TAMAT - Under Cover

By fuyutsukihikari

253K 19.6K 1.1K

SASUFEM!NARU FANFICTION VERSI LENGKAP BISA DIBELI DI GOOGLE BOOK/PLAY Naruto yang berprofesi sebagai intel, a... More

Chapter 1 : Back To High School
Chapter 2 : I Know What You Did
Chapter 3 : You Can Cry On My Shoulder
Chapter 4 : I'm Worried About You
Chapter 5 : Second Kiss
Chapter 6 : After School Detention
Chapter 7 : Kurama
Chapter 8 : Ikatan Baru
Chapter 9 : New Team
Chapter 10 : A Thousand Tears
Chapter 11 : She
Chapter 12 : Hold My Hand
Chapter 13 : Mimpi Buruk?
Chapter 15 : Titik Terang Bag. 2
Chapter 16 : Duniaku Hancur Part 1
Chapter 16 : Duniaku Hancur Part. 2
Chapter 17 : Rencana Bag. 1
Bab 18. Misi Anko Part 1
Bab 18.2 : Misi Anko Part 2
Bab 19. Mengawasi Kurama
Chapter 19 Part 2 : Mengawasi Kurama
Chapter 20 : Sebuah Pilihan
Chapter 21 :
Chapter 22
Chapter 23. Menemukanmu
End

Chapter 14 : Titik Terang Bag. 1

8.2K 679 73
By fuyutsukihikari

Author playlist : Julia Michaels - Issues

***

Hai... untuk yang minat beli pdf Under Cover bisa DM saya ya. Harga 70rb. Thank you!  ^^

***

Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto.

Pairing : SasuFemNaru

Rated : M

Genre : Crime, Action, Friendship, Romance, Angst

Warning : Gender switch, OOC, OC, typo(s)

Note : Dilarang copy paste sebagian ataupun keseluruhan isi fict ini maupun fict milik saya lainnya!

Under Cover

Chapter 14 : Titik Terang Bag. 1

By : Fuyutsuki Hikari

Ruang meeting itu kini kembali sepi. Hanya ada dua orang yang tersisa di dalam ruangan yang awalnya penuh sesak oleh anggota kelompok Hebi. Zetsu dan Kabuto keduanya tetap tinggal di sana, saling menatap tajam, penuh benci.

Suara jarum jam dinding kini terdengar mencekam, layaknya nyanyian kematian, berdetak memecah keheningan ruangan. Suhu udara di dalam ruangan itu juga terasa lebih dingin, bukan karena alat penghangat ruangan yang rusak, namun lebih disebabkan ketegangan dan permusuhan yang menguar kuat dari dalam diri kedua orang tersebut.

Zetsu meminta Kabuto untuk tetap tinggal. Sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak diperkirakan oleh Kabuto. Bagaimana dia bisa menolak permintaan menjengkelkan itu jika Zetsu mengatakannya dengan sangat manis, tepat di depan hidung Orochimaru saat rapat tadi. Hampir saja Kabuto menarik pistolnya karena muak. Dia tidak tahan mendengar sanjungan dan pujian Orochimaru untuk Zetsu yang selama rapat berlangsung terus melempar senyum mengejek ke arah Kabuto.

Kabuto kembali merengut saat ingat jika Orochimaru pasti memberi nilai tambah pada Zetsu yang mengambil inisiatif untuk menghentikan perang dingin diantara mereka. Dasar penjilat! Batin Kabuto marah. Aku pasti membunuhmu cepat atau lambat. Tambahnya dalam hati, penuh dendam.

"Kabuto?!" panggil Zetsu lagi untuk yang ketiga kalinya.

Kabuto mendongak, menatap wajah orang yang memanggilnya dengan nada angkuh. Kabuto jelas merasa terganggu melihat ekspresi congkak Zetsu saat ini. Gigi pria itu gemertuk, wajahnya kaku, rahangnya semakin mengeras sementara kedua tangannya terkepal di atas pangkuannya, menahan marah. "Apa yang kau inginkan?" tanya Kabuto dengan ekspresi benci yang terlihat jelas. "Kau sudah tahu dengan jelas jika aku tidak suka berada di dalam satu ruangan denganmu!"

Tidak sulit bagi Zetsu untuk mengetahui jika Kabuto benar-benar marah padanya. Hei, sejak kapan keduanya akur? Keduanya harus bersaing hebat untuk mendapat kepercayaan Orochimaru. Tidak jarang mereka terluka untuk melindungi bos besarnya tersebut. Semua hal kotor mereka lakukan demi meraih kepercayaan Orochimaru. Pengaruh yang besar di dalam organisasi sama dengan kedudukan, serta uang, uang, dan uang. Sesuatu yang sepadan untuk apa yang mereka korbankan, bukan?

Zetsu mendudukkan diri di atas meja dengan seringai penuh kemenangan. Rapat yang digelar Orochimaru sudah selesai sejak lima menit yang lalu dengan keputusan; Zetsu menjadi wakil Orochimaru, menangani transaksi senjata dengan mafia Rusia. "Kali ini aku mengandalkanmu untuk mengamankan lokasi."

Kepalan tangan Kabuto mengerat, membuat jari-jari tangannya memutih. Kabuto tidak yakin akan sanggup menahan emosinya lebih lama lagi, jika Zetsu terus bicara dengan nada sombongnya.

"Kau tahu 'kan jika transaksi besar ini tidak akan berhasil tanpa kerjasama semua anggota kelompok." Sambil mengatakannya, Zetsu menyapu ringan bahu Kabuto dengan telapak tangan kanannya. Ekspresinya terlihat semakin senang saat Kabuto menatapnya dengan tatapan dingin.

"Jangan menyentuhku!" desis Kabuto penuh penekanan, dia menepis tangan Zetsu kasar dan berdiri tegak dengan sikap menantang.

Zetsu memiringkan kepalanya ke satu sisi. "Aku hanya menyingkirkan debu dari pakaianmu," sahutnya dengan senyum malaikat, namun nada suaranya terdengar mencemooh. "Kau terlalu lama berada di dalam kubangan, Kabuto. Suatu prestasi besar mengingat kau datang tanpa membawa bau busuk dari kubangan kotor itu. Well, walau harus kukatakan jika penampilanmu sekarang tidak sekeren dulu."

Dengan gerakan cepat, Kabuto mengeluarkan pistol tangannya dari balik jas hitamnya, amarahnya semakin memuncak. Tanpa ragu dia menempelkan mulut pistolnya tepat di dahi Zetsu. "Kau ingin mati, huh?!" ancam Kabuto sungguh-sungguh, lupa jika dia akan kehilangan segalanya jika tidak hati-hati.

Zetsu tersenyum lebar, terlihat tidak takut pada senjata yang ditodongkan kepadanya. "Aku mungkin akan mati di tanganmu, tapi apa kau yakin bisa keluar dari ruangan ini dalam keadaan hidup?" Zetsu bicara dengan tenang walau seringaian mengejek itu kembali terlihat di wajahnya. "Anak buahku tidak akan tinggal diam jika aku mati di sini, dan Bos Besar- dia juga pasti membunuhmu dengan keji." Zetsu menyingkirkan mulut pistol Kabuto dengan tangannya secara perlahan. Pria itu menjulurkan kepalanya dan berbisik pelan di telinga Kabuto. "Kau akan kehilangan segalanya jika salah langkah!" ancamnya tajam.

Kening Kabuto berkedut, marah, pria berkacamata itu sangat marah. Perlahan dia menurunkan senjatanya walau tidak rela. Dengusan kasar terdengar dari mulutnya saat dia kembali menghempaskan pantatnya dengan keras ke atas kursi dan memasukkan kembali pistol tangannya ke dalam saku jas.

"Ternyata akal sehatmu bekerja dengan sangat baik," ejek Zetsu yang kini tertawa puas karena saat ini dialah yang berada di atas angin. "Sebaiknya kau mulai menjaga sikapmu, Kabuto! Aku bukan lagi Zetsu yang dulu. Karena seperti yang kau tahu, dengan posisiku sekarang, aku bisa melenyapkanmu dari organisasi kapan saja!"

Keadaan di luar ruangan itu pun sama panasnya, baik anak buah Zetsu maupun anak buah Kabuto berdiri dengan sikap siaga, melempar tatapan tidak percaya dengan aura membunuh yang kental. Mereka harus selalu siap jika hal paling buruk terjadi, begitu juga dengan Kakashi dan Yamato, keduanya tetap memasang ekspresi tenang, bersikap seolah tidak saling mengenal satu sama lain. Misi yang mereka emban membuat keduanya kini berada di dalam dua kubu yang bersebrangan. Sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak mereka perhitungkan sebelumnya.

.

.

.

Pagi ini suasana di Konoha High School lebih ribut daripada hari-hari biasanya. Murid-murid berlari menuju satu tempat; gedung olahraga. Bisik-bisik mulai menjalar dari mulut satu murid ke murid lainnya, hal penting apa yang menyebabkan kepala sekolah mengumpulkan murid-murid di gedung olahraga sepagi ini.

"Apa yang terjadi?" tanya Sasuke pada Gaara, tanpa mengidahkan keributan di sekitar mereka, keduanya berjalan santai menuju gudang olahraga.

"Sas, cepat! Semua murid sudah berkumpul," seru Neji yang berdiri di depan pintu masuk gedung olahraga.

Sasuke hanya menghela napas kasar, tanpa terpengaruh ucapan Neji, dia terus berjalan santai, masuk ke dalam gedung olahraga. Pemuda itu sangat terkejut saat melihat Naruto berdiri di sana bersama rekannya yang seingat Sasuke bernama Utakata, ekspresi keduanya terlihat sangat serius sementara beberapa guru, termasuk Kurama dan Itachi berdiri tenang, walau dari ekspresinya jelas mereka sedang gelisah saat ini. Apa yang terjadi? tanya Sasuke di dalam hati.

"Aku dengar ada murid yang berusaha menyelinap keluar asrama, tadi malam," kata Kiba pada Neji dan Shikamaru yang berdiri di kanan-kirinya. "Naruto dan Kurama-sensei memergoki mereka tadi malam dan melaporkannya pada kepala sekolah."

"Kau tahu darimana?" Neji melirik ke arah Kiba, dengan sebelah alis terangkat.

"Gosipnya cepat menyebar di kantin tadi," sahut Kiba yang semakin penasaran saat melihat Hanzou; kepala sekolah juga berada di dalam ruangan ini. "Kalau bukan hal yang sangat penting dan mendesak, kepala sekolah tidak mungkin mengumpulkan kita semua di sini."

Benar, pikir Sasuke. Tidak mungkin kepala sekolah berada disini jika tidak ada hal penting. Saat ini kepala sekolah terlihat tengah berbicara dengan Naruto, keduanya terlihat tegang. Untuk sesaat pandangan Sasuke dan Naruto bertemu sebelum akhirnya Naruto memutuskan kontak mata itu dan kembali menatap rekan bicaranya.

Kepala sekolah mengangguk pelan sebelum berjalan menuju mimbar, tatapannya tertuju pada semua murid yang berbaris rapih di depannya. Suara dehaman sang kepala sekolah menghentikan bisik-bisik para murid. "Selamat pagi!" sapanya dengan suara tegas. Pria itu masih bisa berdiri tegak diusianya yang sudah lanjut.

"Selamat pagi!" murid-murid itu membalas sapaannya kompak lalu membungkuk untuk memberi hormat.

"Kalian pasti bertanya-tanya kenapa kami; guru-guru mengumpulkan kalian semua di sini," ujarnya membuka bahasan panjangnya. "Tadi malam, beberapa murid tertangkap basah mencoba untuk keluar dari asrama," katanya membuat para murid membelalakkan mata dan suara bisik-bisik pun kembali terdengar.

"Apa kubilang!" seru Kiba dengan dagu terangkat, dia menyeringai penuh kemenangan. "Tidak selamanya gosip itu bohong."

"Ya... ya... terserah!" tukas Neji datar.

Kepala sekolah kembali berdeham untuk meredam suara ribut para murid. "Hal yang tentu saja sangat aku sesali, dan aku sama sekali tidak menyangka jika murid-muridku berani melakukan pelanggaran seberat itu, dan seperti yang kalian ketahui, saat ini keamanan sekolah kita dalam kondisi kritis setelah penyerangan yang lalu, aku harap kalian bisa menjaga diri kalian, kalian harus bisa menahan diri untuk tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran yang bisa membahayakan keselamatan kalian sendiri!" ucapnya begitu tegas. Para murid yang mendengarnya menundukkan kepala, merasa bersalah.

Sementara Hanzou terus berbicara, Sasuke mendongakkan kepala dan lagi-lagi tatapannya bertemu dengan Naruto. Tatapan gadis itu terarah lurus padanya, begitu tajam dan menghakimi. Ayolah, Sasuke tahu betul apa maksud tatapan Naruto saat ini. Tatapan Naruto seolah berkata; awas kalau kau berani menyelinap keluar asrama lagi!

Sasuke mengangkat kedua alisnya dan melipat kedua tangannya di depan dada, bersikap menantang. Naruto melotot kearahnya, dan Sasuke hanya membalasnya dengan menyeringai jail. Ah, kapan lagi dia bisa mengusili Naruto?

Seringaian jail pemuda itu lenyap seketika saat tatapannya bertemu dengan tatapan Kurama yang berdiri di samping Naruto, menatapnya tajam. Ck, kenapa Kurama harus mengganggu disaat-saat seperti ini? Menyebalkan! gerutunya sebal, di dalam hati, dan ia pun kembali memfokuskan diri untuk mendengarkan ucapan Hanzou.

"Murid-murid yang melakukan pelanggaran sudah kami beri sanksi dan kami kembalikan ke orangtua mereka masing-masing untuk waktu yang belum ditentukan," ujar Hanzou dengan nada menyesal. "Setiap pelanggaran harus ada sanksi, bukan?! Dan aku sangat berharap kejadian malam ini menjadi yang terakhir kalinya!" tambahnya membuat murid-murid kembali ribut. "Tidak akan ada maaf untuk pelanggaran berat, terlebih jika pelanggaran itu bisa membahayakan nyawa kalian! Sekarang kembali ke kelas kalian masing-masing! Selamat pagi!" tutupnya sebelum berbalik pergi.

Para guru dan murid pun membubarkan diri dengan teratur, sementara Sasuke sengaja menunggu Naruto dan menarik wanita itu ke lorong sekolah yang tidak dilalui oleh para murid. "Ada apa?" tanya Naruto malas saat Sasuke menggenggam pergelangan tangannya dan menariknya paksa. "Aku sedang sibuk, aku harus patroli," ujarnya lagi.

"Sejak kapan kau jadi satpam?" tanya Sasuke datar, membuat Naruto mendesis dan mendelik ke arahnya. "Kau membuat murid-murid itu dikeluarkan dari sekolah!" tuduh Sasuke penuh penekanan.

"Bukan aku yang menyebabkan mereka dihukum, dan asal kau tahu, mereka tidak dikeluarkan, hanya diskors untuk sementara waktu," ujarnya membela diri. "Seperti yang dikatakan oleh kepala sekolah, menyusup keluar sekolah bisa membahayakan nyawa kalian, dan kau termasuk di dalamnya, Sasuke!"

"Aku sudah berhenti main-main," timpal Sasuke santai. "Aku harus mengejarmu, ingat?!"

"Aish... kau harus melakukannya untuk masa depanmu, bukan untuk mengejarku!"

"Sama saja," sahut Sasuke datar. "Karena kau masa depanku," tambahnya sebelum berbalik pergi meninggalkan Naruto yang hanya bisa menatap punggung Sasuke dengan tatapan tak percaya.

.

.

.

Naruto tidak habis mengerti kenapa Sasuke terobsesi pada dirinya. Pemuda itu bisa mendapatkan wanita mana pun yang diinginkannya. Dengan latar belakang keluarga, serta otak encer pemuda itu, masa depan Sasuke pasti terjamin.

Dia pun menyelesaikan patrolinya pada pukul sepuluh pagi, lalu menyerahkan pekerjaannya pada Utakata sebelum kembali ke markas besar.

Jalanan kota Tokyo lebih lenggang saat ini, dia hanya perlu waktu tiga puluh menit untuk sampai ke sana.

"Kenapa wajah kalian sangat tegang?" tanya Naruto yang siang ini baru datang ke markas. Fuu menempelkan jari telunjuknya di depan mulut dan meminta Naruto untuk duduk. "Ada apa?" bisik Naruto pelan sementara Sanbi dan Fuu menatapnya dengan ekspresi serius.

"Kapten marah besar!"

Sebelah alis Naruto terangkat saat mendengar penuturan Sanbi. "Apa yang terjadi?" tanyanya penasaran.

"Pihak kepolisian pusat mengambil alih kasus penemuan enam mayat yang tengah diselidikinya," Fuu menimpali. "Hal itu membuat kapten marah besar karena semua hasil penyelidikannya yang bersifat rahasia juga harus dilaporkan ke pihak kepolisian."

"Kapten, Gobi dan Yugito tengah mengutarakan keberatan mereka pada kepala kepolisian, dan meminta kepala militer untuk mendukung protes mereka," tambah Sanbi.

"Kenapa tiba-tiba mereka meminta wewenang penuh untuk menangani kasus ini?" tanya Naruto lagi, tidak mengerti. "Bukankah enam mayat yang kita temukan merupakan anggota kelompok Hebi?"

"Itu yang membuat beliau bertambah marah," ujar Fuu dengan ekspresi serius. Wanita itu melambaikan tangan di depan mukanya, meminta Sanbi dan Naruto untuk lebih mendekat. "Kurasa ada musuh dalam selimut," katanya setengah berbisik namun efeknya begitu dramatis, Naruto dan Sanbi membulatkan kedua mata mereka, dan menatap lurus wajah Fuu yang balas menatap keduanya dengan sebelah alis terangkat.

"Hati-hati dengan ucapanmu!" tegur Sanbi, mengingatkan. "Kau bisa membuat kita mencurigai satu sama lain!" tambahnya tajam. "Hal yang bisa membuat kita hancur adalah hilangnya kepercayaan diantara kita, dan pemikiranmu itu bisa menjadi salah satu penyebabnya."

Fuu menghela napas panjang dan menyahut cuek. "Operasi kita tadi malam tidak mungkin gagal jika tidak ada orang yang membocorkannya!"

"Apa maksudmu?" kening Naruto ditekuk saat mengatakannya.

"Mereka tahu jika sedang diawasi dan mereka melarikan diri tepat di bawah hidung kami," keluh Fuu, sangat kesal. "Kami sudah mengintainya selama lima hari, dan semuanya hancur. Gagal total. Tadi malam penjahat-penjahat sialan itu tidak ada di klub, sementara gudang yang dijadikan markas dan tempat penyekapan selama ini sudah kosong. Mereka menghilang tanpa jejak. Bukankah tidak masuk akal jika tiba-tiba saja mereka mengetahui kami mengintai dan akan menangkapnya tadi malam?"

"Hanya beberapa orang penting saja yang mengetahui mengenai operasi tadi malam," Sanbi menyambung ucapan Fuu. "Kami bahkan tidak berhasil menemukan satu remaja pun yang dikabarkan disekap untuk dijual-belikan secara tidak manusiawi. Mereka dijual ke luar negeri untuk dijadikan pelacur dan budak seks."

"Kenapa aku tidak tahu mengenai hal ini? Kapten tidak mengatakan apapun tentang operasi tadi malam."

"Kapten tidak mau membebanimu dengan tugas berat lainnya," jawab Fuu, meminta maaf. "Tugas di pundakmu sudah terlalu banyak, Naruto, kau harus membaginya dengan kami."

Naruto menghela napas sebelum akhirnya mengangguk paham. "Lalu, apa kasus ini ada hubungannya dengan kelompok Hebi?"

"Ya. Tersangka utama dalam kasus ini merupakan anak buah dari Bos Besar. Tangan kanan kepercayaannya; Zetsu," jawab Sanbi. "Si Brengsek itu menculik gadis-gadis remaja dari pinggiran kota, menyekapnya lalu menjualnya."

"Dan operasi kalian tadi malam gagal?" gumam Naruto. "Mungkinkah apa yang dipikirkan oleh Fuu memang benar? Bagaimana jika musuh mengetahui rencana-rencana kita lewat orang dalam?"

"Kuharap apa yang dipikirkan oleh Fuu tidak terjadi," kata Sanbi penuh pengharapan. "Nyawa Kapten Kakashi dan Kapten Yamato berada diujung tanduk jika musuh berhasil mengetahui identitas keduanya."

"Bukankah penyamaran keduanya hanya diketahui oleh kelompok kita, kapten dan kepala militer?"

Sanbi menatap Naruto dan kembali bicara dengan nada ragu, "karena itu aku berharap jika si pengkhianat bukan salah satu di antara kita, karena nyawa kedua kapten kita itu menjadi taruhannya saat ini," dia berhenti sejenak. "Akan sangat menyakitkan jika pengkhianatnya salah satu dari kita."

Dan keheningan pun kembali mengambil alih suasana di dalam ruangan itu untuk waktu yang cukup lama.

.

.

.

"Brengsek!" raung Bee saat memasuki kantor kerjanya. Yugito dan Gobi mengekor di belakangnya, terlihat sama marahnya. Bee membanting berkas di tangannya ke atas meja dan menggebrak meja kerjanya dengan keras. "Polisi sialan itu mengambil kasus yang tengah kita selidiki. Jika seperti ini, kenapa mereka harus meminta bantuan kita? Seharusnya dari awal mereka tidak melibatkan kita!"

"Apa yang terjadi?" Naruto bertanya dengan nada lemah-lembut, mencoba untuk menenangkan emosi atasannya itu. "Kita benar-benar kehilangan hak untuk kasus penemuan enam mayat itu?"

"Ya," Bee menghela napas panjang dan mendudukkan diri di atas kursinya dengan keras. "Si Brengsek itu meminta hak penuh untuk penyelidikan enam mayat itu. Dia meminta semua hasil laporan yang kita miliki."

"Kau tidak memberikan semuanya, kan?" Naruto bertanya dengan nada geram, ikut merasa kesal.

"Tidak," Bee menggelengkan kepalanya pelan. "Tentu saja aku tidak akan memberikan semuanya. Aku dan kakakku berpikir ada salah satu petinggi yang menjadi kaki tangan kelompok Hebi. Jika hal itu benar, kita harus lebih berhati-hati. Apa pun yang kita lakukan tidak boleh bocor keluar. Hanya aku, kakakku dan kalian berenam yang boleh tahu. Mengerti?"

"Mengerti," jawab Naruto dan keempat rekannya yang lain dengan kompak.

.

.

.

Satu hari pun berlalu dengan cepat setelahnya.

Sesaat setelah jam istirahat berbunyi, Sasuke segera meluncur untuk mencari keberadaan Naruto. Mulutnya ditekuk ke atas saat dia berhasil menemukan keberadaan Naruto. Wanita yang dicarinya itu tertidur di atas kursi, dengan buku sebagai bantalan kepala. Pemuda itu hanya perlu satu lirikan tajam untuk mengusir murid-murid yang duduk dekat dengan meja Naruto. Keberadaan murid-murid itu bisa mengganggu tidur Naruto, pikirnya.

Sasuke menarik pelan sebuah kursi dan duduk tepat di seberang meja Naruto. Dalam diam dia mengamati wajah Naruto yang terlihat begitu damai. Dia kemudian bergerak untuk membuka jas seragam yang dikenakannya, lalu dengan langkah pelan dia berjalan ke belakang Naruto untuk menyampirkan jas miliknnya di punggung wanita itu.

Sebuah ide jail melintas di otak Sasuke. Dia berdiri, berbalik dan bergerak untuk meminjam sebuah pulpen dan meminta selembar kertas kepada Mei. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Mei, Sasuke segera kembali ke meja Naruto. Dengan susah payah dia meletakkan kertas yang sudah ditulisinya itu di bawah buku yang dijadikan bantal kepala oleh Naruto.

Sebenarnya banyak hal yang ingin dibicarakannya dengan gadis ini, namun untuk saat ini, hanya melihat Naruto tidur nyenyak saja sudah lebih dari cukup bagi Sasuke. Merasa takut jika kehadirannya mengganggu tidur Naruto, akhirnya dia pun memutuskan untuk pergi- kembali ke kelasnya.

Naruto terbangun beberapa detik sebelum bel tanda jam makan siang berakhir berbunyi sangat nyaring di seluruh penjuru sekolah. Awalnya dia tidak yakin dimana dia berada saat ini. Namun deretan rak-rak kokoh penuh buku, lalu meja serta kursi yang berderet rapih kembali membuatnya ingat jika dia sedang berada di dalam perpustakaan sekolah saat ini.

Wanita muda itu merentangkan kedua tangannya lebar untuk meregangkan otot-otot punggungnya yang kaku, beberapa detik kemudian kepalanya melirik ke bawah saat merasakan sesuatu jatuh dari punggungnya. Dia memungut sebuah jas seragam sekolah dari lantai dan tersenyum tipis saat penciumannya yang tajam mengenali dengan jelas pemilik dari wangi parfum beraroma kayu-kayuan lembut dan citrus yang menguar dari jas tersebut.

Sasuke pasti menyampirkan jas miliknya saat melihat Naruto tertidur dengan tidak nyaman di kursi. Senyum wanita itu memudar saat dia membaca isi dari sebuah kertas yang diselipkan pada buku yang dijadikannya sebagai bantalan kepala.

Bisakah kau mencari tempat lain untuk tidur? Air liurmu bisa mengotori buku yang kau jadikan bantal itu, Dobe! Sebagai seorang wanita, kau sama sekali tidak ada manis-manisnya!

Naruto mendengus keras setelah selesai membacanya. "Dasar sok keren!" makinya cukup keras sembari meremas kertas bertulis tangan Sasuke.

"Siapa?" tanya Mei yang entah sejak kapan sudah duduk di seberang meja Naruto. Senyumannya terkembang saat Naruto menyerahkan kertas kusut itu padanya. "Hubungan kalian sangat manis. Aku tidak menyangka jika Sasuke bisa bersikap romantis," ujarnya penuh kekaguman.

Mulut Naruto terbuka lebar saat mendengarnya, dia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya dia kembali bicara dengan nada jengkel. "Sasuke jelas-jelas menghinaku, bagaimana bisa Anda menyebutnya romantis?"

Mei terkekeh kecil dan menjawab tanpa keraguan, "dia mengkhawatirkanmu. Jika kau bisa membaca makna lain dari tulisan ini, dia ingin kau mencari tempat yang lebih nyaman untuk tidur."

"Anda terlalu banyak membaca novel percintaan," balas Naruto datar sementara Mei hanya mengangkat sebelah bahunya dengan cuek lalu kembali berkata, "bukankah itu jas seragam milik Sasuke?"

"Ya," jawab Naruto pendek.

"Romantisnya," seru Mei dengan mata berbinar kagum dan jemari yang saling bertaut di depan dada, seperti sedang berdoa. "Aku ingin sekali memiliki kekasih yang perhatian dan romantis seperti itu," tambahnya penuh harap.

"Sasuke bukan kekasihku," ralat Naruto terlalu cepat.

"Tapi dia menyukaimu," balas Mei tidak mau kalah. "Dan bukankah kau juga menyukainya?" tambahnya dengan mata menyipit.

Naruto menghela napas panjang, dan tersenyum kecil sebelum menjawab. "Kami tidak mungkin bersama. Anda tahu 'kan, terlalu banyak perbedaan diantara kami; usia, pekerjaan, latar belakang," Naruto menarik napas, seolah hal itu bisa meredakan sesak yang tiba-tiba mecengkram dadanya. "Dengan bertambahnya usia, Sasuke akan melupakanku dan mendapatkan seseorang yang lebih pantas untuknya. Rasa sukanya kepadaku hanya sebatas cinta monyet,tidak lebih."

"Hanya waktu yang bisa menjawabnya," ujar Mei tenang. "Ngomong-ngomong, apa kau sudah makan?"

"Belum," jawab Naruto sembari menggelengkan kepala pelan.

"Kalau begitu tunggu sebentar!" ujar Mei sebelum berdiri dan bergerak pergi untuk mengambil makanan dan minuman dari lemari pendingin berukuran mini- satu pintu yang diletakkan tersembunyi di bawah meja kerjanya.

Mei pun kembali ke meja Naruto sepuluh menit kemudian. Kedua mata Naruto berbinar senang saat melihat sesuatu yang dibawa oleh Mei. "Itu untukku?" tanyanya dengan air liur yang hampir menetes jatuh.

Mei tersenyum dan meletakkan sepotong red velvet dan segelas americano dingin tepat di bawah hidung Naruto. "Kurasa ini cukup untuk mengganjal perutmu untuk sementara," tukasnya.

"Ini lebih dari cukup," seru Naruto senang namun wajahnya kembali ditekuk dan dia menatap lurus Mei, penuh tanda tanya. "Apa aku boleh makan di sini?"

"Bukankah peraturan ada untuk dilanggar?" kata Mei dengan binar jail. "Ayolah, ini bukan pelanggaran berat," katanya terkekeh pelan. "Ayo makan!"

"Terima kasih," jawab Naruto penuh rasa syukur. Sementara Naruto makan cake dengan lahap, Mei membuka salah satu buku dongeng yang tergeletak di atas meja. "Ada apa?" tanya Naruto dengan mulut penuh saat Mei merengut dan menghela napas panjang.

"Lihat!" Mei menunjukkan halaman buku itu pada Naruto. "Jika aku menemukan pelakunya, aku akan menghukumnya untuk mengepel seluruh lantai perpustakaan ini dan membereskan semua buku yang ada di sini," ujarnya kesal.

"Memangnya kenapa?" Naruto kembali bertanya dengan kening ditekuk dalam. Mei mengetukkan jarinya di atas halaman buku itu, menunjuk beberapa huruf yang diberi garis bawah dengan menggunakan pensil. Naruto segera meletakkan garpu di tangannya dan mengambil buku dongeng berjudul Little Mermaid dari Mei. Naruto mengamatinya dengan cermat, dalam buku dongeng itu ada beberapa kata yang digaris bawahi.

Brengsek! Kenapa aku melewatkan hal penting seperti ini? Maki Naruto di dalam hati. Dia mengambil sebuah pulpen dari dalam jas militernya dan mulai menuliskan huruf demi huruf yang diberi garis bawah.

"Aku menjaga buku-buku ini dengan sepenuh hati," gerutu Mei karena kesal, sama sekali tidak menyadari jika Naruto tidak mendengarkan keluh kesalnya saat ini. "Tapi lihatlah! Entah siapa yang dengan teganya mengotori buku ini. Kurasa aku harus lebih jeli saat para murid mengembalikan buku-buku pinjaman," katanya lagi dengan ekspresi serius. "Aku harus menghapus tanda-tanda itu. Untung saja dia menggunakan pensil, bukan pulpen." Mei terus menggerutu dengan wajah cemberut.

Naruto kembali membuka halaman demi halaman pada buku itu, memeriksa dengan teliti. Setelah yakin jika sudah tidak ada petunjuk lain dalam buku itu, dia pun membaca hasil dari penemuannya. "Grimm bersaudara?" gumamnya pelan namun masih sanggup didengar oleh Mei.

"Apa?"

Naruto menatap Mei dan kembali bicara, "Grimm bersaudara," ulangnya. Dimana aku pernah mendengar nama itu? "Huruf-huruf di dalam buku ini menyusun dua kata itu. Anda tahu siapa itu Grimm bersaudara?" tanyanya pada akhirnya.

"Tentu saja aku tahu," seru Mei sembari mengibaskan salah satu tangannya di udara. Dia tidak akan menjadi pustakawati jika tidak suka membaca buku, kan? "Mereka pengarang buku terkenal yang berjudul Hansel dan Gretel. Tidak mungkin jika kau tidak pernah mendengar kisah tentang Hansel dan Gretel."

"Ah, bagaimana aku bisa lupa tentang buku itu?" gerutu Naruto sebal pada dirinya sendiri. "Aku pernah membacanya, dulu. Tapi buku itu bukan buku cerita favoritku."

Sebelah alis Mei terangkat. "Kenapa?"

"Aku tidak suka akhir ceritanya," jawab Naruto. "Kedua anak itu menjadi santapan nenek sihir," tatapannya menerawang saat mengucapkannya. "Apa Anda memiliki buku itu?" tanyanya lagi setelah pikirannya kembali fokus.

"Tentu," jawab Mei antusias. "Ayo, aku bantu kau mencarinya," tukas Mei baik hati.

Keduanya segera bergegas menuju rak di pojok kanan perpustakaan. Mei mengambil sebuah tangga yang memang disediakan untuk menjangkau buku-buku yang diletakkan di bagian paling atas rak buku. "Apa menurutmu hal ini ada kaitannya dengan Tayuya?" tanya Mei saat melihat ekspresi serius Naruto saat membuka halaman demi halaman buku yang disodorkannya.

"Akan lebih aman jika Anda tidak mengetahui apa pun mengenai hal ini, Mei-san. Aku tidak mau melibatkanmu dalam hal berbahaya ini."

"Aku mengerti," sahut Mei bijak. "Aku tidak akan bertanya lagi. Tapi aku akan senang jika bisa membantu," tambahnya. "Ah, kau tidak perlu mengatakan alasannya!" ujarnya cepat membuat Naruto kembali menutup mulut.

Naruto kembali membuka halaman demi halaman pada buku itu, dan perkiraannya benar. Ada petunjuk lain di dalam buku itu. Sebuah kertas kecil berwarna merah muda sengaja diselipkan pada halaman tengah buku. "Sisa-sisa mayat manusia sangatlah berharga, bila ia bersikap mulia ketika masih hidup." Naruto membacanya pelan namun tidak membaca angka-angka yang juga terdapat di dalam kertas tersebut.

"Ah, itu salah satu kutipan yang terdapat dalam novel karya Emily Brontë," jawab Mei yakin. "Aku memiliki novelnya di sini. Kau mau pinjam?"

"Ya," jawab Naruto penuh rasa terima kasih. Lagi-lagi Mei mencarikannya untuk Naruto, kali ini sebuah novel berjudul Wuthering Heights. "Ini. Kau boleh meminjamnya, dan aku tidak akan memasukkannya ke dalam laporan, tapi setelah selesai, kau harus mengembalikannya dalam kondisi utuh. Asal kau tahu, kami hanya memiliki satu buku saja untuk novel ini. Novel ini edisi lama dan termasuk langka."

"Aku mengerti," jawab Naruto. "Terima kasih untuk pengertian Anda."

"Sudah menjadi kewajibanku untuk membantu," jawab Mei tenang. "Dan sudah menjadi kewajibanmu untuk memecahkan kasus ini. Mengerti?"

Naruto pun mengangguk paham menjawab pernyataan Mei.

.

.

.

Naruto terus berjalan cepat sepanjang lorong untuk mencari Utakata. Dia menyeringai saat melihat punggung dua orang yang dikenalnya. "Kalian mau pergi kemana?" tanya Naruto tiba-tiba di belakang punggung Kiba dan Gaara.

Kiba melepas jeritan kaget dan berputar untuk menghadap Naruto. Tumpukan buku-buku di tangannya jatuh dan berserakan di lantai koridor sekolah yang sepi. "Kau mengagetkanku!" bentak Kiba kesal sementara Naruto hanya menyeringai kecil, sama sekali tidak merasa bersalah. "Lihat apa yang kau lakukan! Kurama-sensei pasti marah besar jika kami terlambat membawa buku-buku ini ke kelasnya," keluh Kiba terlihat takut dan cemas.

Sementara itu, Gaara hanya menggelengkan kepalanya pelan, lalu berjongkok untuk memunguti buku-buku yang berserakan di lantai.

"Kau masih takut pada kakakku?" tanya Naruto yang kini ikut jongkok untuk membantu Gaara dan Kiba memungut buku-buku itu. "Kenapa kau harus takut pada kakakku? Dia bukan monster penghisap darah."

"Kakakmu semakin menakutkan," ujar Kiba yang mendadak merinding. "Dia seolah-olah bisa menghisap habis kegembiraan dari jiwaku. Menghisapnya hingga aku tersesat dalam kegelapan."

"Kau pikir kakakku- Dementor?" bentak Naruto tersinggung. Kurama memang bisa sangat menakutkan, tapi tidak mungkin separah itu, kan?

Namun seolah tuli, Kiba mengacuhkannya dan kembali bicara dengan nada getir. "Dia selalu menghukumku," keluhnya dengan kepala menunduk. "Kenapa aku yang harus menjadi sasarannya?" tambahnya tidak mengerti. "Aku sudah berusaha sebaik mungkin, tapi keberadaannya membuat semua usahaku itu sia-sia."

Gaara dan Naruto saling melempar tatapan. Sebelah alis Naruto terangkat, meminta penjelasan pada Gaara. "Kiba selalu gagal di kelas Kurama-sensei," jelas Gaara singkat membuat Naruto mengangguk mengerti.

"Kenapa kau tidak meminta bantuan pada Sasuke, Neji atau Gaara, Kiba?" tanya Naruto lagi mencoba untuk memberikan solusi.

"Kau pikir aku tidak melakukannya? Bukankah aku sudah katakan jika usahaku menjadi sia-sia jika aku berhadapan dengannya?" erang Kiba berapi-api, terlihat semakin frustasi. Dia kembali berdiri dan berjalan dengan tumpukan buku di tangan. "Bukan salahku jika tiba-tiba saja semua yang sudah kupelajari hilang dari otakku saat aku melihat wajah kakakmu. Asal kau tahu, kakakmu membuatku takut. Sangat takut!"

Naruto mengedipkan matanya berkali-kali. "Hmmmm," gumam Naruto, dahinya berkerut, nampak berpikir keras. "Kalau begitu kita harus menghilangkan rasa takutmu itu, Kiba."

"Bagaimana caranya?" tanya Gaara datar. "Rasa takut Kiba pada kakakmu sepertinya sudah mendarah daging."

"Hipnotis?" usul Naruto cepat.

"Tidak!" tolak Kiba keras sementara Gaara meringis saat mendengar usulan Naruto.

"Kenapa?" tanya Naruto bingung. "Kurasa cara itu efektif, asal kita tahu caranya."

"Neji pernah melakukannya pada Kiba atas usul Sasuke," jelas Gaara mencoba menahan nada geli pada suaranya. "Dan gagal total," tambahnya cepat.

"Benarkah?" Naruto mengernyit. "Apa yang terjadi?"

"Ketakutan Kiba memang hilang," jawab Gaara masih dengan nada datar dipaksakan. "Tapi efek sampingnya lebih parah lagi, Kiba selalu tertawa jika melihat sosok kakakmu."

"Dan hal itu membuat Kurama-sensei semakin membenciku," timpal Kiba sedih dengan kepala menunduk dalam. "Padahal aku sama sekali tidak ada niat untuk mengejek dan menertawakannya. Sungguh!"

Ketiganya kembali berjalan tanpa mengatakan apapun.

"Kenapa kau tidak melihat kakakku sebagai Itachi-nee?" usul Naruto setelah berhasil menemukan solusi lain untuk menyelesaikan masalah Kiba. Kedua matanya berbinar, seolah-olah hal itu merupakan solusi terbaik untuk Kiba. "Atau sebagai Guy-sensei?"

Kiba terdiam, sama sekali tidak menanggapi, namun otaknya tengah menimang-nimang usul Naruto.

"Mungkin dengan begitu rasa takutmu akan hilang secara perlahan," kata Naruto lagi. "Pikirkanlah!" tambahnya serius. "Ah, Gaara. Tolong berikan jas ini pada Sasuke!" mohonnya pada Gaara yang kini menatap bingung kenapa jas Sasuke bisa berada di tangan Naruto. "Aku tadi meminjamnya," ujar Naruto berbohong.

"Kenapa kau meminjam jas milik Sasuke sementara kau juga mengenakan jas milikmu sendiri?" sindir Gaara dengan mata menyempit. Naruto hanya menyeringai menjawab pertanyaan itu lalu kemudian menepuk bahu Gaara dan melempar senyum hangat pada Kiba sebelum meninggalkan keduanya di belakang.

"Dia bahkan tidak mengucapkan terima kasih," gerutu Gaara setelah Naruto berjalan pergi. "Aku tidak bisa membayangkan bagaimana anak mereka nanti?"

"Anak siapa?" tanya Kiba dengan wajah ditekuk.

"Sasuke dan Naruto," jawab Gaara kalem. "Sasuke sangat irit bicara, sinis, kritis. Sedangkan Naruto sangat keras kepala, kasar dan menyebalkan. Bagaimana jika anak mereka memiliki semua sifat jelek dari kedua orangtuanya?"

Kiba tergelak keras mendengarnya. "Kau benar. Anak mereka akan lebih menjengkelkan daripada orangtuanya. Aish... aku tidak sabar untuk menunggu hari itu tiba," tukasnya yang terdengar seperti sebuah harapan tulus agar kedua sahabatnya itu bisa bersatu menjadi sebuah keluarga utuh.

.

.

.

Malam ini Naruto kembali menginap di markas besar. Sebuah buku yang dipinjamnya dari Mei diletakkan di atas meja kerjanya. Hanya ada dia di ruangan itu saat ini, rekan-rekannya yang lain tengah berpatroli untuk mengumpulkan informasi mengenai transaksi besar Organisasi Hebi, sementara Utakata belum kembali dari KHS.

Naruto segera membuka halaman yang tertulis pada kertas berwarna merah muda yang ditemukannya siang tadi salam buku Hansel dan Gretel. Dia mengernyit, membaca dengan seksama dan cermat isi dari halaman tersebut. Walaupun Naruto sudah membaca dengan cermat, dia sama sekali tidak bisa menemukan petunjuk apapun dari dua halaman buku itu. Dia lalu memutuskan untuk membaca keseluruhan isi novel tersebut. Namun dia sama sekali tidak bisa menarik kesimpulan apapun. Otaknya tiba-tiba terasa kosong, tidak bisa berpikir.

Dia menarik napas panjang sebelum kembali membaca halaman 254, entah untuk yang keberapa kalinya. Dahinya kembali berkerut saat membaca isi halaman tersebut dan dia masih saja tidak mengerti apa yang ingin disampaikan Tayuya melalui isi dari novel tersebut. "Kenapa otakku mendadak menjadi bodoh?" keluh Naruto sembari memegangi kepalanya yang berdenyut sakit.

Aku sungguh membenci orang itu-betapa sialnya diriku ini-betapa tolol! Jangan sampai orang-orang Grange mendengar tentang diriku. Aku menunggu kedatanganmu setiap hari; Ellen, jangan membuatku kecewa. ISABELLA. (1)

Belum lagi satu misteri dipecahkan, dia kembali dibuat bingung oleh petunjuk kedua yang diberikan oleh Tayuya. Isi halaman terakhir novel itu membuat dahi Naruto berkerut semakin dalam. Dalam halaman terakhir itu memang menyebutkan beberapa tempat; gereja yang hancur oleh badai, tanah rawa, lereng dan tiga buah makam.

"Apa yang membuatmu berpikir begitu keras?" tanya suara serak dari belakangnya.

Naruto tersentak kaget, lalu menoleh ke arah belakang dimana Utakata berdiri, membuka mantel dan menggantungnya di belakang pintu masuk. "Bagaimana kau bisa tahu jika aku tengah berpikir padahal kau tidak melihat ekspresi wajahku?" tanyanya panjang lebar.

Utakata mengangkat bahu acuh, ia kemudian berjalan pelan ke arah Naruto dan mendudukkan diri di kursi tepat di depan meja kerja Naruto. "Bahumu terlihat tegang," jawabnya kemudian, sementara matanya melirik ke arah poci kopi yang kini berisi seperempatnya saja.

Naruto melepas napas lelah lalu menyandarkan punggungnya pada punggung kursi. "Aku menemukan petunjuk baru dari pesan yang ditinggalkan Tayuya."

"Benarkah?" tanya Utakata dengan sebelah alis terangkat.

"Petunjuk yang ditinggalkannya benar-benar membuatku bingung," tukas Naruto lagi. "Aku bahkan berpikir jika orang yang meninggalkan petunjuk ini bukanlah Tayuya."

"Kenapa kau beranggapan seperti itu?" tanya Utakata lagi, penasaran.

"Apa mungkin seorang pecandu bisa berpikir hingga sejauh ini?" ujar Naruto. "Untuk melakukan hal ini jelas memerlukan pikiran jernih, sementara Tayuya seorang pecandu, otaknya tidak mungkin mampu melakukannya, kan?!"

"Kau pikir ini jebakan?"

"Entahlah," jawab Naruto tidak semangat.

"Memangnya apa yang kau temukan?" Utakata kembali bicara dengan ekspresi serius. Naruto menyodorkan kertas pink yang ditemukannya dan buku novel yang menjadi petunjuk selanjutnya.

"Coba kau telaah dan artikan! Otakku sama sekali tidak bisa berpikir jernih saat ini," ujarnya sembari memijit keningnya yang terus berdenyut sakit sepanjang malam ini. Naruto tidak bisa menebak apa rasa sakit itu berasal dari protes otaknya yang dipaksanya untuk terus bekerja? Atau akibat kafein dari kopi yang sudah dihabiskannya sebanyak sepuluh gelas? Dia benar-benar tidak tahu.

Utakata membaca halaman novel yang sudah diberi tanda oleh Naruto dengan seksama, sesekali dahinya berkerut saat membacanya. "Kurasa petunjuk pertama merupakan ungkapan penyesalan Tayuya," ujarnya sedikit tidak yakin. "Jika aku tidak salah; Tayuya berharap tidak ditemukan oleh penjahat-penjahat yang mengejarnya. Dia memaki kebodohannya dan berharap seseorang datang untuk menemukan sesuatu yang disembunyikannya," terang Utakata tenang, sementara Naruto mendengarkan penjelasan itu dengan seksama. "Jika dugaanku memang benar, kurasa paragraf pada halaman ini benar-benar menggambarkan perasaan Tayuya. Lalu mengenai petunjuk kedua, kurasa itu menunjukkan dimana benda itu disimpan. Dan seperti kita tahu, kau memiliki kuncinya."

"Mungkinkah Tayuya bisa berpikir hingga sejauh itu?" tanya Naruto masih tidak percaya.

"Entahlah," jawab Utakata. "Tidak ada salahnya jika kita mempercayainya, walau kita tetap harus waspada."

"Kau benar," sahut Naruto dengan anggukan kecil.

"Lalu rawa yang dimaksud, kita harus mencarinya mulai dari mana? Negara ini memiliki banyak lereng dan tanah rawa."

"Mungkin sebaiknya kita mengecek ulang latar belakang Tayuya," Naruto memberi usul. Dia mengambil arsip laporan Tayuya dari lemari berkasnya dan mulai membacanya dengan hati-hati. "Orangtuanya menetap di Tokyo setelah menikah," kata Naruto tanpa memalingkan tatapannya dari berkas yang tengah dibacanya. "Orangtua Tayuya berasal dari Hokkaido timur, tepatnya Kota Kushiro."

Untuk sesaat, keheningan mengambil alih. Kedua orang itu terdiam, berpikir hingga kedua bola mata mereka membulat sempurna. Setelah terdiam beberapa saat, Naruto dan Utakata saling melempar tatapan penuh arti dan berseru kompak, "Rawa Kushiro!"

Jari-jari Naruto kembali menari lincah di atas keyboard laptopnya, berselancar untuk mencari informasi yang dibutuhkannya, namun sayangnya hanya sedikit informasi yang didapatnya. Tidak kehilangan akal, dia pun meretas sistem informasi pemerintahan Kota Kushiro.

"Kau sudah melakukan kejahatan serius, Naruto!" tegur Utakata.

"Bukankah kita sering melakukannya?" balas Naruto ringan, membuat Utakata tersenyum lebar dibuatnya. Utakata berdiri di belakang Naruto dan melihat lewat bahu Naruto. Di layar laptop milik Naruto kini terpampang peta Kota Kushiro serta informasi-informasi penting mengenai rencana pembangunan kota di masa yang akan datang.

"Tidak ada gereja yang dibangun di dekat rawa atau lereng," Naruto mendesah panjang setelah mengatakannya, terlihat kecewa.

"Coba cek di arsip lama!" usul Utakata yang segera dilaksanakan oleh Naruto.

"Tidak ada," gumam Naruto. "Apa mungkin bangunannya tidak terdaftar?"

"Tidak mungkin," timpal Utakata, yang kemudian kembali mendudukkan diri di samping Naruto. "Kecuali jika bangunan itu dibangun sebelum masa perang dan kini sudah hancur."

Keduanya kembali terdiam, menatap layar laptop milik Naruto.

"Kita harus pergi kesana untuk memastikannya, Naruto," putus Utakata semangat. "Mencari reruntuhan sebuah gereja di dekat lereng serta rawa sepertinya tidak terlalu sulit. Kita hanya perlu bertanya pada penduduk asli di sana."

"Bagaimana bisa kau berkata seringan itu?" cibir Naruto dengan melipat kedua tangannya di depan dada. "Lalu, bagaimana kalau ini hanya sebuah jebakan?" Naruto bimbang. "Bisa saja penjahat-penjahat itu yang sebenarnya meninggalkan pesan untuk kepentingan mereka. Menyamarkan motif kematian Tayuya, misalnya? Atau mereka sudah menunggu kita dengan acungan pistol di sana?"

Utakata menyisir rambutnya perlahan ke belakang dengan jari, menatap Naruto. "Kita harus berani mengambil resiko," ujarnya dengan ekspresi serius. "Sebaiknya kita segera melaporkan hal ini pada kapten dan sesegera mungkin kita pergi ke Hokkaido. Semakin cepat akan semakin baik," tambahnya dengan cepat.

Naruto terlihat berpikir, bertindak cepat untuk hal sepenting ini memang sangat diperlukan, namun juga terlalu beresiko. Wanita muda itu kembali menimang-nimang, dirinya berada di tengah persimpangan saat ini. Sebelum rasa ragu semakin menguasainya, dia pun menjawab cepat, "kita akan pergi dengan penerbangan pertama." Utakata mengangguk setuju. "Semakin sedikit yang tahu akan semakin baik?!"

"Aku setuju." Utakata kembali mengangguk pelan, menyetujui. "Setidaknya jika ini merupakan jebakan, hanya kita berdua yang akan menjadi korban," tambahnya dengan sebuah senyum yang menegaskan jika dia sudah siap mengorbankan nyawa untuk misi ini.

.

.

.

Naruto dan Utakata terlihat sangat lega saat Bee mengatakan kepada mereka jika ijin untuk pergi ke Hokkaido sudah turun dari atasan mereka. Tanpa banyak bicara, Naruto segera pulang untuk membawa beberapa pakaian untuk menginap, berjaga-jaga jika mereka harus tinggal lebih lama di Kota Kushiro. Dia juga segera memesan dua buah tiket pesawat dari Tokyo menuju ke Kushiro.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi saat keduanya menginjakkan kaki di bandara Kushiro. "Dingin sekali!" gumam Naruto yang dengan cepat merapatkan jaket yang dikenakannya untuk melindunginya dari angin yang bertiup dingin. "Seharusnya kita membawa sarung tangan," ujar Naruto pada Utakata yang kini gemertuk menahan dingin. "Menurutmu kita akan menggunakan mobil itu?" tanya Naruto pada Utakata dengan ekspresi penuh tanda tanya.

"Kurasa begitu," jawab Utakata tidak bersemangat saat melihat seorang pria berpakaian polisi mengangkat sebuah kertas bertuliskan "Mr & Mrs Smith". Kenapa dari semua nama, Bee harus memilih nama itu? Pikir Naruto dan Utakata sedih.

Benar, dengan bantuan Bee, mereka mendapatkan pinjaman satu buah mobil patroli milik kepolisian daerah setempat untuk digunakan sebagai alat transportasi selama mereka berada di sana. Keduanya segera berjalan menghampiri polisi tersebut dan memperkenalkan diri. Polisi itu menurunkan kertas ditangannya dan menjabat tangan keduanya dengan ramah.

"Apa menurutmu ini tidak terlalu mencolok?" bisik Naruto pada Utakata yang hanya bisa tersenyum miring menjawab pertanyaannya.

Petugas kepolisian itu pun menyerahkan sebuah kunci mobil pada Naruto. "Kalian boleh meminjamnya hingga tugas kalian selesai di sini," ujarnya. "Tapi, apa kalian sangat yakin tidak memerlukan pendamping untuk mempermudah tugas kalian?" tanya pria berusia empat puluh tahun itu setelah menyerahkan kunci mobil.

Pria yang berdiri di depannya ini berperawakan lebih pendek dari Utakata yang memiliki tinggi seratus enam puluh tujuh centimeter, namun pria itu terlihat kuat dan proporsional. Sorot matanya tajam dengan mata berwarna coklat gelap, rahangnya lebar, tulang pipinya tinggi dan hidung pendek. Dari sosok dan raut wajahnya, Naruto yakin betul jika pria itu merupakan penduduk lokal, suku asli dari pulau ini; Ainu.

"Aku suku asli dari pulau ini. Sebagai suku asli, aku tahu tempat-tempat yang tidak diketahui oleh penduduk pendatang yang lahir dan besar di sini," ujarnya saat tidak mendapat tanggapan dari Naruto dan Utakata. "Kurasa aku bisa mempemudah pencarian kalian. Bukankah kalian datang kesini untuk mencari seseorang?" tebaknya kurang tepat. "Apa ada penjahat kelas kakap yang bersembunyi di kota ini?" tanyanya lagi. "Jika memang benar begitu, aku harap bisa membantu."

"Sebenarnya bukan itu yang kami cari," sahut Utakata. "Tapi mungkin pengetahuan Anda mengenai tempat ini bisa sangat membantu kami."

"Kalau begitu tolong ijinkan aku membantu."

"Kalau begitu kita bicara di dalam mobil saja," usul Naruto, sama sekali tidak menolak bantuan pria itu. Ketiganya segera masuk ke dalam mobil. Utakata duduk di depan, di samping kursi supir, sementara Naruto duduk di belakang.

"Jadi apa yang kalian cari di sini?" tanya pria itu tanpa basa-basi. Tangannya memasukkan kunci, memutarnya untuk menghidupkan mesin. "Apa yang kalian cari jika bukan penjahat atau buronan kelas kakap?" tanyanya lagi.

"Kami mencari reruntuhan gereja yang berdekatan dengan makam, lereng serta rawa." Naruto menjawab, sedikit keras untuk mengimbangi suara mesin mobil yang berisik. "Apa Anda mengetahui lokasi persis seperti yang kami cari?"

Polisi yang bernama Masamune itu terlihat terkejut. "Kalian mencari tempat seperti itu?" dia balik bertanya dengan nada tidak percaya. "Aku tidak yakin mengenai reruntuhan gereja di lereng. Tidak ada satu gereja pun yang dibangun di lereng dekat rawa."

"Bagaimana dengan kuil?" tanya Naruto lagi.

Masamune menggelengkan kepala pelan. "Tidak ada. Kuil dan gereja hanya dibangun di kota seperti Sapporo, bukan di sini. Kota Koshiro banyak dihuni oleh suku asli pulau ini, sementara suku Yamato dan pendatang baru bermukim di kota-kota yang lebih besar, seperti Sapporo. Suku kami tidak memiliki imam dan kuil untuk berdoa."

Ketiganya kembali terdiam untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya Masamune kembali bicara. "Tapi, di lereng sebelah selatan, berdiri sebuah patung dewa, berusia ratusan tahun. Letak lereng itu juga dekat dengan rawa dan ada beberapa makam tua suku Ainu di sana."

Utakata melirik ke arah Naruto lewat bahunya. "Tolong bawa kami ke sana," minta Naruto dengan nada tegas. Masamune hanya mengangguk pelan dan dengan segera mengendarai kendaraannya menuju tempat yang dimaksud olehnya tadi. Jika perkiraan Naruto benar, bukankah patung dewa itu juga simbol tempat peribadatan? Tidak ada salahnya jika mereka mengecek kesana, kan?

"Selain suku asli pulau ini, tidak banyak yang tahu mengenai makam dan keberadaan patung dewa itu," Masamune kembali bicara. "Lokasi itu sangat sakral untuk suku kami. Kami bahkan tidak mengijinkan pengelola observatorium untuk melakukan perubahan di lokasi itu."

Setelah mengendarai kendaraannya hampir selama satu jam, Masamune akhirnya berhasil memarkir kendaraan yang dibawanya di lapang parkir observatorium Kushiro. "Kita harus berjalan kaki untuk sampai ke sana," ujarnya saat ketiganya sudah keluar dari dalam mobil. Naruto dan Utakata semakin merapatkan jaket mereka. Setiap tahunnya udara di kota ini memang sangat dingin, apalagi sekarang sudah memasuki musim dingin.

Masamune membawa Naruto dan Utakata jauh ke dalam hutan di belakang observatorium. Mereka berjalan melewati jalan setapak selebar satu meter, sisi kiri dan kanan jalan itu terhampar pohon pinus yang menjulang tinggi. Cahaya matahari menembus masuk lewat celah dedaunan, aroma kayu tercium setiap saat, dibawa oleh desahan angin yang berhembus dingin. Mereka pun terus berjalan menyusuri jalan, masuk semakin dalam ke hutan menuju lereng bagian selatan.

"Wilayah ini tidak akan kalah indah saat musim semi tiba. Bunga-bunga liar tumbuh subur saat musim semi. Kalian harus melihatnya," ujar Masamune lagi dengan rasa bangga yang terlihat jelas. "Rawa Kushiro sebentar lagi akan tertutup oleh salju dan crane akan datang berkumpul di sana selama musim dingin," katanya panjang lebar. "Ah, itu dia makam yang kumaksud," serunya tiba-tiba sembari menunjuk ke satu arah.

"Ada lebih dari tiga makam," gumam Utakata yang mulai kebingungan, darimana mereka harus memulai pencarian?

"Itu patung dewa kami," tunjuk Masamune pada sebuah patung batu berbentuk beruang yang sudah berlumut dimakan waktu.

Naruto menatap makam-makam itu, lalu menatap patung beruang berukuran besar itu secara bergantian. Tempat ini memang tidak sama persis seperti apa yang ada di dalam buku, tapi setidaknya ada kemiripan. Wanita itu mencoba untuk mengingat kembali, sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk lain dari pencariannya.

Dia pun mengeluarkan buku novel dari dalam tas punggungnya, kemudian membuka dan membaca halaman yang disebutkan dalam petunjuk yang ditinggalkan oleh Tayuya. Masamune mengatakan jika tempat ini akan dipenuhi oleh bunga-bunga liar, bukankah itu bluebells yang disebutkan di halaman akhir novel itu juga termasuk bunga liar dan tumbuh subur di hutan saat musim semi?

Kami pasti sudah sangat dekat, pikir Naruto penuh keyakinan. Wanita itu menutup buku itu kembali, dan sesaat tatapannya tertuju pada sampul depan buku novel tersebut. Sebuah pohon besar dengan daun berguguran tergambar di sana, menyimbolkan Wuthering Heights yang selalu ditiup angin kencang hingga merontokkan daun-daun pepohonan.

Naruto mengedarkan tatapannya ke seluruh penjuru. Tempat ini dikelilingi oleh pohon pinus yang daunnya semakin hijau saat musim dingin datang. "Dimana aku bisa dapatkan pohon dengan daun berguguran?" ujar Naruto pelan namun masih bisa didengar oleh Masamune.

"Kau harus datang kesini saat musim gugur jika mau melihatnya," kekeh Masamune. "Daun pohon pinus akan semakin hijau saat musim dingin, itu merupakan lambang keberuntungan," ujarnya sebelum memejamkan mata dan menyatukan kedua tangannya di depan dada, berdoa untuk jasad yang terkubur di dalam tanah. "Tapi, ada satu pohon di sebelah sana yang tidak pernah memiliki daun, padahal tidak diserang hama," tambahnya setelah selesai berdoa. "Pohonnya ada di sana!"

Naruto pun berjalan cepat mengikuti arah yang ditunjuk oleh Masamune. Dadanya bergemuruh, jantungnya berdetak semakin cepat saat langkah kakinya membawanya semakin dekat pada pohon yang dimaksud. Wanita itu pun lalu berjongkok, mengamati tanah di sekitar pohon itu, tangannya kemudian mencabuti semak yang tumbuh subur di sekitar pohon itu.

Utakata ikut berjongkok, tanpa banyak bicara dia membantu Naruto untuk membersihkan semak-sema kering di sekitar pohon itu, sementara Masamune terlihat kembali berdoa di depan patung dewa aliran kepercayaannya.

Mata keduanya membulat saat melihat sebuah batu berukuran sedang tertanam separuhnya ke dalam tanah. Naruto mencari ranting kering untuk menggali tanah, gerakannya semakin cepat saat sebuah benda berwarna coklat menyembul dari dalam tanah. Sebuah kotak kayu terkubur di dalam tanah itu.

"Benar-benar ada," seru Utakata nyaris tak percaya. Naruto tersenyum was-was, sementara tangannya mengambil anak kunci yang disimpannya di dalam saku celananya. Wanita itu menahan napas saat bunyi klik terdengar ketika dia membuka kunci kotak kayu tersebut.

Naruto segera mengeluarkan sebuah buku diari yang terdapat di dalam kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas sebelum akhirnya dia kembali mengunci kotak dan menyerahkan kotak tersebut pada Utakata. "Kau yang membawa kotaknya!" seru Naruto dengan senyum puas. "Untuk jaga-jaga jika ada yang merampok kita," tambahnya bercanda tanpa sadar jika ucapannya akan menjadi kenyataan dalam beberapa menit ke depan.

Ketiganya sedang berjalan menuju mobil mereka saat suara letusan senjata api itu terdengar memekakkan telinga. Suara jerit kesakitan Utakata mengagetkan Naruto. Tangan kanan pria itu ditembak hingga menyebabkan kotak kayu di tangannya terlepas dan jatuh ke atas tanah.

Naruto segera menarik Utakata ke balik pohon terdekat untuk bersembunyi, dan menyerahkan tas di punggungnya pada rekannya itu, sementara Masamune terlibat perkelahian sengit dengan delapan orang penjahat bertopeng yang membawa bersenjata tajam. Niat penjahat itu sangat jelas; mereka menginginkan kotak kayu itu. Beberapa penjahat lainnya berdiri di belakang pria-pria itu dengan pistol terangkat dan mulai menembak kembali ke arah Naruto dan Utakata.

Usaha Naruto untuk membantu Masamune dihalangi oleh tembakan senjata api yang meletus hingga beberapa kali. Wanita itu menundukkan badan, berguling hingga beberapa kali di atas tanah untuk menghindari timah panas yang terus memberondongnya.

Sesaat tembakan itu terhenti, mungkin penjahat itu takut jika tembakannya salah sasaran dan melukai rekan mereka yang kini bertarung dengan Masamune. Naruto menggunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan sebuah pistol dari balik jaketnya. Sayangnya usahanya gagal karena seorang pria menyadari gerakannya dan dengan cepat menendang keras pistol itu dari tangan Naruto.

Naruto mendesis dan segera memasang kuda-kuda. Pria di depannya menyeringai, meremehkan, membuat emosi Naruto semakin tersulut. Wanita itu langsung melayangkan pukulannya ke arah rahang penjahat itu, sayangnya penjahat itu tidak kalah tangkas. Dia mengelak dari pukulan Naruto dan dengan gesit menyerang perut dan dada Naruto dengan pisau sangkur di tangannya.

Sebuah tendangan keras pada punggungnya membuatnya berbalik dan langsung menghajar penjahat itu tanpa ampun. Penjahat pertama yang dihadapinya hanya menyeringai kejam saat melihat rekannya yang lain diserang tanpa ampun oleh Naruto. "Mengesankan sekali," pujinya terdengar menakutkan hingga membuat bulu kuduk Naruto meremang hebat. "Dahagaku akan hilang jika aku meminum darahmu," tambahnya lagi dengan suara berat dan penuh penekanan.

Naruto tidak tahu kenapa tubuhnya mendadak susah bergerak, pria di depannya ini jelas bukan penjahat kelas teri. Aura membunuh dari pria itu membuat darah yang mengalir di nadinya seolah membeku. Seorang pria lain datang menghampiri dan membantu rekan yang sudah dirobohkan oleh Naruto untuk berdiri. Tatapan mereka bertemu, membuat Naruto untuk pertama kali merasakan sesuatu yang aneh menjalar di hatinya, takut. Rasa takut itu membuat dadanya sesak, membuatnya bertanya-tanya mengenai wajah serta identitas pria bertopeng di hadapannya ini.

Sementara itu, Masamune terlihat sangat kewalahan menghadapi tiga orang penjahat yang tersisa, sementara dua orang penjahat yang tersungkur sudah diamankan oleh rekannya yang lain. "Apa yang kalian tunggu?" ujar Masamune menantang. Tanpa menunggu lebih lama, dia kembali melayangkan pukulan keras ke arah rahang penjahat yang memiliki postur tubuh jauh lebih besar darinya. Masamune menangkis, terus menangkis pukulan lain dan meloncat ke belakang untuk menghindari tusukan pisau yang diarahkan ke dadanya.

Masamune terus bertarung tanpa memperdulikan luka menganga akibat sayatan pisau di bahu kanannya, tanpa memperdulikan luka sobek akibat pukulan keras di pelipis kirinya, tanpa memperdulikan retak pada tulang jari tangan kanannya. Dia sudah siap mati di tempat ini, di tanah leluhurnya, jika dia harus mati, biarlah dia mati sebagai pejuang- seperti leluhurnya.

Di balik tempat persembunyiannya, Utakata menyandarkan punggungnya pada batang pohon dan dengan susah payah mengokang pistolnya dengan tangan kiri dan dia pun menembakkan senjatanya ke arah musuh yang juga bersembunyi di balik pohon. Sial, musuh yang membawa senjata api tidak hanya satu orang, mereka jelas sengaja menunggu di tempat ini agar memudahkan untuk menyerang sekaligus bersembunyi untuk berlindung.

Tangan kanannya terjuntai lemas karena sakit yang hebat, sementara darah terus mengalir dari luka tembaknya yang menganga, terus menetes dari ujung-ujung jari tangan kanannya. Rasanya sangat panas dan berdenyut-denyut ngilu, Utakata meringis saat rasa sakit itu terus menyerangnya bertubi-tubi. Utakata melirik ke arah Naruto dan Masamune yang terus bertahan dari penjahat-penjahat yang menyerang membabi-buta dengan senjata tajam di tangan. "Brengsek!" makinya kesal. "Bagaimana bisa mereka mengetahui keberadaan kami saat ini?" gumamnya tidak mengerti.

.

.

.

TBC

Keterangan :

1. Wuthering Heights novel klasik karya Emily Brontë (Hal. 255)

2. Untuk keberadaan patung dewa, serta makam di lereng Kushiro semuanya hanya karangan saya saja, sementara observatorium dan rawa Kushiro memang benar ada dan merupakan tanah rawa terluas di Jepang.

Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca fic saya ini. Sampai jumpa dichapter selanjutnya! (:

#WeDoCareAboutSFN

Continue Reading

You'll Also Like

34.3K 2.7K 7
Uchiha Sasuke jatuh cinta pada adik sahabatnya yang sangat suka menguras isi dompetnya untuk makanan berlemak setiap bertemu dengannya. Gadis kucel m...
4.8K 361 12
Kumpulan One-Shoot Sesshomaru dan Rin karya @Aika_2508. Dia dingin, kejam, dan tidak berperasaan. Namun, seseorang datang bagaikan mentari yang mengg...
239K 35.9K 65
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
9.8K 1.2K 13
Tersedia versi pdf [Let Me Love U] [SfN] Kenyataan pahit terungkap usai kepergiannya. Naruto hanya bisa menangis dan meraung keras, marah pada diriny...