TAMAT - Under Cover

By fuyutsukihikari

253K 19.5K 1.1K

SASUFEM!NARU FANFICTION VERSI LENGKAP BISA DIBELI DI GOOGLE BOOK/PLAY Naruto yang berprofesi sebagai intel, a... More

Chapter 1 : Back To High School
Chapter 2 : I Know What You Did
Chapter 3 : You Can Cry On My Shoulder
Chapter 4 : I'm Worried About You
Chapter 5 : Second Kiss
Chapter 6 : After School Detention
Chapter 7 : Kurama
Chapter 8 : Ikatan Baru
Chapter 9 : New Team
Chapter 10 : A Thousand Tears
Chapter 12 : Hold My Hand
Chapter 13 : Mimpi Buruk?
Chapter 14 : Titik Terang Bag. 1
Chapter 15 : Titik Terang Bag. 2
Chapter 16 : Duniaku Hancur Part 1
Chapter 16 : Duniaku Hancur Part. 2
Chapter 17 : Rencana Bag. 1
Bab 18. Misi Anko Part 1
Bab 18.2 : Misi Anko Part 2
Bab 19. Mengawasi Kurama
Chapter 19 Part 2 : Mengawasi Kurama
Chapter 20 : Sebuah Pilihan
Chapter 21 :
Chapter 22
Chapter 23. Menemukanmu
End

Chapter 11 : She

9.3K 708 17
By fuyutsukihikari

PDF tersedia. Harga 70rb. Minat DM ya.

.

.

.

Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. 

Pairing : SasuFemNaru

Rated : M

Warning : Gender switch, OOC, OC, typo (s), etc

Genre : Romance, Crime, Friendship, Hurt/Comfort

Selamat membaca!


Under Cover

Chapter 11 : She

By : Fuyutsuki Hikari


Gadis pirang itu berdiri ditepi pantai yang sepi. Langit mendung menggantung di atasnya. Angin dingin bertiup kencang bersama ombak yang menderu keras, bergelombang dan berubah menjadi buih di bibir pantai. Dinginnya udara tidak membuat Naruto bergeming dari tempatnya berdiri sejak satu jam yang lalu. Mungkin ini yang dia butuhkan saat ini, ketenangan... ya ketenangan. Ia sudah berhenti menangisi kematian Sarutobi, bukan karena kesedihannya telah usai, tapi karena air matanya sudah kering.

Satu bulan sudah berlalu sejak kematian Sarutobi, selama itu pula Naruto diberikan cuti untuk memulihkan kesehatannya. Naruto kembali menatap awan gelap di atasnya, dan menghirup napas panjang. "Aku tidak akan menangis lagi!" bisiknya lebih menyerupai sebuah janji. "Kalian pasti cemas melihatku seperti ini. Maaf!" lanjutnya dengan senyum miris. "Aku akan kembali menjadi Naruto yang kuat, kalian harus percaya padaku!" ucap Naruto yang dibalas desauan angin laut yang dingin dan asin.

Gadis itu akhirnya pergi, sedikit tidak rela karena ketenangannya terganggu saat rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Ia berjalan santai menuju mobil yang diparkirnya tidak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Naruto membuka kunci mobil, masuk ke dalam dan menyalakan penghangat. Ia kembali melihat keluar jendela yang kini berembun akibat air hujan yang turun semakin deras, sebelum akhirnya dia menekan pedal gas, membawa kendaraannya meluncur pelan di atas aspal yang licin karena hujan.

.

.

.

"Kau terlihat kacau!" seru Itachi membuyarkan lamunan panjang Kurama.

Itachi berjalan mendekat, mengambil sebuah kursi dan duduk tepat di samping pria itu. Kurama terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menjawab dengan santai. "Tapi masih terlihat tampan kan?" gurau Kurama kering.

Gurauan Kurama jelas membuat Itachi kaget sekaligus senang. Wanita itu mengulum senyum manis dan mengangguk kecil, membuat Kurama menatap lurus kearahnya dan tersenyum tipis. "Bagaimana kabar Naruto sekarang?" tanya Itachi.

"Sudah lebih baik," jawab Kurama pendek, napasnya terdengar berat saat mengatakannya.

"Jika keadaan Naruto sudah lebih baik, kenapa sekarang malah kau yang terlihat kacau?" tanya Itachi tanpa melepas pandangannya dari Kurama.

Kurama kembali menghela napas panjang. "Aku benar-benar bodoh," dengus Kurama. "Kukira, aku mengenal adikku dengan sangat baik. Tapi, ternyata..."

"Berhenti menyalahkan dirimu!" tukas Itachi seraya menepuk punggung Kurama lembut. Sedangkan Kurama hanya menatap langit-langit perpustakaan dengan tatapan kosong. "Setiap manusia pasti punya rahasia. Begitupun dengan Naruto."

"Dia bisa mati, Itachi. Apa kau tidak mengerti?!" balas Kurama dengan gigi gemertuk. "Pekerjaannya saat ini bukan pekerjaan gadis remaja pada umumnya."

Itachi bisa menangkap jelas nada khawatir pada suara pria yang dicintainya itu. Ia lalu menautkan kedua tangannya di atas meja dan membalas ucapan Kurama dengan nada lembut. "Aku tahu kau sangat mengkhawatirkan Naruto. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kita tidak mungkin bisa memutar waktu kembali. Naruto sangat memerlukan dukunganmu saat ini. Karena itu tetaplah kuat, bukan hanya untukmu tapi juga demi Naruto." Itachi tersenyum kecil sebelum melanjutkan perkataannya. "Pria yang kucintai tidak mungkin selemah ini, bukan begitu?"

Kurama tertawa renyah. Tawa pertama sejak kematian Sarutobi satu bulan yang lalu. "Jadi ini maksudmu yang sebenarnya. Kau sedang menyatakan cinta, huh?" goda Kurama membuat kedua pipi Itachi merona.

Itachi mengangkat bahu, berpura-pura acuh. Namun sama sekali tidak menyangkal. "Sambil menyelam minum air, bolehkan." Katanya begitu santai, berbanding terbalik dengan degup jantungnya yang berdetak begitu kencang.

"Terserah..." jawab Kurama pelan. Itachi kembali tersenyum mendengar nada bicara Kurama yang tak lagi ketus seperti dulu. "Sebaiknya kita bergegas kembali ke ruang kerja, jam istirahat sebentar lagi selesai." Katanya, Kurama berdiri dan merapikan bagian belakang celana kerjanya.

"Kau mau kembali ke kantor bersamaku? Berjalan berdampingan denganku?" tanya Itachi dengan mata membulat sempurna nyaris tak percaya.

"Keberatan?" balas Kurama. Pria itu segera beranjak dari tempatnya berdiri dan melangkah pergi. Itachi segera menyusul langkah Kurama dan berjalan di samping pria itu tanpa mampu menyembunyikan kebahagiaannya.

.

.

.

Pagi ini Naruto kembali bertugas, dengan keras kepala dia menentang keras perintah Bee yang memerintahkannya untuk tetap istirahat hingga pulih total. Naruto berkeras jika Dokter yang memeriksanya terlalu berlebihan dengan memberikannya cuti sakit selama dua bulan. "Aku tidak lumpuh, aku baik-baik saja. Tidak ada alasan bagiku untuk tetap tinggal di rumah selama dua bulan." Kata Naruto cepat.

"Dokter tidak mungkin salah," sanggah Bee tidak kalah keras membuat suasana ruang kerja mereka sedikit memanas karena pertengkaran keduanya pagi ini. Fuu dan Gobi menyembunyikan wajah mereka dibalik tumpukan arsip. Sementara Sanbi dan Utakata berpura-pura sibuk di depan layar komputer. Lain lagi degan Hangobi yang begitu cuek dan memilih untuk berbaring di sofa dengan sebuah headset terpasang di telinganya. Ia menyetel lagu yang diputarnya dengan volume tinggi, membuatnya tuli dari pertengkaran yang sedang terjadi.

Naruto mengangkat kedua tangannya ke udara dan memutar kedua bola matanya. " Dia tidak salah, hanya berlebihan!" katanya gemas.

"Kau belum boleh bertugas Naruto, kau masih belum sehat!" Bee berkeras dengan kedua tangan dilipat di dada.

"Apa aku perlu membuktikan pada anda jika aku sudah benar-benar pulih? Jika lukaku sudah sembuh total? Apa aku harus memperlihatkannya pada anda agar anda percaya, Kapten?" Naruto bersiap untuk membuka jas dan kemeja militernya.

Bee berdeham keras, salah tingkah. Sedangkan wajah Gobi, Utakata dan Sanbi memerah dibuatnya. "Tidak perlu!" ujar Bee akhirnya mengalah. "Kau benar-benar membuatku sakit kepala, Naruto!" Bee menggelengkan kepala dan memijat keningnya pelan. "Baiklah, terserah, kau boleh kembali bertugas."

"Terima kasih, Kapten." Ucap Naruto senang.

"Arghhhh... aku perlu aspirin." Teriak Bee yang segera menghambur pergi keluar dari rangan kerjanya. Keputusan Bee walaupun terpaksa, membuat Nibi dan Fuu bersorak kegirangan karena Naruto kembali bertugas bersama mereka. "Selamat datang kembali, Kitsune." Ujar Fuu semangat, dengan kedua tangan teracung ke atas.

"Kelompok ini terasa membosankan tanpamu," tambah Nibi sedikit mencibir dan mendelik ke arah Utakata.

"Maaf, aku merepotkan kalian karena ketidakhadiranku. Aku akan berusaha untuk mengejar ketertinggalanku." Balas Naruto mantap.

"Pelan-pelan saja," sahut Sanbi. "Ini berkas laporan perkembangan penyelidikan kita selama kau tidak ada." Sanbi menyodorkan setumpuk map arsip pada Naruto. "Sejak kejadian Jendral Sarutobi, markas semakin mengetatkan keamanan, keselamatan para petinggi militer serta kepolisian menjadi prioritas utama. Terutama keselamatan Menteri Pertahanan yang beberapa hari lalu mendapat teror."

"Teror?" tanya Naruto mengalihkan pandangannya dari halaman arsip yang sedang dibacanya pada Sanbi.

"Ya, beliau mendapat surat kaleng yang mengatakan jika beliau adalah target mereka selanjutnya." Jelas Sanbi.

"Sialan," geram Naruto dengan kedua tangan mengepal di atas meja. "Mereka sudah berani bertindak secara terbuka."

Utakata menghela napas dan menjawab dengan nada serius. "Mereka melakukan itu untuk memancing kita keluar. Setidaknya itu yang diyakini Kapten."

"Maksudmu, target mereka sebenarnya adalah kita. Begitu?"

"Ya," jawab Utakata pendek membuat Naruto mendengus kecil mendengarnya. "Sebuah alasan lain agar kita lebih waspada, bukan begitu?"

"Mereka menginginkan kematian kita," Utakata tertawa kering. "Well, itu sudah resiko pekerjaan kita. Bukan begitu?" tambahnya. "Tapi entah kenapa terkadang aku merasa takut jika diingatkan terhadap kematian."

"Itu manusiawi, Utakata." Sahut Gobi. "Kita memang pasukan terlatih, tapi kita tetap manusia biasa." Ucapan Gobi entah kenapa membuat semua orang yang berada di dalam ruangan itu terdiam, larut dalam pikiranya masing-masing.

"Jika aku mati, apa kalian akan menangisi batu nisanku?" tanya Fuu tiba-tiba, memecah kesunyian dan membuat enam orang yang ada di ruangan itu terperanjat kaget.

"Don't worry, honey. Aku akan selalu mengunjungi dan membawa karangan bunga setiap minggu ke makammu." Ujar Utakata dengan tatapan penuh janji. "Dan sedikit air mata sebagai bonus."

"Tidak perlu, aku tidak mau bunga darimu!" tolak Fuu cepat, mendengus kasar dan melempar sebuah buku ke arah Utakata.

"Kenapa?" tanya Utakata polos. Utakata berhasil menghindar dari lemparan buku Fuu yang sayangnya mendarat sempurna di kening Hangobie. "Kau?" teriak Hangobie marah dan bersiap melempar kembali buku itu ke arah Fuu.

"Maaf," ujar Fuu membuat Hangobie mengurungkan niatnya. Fuu kembali melihat ke arah Utakata dan mendesis sebal. "Karena aku belum mau mati," kata Fuu lagi.

"Tapi, kau yang bertanya apa kami akan menangisi kematianmu. Aku sudah berbaik hati untuk membawakanmu bunga setiap minggunya. Seharusnya kau berterima kasih."

"Kau menyumpahiku untuk mati, hah?" bentak Fuu dengan mata membulat marah dan bersiap menyerang.

"Hentikan!" potong Nibi keras. "Berhenti membahas kematian, kalian berdua membuat bulu kudukku berdiri. Kita akan baik-baik saja, mengerti! ujarnya dengan mata berkilat.

"Ok, bahasan tentang kematian kita tutup sampai disini. Sudah waktunya kita patroli dan mengikuti buruan kita. Ayo pergi Sanbi." Ujar Hangobi seraya mengambil jaket tebalnya yang tergantung. Sanbi mengangguk dan mengikuti langkah Hangobi dengan cepat. Naruto tersenyum kecil sebelum akhirnya kembali membaca laporan yang berada ditangannnya.

.

.

.

"Kau belum pulang?" tanya Bee saat mendapati Naruto yang masih berada di kantor malam ini. Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam saat Bee kembali dan mendapati Naruto masih berkutat dengan setumpuk arsip.

"Kapten juga belum pulang," sahut Naruto tanpa mengalihkan tatapannya dari berkas yang sedang dibacanya.

"Aku bertanya padamu lebih dulu." Ujar Bee, terlihat jelas gurat lelah di wajahnya saat ini.

"Masih ada berkas laporan yang harus aku baca," jawab Naruto tenang dan melirik ke arah Bee yang berjalan memutar untuk duduk di meja kerjanya.

Bee melempar kunci mobil miliknya ke atas meja, dan menarik napas berat. "Kau bisa melanjutkannya besok, pulanglah. Ini sudah lewat tengah malam, aku antar kau pulang." Katanya terdengar begitu khawatir.

Naruto mendengus dan menutup berkas ditangannya kasar. "Kapten, aku baik-baik saja. Jangan terlalu khawatir. Lagipula malam ini aku akan menginap di kantor."

"Dasar keras kepala!" sahut Bee, lalu menghela napas panjang. "Baiklah, terserah. Mau kopi? tawar Bee.

"Tentu, ekspreso tanpa gula."

"Ok, aku akan ambilkan untukmu." Ujar Bee.

"Terima kasih," ucap Naruto saat Bee berlalu pergi keluar ruangan untuk membuat kopi.

Bee kembali sepuluh menit kemudian dengan dua buah cangkir kopi untuknya dan Naruto. "Ini kopimu," ujar Bee. Naruto menerimanya dengan senang hati dan kembali mengucapkan terima kasih. "Kenapa anda tidak langsung pulang setelah patroli, kenapa kembali ke kantor, Kapten?"

"Tidak ada yang menungguku di rumah, jadi untuk apa aku pulang." Jawab Bee dengan senyum lebar. Ia menyeruput kopinya dengan nikmat.

"Anda seharusnya mencari kekasih, menikah dan mmiliki anak, Kapten." Ujar Naruto serius. "Umur anda sudah tidak lagi muda." Tambahnya dengan seringai tipis.

"Itu juga berlaku untukmu," sahut Bee terkekeh puas. Naruto mendengus dan memalingkan wajah. "Kakakmu akan cemas jika kau tidak pulang."

"Kurama-nii sudah kembali tinggal di sekolah, begitu pun paman Asuma yang sudah kembali tinggal di rumahnya sendiri. Sedangkan Konohamaru sudah kembali ke asrama. Jadi tidak akan ada masalah jika aku tidak pulang." Jawab Naruto panjang lebar.

Bee mengangguk mengerti, ia kembali menyeruput kopi hitam miliknya. "Ngomong-ngomong, sore tadi aku mendapat permintaan khusus dari markas besar."

"Permintaan khusus?" tanya Naruto dengan alis terangkat.

"Mereka meminta beberapa anggota kita untuk mengawal Menteri Pertahanan, untuk beberapa minggu ke depan."

"Begitu?"

"Rencananya aku akan menugaskanmu dan Utakata." Jelas Bee. "Hangobi dan Sanbi tidak bisa bergerak bebas, mereka sedang mengumpulkan informasi mengenai keberadaan dokter pribadi Kabuto saat ini. Fuu, Nibi dan Gobi pun sangat disibukkan dengan teror keamanan markas. Jadi, hanya kalian berdua yang bisa kutugaskan untuk tugas baru ini."

"Tidak masalah, selama aku diijinkan untuk kembali bertugas." Jawab Naruto enteng.

"Bagus, aku akan segera memberi kabar pada markas besar tentang ini agar lusa kau bisa bertemu dengan ketua pengawal yang bertugas. Besok aku akan memberitahu Utakata mengenai hal ini."

"Siap, Kapten." Sahut Naruto dengan gaya berlebihan.

"Lebih baik aku pulang saja, kau yakin akan menginap disini? Aku bisa mengantarmu pulang." tawar Bee lagi.

"Terima kasih, tapi aku sudah putuskan untuk menginap disini. Lagipula, aku sudah membawa cadangan pakaian dan seragam untuk besok," jelas Naruto ringan.

"Baiklah kalau begitu. Tapi ingat, Naruto. Jangan terlalu memaksakan diri, mengerti!"

"Baiklah, aku mengerti." Jawab Naruto. "Sampai besok, Kapten!"

"Hm, sampai besok!"bBalas Bee sebelum melenggang pergi.

Naruto melirik ke arah telepon genggamnya yang bergetar di atas meja. Dia meraihnya lambat, mimik wajahnya terlihat melembut saat membaca sebuah email yang baru saja masuk. 'Bagaimana kabarmu hari ini?' hanya itu isi email yang dia terima. Email dengan isi sama setiap harinya yang ia terima dari Sasuke dan tidak pernah satu kali pun dibalasnya. "Aku baik-baik saja," seru Naruto lemah dan kembali meletakkan telepon genggamnya di atas meja.

Di tempat lain, Sasuke hanya menatap layar telepon genggamnya datar. Dia selalu menunggu balasan email itu datang, namun balasan itu tidak pernah kunjung diterimanya. "Jangan membuatku semakin cemas," ucap Sasuke lirih. Pemuda itu menarik napas panjang, dan menatap lurus langit-langit kamarnya yang gelap. Ia kembali meraih telepon genggamnya, mengetik sesuatu dan akhirnya hanya mampu melempar telepon genggamnya ke samping tempat tidur. Email tak terkirim itu berbunyi "I miss you".

.

.

.

Hari-hari berlangsung sangat cepat, setidaknya bagi Naruto. Saat ini dia dan Utakata sudah berdiri dengan seragam harian lengkap tepat di depan pintu kantor Menteri Pertahanan. Mereka menunggu beberapa saat disana hingga akhirnya dipersilahkan untuk masuk. Uchiha Fugaku duduk di meja kerjanya saat Naruto dan Utakata masuk ke dalam ruangan itu. Ruang kerja besar lengkap dengan ruang meeting yang terkesan sederhana untuk seorang Menteri, namun begitu rapi dan tertata sangat baik, memudahkan bagi si pemilik ruangan untuk bekerja.

Piagam penghargaan, piala, dan photo terpajang rapi di sebuah lemari besar tanpa kaca yang ada di belakang meja kerja sang Menteri. Fugaku mengangkat kepala dari berkas yang sedang ditekuninya saat dia mendengar langkah kaki mendekat kearahnya. Tatapannya tertuju lurus pada dua orang tentara yang kini berdiri di hadapannya.

"Namikaze Naruto melapor untuk bertugas!"

"Utakata melapor untuk bertugas!" sahut Utakata, keduanya dalam posisi siap dengan tangan memberi hormat. Fugaku mengangguk, membuat kedua tentara dihadapannya kembali berdiri dalam posisi siap.

"Aku akan merepotkan kalian dalam beberapa minggu kedepan, mohon bantuannya." Kata Fugaku. "Untuk sekarang kembalilah ke posisi kalian. Kapten Obito, dia ketua pengawal pribadiku yang akan menjekaskan semua jadwalku dan tugas kalian dalam beberapa minggu kedepan. Pergilah!"

Naruto dan Utakata kembali memberikan hormat sebelum berbalik untuk pergi. Keduanya melangkah pergi, namun langkah Naruto terhenti saat Fugaku kembali memanggil namanya. "Letnan Namikaze?"

"Ya." Jawab Naruto yang kini kembali berbalik badan, berdiri dengan posisi sigap, menghadap Fugaku senentara Utakata sudah keluar ruangan dan menutup pintu di belakangnya dengan suara klik pelan.

"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Jendral Sarutobi," tukas Fugaku dengan nada sedih yang nyata.

Untuk sesaat sinar mata gadis itu meredup sedih, namun semua itu berhasil dikendalikannya dengan baik hingga pada akhirnya Naruto mengangguk singkat dan menjawab, "arigatou, Uchiha-sama."

"Terima kasih, karena kau juga sudah menjaga putraku. Dia pasti sangat merepotkan selama ini, maaf." Tambah Fugaku begitu tulus.

"Itu sudah menjadi bagian dari tugas saya. Anda tidak perlu memunta maaf, Uchiha-sama." Balas Naruto tenang.

"Walaupun begitu, aku tetap berhutang terima kasih padamu. Putraku lebih bertanggungjawab dan peduli. Itu perubahan besar, arigatou."

"Putra Anda sangat cerdas, dia mampu berpikir dan berlaku dengan bijak. Anda pasti sangat bangga padanya. "

"Ya, aku sangat bangga padanya. Walau pada kenyataannya aku tidak bisa mengutarakan rasa sayangku secara benar dihadapannya."

"Putra Anda pasti mengerti, Uchiha-sama. "

"Kuharap begitu, kuharap juga begitu." Jawab Fugaku berulang-ulang. Naruto kembali mengangguk kecil sebelum berbalik dan berjalan keluar ruangan.

.

.

.

Pasukan pengawal Menteri Pertahanan ternyata sangat bersahabat, mereka menyambut Naruto dan Utakata dengan tangan terbuka. Obito yang merupakan kepala pengawal, menjelaskan jadwal kerja Menteri Pertahanan secara mendetail. Dia pun menjelaskan secara terperinci tugas Naruto dan Utakata untuk beberapa minggu yang akan datang.

"Aku tahu, mengawal menteri hanya tugas sampingan kalian. Tapi aku harap, kalian menjalankannya dengan baik dan profesional."

"Anda tidak perlu khawatir Kapten, bagi kami tidak ada tugas utama dan sampingan. Keselamatan Menteri adalah prioritas kami saat ini, kami profesional. Ingat?"

"Ya, aku hanya sedikit khawatir karena kalian berdua mengemban tugas ganda saat ini. Sebagai anggota pasukan khusus, kalian pasti bisa menangani hal paling buruk. Tentu saja aku berharap itu tidak terjadi." Utakata berkata tenang. "Namikaze-san, aku turut berduka cita atas meninggalnya Jendral Sarutobi. Pasti berat untukmu."

"Terima kasih," jawab Naruto kaku. Obito menatap gadis itu lurus, ia kembali mengingat-ngingat dimana ia pernah melihat Naruto jauh sebelum upacara pemakaman Sarutobi.

Benar, aku pernah melihatnya di upacara pemakaman Sai, pikir Obito akhirnya dapat mengingat jelas dimana dia pertama kali melihat Naruto. Obito menepuk bahu Naruto pelan. "Baiklah, aku pegang ucapan kalian. Mohon bantuannya untuk kedepannya."

"Siap, laksanakan. Kapten!" jawab Naruto dan Utakata kompak membuat Obito tersenyum hangat pada keduanya.

"Tugas harian kalian berakhir hingga menteri pulang ke kediamannya. Dan tugas kalian dimulai saat beliau pergi untuk bekerja." Jelas Obito.

"Ha'i, wakatta." Sahut Utakata.

"Aku harap kalian sudah siap pukul lima pagi setiap harinya, untuk breafing pagi dan persiapan tugas. Kalian juga harus mengingat semua orang yang berada disekeliling Menteri. Aku sudah merangkum semuanya disini, kalian hanya perlu mempelajarinya." Obito menyerahkan sebuah map, masing-masing satu untuk Naruto dan Utakata.

"Jangan khawatir, kami akan mengingat semuanya dengan cepat." Ujar Utakata percaya diri.

"Ya, aku percaya itu." Sahut Obito. "Ah, satu lagi." Tambahnya dengan suara dalam. "Selamat bergabung!"

"Arigatou, Kapten." Jawab Naruto dan Utakata hampir bersamaan. Obito kembali melempar senyum sebelum berbalik pergi untuk mengerjakan pekerjaan rutinnya.

.

.

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

Naruto sedang melamun saat pemuda itu datang diam-diam di belakangnya. Ia terperanjat kaget, menoleh dengan muka masam dan mengatur napas untuk mengontrol jantungnya yang berdetak cepat aibat ulah Utakata.

"Jangan katakan jika aku mengagetkanmu," ujar Utakata dengan senyum mengejek dan menyerahkan segelas ekspreso pada Naruto.

"Kau tidak boleh menyelinap begitu saja ke belakang orang lain!" tegur Naruto. "Dan kopi ini tidak akan meredakan amarahku saat ini."

"Wow, santai Kitsune. Aku tidak bermaksud untuk mengagetkanmu, aku hanya ingin memberimu segelas kopi."

"Ck, terserah."

"Jadi, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Utakata lagi.

"Pamanku, lalu Kapten Yamato."

"Mereka pasti baik-baik saja," kata Utakata yakin. "Mereka anggota pasukan khusus. Terbaik dari yang terbaik."

Naruto tersenyum kecil dan menyeruput kopinya. "Kau benar, mereka pasti baik-baik saja."

"Malam ini aku akan patroli untuk menggantikan Gobi dan Fuu, mau menjadi partnerku? Terkadang membosankan jika harus patroli seorang diri." Keluh Utakata sedikit berlebihan.

"Jadi, kopi ini sebagai sebuah sogokan, huh?"

"Well, anggap saja begitu. Jadi, kau mau?" tanya Utakata lagi penuh harap.

"Tentu saja," sahut Naruto membuat Utakata tersenyum senang. "Ngomong-ngomong, kau sudah makan siang?"

"Belum. Aku akan pergi membeli makanan untuk makan siang, mau menitip sesuatu?" tawar Utakata.

"Boleh aku titip beberapa roti dan sekotak susu?" ujar Naruto sambil menyeruput kopinya.

"Hanya itu?" tanya Utakata nyaris tak percaya.

"Ehm, hanya itu."

"Ck, pantas saja badanmu begitu kurus. Kau harus makan banyak karbohidrat, Kitsune." Tukas Utakata sambil mengamati postur Naruto dari kaki hingga ujung rambut.

"Berhenti bicara dan cepat bawakan pesananku!" perintah Naruto dengan nada bercanda.

"Baik, tunggu sebentar aku akan bawakan pesananmu, Yang Mulia." Balasnya renyah.

"Arigatou."

"Hmmmm."

Tidak banyak yang dilakukan Utakata dan Naruto hari ini, karena sang Menteri tidak ada jadwal keluar dan hanya menerima tamu di kantornya saja hingga siang hari. Begitu pun jadwal sore, hanya berupa meeting harian dan semua dilakukan di ruang kerja sang Menteri.

.

.

.

Malam pun menjelang, tepat pukul sepuluh malam Naruto dan Utakata pamit pada Obito untuk pulang. Sebenarnya tidak pulang, lebih tepatnya mereka pamit untuk mengerjakan tugas yang lain, patroli. Naruto dan Utakata bahkan tidak sempat untuk pulang dan berganti pakaian. Mereka hanya menanggalkan jas militer mereka dan segera meluncur untuk patroli.

"Hei, Kitsune?"

"Apa?" sahut Naruto seadanya. Matanya tak bergerak, tetap menatap lurus bangunan klub malam di depannya. Mereka berdua sedang berada di dalam mobil Utakata.

"Apa kau tidak merasa aneh?"

"Aneh?"

"Ya, aneh." Gumam Utakata. Musuh kita seolah-olah memiliki mata-mata di dalam markas kita, mereka seolah tahu kapan kita akan beraksi dan apa langkah kita selanjutnya. Menurut mu, apa mungkin jika salah satu anggota kita pengkhianat?"

"Entahlah, Utakata. Sayangnya kita tidak bisa berspekulasi tanpa bukti nyata." Jawab Naruto menghela napas lelah.

"Aku hanya takut, jika memang benar mereka memiliki mata-mata di markas kita, hal itu bisa membahayakan nyawa Kapten Kakashi dan Kapten Yamato."

"Kita pasti akan segera tahu jika ada pengkhianat diantara kita. Tidak usah terlalu cemas-" Ucapan Naruto terhenti saat telinganya menangkap suara perkelahian tidak jauh dari tempatnya saat ini.

"Ck, apa mereka tidak bisa memilih tempat untuk berkelahi?"

"Mereka mabuk?" tanya Naruto dengan mata menyipit.

"Tentu saja mereka mabuk, benar-benar menyusahkan." Gerutu Utakata lagi. "Mau kemana, Kitsune?" teriak Utakata saat melihat Naruto melepas sabuk pengaman miliknya dan berlari keluar. "Cih, kenapa kita harus ikut campur?" Utakata terlihat tidak rela namun pada akhirnya ikut keluar dari dalam mobil.

Naruto berlari cepat, ia berdiri di belakang salah satu pria. Ia memiting dan melumpuhkan salah satu dari pria bertubuh besar yang berniat untuk memukul lawannya dari belakang dengan menggunakan botol. "Naruto?" gumam pemuda yang baru diselamatkan oleh Naruto itu pelan. Ia mengucek beberapakali matanya, memastikan jika yang dilihatnya benar-benar gadis yang dikenalnya. "Kau benar Naruto?" kali ini dia berkata lebih keras, membuat keempat temannya yang lain berhenti berkelahi dan menoleh ke arahnya.

Gadis itu kembali maju dan menendang perut pria lain yang mencoba menyerang Shikamaru saat pemuda itu lengah. Lengkingan kesakitan meluncur dari mulut pria itu, Naruto hanya menatap dingin pria yang kini terbaring kesakitan di atas tanah. Pria mabuk itu terus mengumpat dan merintih kesakitan. Utakata tidak tinggal diam, dia membereskan dua orang pria lain dengan cepat, sementara empat pria yang tersisa pada akhirnya memilih untuk melarikan diri dengan susah payah.

"Kami tidak perlu bantuanmu," ujar Sasuke marah. Matanya berkilat seolah menantang. Naruto membisu, ia menangkup wajah Kiba dengan tangan kanannya dan menampar pipi pemuda itu nyaris keras. Kiba meringis dan menunduk dalam saat menyadari tatapan tajam Naruto padanya. Naruto bisa mencium bau alkohol dari kelima pemuda yang dikenalnya itu. Ia tidak habis pikir jika kelimanya masih bisa bermain-main disaat yang begitu penting untuk mereka saat ini. Bagaimanapun sebentar lagi mereka akan ujian masuk Universitas.

"Ayo kita pergi!" tukas Sasuke pada keempat temannya yang lain.

"Kalian tidak bisa pergi begitu saja," potong Utakata. "Sepertinya kalian juga masih dibawah umur, kalian harus ikut ke kantor polisi."

"Kita tidak akan membawa mereka ke kantor polisi, kita akan mengembalikan mereka ke asrama." Seru Naruto tegas.

"Tidak bisa begitu, " tolak Utakata. "Eh, asrama?" Utakata melirik ke arah Naruto lalu melirik ke arah kelima pemuda dihadapannya. "Kau mengenal mereka?" tanya Utakata tak percaya seraya menunjuk kelima pemuda itu.

"Kalian membawa kendaraan?" tanya Naruto tanpa menjawab pertanyaan Utakata.

"Aku," Neji mengangkat tangan tanpa mampu menatap wajah Naruto.

"Berikan kuncinya! "

"Tapi untuk apa?" tanya Neji menatap Naruto horor.

"Berikan!" perintah Naruto tegas membuat Neji dengan tidak rela menyerahkan kunci mobilnya. "Gaara, Shikamaru, kalian ikut mobil rekanku untuk kembali ke asrama. Sasuke, Kiba dan Neji akan ikut denganku."

"Kami bisa pulang sendiri," desis Sasuke. "Kami bukan anak kecil."

"Kalian mabuk," sahut Naruto tenang. "Utakata kita antar mereka pulang."

"Kitsune, aku tidak setuju dengan keputusanmu. Kita tetap harus membawa mereka ke kantor polisi. Aku mengerti mereka kenalanmu, tapi-"

"Kita tidak melihat apapun malam ini," potong Naruto. "Tidak terjadi apapun malam ini, kumohon untuk kali ini saja."

"Ini baru kali pertama kau bersikap tidak profesional, Kitsune. Apa mereka begitu penting untukmu?" tanya Utakata melempar pandangan sinis pada kelima pemuda dihadapannya. "Kita tidak boleh pandang bulu."

"Kumohon..." pinta Naruto lirih.

"Terserah," tukas Utakata dingin dan berbalik menuju kendaraannya.

"Shikamaru, Gaara cepat ikuti dia. Dan kalian ikut denganku!" tukas Naruto begitu tegas. Kelima pemuda itu hanya diam dan dengan segera mengikuti perintah Naruto. Neji dengan cepat memberitahu tempat kendaraannya diparkir. Tidak beberapa lama kemudian kendaraan mereka pun bergerak kembali menuju asrama.

Perjalanan mereka begitu sunyi, tidak ada satu pun diantara mereka yang buka suara. Neji dan Kiba terlalu canggung untuk memulai pembicaraan. Sedangkan ego Sasuke terlalu tinggi untuk sekedar meminta maaf. Sementara Naruto, ia terlalu kecewa pada kelimanya dan lebih kecewa terhadap dirinya sendiri karena tidak bisa bersikap profesional.

Mereka akhirnya tiba di asrama tiga puluh menit kemudian. Utakata hanya duduk di dalam kendaraannya menunggu Naruto. Naruto melepas sabuk pengaman, membuka pintu, lalu membantingnya, sesaat setelah ia keluar dari dalam kendaraan itu.

"Maafkan kami," kata Shikamaru memecah keheningan malam itu dengan suaranya yang terdengar parau. "Maaf," ulangnya lagi sementara Naruto hanya diam mematung.

"Kau tidak mau tahu alasan kenapa kami ke klub?" tanya Kiba dengan suara bergetar. "Mereka menyerang kami lebih dulu."

"Aku tidak mau tahu, dan tidak berniat untuk tahu." Jawab Naruto dingin. Ia menatap kelima pemuda itu satu persatu dan berucap pelan sebelum beranjak pergi. "Kalian benar-benar membuatku kecewa." Kelima pemuda itu hanya mampu menatap punggung Naruto yang mulai menjauh pergi dengan tatapan bersalah. Kelimanya merutuki kebodohan yang mereka perbuat malam ini. Membuat Naruto kecewa bukanlah keinginan mereka, sayangnya itulah yang mereka lakukan malam ini.

"Kau baik-baik saja?" tanya Utakata saat Naruto duduk di kursi penumpang disebelahnya.

"Aku baik-baik saja," jawab Naruto. "Maafkan aku, Utakata."

"Salah satu pemuda itu, dia putra Uchiha-sama. Iyakan?" Naruto hanya diam, Utakata mengangguk mengerti dan kembali bicara. "Aku yakin kau memiliki alasan sendiri untuk hal ini. Walaupun seharusnya kita melaporkan masalah ini pada Uchiha-sama." Utakata kembali diam, memberikan jeda sebelum kembali berkata. "Aku tidak akan bertanya lagi. Kita anggap masalah malam ini tidak pernah terjadi, ok?"

"Hmmm, terima kasih." Balas Naruto tersenyum lemah.

.

.

.

Keesokan harinya sepertinya bukan hari yang baik untuk kelima pemuda itu. Mereka bangun kesiangan, hingga terlambat masuk kelas Kurama hingga kelimanya dihukum kelling lapangan sebanyak dua puluh lima kali putaran. Kemalangan tidak hanya sampai disitu bagi kelimanya. Itachi memergoki kelimanya melamun saat kelasnya berlangsung hingga membuat kelimanya kembali dihukum. Kelimanya harus membersihkan perpustakaanan saat jam istirahat dan membersihkan nya kembali sepulang sekolah.

"Kurasa Naruto mengutuk kita, hari ini kita benar-benar sial." Keluh Kiba dengan kepala terkulai. Kelimanya duduk di pojok ruang perpustakaan setelah lelah membereskan ruangan itu. Neji mengibaskan tangannya di depan wajah, berharap mendapat sedikit kesejukan dari tindakannya.

"Aku sulit tidur," sahut Gaara, terlihat kusut dengan beberapa bulir keringat menetes dari pelipisnya. "Aku tidak bisa mengenyahkan wajah kecewa Naruto dari pikiranku."

"Aku pun begitu," Shikamaru mendengus dan tersenyum miris. "Sial, kenapa harus Naruto yang menemukan kita dalam kondisi seperti itu?"

"Maaf, semua ini salahku. Andai saja aku tidak mengajak kalian berpesta, kejadian tadi malam tidak akan pernah terjadi." Kiba menunduk merasa sangat bersalah. "Padahal kita sudah tidak pernah pergi ke klub malam lagi."

"Ini juga salahku," ujar Neji menepuk bahu Kiba. "Kalau aku tidak menggoda wanita sialan itu, tidak akan terjadi keributan." Katanya menyesal.

"Wanita itu memang cantik," Shikamaru menimpali. "Tapi seleranya benar-benar payah."

"Aku tidak menyangka jika pria botak itu kekasihnya," Neji mengangguk setuju. "Payah, benar-benar payah." Gumamnya dengan tawa merendahkan.

"Kembali ke masalah Naruto," Gaara kembali membuka suara dan mengembalikan pokok pembicaraan mereka. "Apa kalian melihat raut wajah Naruto saat pria itu mengatakan jika dia bersikap tidak profesional? Menurut kalian, apa Naruto akan mendapat masalah karena hal ini?"

"Entahlah, kuharap dia tidak mendapat masalah karena kita." Shikamaru menendang kursi kosong dihadapannya karena frustasi.

"Kupikir itu tidak akan terjadi," sahut Sasuke datar, namun keningnya mengernyit tak yakin.

"Kalian benar-benar membuatku kecewa," Kiba kembali tertunduk lesu setelah mengulang apa yang Naruto katakan pada mereka tadi malam. "Kalian tahu, saat Naruto mengatakan hal itu, aku berdoa agar bumi menelanku hidup-hidup saat itu juga. Apa kalian melihat sorot kecewa dan terluka di mata Naruto?"

"Aku tidak tahu, mana yang lebih buruk. Tertangkap basah oleh orang tuaku atau tertangkap basah oleh Naruto." Shikamaru mengacak rambutnya dan kembali mengerang frustasi, "arghhh sepertinya aku bisa gila karena hal ini."

"Aku sudah mengirim email untuk minta maaf," ujar Neji. "Tapi tidak ada balasan." Keluhnya.

"Aku pun sama," sahut Gaara, Shikamaru dan Kiba bersamaan. Hanya Sasuke yang diam, dia sama sekali tidak meminta maaf pada Naruto. Lagi-lagi egonya yang tinggi melarangnya untuk melakukan hal itu.

"Ngomong-ngomong, rencana malam Minggu kita bagaimana? Apa kami bisa menginap di rumahmu, Sas? Kudengar belakangan ini pengamanan terhadap petinggi militer, kepolisian dan aparat negara semakin ditingkatkan. Apa tidak jadi masalah jika kami menginap di rumahmu?" tanya Neji.

"Tidak akan ada masalah, selama kita tidak berbuat onar." Jawab Sasuke, ia terdiam sebentar sebelum meneruskan. "Lagipula, semua pengawal ayahku sudah mengenal kalian semua."

.

.

.

Hari-hari berikutnya cukup melelahkan bagi Naruto juga Utakata, jadwal kerja Fugaku selanjutnya mengharuskannya untuk pergi dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Mereka berdua harus menyisir dan mengamankan lokasi yang akan didatangi oleh Fugaku. Utakata bahkan ditugaskan menjadi salah satu penembak jitu, untuk mengawasi keadaan andai sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Beruntung, dua hari ini berjalan dengan lancar tanpa adanya hambatan. Penyerangan terhadap markas militer pun mulai reda. Namun hal itu tidak membuat Naruto menjadi tenang. Ia berpikir jika musuh sedang menyusun rencana lain saat ini. Naruto hanya bisa berharap jika perkiraannya salah, dan semua kembali normal.

"Benar-benar melelahkan," tukas Utakata saat mereka kembali ke kediaman Fugaku tepat pukul sembilan malam.

"Kalian lapar?" tanya Obito pada Utakata juga Naruto.

"Lumayan," jawab Utakata.

"Aku akan meminta pelayan untuk membawakan makan malam untuk kalian, tinggallah untuk makan malam."

"Arigatou," jawab Utakata. Ia melepas jas dan dasinya dan disampirkan asal di sebuah kursi terdekat.

"Kapten?" panggil Naruto.

"Apa kau memerlukan hal lain?" tanya Obito kembali berbalik menghadap gadis itu yang terlihat sedikit ragu.

"Boleh aku ikut mandi disini? Badanku benar-benar lengket." Jawab Naruto kemudian.

"Tentu saja, kau boleh menggunakan kamar mandi yang ada di kamarku." Jawab Obito. "Kamarku ada di ujung lorong sebelah kanan." Ia menunjuk ke arah lorong.

"Terima kasih, Kapten." Naruto mengikuti arah telunjuk Utakata dan segera membawa perlengkapan mandi juga pakaian ganti yang selalu dia bawa. Ia selalu membawanya untuk berjaga-jaga jika dia harus menginap di kantor. Ia bergegas mencari kamar tidur Obito, sesuai dengan petunjuk yang diberikan pria itu, dan tersenyum kecil saat menemukan apa yang dicarinya.

.

"Sas, ada kartu remi tidak?" tanya Gaara dari tempat duduknya saat ini. Mulutnya asyik mengunyah makanan ringan yang ada di depannya.

"Kurasa paman Obito punya," jawab Sasuke tanpa menoleh dari layar TV. "Sebentar, aku cari di kamar paman." Tukas Sasuke bergegas keluar kamar dan turun menuju kamar Obito di lantai bawah.

"Jadi, siapa yang berani menantangku main kartu?" tanya Gaara pada tiga temannya yang lain. " Yang kalah harus menanggalkan pakaiannya satu demi satu, bagaimana?"

"Aku ikut," Shikamaru bangkit dari tempatnya berbaring dan mengangkat tangan kanannya tinggi.

"Aku juga ikut," sahut Kiba. "Aku pasti membalas kekalahanku tempo hari." Tambahnya dengan semangat membara.

"Kalau begitu aku juga ikut," Neji menimpali dengan senyum penuh arti. Sepertinya Kiba tidak sadar jika ketiga temannya berkomplot untuk mengerjainya malam ini.

"Kuharap Sasuke menemukan kartu remi milik pamannya," ujar Gaara penuh harap dan kembali memasukkan makanan ringan ke dalam mulutnya.

.

Sasuke terus berjalan dengan mantap menuju kamar Obito. Obito memang masih keluarga Uchiha yang juga merangkap sebagai kepala pengawal bagi Fugaku saat ini. Sasuke mengetuk pintu kamar berwarna broken white itu hingga beberapakali, namun tidak ada jawaban. Ia memberanikan diri membuka knop pintu dan melihat ke dalam kamar. Lampu kamar Obito menyala, menandakan jika pria itu sudah pulang. Samar, Sasuke mendengar suara air dari dalam kamar mandi. "Paman, kau di dalam?" Sasuke sedikit berteriak namun todak ada jawaban. Sepertinya suara air di dalam kamar mandi meredam suaranya, hingga tak terdengar.

"Paman dimana paman menyimpan kartu remi milik paman?" tanyanya lagi sedikit lebih keras dari tadi. Sasuke membuka satu demi satu laci meja milik pamannya itu, namun tidak menemukan apa yang dicarinya. Akhirnya suara air dari dalam kamar mandi tidak terdengar lagi. Sasuke berjalan mendekat, memutar knop pintu kamar mandi dan kembali bertanya. "Paman, dimana paman menyimpan kartu-"

"Arghhhhhhh," teriak Naruto kencang saat mendapati Sasuke berdiri di depan pintu dengan kedua mata membulat sempurna, terarah lurus padanya. Naruto segera menutup tubuhnya dengan handuk dan menggapai benda terdekat yang bisa diraihnya untuk dilempar ke arah Sasuke.

"Awwwww ..." teriak Sasuke. Ia meringis dan menutup pintu kamar mandi dengan keras sesaat setelah sebuah botol shampo mendarat mulus di keningnya.

"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Obito yang menyerbu masuk ke dalam kamar setelah mendengar jeritan Naruto yang terdengar jelas dari dapur. "Sasuke? Apa yang kau lakukan disini?" tanya Obito lagi saat melihat keponakannya itu meringis di depan pintu kamar mandi miliknya.

"Kenapa ada wanita di kamar mandimu? Apa yang dia lakukan di kamarmu?" Sasuke balik bertanya begitu dingin, dengan rasa cemburu yang berkobar nyata di matanya

"Namikaze ikut membersihkan diri sebelum dia pulang, dan aku mengijinkannya untuk menggunakan kamar mandiku." Jelas Obito. "Kau baik-baik saja?"

Sasuke menolak kasar tangan Obito yang berniat untuk mengecek luka di keningnya. "Dari semua kamar mandi di rumah ini, kenapa dia harus menggunakan kamar mandimu?" tanya Sasuke lagi tidak terima.

"Memangnya kenapa? Menurutku tidak ada yang salah, jika Namikaze menggunakan kamar mandi milikku. Lagipula aku tidak ada disini untuk mengintipnya." Obito melipat kedua tangannyabdi depan dada dan menatap Sasuke dengan wajah menyelidik. "Harusnya aku yang bertanya padamu. Apa yang kau lakukan di kamarku?"

"Aku mencari kartu remi," jawab Sasuke cepat.

"Benarka-"

^Kau?" teriak Naruto yang saat ini sudah berpakaian lengkap, dan keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah murka. "Pervert, dasar tukang intip Apa yang kau lihat tadi hah?" desisnya dengan jari telunjuk kanan teracung lurus ke arah Sasuke.

"Memangnya apa yang bisa aku lihat?" balas Sasuke dengan nada suara datar yang dipaksakan. " Dada datar sepertimu sama sekali tidak menarik." Katanya dengan mimik sombong. "Ingat, aku akan menuntutmu jika aku mendadak bodoh akibat lemparanmu tadi." Tambahnya sebelum melenggang pergi meninggalkan Naruto yang terdiam dengan mulut terbuka.

"Hah, dia melihatnya. Dia melihatnya, bagaimana ini? Aku tidak akan pernah bisa menikah." Teriak Naruto depresi.

Obito menepuk punggung Naruto dan menyahut santai. " Jangan khawatir, aku akan meminta Sasuke untuk bertanggungjawab. Ok?" katanya dengan senyum penuh janji. Obito pun meninggalkan Naruto seorang diri disana, dan pria itu pun kembali tersenyum penuh arti. Pria itu tidak pernah menyangka jika keponakannya yang terkenal cool bisa salah tingkah seperti tadi. Benar-benar pertunjukan yang menyenangkan, pikir Obito.

Berbeda dengan Obito, Sasuke anak kedua dari keluarga Uchiha Fugaku itu setengah berlari untuk kembali ke kamarnya. Jantungnya berdegup sangat kencang, wajahnya merona merah. Dia tidak tahu, apa dia harus bersyukur atau malah mengutuk kebodohannya tadi. Sasuke menutup pintu kamarnya keras dan segera berbaring di atas tempat tidur lalu menarik dan menyelimuti sekujur tubuhnya dengan selimut.

"Sas, mana kartu reminya?" tanya Gaara.

"Tidak ada," jawab Sasuke cepat.

"Hah, gagal sudah.-" rutuk Gaara.

Sasuke bahkan tidak bisa menangkap apa yang dibicarakan teman-temannya saat ini. Yang berputar di pikirannya hanya tubuh Naruto yang tidak tertutup sehelai benang pun. "Benar-benar seksi," gumam Sasuke tidak jelas dengan senyum terukir. Namun senyum itu menghilang saat dia ingat bekas luka memanjang di atas dada kanan Naruto. Luka yang terlihat masih baru, juga beberapa luka baru lainnya di paha dan perut gadis itu. Sasuke mengernyit, "dasar gadis bodoh." Gerutu Sasuke pelan. "Kekasihmu akan komplain jika kau memiliki bekas luka seperti itu. Benar-benar gadis bodoh," tambahnya muram.

"Tapi, kenapa Naruto ada disini? Apa paman dan Naruto berkencan?" Sasuke kembali bergumam tidak jelas lalu menggelengkan kepala. "Tidak, mereka jelas tidak dekat. Paman tidak mungkin memanggil Naruto dengan marga, mereka jelas tidak dekat. Lalu apa yang dilakukan Naruto disini?" pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala Sasuke hingga akhirnya ia terlelap tidur dengan pulas.

.

Utakata sedang melahap makan malamnya saat Naruto datang dengan wajah kesal. Langkah kaki gadis itu membuat Utakata mendongak dari piring nya. "Ada apa denganmu? Kenapa wajahmu begitu menakutkan? tanya Utakata.

"Jangan bertanya lagi, cepat habiskan makan malammu dan kita segera pergi!"

"Kau tidak makan?"

"Aku tidak lapar."

"Kau yakin? Makanannya benar-benar enak loh!"

"Berhenti bicara dan habiskan makananmu dengan cepat, sebelum terjadi pertumpahan darah disini." Desis Naruto mulai melantur sedangkan Utakata yang bisa merasakan dengan jelas aura hitam dari tubuh Naruto hanya mampu mengangguk dan menelan makanannya dengan susah payah. Utakata terbatuk keras di buatnya, tepukan sepenuh tenaga yang diberikan Naruto dipunggungnya sama sekali tidak membantu, hal itu malah membuatnya batuk semakin keras. 'Sebenarnya apa yang terjadi?' tanya Utakata dalam hati.

.

.

.

Keesokan harinya, hal yang dilakukan Sasuke setelah bangun tidur dan membersihkan diri adalah mengejar Obito dan memberondongnya dengan pertanyaan yang terus berputar di kepalanya sejak tadi malam. "Jadi kenapa penyihir itu ada disini kemarin?" tanya Sasuke dengan nada suara monoton.

"Kenapa kau begitu ingin tahu?" Obito balik bertanya dengan santainya.

"Kita tidak boleh membawa orang asing masuk dengan sembarangan, paman."

Kedua alis Obito bertaut mendengar penuturan Sasuke. "Aku tidak ingat kapan terakhir kali kau begitu peduli tentang hal ini, Sas."

"Berhenti berputar-putar dan jawab pertanyaanku." Desis Sasuke penuh ancaman.

"Baiklah," Obito menyerah dan mengangkat tangan. "Namikaze adalah petugas yang diperintahkan untuk mengawal ayahmu untuk beberapa minggu ke depan. Dan ya, dia bertugas bersamaku. Dan tidak, dia tidak bermalam di rumah ini." Jelas Obito mampu menjawab dengan baik pertanyaan yang bahkan belum diutarakan oleh Sasuke.

"Hn," hanya itu balasan Sasuke setelah mendengar jawaban dari Obito. "Apa tou-san akan datang ke sekolah saat rapat murid nanti?" tanya Sasuke lagi mencoba mengalihkan pertanyaan.

"Ayahmu sedang mengatur dan mengusahakan agar ia bisa datang. Kurasa ia akan datang, Sas. Kau pasti senang, ayo akui saja. Kau pasti senang jika ayahmu yang datang nanti, iyakan?" goda Obito.

"Biasa saja," jawab Sasuke datar. "Sekolah akan sangat repot jika tou-san datang, lebih baik tou-san tidak datang jika nanti hanya akan membuat murid dan orang tua yang lain tidak nyaman."

"Jangan seperti itu, ayahmu tokoh penting di negara ini. Jadi wajar jika pengamanan beliau menjadi prioritas utama."

"Terserah," balas Sasuke dingin dan beranjak keluar dari kamar Obito menuju ruang makan keluarga.

"Sifat ayah dan anak, benar-benar mirip satu sama lain." Obito menggelengkan kepala. "Aishhhh, balik lagi ke masalah Namikaze, aku yakin pasti ada sesuatu diantara Sasuke dan Namikaze." Obito menyipitkan kedua matanya dan memasang pose berpikir. "Yang jelas, keponakanku tersayang sangat tertarik pada Namikaze." Gumamnya bersemangat. "Woah, ini benar-benar mengejutkan." Obito tersenyum penuh misteri sebelum akhirnya mengikuti langkah Sasuke menuju ruang makan.

"Ohayou," sapa Obito saat melihat Shikamaru cs sudah duduk manis di ruang makan pagi ini.

"Ohayou," balas keempatnya hampir bersamaan.

Obito meraih mangkuk nasi miliknya dan menyuapkan nasi putih yang masih mengepul ke dalam mulutnya. "Jadi, Sasuke. Katakan saja, apa kau tertarik pada Namikaze?" tanya Obito sambil mengunyah, membuat Sasuke menatapnya tajam. Neji dan Shikamaru menatap Obito heran, sementara Gaara sibuk memberikan minum pada Kiba yang tersedak dan terbatuk hebat mendengar pertanyaan Obito.

"Namikaze?" beo Neji. "Maksud anda Namikaze Naruto?"

"Ya, Namikaze Naruto. Kalian juga mengenalnya?" tanya Obito pura-pura tidak tahu. Tentu saja dia tahu jika Naruto pernah ditugaskan untuk menjadi pengawal Sasuke di sekolah, namun hanya sebatas itu yang diketahuinya. Sasuke masih belum buka suara, ia terus menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

"Tentu saja kami mengenalnya," jawab Gaara.

"Bagaimana bisa?"

"Dia adik Namikaze sensei," timpal Shikamaru tanpa menjelaskan hal yang sebenarnya.

"Begitu?" Obito kembali mengangguk mengerti. "Sas, jadi kau menyukainya huh?"

"Aku tidak menyukainya, dia bukan tipeku. Jadi berhenti membahas dia!" Sasuke beerkata begitu dingin dan menatap Obito dengan pandangan menusuk.

Obito tertawa dalam hati, jarang sekali ia mendapat kesempatan emas untuk menggoda Sasuke seperti saat ini. "Syukurlah kalau begitu. Tidak lucu jika aku harus bersaing dengan keponakanku sendiri."

Sasuke menggenggam sumpit ditangannya begitu keras. Beruntung sumpit itu terbuat dari besi hingga mampu menahan tekanan amarah Sasuke yang meluap-luap saat ini. "Apa maksud paman?" tanya Sasuke penuh penekanan pada setiap katanya. Aura di ruangan itu mendadak gelap dan dingin karena aura gelap yang keluar dari tubuh Sasuke.

"Well, siapa tahu dia akan jadi bibi iparmu nanti. Terus terang, dia benar-banar tipeku. Menurut kalian apa dia akan menyukaiku juga?"

"Entahlah," sahut Gaara salah tingkah. Ia melirik takut ke arah Sasuke.

"Lebih baik, anda mencari wanita lain saja." Shikamaru memasang wajah serius, sesaat dia terdiam sebelum melanjutkan ucapannya. "Asal anda tahu, dia sedikit aneh dan berbahaya."

"Woah, bukankah itu keren." Obito memukul meja, terlihat begitu gembira. "Aku menyukai tantangan, dan aku suka wanita berbahaya."

"Jangan macam-macam, paman! Dia milikku, jadi menyingkir darinya!" desis Sasuke. Pemuda itu meninggalkan ruang makan dengan amarah yang masih meluap. Amarah karena rasa cemburu yang besar.

Obito tertawa keras sepeninggal Sasuke, air matanya keluar karena terlalu gembira. "Anda baik-baik saja?" Kiba bertanya, merasa heran melihat sikap Obito saat ini.

"Kalian lihat, keponakanku yang seperti gunung es akhirnya bisa cemburu juga. Bukankah itu hebat?" Obito berdeham, untuk menghentikan tawanya. "Sasuke harus berjuang keras untuk mendapatkan Namikaze. Dia bukan wanita biasa. Aku hanya berharap jika keponakanku tidak akan terluka terlalu dalam jika seandainya dia patah hati." Obito meletakkan mangkuk nasi miliknya, wajahnya terlihat serius saat mengatakannya.

"Anda terlalu pesimis," Shikmaru mengelap mulutnya dengan napkin dan menatap Obito lurus.

Obito menggelengkan kepala dan menjawab. "Jurang diatara mereka terlalu dalam, itu kenyataannya. Sasuke bagaikan seekor katak yang menginginkan rembulan." Obito menarik napas panjang dan tersenyum lembut. "Sudahlah, aku terlalu banyak melantur. Ayo, selesaikan sarapan kalian!"

Sementara Obito kembali melahap sarapan paginya, Shikamaru cs hanya terdiam merenungi ucapan Obito yang memang benar adanya. Hah, akan lebih mudah jika Sasuke jatuh cinta pada gadis biasa. Pikir keempatnya kompak.

Mood Sasuke tidak kunjung membaik hingga keesokan harinya. Neji bahkan gagal untuk membawa Sasuke kembali ke asrama kemarin sore. Sasuke beralasan jika dia masih ingin tinggal di rumah lebih lama dan akan kembali ke sekolah pada Senin pagi. Pemuda itu bangun begitu pagi, berharap jika dia bisa melihat Naruto sebelum pergi ke sekolah. Dan benar saja, gadis itu berdiri seorang diri di dapur pagi ini, dengan secangkir kopi hitam yang masih mengepul di tangan kanannya.

"Pagi," sapa Naruto pendek. Sasuke berjalan mendekat ke arahnya dengan wajah datar seperti biasa. "Hn." Balasnya tidak kalah pendek.

"Kenapa kau tidak kembali ke sekolah kemarin?" tanya Naruto lagi.

"Bukan urusanmu," jawab Sasuke ketus. Pemuda itu memaki dirinya sendiri di dalam hati karena gagal bersikap manis pada Naruto. 'Sial,' umpatnya dalam hati.

"Aku juga hanya berbasa-basi," balas Naruto tidak kalah ketus. "Kau benar-benar merusak mood, Menyebalkan!" dengusnya kesal. Sasuke hanya menyeringai kecil dan menatap Naruto penuh arti. "A-apa yang kau lihat?" tanya Naruto, kedua tangannya bersilang di depan dada seolah membentengi diri dari tatapan Sasuke yang seperti menelanjanginya.

"Memangnya apa yang bisa aku lihat?" cibir Sasuke.

"Sasuke kau benar-benar ingin mati, huh?"

"Jangan terlalu percaya diri, nona." Sasuke mendengus. "Asal kau tahu, tubuhmu tidak seksi. Jadi, jangan berpikir macam-macam!"

"Kau-"

"Maaf, tapi itu kenyataan." Sasuke kembali tersenyum kecil. "Kau membuat mataku sakit, ah... aku benar-benar sial." Keluh Sasuke. "Dari semua wanita yang ada di dunia, kenapa aku harus melihat mu dalam kondisi seperti kemarin? Kenapa?"

"Berhenti bicara, atau kau akan berakhir di rumah sakit!" ujar Naruto berdesis menahan amarah. "Atau kau mau berakhir di tanah pemakaman?"

"Kalian terlihat seperti pasangan suami isteri yang sedang bertengkar," ujar Utakata menginterupsi pertengkaran keduanya. "Kitsune, Kapten memanggilmu. Ia ada di teras belakang." Tambahnya, mengabaikan tatapan Naruto yang menusuk ke arahnya. Kemudian Utakata pergi tanpa menoleh lagi ke belakang. Ketika mendengar suara langkah kaki Utakata srmakin menjauh, Naruto kembali menatap Sasuke yang masih memasang sikap cool di hadapannya.

"Dengar, Sasuke. Anggap saja kejadian tadi malam tidak pernah terjadi, mengerti!"

Sasuke menghela napas dan menjawab datar. "Kejadian apa?" katanya balik bertanya. "Tidak ada hal indah, hingga harus aku ingat." Tambahnya dengan wajah meledek. Ia berlalu pergi meninggalkan Naruto yang diam mematung. Gadis itu kehabisan kata-kata dan hanya bisa mendengus kesal karenanya.

Naruto menghitung hingga sepuluh sebelum beranjak dari tempatnya berdiri untuk mencari Obito. Dia perlu meredam emosinya dan kembali bersikap seperti biasa. Naruto mengambil langkah psnjang menuju teras belakang. Obito sedang memberikan perintah pada bawahannya saat Naruto datang mendekat. "Anda memanggil saya, Kapten?"

"Ya," jawab Obito yang sudah selesai memberikan perintah pada bawahannya yang lain. "Aku perlu bantuanmu saat ini."

"Bantuan?"

" Tolong antar Sasuke ke sekolah. Sepertinya Fugaku-sama sangat khawatir jika Sasuke pergi seorang diri. Beliau juga khawatir jika hanya supir yang mengantarnya. Jadi, bisakah aku mengandalkanmu?"

"Baiklah," sahut Naruto sedikit enggan.

"Setelah mengantar Sasuke, aku minta kau tetap tinggal disana. Akan ada beberapa personil yang membantumu untuk menyisir sekolah."

"Saya megerti."

"Ini kunci mobilnya," Obito menyerahkan sebuah kunci mobil pada Naruto. " Aku akan memanggil Sasuke. Lebih baik kau tunggu di dalam mobil saja."

"Baik," sahut Naruto tanpa banyak bicara. Gadis itu mengangguk kecil untuk memberi hormat dan beranjak pergi.

Naruto berjalan melewati ruang keluarga, dia berhenti sebentar saat melihat Fugaku, Mikoto dan Sasuke sedang berbincang serius disana.

"Ah, Namikaze-san. Selamat pagi." Sapa Fugaku menghentikan ucapan Mikoto pada Sasuke.

"Selamat pagi," balas Naruto yang lalu memberi hormat pada Fugaku lalu beralih pada Mikoto dan juga memberi hormat.

"Bukankah kau cucu Sarutobi-san?" tanya Mikoto sedikit ragu.

"Ha'i." Jawab Naruto singkat.

"Namikaze-san bertugas untuk menjadi pengawal pribadiku sejak beberapa hari yang lalu," jelas Fugaku.

"Anata, kenapa tidak memberitahuku jika cucu Sarutobi-san bekerja untukmu?" protes Mikoto. "Aku akan senang sekali jika ada teman ngobrol. Itachi jarang sekali pulang, aku menjadi kesepian di rumah ini."

"Namikaze-san sangat sibuk, jangan membuatnya repot."

"Begitu?" Mikoto berkata dengan nada kecewa.

Naruto tersenyum kecil, "saya akan sangat senang jika dapat menjadi teman anda bicara, Uchiha-san."

"Oh, sayang. Kau membuatku senang." Ujar Mikoto, ia berjalan mendekat dan memeluk Naruto erat. "Belakangan ini pasti terasa berat untukmu." Raut wajah Mikoto berubah sedih saat bersitatap dengan Naruto. "Maaf, karena suamiku kau harus kembali bekerja padahal kau masih dalam suasana duka."

"Tidak," Naruto menggelengkan kepala. "Saya malah senang bisa kembali bekerja, membuat semua terasa lebih ringan."

Mikoto tersenyum lembut dan menakup wajah Naruto. "Gadis malang, kau benar-benar kuat." Mikoto kembali tersenyum cerah dan melirik ke tangan Naruto yang menggenggam sebuah kunci mobil. "Kau mau pergi?"

"Ha'i. Kapten menugaskan saya untuk mengantar putra anda ke sekolah."

"Benarkah? Bagus sekali." Mikoto bersorak senang. "Sasuke, kau pergi dengan Namikaze-san. Dan tidak ada penolakan!" katanya tegas, takut jika putranya itu menolak mentah-mentah.

"Hn," jawab Sasuke dengan wajah stoicnya.

"Kau tidak menolak?" Mikoto terlihat bingung. "Padahal tadi kau menolak dan berkeras untuk pergi seorang diri."

"Itu sebelum dia tahu jika Namikaze-san yang akan mengantarnya." Potong Obito berjalan ke arah keempatnya. Sasuke mendengus dan melirik tajam Obito yang tersenyum penuh kemenangan.

"Ayo pergi, aku bisa terlambat!" tukas Sasuke dingin. Naruto pun segera pamit dan menyusul Sasuke keluar rumah.

"Sepertinya putra bungsumu sedang jatuh cinta," kata Obito.

Mikoto menatap Obito dengan mata berbinar cerah, jelas tertarik akan berita yang dibawa oleh sepupu iparnya tersebut. "Apa terlihat seperti itu? Tapi, Namikaze lebih tua dari Sasuke." Katanya dengan pose berpikir. "Ah, umur bukan halangan untuk jatuh cinta." Katanya sambil mengibaskan tangan di udara.

"Berhenti bergosip! Obito jangan meracuni pikiran kakak iparmu dengan hal-hal tidak penting!" tegur Fugaku.

"Maaf," tukas Obito tanpa merasa bersalah.

"Aku pergi, koi."

"Hati-hati!" jawab Mikoto yang berjalan untuk mengantar Fugaku hingga teras rumah.

.

.

"Jadi, kau beralih profesi menjadi supir?" ledek Sasuke. Naruto tidak menjawab, pandangannya terarah lurus ke jalan raya. "Hei, apa kau tuli?"

"Berhenti bicara! Sejak kapan kau menjadi cerewet seperti ini?"

"Hn..." Sasuke mengangkat bahu acuh. Pemuda itu melihat keluar jendela mobil. 'Ini mimpi, pasti mimpi.' Batinnya tak percaya. Perlahan, perhatiannya kembali tertuju pada sosok Naruto yang duduk di kursi supir di depannya. Samar, Sasuke dapat mencium aroma citrus yang dirindukannya. Ia tersenyum tipis, tangannya terulur untuk menyentuh helaian halus rambut pirang Naruto yang diikat menyerupai ekor kuda hari ini. Namun, uluran tangan itu hanya mengambang di udara tanpa mampu menyentuhnya, Sasuke menarik kembali tangannya dan menghela napas panjang. Dia takut, jika dia menyentuhnya maka sosok Naruto di depannya akan menghilang. Sama seperti di dalam mimpinya selama ini.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Naruto saat tatapan keduanya bersibobrok di kaca spion mobil.

"Hn," jawab Sasuke memalingkan muka dan kembali menatap keluar jendela kaca mobil.

"Sas, kau sudah dewasa sekarang. Jadi, aku mohon padamu, berhenti bermain-main dan rencanakan masa depanmu."

"Aku sudah menyusun masa depanku," sahut Sasuke serak. 'Dan aku memasukkan dirimu ke dalam rencana masa depanku,' tambah Sasuke dalam hati.

"Syukurlah," balas Naruto kembali melirik sekilas lewat kaca spion.

"Maaf, lagi-lagi aku mengecewakanmu." Tukas Sasuke setelah terdiam cukup lama.

"Aku hanya takut sesuatu terjadi pada kalian. Itu saja."

"Maaf," kata Sasuke lagi begitu lirih dan lembut. "Lukau?"

"Apa?" tanya Naruto tidak mengerti, ia mengernyit bingung.

"Luka di tubuhmu, apa masih sakit?" tanya Sasuke tanpa mampu melihat ke arah Naruto.

"Bukankah kau bilang jika tidak ada yang kau lihat?" desis Naruto. Gadis itu kembali menghela napas panjang. "Lukaku sudah tidak sakit." Naruto membelokkan kendaraannya melewati gerbang sekolah dan menghentikannnya tepat di drop off.

"Hn..." Sasuke tersenyum lega mendengarnya. "Ini untukmu, gunakan setelah mandi dan sebelum tidur." Sasuke menyerahkan sebuah bungkusan plastik pada Naruto.

"Apa ini?" tanya Naruto dengan mimik bingung.

"Salep untuk luka-lukau." Jelasnya. "Tidak akan ada pria yang mau denganmu jika mereka melihat bekas luka seperti itu." Katanya dengan seringai sinis.

"Kau?"

"Terima kasih sudah mengantarku." Sasuke melompat turun dari dalam mobil dengan senyum tipis. Ia benar-benar bersyukur karena Naruto yang mengantarnya pagi ini. Jika tidak, entah kapan lagi ia bisa menyerahkannya pada Naruto.

Naruto terdiam dan menatap bungkusan itu dengan tatapan sedih. Ia melirik keluar jendela, melihat punggung Sasuke yang berjalan semakin menjauh. Naruto menggelengkan kepala, mengenyahkan semua pikiran yang berkecamuk di otaknya saat ini. Perlahan ia menekan pedal gas dan membawa kendaraan yang dikendarainya ke tempat parkir.

Suasana sekolah begitu ramai pagi ini. Lorong sekolah dipenuhi para murid yang juga berjalan menuju kelasnya masing-masing. Beberapa murid wanita melempar tatapan menggoda pada Sasuke. Namun seolah buta dan tuli, pemuda itu terus berjalan tanpa menoleh maupun membalas sapaan genit terhadapnya.

Ia terus berjalan dan masuk ke dalam kelas yang sudah mulai ramai. Sakura dan Tenten terlihat begitu serius membahas sesuatu di mejanya. Shikamaru tertidur di pojok kelas, Neji masih asyik membaca buku, sementara Gaara hanya melamun melihat keluar jendela.

"Ohayou," sapa Kiba melihat kedatangan Sasuke. Pemuda itu mengangguk kecil, menyimpan tasnya di bawah meja sebelum akhirnya duduk. Masih ada waktu tiga puluh menit sebelum pelajaran pertama dimulai. "Sas, boleh aku pinjam PR matematika milikmu?" tanya Kiba dengan senyum lebar.

"Hn," jawab Sasuke. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan buku PR miliknya untuk diserahkan pada Kiba.

"Oh, kau penyelamatku." Ujar Kiba penuh syukur. "Tadinya aku mau meminjam milik Shikamaru, tapi aku takut untuk mengganggunya. Kau tahu kan, Shikamaru sangat menyeramkan jika dia merasa terganggu. Gaara dan Neji, mereka berdua pelit. Aku sudah berusaha mengerjakannya sendiri, tapi soal-soal itu terlalu sulit untukku." Jelas Kiba panjang lebar. Ia mulai menyalin jawaban soal milik Sasuke dengan cepat.

Sasuke menunduk memandang telapak tangannya yang tadi tidak sengaja bersentuhan dengan tangan milik NNaruto. Ia masih merasakan rasa hangat yang tertinggal disana. Tanpa disadarinya ia pun tersenyum, senyum yang hangat yang sangat jarang diperlihatkannya pada siapa pun.

"Apa yang membuatmu begitu senang?" tanya Gaara mengembalikan Sasuke pada sikap coolnya.

"Hn."

"Pasti ada sesuatu," kata Gaara lagi begitu yakin. "Coba aku tebak, Naruto?" katanya asal. Namun melihat perubahan mimik wajah Sasuke, Gaara yakin jika hal ini menyangkut gadis itu. "Ah, jadi benar." Katanya penuh keyakinan.

"Apa begitu terlihat?" Sasuke bertanya dengan nada acuh.

Gaara tertawa. "Begitulah."

"Naruto mengantarku ke sekolah pagi ini."

"Bagaimana bisa?" Gaara terlihat bingung sekaligus penasaran.

"Dia bekerja untuk ayahku saat ini," jelas Sasuke pendek.

"Keren," timpal Neji yang entah sejak kapan menggeser kursinya dan duduk di samping Sasuke agar dapat mendengar dengan jelas pembicaraan antara Sasuke dan Gaara. "Kau bisa sering melihatnya di rumahmu."

"Kau lupa satu hal," potong Shikamaru sambil menguap. "Sasuke tinggal di asrama, jadi dia tidak mungkin bertemu dengan Naruto." Ujarnya mematahkan teori milik Neji.

"Sasuke bisa pulang setiap minggunya," kata Neji. "Masih lebih baik bertemu satu minggu sekali, daripada tidak sama sekali."

"Aku setuju," Gaara mengangguk setuju.

"Dia hanya bekerja untuk beberapa minggu ke depan saja," jelas Sasuke datar.

"Kau harus bergerak cepat, Sas."

Neji menendang kursi Gaara keras dan menyeringai kecil saat Gaara menatapnya tak mengerti. "Apa yang salah dengan usulku?" tanya Gaara pada Neji.

"Sasuke harus berhati-hati dalam mengambil langkah. Salah sedikit, Naruto bisa menguburnya hidup-hidup."

"Tepat sekali," sahut Shikamaru menyetujui Neji. "Jangan lupa, Naruto bukan gadis biasa." Tambahnya tenang seolah mengingatkan sahabat karibnya itu.

Sasuke kembali tenggelam dalam pikirannya, menyandarkan punggungnya ke kursi, memejamkan mata dan berusaha untuk santai. Perbincangan mereka terganggu karena suara langkah kaki Karin yang datang dengan tergesa-gesa dan menggebrak meja milik Sakura keras. "Ayo ikut denganku!" ajak Karin sambil menarik tangan Sakura dan Tenten.

"Mau kemana?" tanya Sakura. "Sebentar lagi pelajaran pertama akan dimulai." Ujar Sakura malas.

"Kita temui Naruto."

"Dimana?" Tenten terlihat antusias.

"Hinata dan Ino mengikutinya, tadi Naruto berjalan keluar bersama Kepala Sekolah."

"Mungkin Naruto akan kembali sekolah disini," tukas Tenten penuh harap. Kedua bola matanya berbinar cerah memikirkan kemungkinan itu.

"Entahlah," Karin mengangkat bahu. "Ayo cepat, kita cari Naruto." Karin kembali menarik tangan kedua gadis di depannya. Sakura dan Tenten segera berdiri, setengah berlari mereka mengikuti langkah Karin keluar kelas untuk mencari Naruto.

"Bukankah Naruto hanya mengantarmu saja, kenapa dia berbicara dengan Kepala Sekolah?" tanya Neji mengernyit bingung.

"Itu Naruto," tunjuk Gaara memotong perkataan Sasuke yang sudah ada di ujung lidah. Shikamaru berjalan mendekat ke arah meja Gaara dan mengikuti arah telunjuk putra bungsu keluarga Sabaku itu. "Siapa pria berjas itu? Apa mereka mengenal Naruto?" tanya Gaara.

Kini giliran Sasuke yang berjalan ke arah jendela dan melihat ke bawah dimana Naruto berdiri bersama Kepala Sekolah, Kurama dan beberapa pria berjas yang dikenali Sasuke sebagai pengawal pribadi ayahnya. "Mereka pengawal pribadi ayahku," jawab Sasuke datar.

"Kenapa mereka ada disini?" tanya Kiba. "Apa ayahmu akan datang dipertemuan orang tua murid lusa nanti?"

"Hn," jawab Sasuke. "Aku tidak yakin jika dia akan datang."

"Sepertinya beliau akan datang," kata Shikamaru yakin. "Jika tidak, untuk apa Naruto dan pengawal ayahmu repot-repot datang kesini?"

"Entahlah, aku berharap dia tidak perlu datang jika akhirnya akan membuat repot semua orang." Sasuke kembali bersikap sinis. Dia melihat kembali ke arah Naruto yang saat ini membungkuk memberi hormat pada Kepala Sekolah sebelum akhirnya beranjak pergi bersama beberapa pria berjas hitam itu.

Bel pelajaran pertama pun berbunyi, para murid segera duduk di tempatnya masing-masing. Hanya Sakura dan Tenten yang belum kembali ke dalam kelas saat ini. Lima menit kemudin akhirnya mereka berdua datang dengan keringat menetes karena berlari sepanjang lorong sekolah. Mereka takut terlambat masuk ke kelas Kurama pagi ini. Membayangkannya saja sudah membuat mereka berdua merinding ngeri. Sakura dan Tenten dapat bernapas lega karena Kurama juga datang terlambat ke kelas pagi ini.

"Pagi," sapa Kurama beberapa menit kemudian. "Maaf, sensei terlambat pagi ini.

"Sensei, boleh saya bertanya?" Neji mengangkat tangan kanannya tinggi.

"Apa yang mau kau tanyakan, Hyuga?"

"Kenapa banyak pengawal Menteri Pertahanan hari ini, apa telah terjadi sesuatu?"

"Tidak, tidak ada kejadian apapun." Jawab Kurama. "Seperti yang kalian tahu, lusa akan ada pertemuan orang tua murid. Menteri Pertahanan akan datang kali ini. Oleh karena itu, pengamanan semakin ditingkatkan. Sensei bisa pastikan jika hal ini tidak akan mengganggu proses belajar kalian." Jelas Kurama. "Sekarang buka buku kalian dan kumpulkan tugas yang ku berikan tempo hari! Untuk yang tidak mengerjakan, jangan harap kalian bisa selamat dariku." Tukasnya dengan mata terarah lurus pada Kiba. Pemuda penyuka anjing itu menelan ludahnya susah payah, badannya panas dingin hanya karena tatapan tajam Kurama padanya. 'Semoga aku selamat hari ini,' doa Kiba dalam hati.

.

.

.

Naruto terus berjalan untuk menyisir tempat, matanya meneliti tempat paling strategis untuk menempatkan seorang sniper nanti. Ia juga memastikan jika lorong bekas saluran air itu ditutup permanen. Naruto mengecek Cctv yang terpasang di setiap sudut sekolah dan menambahnya di beberapa titik yang menurut Naruto penting. Ia juga memerintahkan beberapa bawahannya untuk menyisir ruangan yang akan digunakan untuk rapat nanti.

Matahari semakin tinggi siang ini, jam makan siang pun sudah tiba. Naruto membagikan makan siang untuk kelima pengawal pribadi yang membantunya hari ini. Tugas mereka masih jauh dari kata selesai, dan besok mereka akan kembali untuk menyisir terakhir kali. Para pengawal itu berterima kasih saat Naruto memberikan makan siang dan segelas kopi. "Istirahatlah, kita akan mulai sejam lagi." Terang Naruto.

"Arigatou, Letnan." Jawab kelimanya kompak.

Naruto berjalan ke taman belakang, setelah selesai memberikan laporan perkembangan pekerjaannya hari ini pada Obito. Ia pun duduk di kursi taman terdekat, memejamkan mata untuk sejenak beristirahat. "Lelah?" tanya seorang pria serak, datang mendekat.

"Lumayan," jawab Naruto tersenyum tanpa membuka matanya.

"Sudah makan siang?" tanya pria itu lagi.

"Sudah, nii-san sudah makan?"

"Not yet."

Naruto membuka matanya dan menatap langsung mata pria yang duduk di sampingnya. "Jangan telat makan, kalau nii-san sakit bagaimana?" tegur Naruto.

"Aku lebih memilih menghabiskan waktu bersama adikku saat ini." Balas Kurama. "Sekarang sulit sekali untuk menemuimu. Kau lebih sibuk daripada Perdana Menteri, hingga kakakmu ini kesulitan meminta waktu adiknya, walau hanya untuk makan malam bersama." Keluh Kurama berlebihan.

"Aku akan datang umtuk makan malam."

"Kapan?" tanya Kurama antusias. Naruto hanya tersenyum dipaksakan dan menjawab kering. "Jika ada waktu," katanya.

Kurama mendengus dan memalingkan wajah, terlihat kecewa. "Sekarang kau bersikap seperti Miss Universe, sulit sekali mendapat jatah waktu darimu."

Kurama diam beberapa saat lalu kembali bertanya. "Jadi, kau bekerja untuk Menteri Pertahanan?"

Naruto mengangguk, "ha'i, hanya sampai beberapa minggu ke depan saja."

"Jaga dirimu dengan baik, jangan terluka lagi. Mengerti?"

"Ha'i, wakatta. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Aku justru mencemaskanmu dan paman Asuma. Kalian terlihat lebih kurus sekarang."

"Kami baik-baik saja. Hanya saja, ujian sudah semakin dekat. Kami semakin stres karenanya."

"Anak-anak pasti berhasil dengan baik, jangan terlalu stres. Nii-san hanya akan membuat mereka bertambah takut jika melihat wajah stres nii-san seperti saat ini." Goda Naruto, terkekeh pelan.

"Apa wajahku semenakutkan itu?" Kurama mengernyit membuat Naruto kembali tertawa keras "Jadi, nii-san tidak sadar jika wajah nii-san menakutkan, huh?"

Kurama menggelengkan kepala. "Wajahku tampan," tandasnya mutlak.

Naruto mendelik. "Ck, nii-san terlalu percaya diri."

"Itu kenyataan," balas Kurama kesal. "Aku lapar, temani aku makan." Pinta Kurama dengan nada memelas. "Please..."

Naruto tersenyum manis, "ok." Katanya lembut. Kurama berdiri dan meraih tangan Naruto. Digandengnya tangan Naruto sepanjang perjalanan mereka menuju cafetaria. Senyuman tidak lepas dari wajah Kurama, membuatnya terlihat lebih muda dan memesona. Beberapa murid berbisik, beberapa diantara mereka bahkan mimisan melihat senyum Kurama yang memikat. Berlebihan memang, tapi itulah yang terjadi siang ini.

Kurama melahap makan siangnya dengan lahap. Naruto tersenyum melihatnya, jari tangannya mengelilingi botol limun yang ada di hadapannya saat ini. Dari jauh, tiga orang pemuda berjalan terhuyung-huyung mendekati meja keduanya. Nampak ragu untuk mendekat, namun akhirnya ketiga pemuda itu berdiri salah tingkah di samping meja makan Naruto dan Kurama.

"Konichiwa, sensei." Sapa Lee grogi. Kurama melirik ketiganya dan menjawab santai. "Konichiwa."

"Konichiwa, senpai." Sapa Lee pada Naruto dengan senyum lebar.

"Konichiwa," balas Naruto. "Bagaimana kabar kalian?"

"Baik," sahut ketiganya kompak. "Namikaze sensei, sekarang menjadi guru latih kami." Jelas Chouji.

"Berlatihlah dengan baik, jangan lupa tugas utama kalian. Kakakku memang lebih menyeramkan daripada aku, tapi hatinya sangat baik." Ujar Naruto mengedip genit membuat ketiga pemuda itu menunduk tersipu malu.

"Kami hanya ingin mengucapkan terima kasih pada senpai. Terima kasih, karena senpai mau menjadi guru latih kami. Terima kasih juga berkat senpai, Namikaze sensei bersedia menjadi guru latih kami menggantikan senpai. Arigatou," tukas Shino. Ia, Lee dan Chouji memberi hormat pada keduanya sebelum akhirnya beranjak pergi.

"Mereka benar-benar manis," tukas Naruto saat ketiganya sudah pergi.

"Dan mengesalkan," tambah Kurama. "Mereka selalu menanyakan kabarmu setiap harinya, Lee, dia bahkan terus bicara mengenai dirimu saat kami pertama kali berlatih. Dia juga berani membandingkan caraku melatih denganmu." Ujar Kurama kesal sedangkan Naruto tertawa lepas mendengarnya.

Itachi mengamati interaksi keduanya dari kejauhan. Melihat Kurama yang tersenyum ceria memberinya kehangatan tersendiri. Kebahagiaan Kurama adalah kebahagiaan untuknya. Tanpa sadar, Itachi tersenyum dan mendesah lega. "Kenapa tidak bergabung bersama mereka?" tanya Sasuke dari belakang bahu Itachi. Itachi terlonjak kaget, secara spontan berbalik dan memukul bahu kanan Sasuke keras.

"Jangan mengendap-endap seperti itu!"

"Hn." Jawab Sasuke datar. Itachi kembali berbalik dan tersenyum saat melihat Kurawa tertawa renyah pada Naruto.

"Dia sangat tampan saat tertawa," gumam Itachi lirih.

"Nee-san terlihat seperti penguntit, kenapa tidak bergabung bersama mereka?" tanya Sasuke dingin, sama sekali tidak mengerti.

"Aku tidak mau mengganggu kebahagian mereka," jawab Itachi. "Dan panggil aku Uchiha sensei, disini aku gurumu. Berapa kali aku harus mengingatkau?"

"Hn..." jawab Sasuke datar dan berlalu pergi. Itachi melihat sekilas lewat bahunya. Matanya menyipit melihat Sasuke yang kini kembali duduk bergabung bersama keempat sahabatnya yang lain. Lalu ia kembali mengalihkan pandangannya ke meja Kurama dan hanya bisa berdecak sebal karena incarannya sudah pergi saat ini.

.

.

.

Hari pun berlalu dengan cepat, hari pertemuan orang tua pun tiba. Satu persatu kendaran milik orang tua murid yang diundang datang dan mendapat pemeriksaan ketat. Uchiha Fugaku tiba sepuluh menit sebelum acara dimulai. Utakata disiapkan sebagai penembak jitu kali ini, ia ditempatkan di lokasi paling strategis untuk mengintai dan menembak dari jarak jauh. Sementara Obito dan Naruto berjaga di sisi kiri dan kanan Fugaku. Obito segera memberikan perintah, dan para pengawal lainnya menyebar memeriksa kendaraan. Satu orang ikut mengamati di ruang Cctv sedangkan empat orang ditempatkan di pintu gerbang sekolah.

Para murid saling berbisik, merasa jika barisan pengawal Menteri sangat keren. Hanya satu orang yang merasa terganggu, yaitu Sasuke. Dia merasa jika hal ini terlalu berlebihan. Mereka hanya mengamankan seorang Menteri bukan seorang Presiden atau Perdana Menteri.

Rapat itu dipimpin langsung oleh Kepala Sekolah, berjalan hampir dua jam lamanya dan diakhiri dengan jamuan makan siang. Namun Fugaku memutuskan untuk tidak ikut jamuan makan dan memilih untuk kembali ke kantor karena banyaknya pekerjaan yang dia tinggalkan. Fugaku menyalami Kepala Sekolah, guru dan beberapa orang tua murid sebelum beranjak pergi. Obito dan Naruto mengawalnya dengan setia.

"Elang keluar ruangan, bersiap diposisi masing-masing. Ganti!" tukas Obito lewat alat komunikasi yang melekat di telinga.

"Siap laksanakan, Kapten." Balas anak buah Obito, mengerti akan kode yang diberikan.

Seorang pengawal membukakan pintu aula untuk Fugaku. Pria paruh baya itu berjalan penuh wibawa, menuju tempat kendaraannya menunggu. Sebuah ledakan kecil terdengar dari kejauhan, membuat langkahnya terhenti dan mengagetkan semua orang yang berada di dalam aula, tidak terkecuali Naruto dan Obito.

"Kapten, amankan elang!" lapor salah satu pengawal yang berjaga di pintu gerbang sekolah. "Terjadi ledakan, dua mobil van hitam melaju cepat ke lokasi. Diperkirakan terdapat peledak di kedua mobil van itu."

Obito bergerak cepat, Fugaku kembali masuk ke dalam aula. Orang tua murid mulai gaduh dan panik. Kepala sekolah dan para guru mencoba meredam keributan yang terjadi di dalam aula. Kurama maju dan bertanya pada Obito. "Apa yang terjadi?" tanyanya setenang mungkin.

"Terjadi serangan, sensei saya mohon bantuan anda untuk menenangkan keadaan di dalam sini, sementara kami mengendalikan kondisi di luar." Obito berbicara dengan nada serius.

"Kita harus mengamankan semua orang yang ada disini, utamakan keselamatan mereka." Timpal Fugaku tegas. Suara tembakan dan ledakan kembali terdengar dari luar aula. Orang-orang mulai berteriak ketakutan dan panik. Seluruh guru mulai bertindak untuk menenangkan keadaan. Naruto mengeluarkan pistol miliknya dan mengokangnya. "Black?" panggil Naruto pada Utakata "Berapa jumlah musuh?"

"Dua puluh orang," sahut Utakata. "Aku sudah melumpuhkan lima orang dari mereka." Lapor Utakata.

"Kapten, Black mengatakan jumlah mereka dua puluh orang. Lima sudah dilumpuhkan. Saya sudah memanggil bala bantuan." Lapor Naruto pada Obito.

"Kita harus mengeluarkan semua orang dari sini. Musuh memiliki peledak."

"Aula ini memiliki pintu belakang yang terkunci dan menyambung langsung ke kantin." Jelas Naruto. "Hanya saja, aku takut jika musuh sudah menunggu di balik pintu."

"Amankan semua ke ruang bawah tanah." Kepala sekolah menyeruak diantara kerumunan, memotong pembicaraan keduanya. "Di bawah mimbar, terdapat ruang bawah tanah." Jelasnya.

"Baik, kita amankan semua orang ke sana." Kata Obito penuh syukur. Semua orang yang berada disana diperintahkan untuk tiarap, berjaga andai ruangan itu diserang membabi buta.

Kepala sekolah membuka pintu rahasia yang berada tepat di bawah tangga mimbar dengan sebuah kode yang hanya diketahui olehnya. Para orang tua dan murid yang panik digiring untuk masuk ke dalam ruang bawah tanah. Beberapa murid menangis dan memeluk orang tuanya masing-masing. Secara mengejutkan ruang bawah tanah itu memiliki penerangan yang cukup untuk melihat keadaan di sekitarnya.

Naruto mengintip keluar dari balik jendela kaca. Suara desing peluru terdengar jelas olehnya. "Kitsune, tiga orang berhasil melewati pertahanan dan mencoba masuk ke dalam aula. Hati-hati dia bersenjata lengkap." Lapor Utakata. Naruto menatap horor, beberapa guru, kepala sekolah, Fugaku dan Sasuke masih belum masuk ke dalam ruangan bawah tanah.

Obito dibantu Kurama membalikkan sebuah meja catering yang terbuat dari kayu jati sebagai tempat berlindung untuk mereka yang tersisa. Mengikuti insting, Naruto bergerak menjauhi jendela. Benar saja, tak lama berselang kaca jendela itu hancur karena berondongan peluru yang bertubi-tubi. Bau mesiu kini tercium jelas oleh indera penciuman Naruto. Satu orang penjahat merangsak masuk lewat pintu aula yang segera dihadiahi sebuah tembakan tepat di dada oleh Naruto. Keadaan itu dimanfaatkan oleh penjahat lainnya untuk masuk dan menghujani Naruto dengan tembakan sementara dirinya bersembunyi di balik pilar. Naruto berguling, mencari tempat perlindungan. Obito melempar kode pada gadis itu. Naruto mengangguk mengerti, tugasnya mengalihkan perhatian sementara Obito menyelesaikan sisanya.

Naruto melepaskan sebuah tembakan tepat ke pilar tempat penjahat itu bersembunyi. Perhatian penjahat itu tertuju pada Naruto tanpa menyadari jika Obito mengendap-endap mendekat ke arahnya. Bunyi suaa peluru terus berdesing memekakan telinga, menghancurkan setiap benda yang dikenainya. Perlahan Obito berhasil mendekat, dan menyerangnya dari belakang. Hujan peluru terjadi saat Obito, mengunci leher penjahat yang mencoba untuk melepaskan diri, namun usahanya gagal karena Obito dengan cepat mematahkan leher penjahat itu dengan bunyi krak keras yang mengerikan.

Baru saja satu penjahat dikalahkan, satu orang penjahat kembali berhasil masuk dengan membawa senjata Ak-47. Senjata otomatis yang siap menghancurkan setiap benda yang menghalanginya. "Oh, shit!" seru Naruto dan Obito hampir bersamaan. Senjata itu diarahkan membabi-buta. Baik Naruto maupun Obito memiiki kekhawatiran yang sama. Mereka khawatir akan keselamatan orang-orang yan berada di balik meja jati itu.

Kini giliran Naruto yang memberi kode pada Obito. Atasannya itu menggeleng keras, ide Naruto terlalu gila. Salah langkah, Naruto bisa mati. Naruto tersenyum penuh arti, tanpa persetujuan Obito dia melaksanakan idenya. Gadis itu melempar sebuah taplak ke arah penjahat, dan benar saja penjahat itu termakan umpan Naruto. Ia kembali menembak membabi buta ke arah datangnya taplak. Naruto berguling, menghindari peluru yang mungkin bisa mengenainya. Ia lalu berdiri, berlari cepat ke arah samping pria itu dan menendang senjata yang digenggamnya hingga lepas. Pertarungan pun tak terhindari. Pria itu menyerang Naruto, pukulan saling berbalas, begitu pun dengan tendangan. Obito datang membantu, Naruto berbalik dan kembali melayangkan sebuah tendangan yang tepat mengenai rahang pria tersebut.

Napas Naruto memburu, ia kembali memasang kuda-kuda, namun Obito berhasil memukul tengkuk dan merobohkan penjahat itu terlebih dahulu. Naruto mengamankan pria yang tak sadarkan diri itu dengan memborgol kedua tangan penjahat itu. "Kau gila!" teriak Obito. "Kau bisa mati," desisnya marah.

"Tapi, aku masih hidup." Balas Naruto dingin.

"Kau harus belajar mendengar perintah atasanmu, Namikaze!"

"Aku selalu mendengar perintah atasanku, kecuali jika terdesak." Jawab Naruto kalem. "Saya anggota pasukan khusus, saya dilatih untuk mengikuti insting."

"Tidak jika kau dalam anggota pasukanku, ingat disini kau harus mengikuti aturanku!"

Kurama dan Sasuke hanya menatap tak percaya akan apa yang baru saja terjadi. Benar kata Obito, Naruto gila. Dia bisa meregang nyawa jika perhitungannya salah. Kurama mengalihkan pandangannya pada Naruto yang masih bersikap tenang. "Bagaimana bisa dia bersikap tenang seperti itu? Dia bisa mati." Kurama bergumam lirih. Gumaman yang hanya dapat didengar olehnya sendiri.

Penampilan Naruto terlihat mengenaskan, pakaiannya kusut dengan bercak darah dimana-mana. Namun gadis itu terlihat begitu fokus dan terbiasa dengan keadaannya seperti ini. "Kitsune, bantuan sudah datang. Musuh di luar sudah berhasil dilumpuhkan. Untuk berjaga-jaga, kalian tetap di tempat hingga keadaan benar-benar aman."

"Laporan diterima, arigatou." Balas Naruto. "Kapten, bantuan sudah datang. Kita diminta untuk tetap di tempat hingga keadaan benar-benar aman."

"Syukurlah," Obito mendesah lega. Pria itu beralan mendekat ke arah Fugaku. "Anda baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja," jawab Fugaku. "Namikaze terluka," katanya cemas.

"Hanya luka kecil, anda tidak perlu khawatir." Kata Naruto menenangkan.

"Berapa banyak anggota kita yang terluka? Atau mungkin ada yang meninggal dunia? Aku ingin laporannya hari ini juga."

"Saya akan segera melaporkannya pada anda," jawab Obito penuh hormat. Satu persatu para orang tua dan murid dikeluarkan dari dalam ruang bawah tanah. Mereka dikumpulkan di tengah aula. Rasa takut, cemas terlukis jelas pada wajah mereka. Obito menjelaskan jika keadaan sudah aman. Dan Fugaku meminta maaf atas kejadian ini.

Naruto kembali mengokang senjata saat mendengar suara langkah kaki mendekat dari pintu aula yang sudah tidak berbentuk lagi. Ternyata yang datang adalah Bee dan anggotanya. Bee memberikan hormat pada Fugaku dan melapor jika keadaan sudah berhasil dikendalikan. Fugaku mengangguk, begitu lega. Obito kembali mengawal Fugaku keluar dari ruangan. Suara sirine polisi nyaring terdengar di luar. Kepulan asap mengepul di beberapa titik, mayat bergelimpangan di tanah, dengan genangan darah yang terlihat menyeramkan.

Para orang tua dan murid semua dibawa ke Rumah Sakit untuk pemeriksaan psikis. Dikhawatirkn jika kejadian ini meninggalkan trauma berkepanjangan terhadap para korban. Hanya tinggal Itachi, Kurama, Sasuke yang berkeras untuk tetap tinggal disana. Dokter memeriksa keadaan mereka secara teliti di dalam ambulans. Pihak sekolah sedikit lega karena mereka meliburkan murid kelas 1 dan kelas 2 hari ini. Jadi jumlah korban tidak terlalu banyak.

"Semua tersangka mati," keluh Bee.

"Tidak," potong Naruto. "Kami berhasil menangkap hidup-hidup satu orang tersangka. Aku rasa dia masih pingsan di dalam"

"Bagus," Bee terlihat senang. "Bawa dia ke markas untuk diintrogasi!" Nibi dan Hangobi bergerak cepat, mereka menyeret penjahat itu masuk ke dalam mobil tahanan dan membawanya ke markas polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

"Berlindung!" teriak Sanbi. "Salah satu mobil terdapat bom waktu!" teriaknya lagi. Sanbi berlari kencang, juga beberapa anggota polisi yang berada disekitar van itu ikut berlari mendengar peringatan Sanbi.

Langkah Naruto untuk berlindung terhenti, saat matanya menangkap sosok seseorang yang tergeletak tak jauh dari mobil van teersebut. Dia salah satu pengawal pribadi Uchiha Fugaku. Tanpa pikir panjang, Naruto berlari ke arah van. Menyebabkan beberapa orang berteriak memanggil namanya. Dengan sekuat tenaga gadis itu menarik tubuh yang masih tak sadarkan diri itu agar menjauh. Sanbi yang berjarak paling dekat memutar arah, kembali untuk membantu Naruto dan ledakan besar pun terjadi.

Semua yang berada disana hanya bisa berdoa agar Naruto, Sanbi dan pria yang mereka tolong selamat. Asap mengepul hebat setelahnya. Sanbi dan Naruto terbatuk, tertawa lega karena masih diberi kesempatan hidup. "Kau gila!" ujar Sanbi.

"Kau juga sama," kekeh Naruto.

"Kau masih bisa tertawa?" teriak Sasuke yang berlari kencang ke arah Naruto. "Kau hampir saja mati, apa yang kau pikirkan? Bagaimana jika kau mati?" tanya Sasuke lagi mengguncang tubuh Naruto keras. Pemuda itu benar-banar ketakutan setengah mati tadi saat melihat Naruto berlari menuju van. Rasanya napasnya direbut paksa hingga ia mati rasa.

"Yang aku pikirkan? Aku hanya berpikir untuk menolong rekan satu timku."

"Kau bisa mati," Sasuke berkata lemah.

Naruto tersenyum sebelum menjawab. "Itu sudah menjadi resiko pekerjaanku." Katanya tenang.

Tubuh Sasuke terasa kaku mendengar penuturan Naruto saat ini, ucapan itu terlontar jujur dari bibir dia, wanita yang dicintainya. Sasuke merasa jika jurang diantara mereka menganga semakin lebar. Bagaimana bisa dia memiliki gadis ini, dia bahkan tidak mampu untuk melindunginya. Sasuke terus menatap Naruto lama. Pemuda itu tertawa hambar, membuat Naruto mengernyit bingung. Tanpa banyak bicara, Sasuke bangkit berdiri dan berbalik pergi. Sementara Naruto duduk diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

.

.

.

TBC

Sampai jumpa dichap selanjutnya! ^^

#WeDoCareAboutSFN

Continue Reading

You'll Also Like

929 106 10
Kau percaya dengan fantasi? Semua hal yang tidak masuk di akal sehat manusia itu loh!! Apa? Kau tidak percaya? Kalau begitu, ikuti aku!! Aku akan me...
9.1K 1.3K 12
SASUFEMNARU FANFICTION Sementara Naruko koma di Rumah Sakit, Naruto membaca isi diari saudari kembarnya dan memutuskan menyamar sebagai Naruko untuk...
389K 4.2K 84
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
101K 10.9K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...