Dan jujur saja, dia membuat hari-hariku menjadi lebih berwarna. Tapi soal cinta? A-aku belum yakin. Maksudku, aku masih sempat memikirkan orang lain disaat Justin tengah berada di sampingku.

Mataku beralih ke depan, memandangi Gondola yang ditumpangi Selena dan Jaden yang berarak semakin jauh. Keheningan masih saja melingkupi kami, bahkan gondolier yang mendayung Gondola di depanku pun tidak mengeluarkan suara. Grand Canal terasa semakin sepi di sore hari, entah mengapa. Hanya suara merdu nyanyian gondolier lain di kejauhan sana yang terdengar mengalun begitu lembut, menguak keheningan yang melingkupiku dan juga Justin.

Aku tidak bisa menjawabnya. Maksudku, aku tidak tahu bagaimana tanggapan yang tepat untuk menjawabnya. Justin terlalu serius. Aku tidak menyangka dia akan menjadi seperti ini. Hell, yang kutahu Justin hanyalah remaja ingusan yang playboy dan menyebalkan. Keberuntungan yang didapatnya tak lebih karena kedudukan orang tuanya yang kaya raya. Tapi sekarang? Aku rasa otaknya sedang miring. Astaga! Entahlah, aku merasa bodoh sekarang.

Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Alih-alih terdiam seperti orang idiot. Dapat kulihat lewat sudut mataku, Justin masih memerhatikanku. Bibirnya terkatup tanpa enggan mengeluarkan suara lagi. Apa dia menungguku untuk menjawabnya atau..menanggapinya? Oh, Neptunus, aku belum pernah menghadapi situasi seperti ini sebelumnya. Cinta. Cih, benar-benar menjijikkan. Dulu aku gemar mencemooh serial drama romantis di televisi, bahkan tertawa terbahak-bahak kala menonton sepasang kekasih yang berciuman di tengah Grand Canal sebagai latarnya. Dan nyatanya? Kini aku mengalaminya. Membicarakan soal cinta, di sini, tepat di Grand Canal. Sial. Karma memang nyata. Dan pada akhirnya aku hanya bisa mengatakan;

"Kau serius?"

Aku memejamkan mata dengan kuat setelahnya. Enggan melihat ekspresi Justin yang mungkin saja dapat terlihat oleh sudut mataku. Ya Tuhan, aku tidak tahu harus berkata apa dan kuharap Gondola yang kunaiki ini cepat sampai ke pelabuhan atau bedebahlah. Intinya, aku ingin segera enyah dari sini. Dan aku tersentak ketika Justin menarik tanganku, lantas memaksaku untuk kembali berbalik menatapnya.

Iris matanya kembali mengunciku, menyihirku dengan telak. Aku terdiam seraya mendongak membalas tatapannya. Entah mengapa bibirku terasa berkedut saat kulihat ekspresi wajah Justin yang mengerikan. Persis seperti saat pertama aku melihatnya. Angkuh sekaligus dingin.

"Bisa kau lihat mataku, Babe?" lirihnya, dan aku hanya bisa terpaku merasakan hembusan napasnya yang menerpa wajahku. "Aku tak pernah seserius ini sebelumnya,"

Kutahan napasku selama beberapa detik kala kurasakan degup jantungku yang mulai berdetak lebih cepat. Kuberanikan diri untuk mengikuti kemauan Justin, menatapnya dan mencari ketulusan di dalamnya. Aku mencari-cari, iris mataku bergerak-gerak kecil menelusuri pendar keemasan yang bercampur dengan gradasi cokelat karamel di dalam matanya.

Dan aku menemukannya.

Aku menemukannya, tubuhku menegang kala ketulusan itu menghantarkan sengatan kecil ke dalam ulu hatiku. Di matanya terdapat sirat yang sama, sirat yang kutemukan dalam bola mata ibuku, a-ayahku, Connor. Katakan, apa aku salah melihat? Yang kutahu, Justin hanyalah lelaki player yang begitu narsistik dan sombong. Bukan lelaki tampan yang penuh keyakinan untuk meyakini soal..cinta.

Keheningan melingkupi kami, lagi. Sang gondolier mulai bernyanyi dengan lantang, itu tandanya, kami mulai melewati Jembatan Rialto. Beberapa detik aku dan Justin saling bersipandang, dengan mata yang saling bersirobok dalam, dan tiba-tiba aku mengalihkannya. Mataku mengerjap lantas mendongak untuk beralih menatap Jembatan Rialto yang indah di atas sana. Sepersekian detik, dapat kurasakan jemari Justin mulai menggenggam erat satu tanganku.

"Kau percaya mitos, Babe?" lirih Justin. Aku menoleh dengan cepat, rasanya dadaku berdesir dengan tenang saat kudengar ia mulai mengalihkan pembicaraan yang terlalu serius ini.

"Tidak," jawabku cepat. Justin menaikkan kedua alisnya lantas mengedikkan bahu. Aku terkekeh. Well, suasana mulai terasa mencair kembali.

"Aku juga tidak. Tapi, berciuman di bawah Jembatan Rialto sepertinya menyenangkan." Justin menyunggingkan senyum miring, satu alisnya kembali menukik dan sungguh, aku mulai gugup melihat ekspresinya yang memuakkan itu. "Siapa tahu, kita benar-benar berjodoh."

Belum sempat aku menjawab ucapan si bodoh itu, dia sudah menarikku ke dalam dekapannya dan mengarahkan wajahku ke hadapannya dengan raupan jari. Aku mengernyit lantas meronta kecil namun si Justin sialan mendekapku lebih erat lagi. Tubuhku sampai terasa sesak dibuatnya.

"Jangan mencoba merusak suasana lagi," bisik Justin sarat akan interupsi. Ia mulai mendekatkan wajahnya ke arahku, jarak kami kian menipis. Sial. Aku semakin merasa gugup kala si Justin sialan itu lagi-lagi memamerkan senyum miringnya. "You're only mine, Allegra Stewart."

Sial. Justin kian mendekat, kurasa aku mulai kehabisan oksigen kala bibirnya kian maju mendekati bibirku. Mataku membelalak, menyaksikan jarak yang sedikit demi sedikit semakin menipis. Aku tidak tahu harus bertindak bagaimana sekarang. Meninjunya? Aku tidak mau mengambil resiko jika dia terjatuh ke dalam air di sekitar Grand Canal. Mencekiknya? Geez, aku tidak mau mengambil resiko jika perahu yang kami tumpangi terbalik menyedihkan. Shit! Apa yang harus kulakukan? Well, untuk siapapun yang belum pernah berpacaran sebelumnya, kusarankan kalian untuk mencobanya karena ternyata pengalaman itu penting. Maksudku, pengalaman penting agar kita tidak gugup saat dihadapkan dengan situasi yang tengah kurasakan saat ini. Agar kita tidak terlihat tolol dan kalah seperti orang bodoh. Perempuan yang terlalu polos itu mudah diperdaya. Ah, dan bodohnya, kini aku tengah diperdaya.

Okay, akan kucoba untuk meraih pengalamanku sendiri. Kubiarkan Justin mendekat dan melakukannya tanpa harus kutinju wajahnya. Well, aku seorang gadis. Dan aku hanya tengah mencoba menjadi gadis normal. Gadis remaja yang pada dasarnya mulai mengenal cinta seperti ini. Apa salah jika aku mencobanya? Kurasa tidak. Maka dari itu, aku ikut mendekatkan wajahku di hadapan Justin. Hidung kami mulai saling bersentuhan, dan entah mengapa, keringat mulai menitik di sekitar wajahku. Tuhan, aku gemetar. Mata kami saling menatap begitu dalam. Bibir kami mulai saling bersentuhan..

Dan..Boom! Suara pecahan kaca yang begitu keras menginterupsi kami. Aku dan Justin kontan tersentak lantas saling menjauh satu sama lain. Dapat kudengar makian kecil dari mulut Justin dan dia menggerutu tidak jelas. Aku sendiri hanya bisa memalingkan wajah dengan kikuk, merasa gugup setengah mati.

"Apa yang terjadi?" tanya Justin pada gondolier di depan kami yang tengah mendongak ke arah Jembatan Rialto tanpa berhenti mendayung. Mata seorang gondolier itu tampak memicing, memastikan keributan yang terjadi di atas jembatan sana.

"Ada yang tengah mabuk di atas sana," balas gondolier itu. Beberapa detik ia memicingkan matanya, lantas mengedikkan bahu sambil lalu dan kembali bernyanyi.

Justin mendengus, ia sempat menoleh ke arahku sekilas lantas menghela napasnya. Aku terdiam kebingungan, lebih tepatnya, aku masih merasa gugup. Dan alih-alih sama gugupnya denganku, Justin tampak kesal dan..biasa saja. Mungkin dia tidak merasakan sensasi yang kurasakan karena well, dia sudah sering mencium gadis. Hah, persetan. Aku memilih untuk memalingkan wajah lantas mendengus kala kurasakan tangan Justin kembali merangkulku.

"Kita lanjutkan nanti, Babe." bisik Justin tepat di telingaku. Aku terpaku saat kurasakan hembusan napasnya meremangkan bulu kudukku.

Gondola yang kami naiki akhirnya melewati Jembatan Rialto. Beberapa meter lagi kami akan sampai di pelabuhan kecil. Mungkin Selena dan Jaden sudah lebih dulu sampai dan pergi dari kawasan ini. Dan sepanjang perjalanan menelusuri genangan air dengan Gondola, aku dan Justin tidak banyak bicara. Justin hanya diam merangkulku dengan erat sedangkan aku terdiam seperti orang bodoh. Hell! Aku masih merasa gugup. Coba bayangkan, aku nyaris berciuman dengannya. Itu gila!

Akhirnya, kami sampai di pelabuhan kecil. Justin membantuku turun dari Gondola dan menaiki pelabuhan. Pengunjung lain mulai bergilir menumpangi Gondola yang kunaiki sebelumnya. Hanya ada beberapa pengunjung yang datang. Justin mulai menuntunku menjauh dari pelabuhan lantas kembali mendekapku. Sial. Apa-apaan dia? Meski Grand Canal tengah sepi tapi tetap saja masih terdapat beberapa orang di sekitar sini. Dasar sinting!

"Justin!" tukasku memperingatinya. Alih-alih terkejut atas peringatanku, ia mencium puncak kepalaku. Sontak aku terdiam saat kurasakan tubuhku gemetar menerima sengatan dalam hatiku.

Justin berbisik lirih, jemarinya bergerak mengelus belakang kepalaku. "Pergilah ke Jembatan, Babe. Aku akan menyusulmu nanti."

"Kau mau--"

Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Justin sudah lebih dulu menyelanya dengan desisan. Ia mengerjap sekilas lantas melepaskan dekapannya perlahan. Iris matanya seketika bersirobok dengan mataku. Aku hanya bisa mengerjap beberapa kali, berusaha menahan rasa gugupku sampai akhirnya Justin mendekatkan wajahnya lantas mengecup dahiku lembut.

"Tunggu aku di jembatan, Oke?" gumamnya. Setelah itu, ia menjauh dariku dan pergi. Aku hanya bisa memandang kepergiannya dengan mata memicing, lantas mulai berlalu meninggalkan tempatku untuk pergi menuju Jembatan Rialto yang tidak jauh dari sini.



***



Aku tidak pernah menduga bahwa orang yang mabuk dan berbuat gaduh di tengah Jembatan Rialto adalah orang yang kukenal. Aku sama sekali tidak menduga kalau suara pecahan kaca yang memekakkan itu berasal dari pecahan botol alkohol yang sekarang masih berserakan di sekitar jembatan. Sekali lagi, aku tak pernah sedikit pun menyangka bahwa orang yang menginterupsiku dan Justin yang hampir berciuman tadi adalah;

Harry Styles.

Dia berada di tengah jembatan. Terdiam memandangi sungai Grand Canal diiringi kebisuan. Desiran angin menerbangkan beberapa helai rambutnya yang ikal. Pecahan botol alkohol bertebaran di sekitar jembatan dan ia menginjaknya. Aku tahu dia menyadari kehadiranku di sini, aku yang terdiam di ujung jembatan tanpa sanggup melangkah menghampirinya. Untuk saat ini aku berharap kedatangan Justin agar dia dapat membawaku pergi dari sini. Wajah Harry yang kini tampak angkuh enggan menatapku sama sekali. Dan itu membuatku muak.

Aku tidak mau tampak kalah dan bodoh di hadapannya. Maka aku mencoba memberanikan diri untuk melangkah menghampirinya. Well, aku tidak pernah bermaksud menghampirinya. Aku menunggu Justin di sini. Dan lagi, ini tempat umum. Harry tidak bisa melarangku untuk menjauh dari sini. Benarkan?

"Bereskan pecahan botol itu, kau merusak fasilitas tempat wisata. Itu tindakan kriminal," sindirku tajam saat aku sudah berdiri tepat di sampingnya. Bau alkohol begitu menyengat saat aku telah berada di sampingnya. Kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana yang kukenakan, lantas menghela napas.

Tanpa menoleh ke arahku, Harry mendesis. "Diam, Stewart."

Jujur saja, hatiku sakit kala mendengar nada bicaranya yang begitu ketus padaku. Aku tak menyangka bahwa kami akan saling menjauh seperti ini. Perkenalan kami saat dulu begitu manis. Dan kini, hanya karena seorang gadis yang tidak kuketahui dengan pasti, Harry menjadi begitu berengsek. Aku..membencinya. Tapi di sisi lain, rasa rindu dan cinta yang kupendam cukup lama terlalu mendominasi. Aku rindu menatap mata hijaunya dari dekat.

Maka kucoba untuk memancingnya agar ia menoleh, menoleh ke arahku dan memancarkan iris hijaunya yang indah. Yang sama seperti warna mataku.

"Apa gerangan yang terjadi padamu, Styles?" kusunggingkan senyum miring andalanku, lantas mendelik padanya. "Kau seperti orang idiot yang kehilangan akal sehat. Membuat keributan di mana-mana. Apa kau tidak cukup waras untuk menjaga sikapmu?"

Pancinganku berhasil. Harry mulai tersulut. Kedua tangannya yang menopang di sekitar pagar jembatan mulai terkepal kuat. Namun ia tetap diam tak bergeming tanpa sedikit pun melirikku. Dan entalah, rasanya aku semakin menggebu untuk terus memancingnya. Memancing amarahnya agar dia bjsa menoleh ke arahku. Memandangi wajahku lagi.

Aku mendecak, berpura-pura mencemoohnya. "Kau begitu menyedihkan, Harry. Mungkin sebentar lagi petugas keamanan akan datang dan melihat apa yang kau perbuat lantas mengamankanmu lagi. Apa kau tidak lelah? Apa kau tidak memiliki malu telah mencoreng nama baik sekolah kita? Kau pikir apa yang telah kau lakukan? Apa yang terjadi padamu, Huh? Apa karena Scarlett? Apa gadis itu begitu berpengaruh di otakmu sehingga kau begitu sinting sekarang?"

Perlahan, dengan rahang yang mengeras, Harry mulai menoleh ke arahku. Aku sempat terkejut melihat wajahnya yang memerah serta dipenuhi luka lebam. Kedua matanya juga memerah dan keringat tampak menitik di sekitar dahinya. Sirat matanya memancarkan amarah, Harry menggeram di sela-sela deru napasnya. Aku tahu kini ia begitu marah. Mungkin sebentar lagi dia akan meninju wajahku akibat perkataanku yang terbilang kurang ajar. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin melihatnya, memerhatikan wajahnya dari dekat setelah sekian lama kami saling menjauh. Aku, aku merindukannya.

"Kau pikir, kau tidak berpengaruh dalam keadaanku saat ini?" Harry tersenyum kecut. Perkataannya seketika membuatku bungkam. Ia menghembuskan napasnya dengan berat hingga bau alkohol kembali tercium. "Kau tidak tahu apapun, Allegra. Bahkan ketika aku berusaha memberitahumu, kau tidak pernah mau mengetahuinya."

Suaranya yang terdengar berat sekaligus serak membuat hatiku teriris. Dia terluka, aku tahu itu. Apa dia benar? Dia berusaha menjelaskan keingintahuanku mengenai Scarlett, namun aku menolaknya. Tetapi, aku juga mempunyai alasan untuk itu. Dia membohongiku, mencoba menjelaskan dengan cara yang salah. Dan tidak ada yang akan berubah dalam hubunganku dengannya meski dia berusaha memberitahuku. Aku membutuhkan kepastian dan dia tidak bisa memberikannya.

"Aku menolaknya karena semua hanya sia-sia." liriku tanpa sanggup memandang matanya yang mengarah padaku dengan telak. Kusapu pandanganku ke arah langit yang dihiasi semburat jingga.

"Sia-sia? Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk memperbaikinya."

"Kau menyia-nyiakannya, Harry."

"Aku tidak pernah berniat untuk menyia-nyiakan kesempatan yang kau berikan. Tidak pernah." balasnya dengan penuh penekanan. Dadaku terasa sesak saat mendengarnya. "Sudah cukup bagiku untuk menyesal selama ini, Allegra. Aku tidak mau menyesali kesempatanku lagi."

"Lalu apa? Nyatanya kau tetap bersama Scarlett dan membiarkanku bersama Justin. Kau..berengsek! Kau tidak pernah memberiku kepastian dan mengejarku. Apa kau pikir itu usaha yang cukup bagus agar kita bisa bersama?" balasku dengan sedikit gemetar. Aku menahan diri untuk tidak menangis. Tidak. Aku akan benar-benar menjadi orang tolol jika menangis hanya karena hal bodoh seperti ini. Tapi rasanya..rasanya sungguh menyakitkan.

"Aku berusaha dengan caraku sendiri."

"Dan usahamu sia-sia karena aku telah bersama Justin sekarang. Cukup, sialan. Kau membebaskanku untuk mendapat cinta yang lain dan sekarang kau tengah mencoba menarikku kembali? Harry, aku bukan boneka--"

"Aku telah membuangnya! Aku membuang Scarlett! Dan apa kau pikir semua itu mudah, Huh?" Harry memotong perkataanku dengan erangan keras. Aku tersentak melihatnya menggeram sambil meninju pagar jembatan dengan keras. Hembusan napasnya terdengar begitu kasar. Rambut ikalnya berjatuhan menutupi wajahnya. Perkataannya membuatku terpaku. "Dan semua itu kulakukan hanya untukmu. Hanya untuk kita. Hanya agar semua yang kulakukan tidak sia-sia dan berakhir dengan penyesalan."

Katakan bahwa semua ini salah. Katakan bahwa dia berbohong. Tolong katakan. Namun aku tahu semuanya terasa nyata kala ia meraup kedua pundakku hingga kini kami saling berhadapan. Beradu pandang, saling bersirobok dalam. Aku tak bisa memungkiri hatiku sendiri bahwa aku mencintainya. Dialah cinta pertamaku. Lelaki pertamaku. Lelaki pertama yang tak takut dengan penampilanku. Lelaki pertama yang berani mendekatiku setelah Connor. Lelaki pertama yang berani menatap dalam kedua mataku. Lelaki yang pertama yang berani menggenggam tanganku. Lelaki pertama yang berani memelukku. Lelaki pertama yang memujiku cantik, menganggapku utuh. Lelaki pertama yang menganggapku sebagai..gadis yang sesungguhnya. Dan rasanya miris saat kau mengetahui bahwa cinta pertamamu tak akan pernah berhasil.

"Kau--"

Harry membungkamku. Dan rasanya seluruh tubuhku tersengat saat ia membungkamku dengan bibirnya. Dia menciumku, menghantarkan sensasi aneh yang pertama kali kurasakan. Yang menggetarkan segenap hati dan pikiranku. Yang membuat aliran darahku berdesir lebih cepat, yang membuat kakiku terasa tak berdaya untuk menopang tubuhku sendiri. Aku sama sekali tak sanggup membalasnya saat Harry menggerakkan lidahnya untuk memagutku. Alih-alih aku hanya terdiam kaku dengan membuka mulut, memejamkan mata dan membiarkannya.

Bibir lembabnya yang penuh mulai menjauh dariku. Namun aku masih bisa merasakan kehangatannya di permukaan bibirku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Kami saling menjauh dengan napas yang memburu. Bau alkohol terasa di sekitar bibirku namun aku tak menghiraukannya. Aku hanya terpaku dalam diriku sendiri. Aku baru saja berciuman.

Dan rasanya tubuhku menegang saat kulihat tubuh tegap Justin yang berdiri di balik punggung Harry. Tidak. Ia melihatnya. Sebuket bunga mawar yang ada dalam genggamannya terjatuh begitu saja. Ia melihatnya. Ia melihatku.

TO BE CONTINUED!

A/N: Gimanaaaaaa? Gimanaaaaaa? Aduh gak tau harus ngomong apaan. Pokoknya komen deh! Maaf kalo cerita ini agak lama dianggurin. Semoga kalian suka terus. Coba deh komen yang panjang biar gue semangat lanjutinnya. Sebab utama gue lebih sering lanjutin Slut daripada cerita ini gak lebih karena pembaca Slut lebih cerewet. See ya!

60votes, 5komen, langsung lanjut.

Love, Badgal💋

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

825K 87.2K 58
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
48.9K 6.5K 40
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
331K 27.5K 39
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
481K 48.3K 38
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...