OBSESSION

By slay-v

99.7K 10.2K 6K

Bethany Chance dan Aimee Parker. Mereka gadis berusia 17 tahun yang sekilas terlihat seperti remaja pada umum... More

OBSESSION
CAST
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 30 (2)
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 34 (2)
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 36 (2)
Chapter 37
Chapter 37 (2)
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Epilog
Author's Notes
Random Part
Bonus Chapter: Through The Dark
Bonus Chapter: After
Bonus Chapter
Bonus Chapter: Tough Guys

Chapter 22

1.3K 154 133
By slay-v

"Mereka sudah memasuki gedung," David mengisi ulang amunisi pada senjatanya saat melangkah memasuki ruang rawat. "Aku tidak menyangkanya mereka akan mengincar kalian hingga ke RS setelah menghancurkan markas kepolisian London."

Liam mencibir. "Lucu ini terjadi karena baru kemarin Dokter bilang padaku Rumah Sakit memiliki keamanan yang ketat," Ia tertawa ironi. "Bagaimana dengan nasibku dan Harry?"

"Kau tidak perlu khawatir. Teman-temanku akan kemari dan berjaga melindungi kalian berdua. Sedangkan ..." David beralih kepada Greyson, Niall, Louis dan Beth. "Kalian berempat ikut bersamaku ke bagian belakang gedung, menunggu jemputan disana."

"Dan membiarkan Harry dan Liam disini?" protes Greyson tidak setuju. Terakhir kali mereka memutuskan untuk berpisah (berpencar), Harry menjadi korbannya. Dan Greyson tak dapat membantah bahwa Ia menyesali keputusannya tersebut. "Tidak."

"Jika kalian bersikeras disini, maka akan lebih banyak korban! Lebih baik memancing mereka keluar dari RS!" desak David dengan tegas.

"Dengan menjadikan kami umpan?!" Beth histeris.

"David, ayo!" kira-kira dua puluh agent datang. Mereka semua bersiaga di lorong dimana kamar rawat Liam berada. Dan salah seorang dari mereka bernama Ken, masuk ke ruangan. "Mereka sudah mendekati lorong."

Keempat orang itu bengong. Louis, Niall, Greyson dan Beth tidak berfikir lagi saat mereka menyerbu Liam dengan pelukan.

"Sialan aku takut sekali."

"Kita bertemu lagi nanti, Liam."

"Kau akan baik-baik saja, Liam! Mereka melindungimu dan Harry."

"Kuatkan hatimu."

Liam menatap satu persatu keempat kawannya dengan penuh kekhawatiran. "Ya. Aku akan baik-baik saa. Kalian cepatlah pergi dari sini!" perintah Liam dengan berat hati. Sesungguhnya Ia ingin mereka tetap disini. Tetapi dia tidak mau mengambil resiko mereka terluka lagi.

Louis, Niall, Greyson dan Beth menatap Harry yang masih berbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. Mereka semakin merasa ragu untuk pergi ketika melihat kondisinya. Terutama Beth. Ia ingin sekali menetap disini dan melindunginya. Tetapi, pasti David memaksanya untuk pergi.

"Ayo!"

Beth mengalah saat Niall menariknya keluar kamar, bersamaan dengan Louis, Greyson dan David. Mereka berempat berlari lebih dulu menuju tangga darurat agar ke lantai satu, disusul oleh David di belakang mereka. Namun belum saja melangkah beberapa meter dari pintu kamar, terdengar suara letusan senjata yang memekikkan telinga secara terus menerus. Rentetan peluru seakan mengejar Niall, Louis, Beth dan Greyson yang berlari di depan David.

"Aku benar-benar merasa seperti kriminal yang dikejar polisi!" Greyson mengomel sebal ketika mereka berlarian menuju tangga darurat.

"Terus berlari!" peringat David.

Mereka berbelok, hendak menuju lorong dimana tangga darurat berada. Tetapi sialnya, kaki kanan David menjadi sasaran tembak hingga Ia langsung ambruk ke atas lantai. "Argh!"

"David!" Niall kontan menarik tubuh David agar berlindung di balik dinding saat rentetan peluru masih mengejar mereka. Ia sedikit merobek celana David di bagian paha, letak peluru menembus kulit pahanya. "Sial. Sepertinya luka ini parah, David."

"Kau bisa berjalan?" tanya Beth dengan cemas.

David menggeleng. Ia berfikir keras. "Tinggalkan aku disini. Pergi ke halaman belakang, akan ada yang menjemput kalian. Dan ..." David menahan lengan Greyson dan berkata dengan serius. "Gunakan pistol kalian."

Ketiganya membelalak. Niall, Greyson dan Beth saling bertatapan, merasa ragu untuk meninggalkannya sendirian di lorong. Namun ketika mendengar suara tembakan yang semakin mendekat, ketiganya memutuskan segera ke tangga darurat yang pintunya terbuka lebar. Dengan berat hati ketiganya berlari meninggalkan David yang duduk pasrah di pinggir lorong, seperti menunggu ajalnya datang.

"Bagus! Ayo!" dengan semangat Niall mengenggam pergelangan tangan Greyson dan Beth, mengajak kedua remaja itu agar segera menuju tangga darurat. Ia kaget ketika Beth menepis tangannya dan menghentikan langkahnya. Kontan Niall berbalik, memandangi gadis itu dengan penuh tanya. "Ada apa, Bee? Kita harus segera ke—"

"Louis mana?!" jerit Beth histeris.

Niall melotot. Ia menoleh ke belakang Beth. Batinnya meledak-ledak emosi saat melihat Louis berlari menuju lorong, dimana kamar rawat Liam dan Harry berada.

"WHAT THE FUCK LOUIS!" Niall berteriak marah.

***

Sedangkan, di ruang rawat bernomor 110—kamar tempat Liam dan Harry berada, Liam hanya dapat duduk di atas kasur, mendengarkan suara letusan senjata tiada henti dari luar kamarnya. Ia mencoba bersikap tenang, menganggap kalo setiap suara letusan pistol itu adalah musik baru baginya. Tapi tentu, itu sulit karena Ia malah merasa gendang telinganya akan robek dan berdarah.

Dan sekitar di menit keenam, suara letusan senjata itu berhenti.

Liam tidak tahu apa itu berarti agents MI6 yang "menang" atau bahkan sebaliknya; bandits yang menang.

Liam melonjak terkejut ketika pintu kamar terbuka secara kasar hingga membentur tembok. Ternyata itu Ken, seorang agent MI6 yang tadi sempat Ia temui dan berjaga di depan pintu kamarnya. Keadaannya yang terluka membuat Liam ngeri sekaligus cemas. Terdapat luka tembak di leher dan perut Ken. Orang itu tertatih-tatih mendekati ranjang Liam. Nafasnya terengah dan lehernya penuh keringat dan noda darah.

"Oh, shit," hanya itu yang dapat Liam katakan. Ia mengedip sekali sebelum menatap Ken yang berdiri dengan punggung membungkuk dan menumpu tubuhnya di ranjang Harry. "Tolong katakan padaku teman-temanmu sedang menuju kemari. Dan mana James?!"

Ken mendongak. Ia menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaan Liam, "James ... mengatasi mereka dibawah ..." ucapnya dengan terbata.

"DOR!"

Liam terperanjat. Batinnya berteriak menyaksikan Ken ambruk ke atas lantai dengan lubang peluru di kepala.

Ia ingin sekali melompat turun dari kasur dan berlari pulang. Namun tentu, itu mustahil. Yang Ia lakukan sekarang adalah terbengong, matanya tertuju kepada seorang bandit yang berdiri di belakang Ken. Si bandit tampak puas, lalu menurunkan senjatanya yang semula terangkat hingga berada di sisi kakinya.

"Masuklah! Tidak ada siapapun disini!" bandit itu mendekat ke ranjang Liam. Ia tersenyum sinis, "ternyata kau masih hidup. Tapi sekarang, nyawamu benar-benar akan habis, Payne."

Liam menatapnya penuh kebencian. "Kalau kakiku baik-baik saja, kupastikan kau habis di tanganku," Ia menggumam marah. "Harus kukatakan berapa kali agar jangan dekati dan ganggu kami?"

"Kami hanya menerima perintah!" Seorang bandit lagi masuk. Ia berjalan ke sisi ranjang Harry dan memandanginya dengan kaget. "Astaga. Si keriting ini masih hidup?! Padahal aku yakin pasti telah menabraknya dengan keras dengan mobilku."

Liam membelalak. "Kau yang melakukannya?!" Ia berteriak keras hingga tenggorokannya terasa serak. Kakinya gemetar dan tangannya meremas seprai, menahan emosinya yang meledak-ledak. "Brengsek! Aku berjanji akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Aku tidak akan ragu!"

"Oh, ya?! Cobalah sekarang!" Ia menantang.

Liam semakin marah melihat bandit dengan rambut pirang itu mengeluarkan pisau lipat kecil dan mendekat kepada Harry. "Apa yang akan kau lakukan?!"

Si Pirang tak menjawab. Ia memperhatikan satu persatu alat medis yang tersusun rapi di belakang ranjang Harry, yang "tersambung" ke tubuh Harry menggunakan selang kecil; setahu Liam salah satu diantaranya berfungsi untuk membantu Harry bernafas dengan tabung oksigen dan masker di mulut Harry. Si Pirang memerhatikan kondisi Harry, dan mendecak sinis. "Oh, aku mengerti. Dia sekarat? Kasihan sekali," Ia mengarahkan pisau kecilnya ke leher Harry. "Sekalian saja kupotong urat nadi di lehernya agar dia tak lagi menderita."

"Touch him and you're dead."

Si Pirang diam membeku merasakan ujung selongsong senjata menusuk tengkuknya. Ia melirik kawannya dan Liam, yang tampak kaget dan tidak mengeluarkan satu suara pun. Tetapi melihat perubahan ekspresi Liam yang lega dan girang membuatnya menduga-duga. Mungkin dibelakangnya ini adalah salah seorang teman Liam?

"Siapa kau?"

"Tomlinson," Louis tersenyum penuh kemenangan. Ia bersyukur memutuskan untuk kabur, meninggalkan Niall, Beth dan Greyson untuk menjaga Liam dan Harry. Ternyata Ia datang di waktu yang sangat tepat—saat si Pirang nyaris menggorok leher Harry. "Aku benar-benar akan membunuhmu jika saja kau melukainya lagi."

"Really?" Si Pirang mendecak. Ia menertawakan Louis. "Aku bahkan ragu kau dapat menggunakan senjata itu, Louis Tomlinson. Kau hanya dapat berlari, kabur dari semua ini."

"Aku tidak akan disini jika aku memilih kabur, bukan?!" Louis semakin menekan senjatanya ke tengkuk si Pirang. Jari telunjuknya berada di depan pelatuk, siap menariknya kapan saja. "Tutup mulutmu dan katakan siapa boss-mu."

"Tidak."

"Oke. Bagaimana jika aku akan menembak kawanmu jika kau tetap bersikeras tutup mulut?"

"Kau akan mati."

Louis dengan sigap berjongkok saat si Pirang berbalik hendak menonjoknya. Tak membuang waktu, Louis menarik pelatuk pistolnya hingga senjata digenggamannya menembak kaki si Pirang.

"Argh!" si Pirang jatuh di hadapan Louis. Ia hendak mengangkat senjata di tangannya untuk menembak Louis, namun Louis segera menendang tangannya hingga pistol terlempar ke kolong kasur Harry. "Fuck you."

"No, fuck you," Louis menginjak dada si Pirang. Ia sudah benar-benar kehabisan kesabaran. "Sekarang, katakan padaku siapa boss kalian!"

Si Pirang tersenyum sinis. "Kami tidak tahu namanya," Ia menyahut singkat.

"Oh, ya. Karena kalian "berbisnis" melalui e-mail!" Louis berseru sarkastik, bermaksud mencemooh bandit-bandit yang kerap menyerangnya karena menerima perintah dari seseorang yang belum pasti "ada". "Masa bodoh. Katakan padaku sekarang, siapa namanya!"

"Jangan lupa aku ada disini!"

"DOR!"

Louis terperanjat saat melihat peluru melesat cepat tepat di depan batang hidungnya. Karena lengah, si Pirang menendang perutnya hingga Louis terjatuh sembari mengiris kesakitan. Ia bahkan lupa dengan bandit satunya lagi yang berada di sisi ranjang Liam. Ia terlalu penasaran dengan siapa sebenarnya boss dari komplotan yang mengincar nyawanya, hingga lupa dengan keadaan disekitarnya.

Louis pun hanya bisa terdiam ketika bandit itu berdiri di atas tubuhnya, menodongkan senjata tepat di depan wajahnya. Sedangkan si Pirang yang tadi sempat Ia tembak bersimpuh lemah di atas lantai.

"Katakan siapa nama boss-mu!" Louis berteriak.

"Kau ini terlalu banyak ingin tahu!" si Bandit membentak marah. "Pokoknya kami mendapat satu tugas—membunuh teman-temanmu! Kau, Niall Horan, Harry Styles dan Payne! Dan bunuh siapa saja yang mengganggu, dan itu maksudnya kami pun harus membunuh Greyson dan Bethany Chance," Ia menekan kata bunuh seraya menyeringai sinis. "Namun sebelum itu, kami harus menanyakan suatu hal penting yang kalian rahasiakan."

"Rahasia apa?!" Liam berteriak bingung. "Kami tidak merahasiakan apapun dari kalian!"

"Persetan. Jangan menyembunyikannya! Ah, ini hanya membuang waktu," si Bandit menarik kerah kaus Louis agar Louis berdiri didepannya. Lalu Ia menempelkan ujung senjatanya ke dada Louis, "lebih baik kami tembak saja sekalian."

"DOR!"

"ARGH!"

Tidak. Itu bukan suara Louis. Melainkan si Bandit yang kini mendapatkan luka tembak di bahunya. Ia sempoyongan ke depan. Sebelum menimpanya, Louis menyingkir, menyudut ke kasur Harry. Ia merasa lebih lega setelah kedua bandit yang berada di kamar ini telah "tumbang".

"Kau datang tepat waktu, Gee," puji Louis dengan nafas tersengal. Kerah bajunya tadi sempat ditarik dan itu membuatnya agak sesak nafas. "Terima kasih."

"Tidak masalah," Greyson memasukkan kembali pistolnya ke balik celananya. Ia mendekat kepada Louis dan berkata, "Niall mengamuk karena kau kabur."

"Oh, ya? Dimana dia sekarang?" Louis tidak peduli. Satu-satunya yang akan Ia lakukan jika Niall marah adalah tertawa karena menurutnya, Niall bukanlah seseorang yang dapat berteriak dan mengeluarkan segala emosi seperti dirinya. Niall malah akan terlihat menggelikan jika sedang marah—itu menurutnya.

"Dia dan Beth ke lobby, memanggil James. Ternyata keadaan di lantai satu pun lebih parah," jelas Greyson. Ia melirik kedua bandit yang kini tersungkur di atas lantai sambil menahan sakit karena luka tembak. "Sekarang, apa?"

Setelah itu, James masuk bersama kedua agent lainnya. Ia tampak berang dan Louis tahu sebabnya—banyak teman-temannya yang "gugur" karena bandits. Atau mungkin juga padanya dan Greyson yang bertindak sendirian untuk "melawan" mereka.

"Bawa kedua idiot ini ke lobby sebelum kita interogasi!" perintah James, begitu tegas dan terdengar marah. Ia memerhatikan kedua agent yang menggiring dua bandit di atas lantai keluar kamar. Kemudian Ia berpaling kepada Louis, Liam dan Greyson. "Louis, Greyson, ikut aku. Liam, penyerangan sudah berakhir jadi kau tidak perlu khawatir. Kini tiga agent akan menjagamu dan Harry sampai kondisi benar-benar kondusif."

"Baiklah."

***

Waktu menunjukkan pukul satu siang, dan saat ini Rumah Sakit benar-benar ramai. Sejumlah Dokter dan suster berkeliaran kesana kemari, mengurus pasien serta agent-agent MI6 yang terluka karena peristiwa penyerangan yang terjadi beberapa saat lalu. Juga terdapat sejumlah satpam RS yang bekerja sama dengan agent mencegah wartawan, reporter, paparazzi dan kameramen yang bergerombol di parkiran RS agar tidak memasuki gedung. Jadi, mereka hanya dapat menyorot keadaan Rumah Sakit dari kejauhan.

Dan kini, Louis, Beth, Niall dan Greyson berada di lobby bersama James dan dua orang bandit yang tadi berada di kamar rawat Liam dan Harry. Keduanya didudukkan di atas lantai, dikerubungi oleh keempat orang yang menjadi incaran utama mereka. Kondisi tangan dan kaki mereka terikat kuat oleh tali.

"Hei," Greyson menampar pipi si Pirang. "Sadarlah, Brengsek. Jangan pura-pura pingsan begitu."

"Greyson," peringat James. Ia menyenggol bahu Greyson dengan senjata di genggamannya.

"Kenapa? Aku hanya menamparnya. Belum menembak atau pun menabrak seperti yang Ia lakukan kepada Harry dan Liam," Greyson mencibir, sama sekali tidak peduli.

Louis menyetujui ucapan Greyson. Tertarik, Ia pun ikut maju, bersejajar dengan remaja itu. Ia mengangkat kakinya, dan melakukan sesuatu yang membuat James terkejut. "Bangun, kau bandit sialan," Louis menendang kepala bandit di sebelah si Pirang dengan penuh kekesalan. "Aku tahu kau hanya berpura-pura pingsan. Bangunlah dan hadapi aku layaknya lelaki jantan!"

James menggelengkan kepalanya karena menyaksikan tingkah Louis. Ia baru saja akan menegur Louis, saat orang yang menjadi korban tendangannya itu akhirnya sadar.

"Bagus!" Beth berseru sarkastik. "Sepertinya kau memang harus ditendang dulu kepalamu agar sadar," Ia berlutut di sisi Louis dan Greyson. Sedangkan Niall berdiri di belakang mereka bersama James. "Sekarang, katakan. Siapa yang mengirimkan kalian perintah untuk membunuh kami?"

"Kalian menerima perintah memalui e-mail, bukan?" tanya James. Ia telah mengetahui informasi tersebut dari Louis pagi tadi sebelum pergi ke acara pemakaman Shahid.

Si Bandit menghela nafas berat sebelum mendongak, menatapi Greyson, Niall, Louis, Beth dan Hank bergiliran. Ia merasa ragu untuk memberitahu informasi lebih lanjut. Tetapi karena tekanan dari tatapan Beth serta tendangan kaki dari Louis, Ia melanjutkan. "Ya. Dia mengirimkan uang kepada kami untuk dana senjata dan kendaraan," Ia menjawab dengan suara serak.

"Siapa?" Niall bertanya dengan tegas. "Siapa nama boss-mu?"

Ia menatap Niall dengan pandangan meremehkan. "Dia tidak mengatakan siapa namanya," tapi dia perempuan, batin si Bandit melanjutkan ucapannya. "Jadi kami tidak tahu."

James menatap si Bandit tajam. "Kurasa kau akan buka mulut jika dengan cara keras," kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman sinis. Ia melonggarkan dekapan tangannya, "kami akan bawa kalian berdua ke markas untuk di interogasi."

Baik Niall, Beth, Greyson dan Louis tahu apa yang akan James lakukan, dan apa maksudnya cara keras. Layaknya di film-film, siapapun si penjahat akan di siksa agar membongkar informasi penting yang Ia ketahui.

"Bagus. Siksa saja dia sampai mati," umpat Niall puas.

"Sayangnya ..." si Pirang perlahan mendongak. "Yang akan tersiksa disini adalah kalian." Kemudian Ia melirik Greyson. Ia tersenyum penuh arti, "benar bukan, Mr.Chance?"

Kontan kini Niall, Beth, James dan Louis menatap Greyson yang kebingungan. Greyson menjadi kesal karena tidak mengerti maksud dari ucapan si Pirang. Ia mencengkeram kerah kaus bandit satu itu hingga posisi tubuhnya membungkuk ke depan, dan jarak wajahnya dengan si Bandit hanya tersisa beberapa centimeter lagi. "Apa maksudmu, Brengsek?"

"BRRRMMM!"

Suara deruman mobil yang terdengar keras menarik perhatian orang-orang yang berkumpul dan beristirahat di lobby. Kemudian sebuah van hitam yang tak asing bagi Louis, melaju cepat ke depan pintu utama Rumah Sakit. Saat melewati pintu utama yang terbuka lebar, seseorang dari dalam mobil melemparkan empat benda berbentuk bulat ke dalam lobby.

Itu mobil yang menabrak Harry, batin Louis menggertak marah.

"LARI KE KORIDOR!" James menarik Beth, yang semula berlutut agar berdiri. "Itu bom asap!"

Tetapi, peringatannya terlambat.

"BUM!"

Dua detik kemudian, keempat bom itu meledak, mengeluarkan asap tebal yang memenuhi seisi lobby. Puluhan orang—baik agent, pasien maupun pengunjung RS yang berada di tempat itu terbatuk-batuk. Beberapa pingsan karena syok, juga ada yang berlarian tanpa arah mencari jalan keluar ketika asap berwarna hijau pekat itu mengisi lobby, membuat penglihatan siapa saja menjadi terganggu.

"Sialan!" James memutar tubuhnya kiri dan kanan. Ia tidak dapat melihat apapun selain asap tebal berwarna hijau. "JANGAN BERGERAK! TETAP DI TEMPAT!"

Di sisi lain, Beth benar-benar panik. Ia tidak dapat melihat siapapun. Bahkan tidak ada suara satu pun dan ini membuat nyalinya semakin menciut. Ia berdiri, tubuhnya bergerak memutar, mencari keberadaan seseorang disekitarnya. "Greyson!" Ia berteriak, memanggil sepupunya. "Greyson! Kau dimana?!"

"Bethany!" Beth spontan membalikkan tubuhnya ketika mendengar seseorang memanggilnya. Namun itu bukan suara Greyson, melainkan Niall. "Diam di tempatmu, Beth!"

"Ada yang melihat Greyson?!"

"JAMES! Kau dimana?!"

"DOR! DOR!"

"BUAK!"

"ARGH!"

Beth semakin ketakutan. Mungkin kalau sekarang tidak ada asap yang seakan membuatnya "tersesat", Ia tidak akan merasa takut seperti sekarang. Masalahnya, karena bom asap tadi, kini Ia tidak mengetahui keberadaan siapapun. Apalagi ditambah suara tembakan, pukulan dan jeritan tadi semakin membuatnya bergidik ngeri. Bagaimana jika orang itu ternyata ada di belakangnya, mengincar nyawanya?

Gadis itu merutuk dalam hati, penuh kekesalan. Ia berjalan mundur, namun Ia tersandung sesuatu hingga Ia terjungkal jatuh ke belakang.

"Aduh," Beth mengusap bokongnya karena terbentur lantai. Ia mengibaskan tangannya untuk menyingkirkan asap di depannya. Tetapi setelah melihat apa yang membuatnya tersandung, Beth menjerit. Ternyata kaki seorang mayat!

"Shit!" Beth mengumpat. Ia menarik tubuhnya mundur menjauhi mayat itu, namun punggungnya menyentuh seseorang. Dengan cepat Beth berbalik dan mengeluarkan senjatanya dari balik pakaiannya. "Siapa kau?!"

"It's Louis! Kau mau menembakku?!"

Genggaman Beth pada pistolnya melonggar. Ia langsung mengalihkan pandangannya dari Louis, yang berlutut di hadapannya dengan warna wajah nyaris memutih. Sejak Louis bersikap dingin padanya, Ia merasa kesal dan bingung. Kesal karena Louis yang bersikap cuek padanya. Juga bingung apa Ia harus sama-sama bersikap dingin atau tetap peduli?

Tetapi Beth memilih tidak peduli. Lagi pula Louis juga dingin padanya. Dan ini membuatnya merasa kecewa dan sedih di saat yang sama.

Louis pun memilih bungkam saat tahu yang Ia temui sekarang adalah Beth. Ia membalikkan tubuhnya hingga memunggungi Beth, kemudian mengeluarkan senjatanya. Batinnya bersuara, menyuruhnya mencari Niall dan Greyson. "Nialler! Gee!" Louis berteriak. Kedua tangannya terangkat mengenggam pistol, "Gee!"

"BETHANY!"

Sekujur tubuh Beth kaku. Batinnya melonjak dari kursinya, menjerit-jerit—itu suara Greyson! Itu suara Greyson! Beth berdiri, menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, lalu ke belakang dengan jantungnya yang berdebar kuat. Ia mengangkat senjatanya saat mulai melangkah tanpa arah. "GREYSON!"

Louis melangkah ke sisi Beth, turut mencari asal suara Greyson. "Dasar asap sialan!" dengan penuh kekesalan, Louis mengibaskan tangannya secara sembarang—bertujuan agar asap tebal yang masih mengapung tanpa arah disekitarnya agar lenyap.

Dan ternyata, itu berhasil. Asap didepannya dan Beth tersingkir ke kedua sisi, hingga mereka sadar mereka masih berdiri di dalam lobby, tepat di depan pintu utama. Mereka pun akhirnya dapat melihat sesuatu yang mampu membuat mereka terperanjat begitu terkejut.

Sejumlah bandit itu menggiring Greyson paksa menuju sebuah mobil di parkiran.

"GREYSON!"

Beth dan Louis saling berlomba untuk mengejar mereka. Greyson yang mendengar suara Beth dan Louis menoleh, merasa semakin panik dan girang di saat yang sama. Maka usahanya untuk memberontak semakin kuat. Ia dengan susah payah meronta-ronta agar orang-orang yang menggiringnya menuju mobil itu segera melepasnya. Namun yang Ia dapat adalah tonjokan di perut, hingga tenaganya menjadi melemah.

"Jangan memukulnya, Brengsek!" jerit Louis penuh amarah. "Lepaskan dia!"

Ketika Beth dan Louis hampir menangkap mereka, tiba-tiba salah seorang bandit dari klompotan itu mengangkat senjatanya. Tubuh Louis bergerak cepat untuk menarik Beth tiarap di atas aspal, "berlindung!"

"DOR! DOR!"

"Bagus! Sekarang masukkan bocah ini dan kita harus segera pergi!"

Mendengar perbincangan mereka, Beth sekejap ketakutan. Beth tidak berfikir dua kali saat Ia berdiri, lalu berlari guna mengejar Greyson yang ditendang masuk ke dalam mobil. Melihatnya membuat adrenalin Beth berpacu cepat. Langkahnya pun semakin lama semakin melebar, agar dapat menyelamatkan sepupunya yang sejak awal selalu menemaninya.

"Tidak! TIDAK, SIALAN!" jangan ambil dia juga! Jangan ambil Greyson—Beth membatin perih. Ia menangis ketika melihat sendiri, salah seorang dari mereka menghajar Greyson yang mencoba keluar dari mobil. Menghajarnya hingga pingsan. "GREYSON!"

"DOR! DOR! DOR!"

Beth terisak. Ia ambruk sebelum peluru itu ditembakkan ke arahnya, hingga tiga buah peluru yang ditembakkan si Bandit meleset. Beth enggan bangkit. Tubuhnya bergetar, penuh ketakutan dan kesedihan saat menghadapi kenyataan.

Olivia dan Carly pergi. Aimee pergi. Lalu Zayn. Sekarang Greyson?! Siapa lagi nantinya?!

Beth mendongak. Ekspresinya keras, begitu kontras bahwa Ia merasa kemarahan yang amat sangat. Ia berlutut di atas jalan, mengangkat senjatanya ke mobil hitam—yang membawa Greyson—yang melaju cepat meninggalkan parkiran.

"BRENGSEK!"

"DOR! DOR!"

Beth menarik pelatuk pistol di tangannya berulang kali secara membabi buta. Dia sama sekali tidak memikirkan jika saja ada peluru yang meleset dan merusak pagar, atau bahkan bersarang ke tubuh seseorang. Ia terlalu rapuh dan marah untuk memikirkan orang lain. Ia hanya memikirkan Aimee dan Greyson. Dan keduanya telah pergi!

"Greyson ..." Beth ambruk lagi. Kedua tangannya menahan tubuhnya agar tidak menghantam aspal. Kepalanya menunduk ketika air matanya turun. Turun dan terus turun hingga membasahi pipi, mengalir ke lehernya dan membuat kausnya basah. "Jangan tinggalkan aku ..."

Tangisan Beth semakin keras saat seseorang memeluknya dari belakang. Dengan tangan gemetar, dan masih sambil terisak, Beth memegang tangan yang melingkar di sekujur tubuhnya itu. Beth butuh ini. Dia butuh seseorang memeluknya dan membuatnya tenang. Walaupun hanya sedikit karena Ia tahu sendiri yang Ia butuhkan sekarang hanyalah Greyson.

"Dia mengambil Greyson ju-juga ..." lirih Beth sambil terisak.

"Aku tahu, Beth. Maafkan aku. Sungguh, maafkan aku."

Tangis Beth semakin tak terkontrol karena mendengar suara orang ini; Louis—begitu parau. Louis turut menangis karena menyadari seorang temannya pun ikut dibawa pergi.

Beth merasa jantungnya berdetak begitu cepat. Beth merasa jantungnya seperti ingin meledak karena semua emosi dan tekanan yang Ia rasakan sekarang. Marah. Sedih. Kesepian ...

"Aku sendirian ..." Beth mengusap air matanya dengan kasar. Namun sedetik kemudian, pipinya pun basah lagi karena air matanya terus menerus keluar dari ujung matanya. "A-aku sendirian ..."

"Tidak, Beth! Tidak!" Louis membantah. Lengannya yang melingkar di tubuh Beth mengerat, berusaha memberikan gadis itu ketenangan. Louis memang merasa sedikit marah kepada Beth—tanpa alasan yang jelas. Tetapi Ia tidak dapat menahan perasaan perihnya melihat Beth yang begitu sedih dan terluka sekarang. "Kau tidak sendirian, Sayang. Masih ada aku dan Niall disini!"

Batin Beth bereaksi saat sepenuhnya sadar bahwa Louis memeluknya. Gadis batinnya menyuruh mendorong Louis dan pergi, setelah mengingat apa yang Louis lakukan padanya sejak kemarin. Tetapi Ia terlalu sedih dan lemah. Rasa takut yang Ia rasakan semakin membludak karena mereka menculik Greyson setelah Ia kehilangan Olivia, Carly, Aimee dan Zayn.

"Kami akan mencari Greyson bersama, kau dengar aku?"

Beth terisak. Enggan menjawab pertanyaan Louis. Perasaan kecewa dan marah pada lelaki satu itu masih ada. Tetapi Ia tidak dapat mengungkapkannya sekarang. Tidak setelah para bandit itu menculik sepupunya.

***

Fast update karena chapter kemarin cuman filler yang bikin bosen. Ya kan?

Sebentar lagi mau tamat, loh. Mungkin sekitar di chapter 35-an. Atau bahkan ga sampe 30 chapter udah tamat? Gue aja ga tau ._.v

Continue Reading

You'll Also Like

8.5K 1.1K 29
Rumpang yang tercipta berakibat celaka bagi kita. Perasaan kita berpetualang namun tak kunjung dipertemukan. Hingga saatnya kita satu namun tidak per...
541K 13.7K 13
Berawal dari ide gila saudara kembarnya untuk bertukar tempat selama satu hari, Bella tak menyangka akan dihadapkan oleh pertandinga basket melawan B...
875 199 40
Keajaiban? Itu tanggapan Keya ketika melihat pesulap semasa kecil. Setelah tumbuh besar Keya tidak sengaja bertemu Maigcal Magic, nama populer sebag...
921K 40.4K 97
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...