Shadow Kiss [Completed]

De Faradisme

5.7M 421K 22.9K

(Proses Penerbitan) Alicia tidak pernah mengira jika mimpi aneh yang sering mendatanginya berarti sesuatu. M... Mai multe

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 34
Part 35
PRE ORDER NOVEL SHADOW

Part 14

119K 10.8K 493
De Faradisme


Astaga.

Tubuhku membeku. Seluruh aliran darah di tubuhku seakan berhenti. Setiap denyut nadi yang awalnya bekerja dengan stabil kini menggila. Jantungku serasa sakit karena berdetak terlalu keras. Pijakan kakiku serasa menghilang. Satu-satunya kontrol yang ada pada tubuhku ketika Aku masih bisa menutup mata tak berani melihat apa yang telah aku lakukan.

Aku mencium Damian.

Aku menciumnya.

Akhirnya...

Tidak..tidak. Ini seharusnya tidak boleh kulakukan. Ini sama sekali tidak boleh kulakukan. Bukan karena aku tidak menginginkanya, tapi aku wanita. Aku tidak ingin Damian berpikir jika aku sama saja seperti wanita lain yang dengan mudah memberikan dirinya; seperti Angela.

Aku merutuk dalam hati karena menyadari kebodohanku sendiri. Aku bahkan tak memiliki kekuatan untuk  mundur. Bibirku masih menempel di bibir Damian. Sensasi mengejutkan yang tidak bisa kubayangkan sebelumnya memenuhi kepalaku. Namun Damian yang diam membuatku takut. Apa dia marah atau dia tak menyukai bila aku yang bergerak lebih dulu.?

Pada hitungan detik ketiga aku melangkah mundur dengan cepat hingga menyentuh ayunan kayu di belakangku cukup keras, membuat ayunan itu bergoyang. Aku bernafas terputus-putus seperti baru saja selesai marathon tanpa berani memandang Damian. Aku hanya menatap kakinya yang berdiri tak bergerak sama sepertiku. Sial, apa yang sebenarnya merasukiku. Aku tak beniat melakukan itu. Sama sekali tidak walaupun aku sangat menginginkannya.

Jika ada yang mengatakan jika aku seorang wanita yang tak pernah memikirkan apa yang akan dilakukannya, aku akan membantah. Aku selalu merencanakan segala sesuatu yang akan aku lakukan. Aku bisa menulis satu lembar halaman tentang apa yang akan kulakukan ketika bangun pagi hingga kembali tidur. Namun apa yang baru saja kulakukan menghapus segala bantahan yang bisa kuberikan. Aku bertindak ceroboh. Hal yang paling ceroboh yang pernah kulakukan.

Suasana canggung melingkupi aku dan Damian. Beberapa saat tidak ada yang bicara. Aku berdiri gelisah sambil menunduk. Aku masih setia menatap kakinya ketika kulihat kedua kaki itu melangkah mendekatiku dan berhenti tepat di depan kakiku yang gemetar.

Apa? Apa yang dia lakukan?

Tunggu... tunggu.

Dia akan memarahiku?

Dia akan membalasku?

Dia akan memukulku?

Sepertinya tidak, itu sama sekali bukan Damian.

Jari-jari panjang Damian terulur di daguku dan membuat wajahku mendongak kearahnya. Menatapnya tepat di mata biru favoritku. Tidak ada senyum disana. Wajahnya keras memandangku. Aku tak tau apa yang saat ini ia pikirkan. Tapi kenapa aku menjadi merasa sangat bersalah karena menciumnya. Jika saja aku diberi pilihan, aku lebih menginginkan dia kehilangan ingatan untuk 2 menit terakhir.

Bisakah? Andai aku memiliki kekuatan sama sepertinya.

"Alicia..." Suaranya masih terdengar merdu ketika menyebut namaku.

"Aku minta maaf..." Aku menelan ludah karena tenggorokanku mendadak kering. "Maafkan aku, Damian. Aku tidak sengaja. Maksudku... aku tidak berpikir untuk melakukan itu. Hanya saja semua ini... aku... aku tidak tau apa yang kulakukan... aku hanya... aku ...aku minta ma--"

Penjelasanku terhenti ketika Damian mendekat lalu menyatukan kembali bibir kami yang tadi sempat bersentuhan. Mataku terbuka lebar. Tangannya naik menahan belakang kepalaku ketika tangan yang lain memeluk pinggangku erat. Bibir kami menempel satu sama lain seperti halnya tadi yang kulakukan.

Aku tak bisa bergerak di dalam pelukannya. Satu-satunya yang bisa kurasakan adalah tekanan lembut dari bibirnya di bibirku yang tertutup rapat. Hembusan nafasnya menyapu hidungku. Matanya tertutup tepat di depan wajahku.

Wajah Damian bergerak ke samping. Menekan lembut kepala belakangku Ketika sebuah suara yang kukenal terdengar.

"Hi... apakah kalian..... woo!!"

Aku mendorong bahu Damian menjauh. Menyembunyikan wajahku dari seseorang yang baru datang dan melihat apa yang sedang aku dan Damian lakukan.

Tertangkap basah diciuman pertamaku.

Adakah yang lebih buruk?

"Alec..." Damian mengangguk kearah Alec yang tersenyum lebar. Ia menatap tersirat kearah Damian lalu memandangku yang sedang berusaha bersikap wajar. Tentu saja aku tidak bisa bersikap wajar.

"Hai Alice, maafkan aku jika kedatanganku bukan dalam waktu yang tepat," Alec sengaja memberi jeda pada kalimatnya hanya untuk sekedar melihat reaksiku yang bertambah malu. Sedangkan disampingku Damian mengusap tengkuknya canggung.
Aku menggeleng atas ucapannya... Kurasa aku kehilangan suaraku.

"Bisakah aku meminjam Damian sebentar?" lanjutnya masih dengan senyum lebar.

"Ada apa?"

"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan..." Alec memberi senyum seperti biasanya. Teringat olehku akan perkataan Damian jika ia adalah seorang iblis. Dilihat dari sudut manapun, Alec tidak tampak seperti iblis. Setidaknya tidak tampak seperti iblis yang pernah menyerangku. Dia masih terlalu tampan untuk ukuran seorang iblis.

"Tunggu aku di perpustakaan. Aku ingin mengantar Alicia ke kamarnya dulu,"

"Baiklah. Aku menunggumu. Pastikan kau menyusulku ke perpustakaan, oke?" Alec terkekeh akan ucapannya. Ia tampak sedang menikmati dirinya yang mengejek Damian sekaligus aku.

Setelah Alec masuk ke dalam rumah, kecanggungan luar biasa kembali mengambil alih. Dapat kulihat dari ekor mataku jika Damian tengah memperhatikanku. Aku justru lebih tertarik pada kolam batu yang menyala dengan lampu-lampu kecil itu. Apakah aku bisa memelihara beberapa ikan disana. Mungkin aku akan membeli beberapa nantinya untuk aku masukkan disana. Paling tidak itu bisa..

"Ayo masuk." Ucap Damian mengacaukan usahaku mengalihkan pikiran darinya.

Tanpa menoleh padanya aku berjalan terlebih dahulu memasuki rumah. Damian mengikuti di belakangku dengan langkah ringan. Jika kakiku menimbulkan suara ketika menapaki tangga keramik ini, langkah Damian justru tidak terdengar sama sekali. Jika saja aku tidak tau dia adalah perwujudan bayangan, aku mungkin akan mengira dia benar-benar hantu.

Dia memang bukan manusia, Alice.

Ketika sampai di depan pintu kamar, aku kembali dilema untuk langsung masuk dan mengunci diriku dari sosok Damian yang saat ini terlalu sulit untuk kulihat atau mengucapkan sesuatu terlebih dahulu padanya. Tanganku sudah berada di handle pintu. Damian yang berdiri di belakangku juga tetap diam tanpa berniat bicara lebih dulu. Demi ketenangan hatiku malam ini aku mengais sedikit sisa-sisa keberanian untuk berbalik dan menatap dada bidangnya.

"Aku minta maaf," dari semua kata yang berputar di kepalaku, hanya kalimat itu yang berhasil keluar.

"Untuk?"

Kenapa dia malah bertanya. "Karena, ehm. tadi,-"

"Kau tak perlu memikirkannya.." ucap Damian memotong usahaku bicara. "Itu bukan salahmu. Aku juga menciummu, kan."

Wow. Dia sangat lugas.

Aku mengangguk. Masih dengan wajah menunduk. Aku mengucapkan selamat malam padanya dan berbalik menghadap pintu. Namun lenganku tertahan oleh lengan berjari panjang yang membuatku kembali berhadapan dengan Damian. Damian berdiri sangat dekat bahkan ujung kakinya menyentuh ujung kakiku.

"Jangan jadikan kejadian tadi sebagai alasan untukmu tidak melihatku." bisik Damian rendah. Seketika Damian tersenyum kala mendapati mataku menatapnya.

"Kau memerah," tangannya mengusap pipiku. Menjauhkan helaian rambut dan membawanya ke belakang telingaku. Tangannya yang lain turun menggenggam tanganku. "Apa karena ciuman itu?"

Aku tak bisa menahan untuk tak menginjak kakinya. Damian semakin terkekeh tanpa merasa kesakitan sama sekali.

"Tapi kurasa itu tidak termasuk ciuman," lanjut Damian menjauhkan sedikit wajahnya.

"Maksudmu?"

"Itu bukan termasuk ciuman. Setahuku ciuman itu menggunakan ini," Damian mengeluarkan lidahnya sembari menunjuk dengan jarinya. Aku melotot tidak percaya seraya kembali menginjak kakinya. Kali ini lebih keras.

"Bagaiman bisa kau mengatakan itu.. oh ya Tuhan," aku menutup wajahku karena rona merah yang tak terkontrol di kedua pipiku.

"Lihat lihat, kau semakin memerah." Damian tergelak. Aku menurunkan tanganku dan memandangnya dengan cemberut. Menyadari jika ia sengaja mengatakan itu hanya untuk membuatku semakin malu. Aku kembali mengangkat kaki ingin membunuh kakinya namun sayang Damian bergerak lebih cepat dengan menjauhkan kakinya ke belakang.

"Itu, lihat pipimu.." Damian menunjuk pipiku dan menusuk-nusuknya. Dengan cepat aku gigit telunjuknya yang membuatku sangat puas karena akhirnya Damian mengaduh kesakitan.

"Kau menggigitku?!" Ucapnya tak terima,

"Kau mengejekku!" Balasku tak mau kalah.

"Kau pikir aku tak bisa menggigitmu juga," Damian meraih tanganku sebelum aku bisa menyembunyikannya. Kukepalkan tanganku agar ia tak bisa menggigit jariku. Aku mencoba menarik tanganku namun Damian tentu lebih kuat menahannya.

"Buka.." Ucapnya meminta mengeluarkan jariku. Tanganku terjepit di lengannya.

"Tidak,." Mendengar kesungguhannya untuk bisa membalas membuatku tak bisa menahan tawa.

"Buka, Alicia,"

"Tidak mau,"

Hal berikutnya yang terjadi adalah lorong panjang ini dipenuhi dengan teriakanku  serta suara Damian. Aku tak bisa menahan tawaku ketika Damian justru menggelitik bagian sensitif di pinggangku. Berusaha membuatku menyerah dalam permainan ini.

Dengan keyakinan besar jika aku bisa merobohkan tubuh tingginya kukaitkan kakiku di salah satu kakinya. Namun bukannya terjatuh justru aku yang kehilangan keseimbangan lalu dengan mudah berbalik berputar disatu kakiku dan berakhir di kedua lengan Damian mengelilingi pinggangku. Damian menatapku dengan seringai geli sedangkan aku tak mampu untuk tak ikut menyeringai bersamanya.

Aku merasa melakukan hal bodoh saat ini.

Dan sangat menyenangkan.

Sebelum aku sadar jika aku sedang menikmati pelukannya Damian melepaskanku lalu menjentikkan jarinya di dahiku. "Sana tidur,"

Aku mengelus dahiku dengan cemberut. "Sana pergi,"
"Aku akan pergi setelah kau masuk,"

"Aku akan masuk setelah kau pergi," aku melipat tangan di depan dada. Hah!

"Kapan terakhir kali kau berhasil melawanku?"

Kapan? Sering! Ketika....

Belum sempat aku selesai berpikir Damian menangkup puncak kepalaku dan membuatku berputar menghadap pintu. Mendorong kepalaku hingga dahiku menyentuh pintu kayu yang dingin.

"Masuk," suaranya penuh peringatan namun terdengar ia sedang menahan tawanya.

"Tadi kau menjentik dahiku. Sekarang kau menekan dahiku kepintu. Kau menyakitiku?" ucapku mencoba membalas candaannya. Di luar dugaanku Damian berhenti menekan kepalaku lalu meraih bahuku untuk berbalik. Matanya mencari dahiku dan mengelusnya. Wajahnya berubah panik dalam waktu persekian detik.

"Mana yang sakit?" jarinya masih mengelus dahiku dengan cemas, dahinya berkerut dalam ketika ia menyadari jika aku sedang tersenyum kearahnya. Menyadari jika ia telah tertipu membuat kerutan di dahinya berangsur menghilang dan jarinya yang tadi mengelusku kembali menjentik dahiku.

"Aduh, Damian sakit,"

"Cepat masuk," Kali ini Damian meraih handle pintu dan membukanya, mendorong punggungku untuk masuk. Membuatku berdiri di dalam kamarku sedangkan Damian berdiri di luar kamarku. Masih bisa kulihat wajahnya yang kesal.

"Sikat gigi lalu tidur!"

"Tunggu dulu," aku menahan pintu yang ingin ia tutup, "Kau ingin menemui Alec,? Bisakah aku ikut? Aku belum mengantuk."

"Tidak. Kau akan tidur dan aku akan menemui Alec sendirian."

"Kenapa kau jadi pelit seperti ini? aku belum mengantuk sama sekali. Bagaimana kalau aku kembali ke taman. Aku bisa menunggumu disana selagi kau bicara dengan Alec,"

"Taman itu tidak akan kemana-mana, kau bisa menikmatinya kapan saja,"

"Aku ingin menikmatinya sekarang," kutempelkan pipiku di daun pintu demi bisa membuat Damian luluh dan mengijinkanku keluar.

"Tidak sekarang,"

"Aku tidak akan membuat masalah," Kali ini kukatupkan telapak tanganku didepan dada. Demi Tuhan, ini masih jam 8 malam. Siapa yang tidur di jam 8 malam selain anak umur 5 tahun?

"Alicia, dengar. Aku tidak bisa membiarkanmu di taman sendirian disaat aku tidak berada disana. Aku tidak bisa menjagamu di luar sana. Hanya di dalam rumah ini, di dalam kamar ini, tempat yang bisa membuatku tenang untuk meninggalkanmu sendirian. Aku tidak ingin mengambil resiko membiarkanmu di luar, bahkan di taman samping rumah ini sekalipun."

Aku terdiam sesaat. Terkejut karena satu-satunya alasan dia melarangku keluar hanya karena ia mencemaskanku. Aku kira ia sedang bertingkah menyebalkan dan sok berkuasa atasku. Tapi menemukan kepeduliannya yang begitu besar membuat hatiku menghangat. Aku tersenyum menatapnya yang memandangku cemas. Rasanya menyenangkan mengetahui jika kau begitu diperhatikan dan dilindungi.

"Baiklah,," ucapku pada akhirnya. Damian menghela nafas panjang. Ia membalas senyumku dan mengusap puncak kepalaku. "Selamat malam,"

"Selamat malam, Damian.."

"Tutup pintunya,"

"Iya," ucapku yang berlawanan dengan apa yang kulakukan. Aku masih memandangnya dengan senyum tanpa menutup pintu sedikitpun. Damian menggeleng dan mengusap wajahnya. Frustasi sekaligus gemas.

Aw... lucunya..

"Kapan kau akan menutup pintunya,?" Damian menyenderkan tangannya di tepian pintu. Memandangku aneh. Jujur saja, aku sendiri merasa aneh dengan apa yang terjadi padaku sekarang. Aku masih ingin memandangnya. Menatap mata birunya. Melihat senyum hangatnya.

"Aku akan menutupnya," senyumku lebar. Masih bertahan di tempatku tampa menggeser pintu sedikitpun.

Tanpa dapat kusadari Damian mendekatkan wajahnya. Cukup dekat untukku dapat menangkap hela nafasnya menyapu bibirku. hidungnya bersentuhan dengan ujung hidungku. "Jika kau tidak menutup pintu ini segera, aku akan menciummu lagi. Kali ini bisa kupastikan dengan lidahku di dalam mulutmu."

Aku berjengit di kakiku dan menutup pintu secepat yang kubisa. Aku bersandar memegangi dadaku ketika kudengar tawa Damian dari balik pintu. Mengetahui jika Damian sedang menertawakanku di luar sana membuatku bahkan tidak mampu untuk marah padanya. Itu malah berimbas pada kemampuanku mengontrol detak jantungku.

Setelah suara Damian perlahan menghilang aku menuju ranjang dan menjatuhkan diriku disana dengan posisi telungkup. Damian pasti sedang menemui Alec. Rasa penasaran tentang apa yang sedang mereka bicarakan membayangiku ketika bayangan lain melintas. Kubenamkan kepalaku dibantal dan memuat ulang atas apa yang sudah terjadi malam ini.

Jika boleh, aku akan memasukkan malam ini diurutan teratas sebagai malam terbaikku yang pernah ada. Dalam sepanjang sejarah kehidupanku, tidak ada yang pernah melakukan hal sebanyak ini untukku. Kecuali orang tuaku.

Ini berbeda. Jauh sangat berbeda. Damian bukan orang tuaku tentu saja, dia orang lain. Satu-satunya orang lain yang menganggapku special. Ia orang pertama yang merayakan ulang tahun bersamaku, bahkan disaat aku sendiri melupakannya.

Aku tak pernah tau jika Damian mengetahui segala tentangku sebanyak itu.
Aku mengangkat kepala dari bantal untuk menghirup nafas. Berbalik dan menatap langit-langit kamarku. Aku tak bisa berhenti tersenyum. Seakan kupu-kupu didalam perutku tak mau diam. Tiba-tiba bayangan ciuman tadi terlintas di kepalaku. yang membuat wajahku memerah tanpa diminta.

Sampai saat ini aku masih tak percaya jika aku memiliki keberanian mencium Damian. Aku tak pernah berpikir jika keinginanku sebesar itu. Ciuman itu bukan karena apa yang telah Damian berikan padaku, bukan itu. Tapi karena Damian yang menempatkanku menjadi wanita yang begitu special. Tidak ada yang pernah memperlakukanku semanis Damian. Tidak ada yang pernah memperhatikanku seperti Damian. Dan dorongan itu muncul begitu saja. Aku jadi lupa jika ciuman tadi adalah ciuman pertamaku dan juga Damian.

Tanpa bisa kutahan tanganku terangkat meraba bibir. Seolah aku sedang meraba bekas sentuhan bibir Damian disana. Bibirnya lembut dan dingin. Aku bahkan masih bisa merasakannya ketika aku menutup mataku. Hal yang mungkin akan menyulitkanku untuk tidur malam ini.

Tanpa bisa kucegah, bayangan Damian muncul di kepalaku. Damian merengkuhku di lengan kekarnya. Memelukku dengan erat seolah akulah satu-satunya hal yang dimiliki dan harus dijaga. Merasakan hangat yang terpancar dari tubuhnya. Lalu menutup mata ketika ia menciumku dengan bergairah.

Aku kembali menenggelamkan wajahku di bantal dan berteriak di sana.

***

Typo?

Keep reading

Fara

Continuă lectura

O să-ți placă și

1K 98 8
Sejak pertemuan pertama mereka itu cinta di antara mereka mulai tumbuh perlahan, setiap hari semakin dalam dan cinta mereka telah habis jadi tidak ak...
5.5M 291K 56
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
4.8M 179K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
160K 17.7K 25
Park Jihoon, si Crazy Rich sekaligus Badboy yang bikin banyak orang jatuh cinta sama dia. Sikap dinginnya, ketampanannya, keahliannya dalam bermain...