TAMAT - Under Cover

By fuyutsukihikari

253K 19.6K 1.1K

SASUFEM!NARU FANFICTION VERSI LENGKAP BISA DIBELI DI GOOGLE BOOK/PLAY Naruto yang berprofesi sebagai intel, a... More

Chapter 1 : Back To High School
Chapter 2 : I Know What You Did
Chapter 3 : You Can Cry On My Shoulder
Chapter 4 : I'm Worried About You
Chapter 5 : Second Kiss
Chapter 7 : Kurama
Chapter 8 : Ikatan Baru
Chapter 9 : New Team
Chapter 10 : A Thousand Tears
Chapter 11 : She
Chapter 12 : Hold My Hand
Chapter 13 : Mimpi Buruk?
Chapter 14 : Titik Terang Bag. 1
Chapter 15 : Titik Terang Bag. 2
Chapter 16 : Duniaku Hancur Part 1
Chapter 16 : Duniaku Hancur Part. 2
Chapter 17 : Rencana Bag. 1
Bab 18. Misi Anko Part 1
Bab 18.2 : Misi Anko Part 2
Bab 19. Mengawasi Kurama
Chapter 19 Part 2 : Mengawasi Kurama
Chapter 20 : Sebuah Pilihan
Chapter 21 :
Chapter 22
Chapter 23. Menemukanmu
End

Chapter 6 : After School Detention

12.5K 889 27
By fuyutsukihikari

PDF tersedia. Harga 70rb. Minat DM ya

.

.

.

Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto.

Pairing : SasuFemNaru

Rated : M 

Warning : OOC, OC, typo(s), gender switch, and etc

Genre : Action, romance, friendship

Selamat membaca!


Under Cover

Chapter 6 : After School Detention

By : Fuyutsuki Hikari


Untuk seperkian detik, tubuh Sasuke cs membeku, mata mereka membulat sempurna, saat melihat pistol semi otomatis itu berada tepat di kening Naruto. Udara hangat di sekitar mereka seakan-akan hilang tak berbekas, hingga paru-paru para pemuda itu terasa sesak.

Dalam hati, Naruto bertanya, apakah disini tempatnya untuk pergi? Pergi selamanya untuk menyusul orang-orang yang sangat dicintainya ke alam baka. Dia pasrah, jika memang dia harus meregang nyawa disini. Namun, kesadaran kembali membuatnya kuat dan tidak menyerah. Matanya kembali terfokus pada penjahat itu. Ada yang lebih dia takutkan saat ini. Dia takut, yah, dia memang takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada kelima pemuda bandel itu.

Naruto bersyukur dalam hati, saat penjahat itu memberikan jeda setelah mengokang pistolnya, memberikannya waktu seperkian detik untuk berpikir dan bertindak. Pria itu terkekeh, tersenyum jahat, dan berkata penuh dengki. "Ucapkan selamat tinggal pada du-." Ucapan pria itu terpotong, karena Naruto berhasil menikung tangan dan melepaskan pistol dari genggaman pria itu. Mengikuti naluri, Naruto menendang jauh pistol yang terjatuh tidak jauh dari tempatnya berdiri, menjauhkannya dari jangkauan penjahat itu.

"Bitch!" teriak penjahat itu murka. "Kau pasti mati ditanganku!" katanya lagi terhuyung-huyung. Dengan cepat dia kembali berdiri, menerjang dan melayangkan serangan yang membabi buta ke arah Naruto. Seakan terhipnotis, Sasuke cs hanya mampu berdiri, bergeming, sementara mata mereka terfokus pada Naruto. Demi Tuhan, mereka kira, mereka akan kehilangan Naruto beberapa saat yang lalu.

"Arghhhh!" raung penjahat itu lagi keras saat Naruto berputar dan berhasil mendaratkan tendangan keras kaki kanannya tepat pada dagunya. Sasuke terhenyak, tersadar oleh teriakan penjahat itu, melihat Naruto yang terus maju tanpa rasa takut, membuat semangat bertarung pemuda itu kembali bangkit.

"Show time!" ucap Sasuke lirih, namun terasa dingin dan menakutkan, menantang tiga penjahat lain yang tersisa, karena siswa Suzuran yang menjadi lawan Juugo sudah melarikan diri sedari tadi. Seakan mendengar komando, kelima teman Sasuke yang lain pun ikut beranjak dari tempatnya berdiri, dalam detik yang sama mereka berlari, menerjang jauh ke depan dan perkelahian pun dimulai kembali.

.

"Cukup!" teriak Naruto, menghentikan tiap gerakan dari kelima pemuda itu. Tubuh keempat penjahat itu sudah terkapar tidak berdaya, terus merintih kesakitan, dengan darah mengucur di beberapa tempat, bahkan, penjahat yang dikalahkan oleh Naruto sudah tidak sadarkan diri saat ini.

"Kita pergi," katanya tegas, Sasuke cs mengangguk setuju dan mengekori Naruto, beranjak pergi dari tempat itu. Lama mereka berjalan, namun hanya ada kesunyian diantaranya. Mereka terlalu lelah untuk bicara, sementara angin terus bertiup lembut menerpa wajah keenamnya.

"Dimana kau belajar berkelahi seperti itu?" tanya Juugo beberapa saat kemudian pada Naruto. Pertanyaannya mewakili pikiran keempat pemuda lain yang saat ini berjalan di belakangnya, hanya Sasuke yang tidak berpikiran sama, saat ini dia masih kesal, karena lagi-lagi, dia tidak bisa bersikap keren dihadapan Naruto. Menyebalkan, runtuknya dalam hati.

Naruto menyimpan kembali telepon genggamnya ke dalam saku jaket, setelah beberapa saat lalu mengirim pesan pada Yamato, untuk datang dan membereskan sisa perkelahiannya tadi. Keempat pemuda itu menunggu dengan sabar jawaban dari Naruto. Kelimanya mendadak mengerem langkah kaki mereka, saat Naruto tiba-tiba berhenti dan berdiri menghadap kelimanya.

"Aku sering menonton film Bruce Lee, aku, mempelajarinya dari sana," jawab Naruto dengan senyum lebar, memperlihatkan barisan gigi putihnya, namun sayang, jawabannya itu gagal meyakinkan kelima pemuda yang berdiri di hadapannya. Gaara, Neji, Kiba dan Juugo mendengus, dan kembali berjalan meninggalkan Naruto yang masih berdiri di tempat.

Shikamaru meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya dan kembali berjalan seraya berkata. "Merepotkan," ejeknya lirih namun masih bisa ditangkap dengan baik oleh telinga Naruto.

Naruto kembali membalikkan tubuhnya dan berteriak. "Terserah jika kalian tidak mau percaya," serunya dengan decakan sebal dan melangkah pergi, menyusul langkah keempat pemuda itu. Hanya Sasuke yang masih terdiam untuk beberapa saat, menghela napas dalam dan akhirnya menyusul cepat tiap langkah Naruto hingga mereka berjalan saling berdampingan kini.

"Aku kira, kau akan mati," kata Sasuke dengan ekspresi datar. Naruto tersenyum tipis dan melirik Sasuke dengan ujung matanya. "Aku kira juga begitu," sahut Naruto jujur. "Aku beruntung, karena pria itu memberikan jeda sesaat setelah dia mengokang pistolnya, jika tidak-," ucapan Naruto menggantung, kedua bahunya terangkat, dengan lirih dia menambahkan. "Jika tidak, mungkin tubuhku-lah yang sekarang terkapar tanpa nyawa disana."

Sasuke terdiam, meresapi setiap perkataan Naruto. Hatinya tiba-tiba saja merasakan sakit, saat pikirannya membayangkan jika tubuh Naruto-lah yang terkapar ditanah dengan genangan darah. "Terima kasih," ujar Sasuke lemah namun begitu tulus. Naruto kembali tersenyum mendengarnya, sama sekali tidak menyangka jika seorang Sasuke bisa mengatakan hal itu dengan nada lembut.

"Sama-sama," ujar Naruto singkat. "Kita harus mengobati luka-luka kalian, sepertinya luka Juugo paling parah, wajahnya pasti bengkak besok."

"Hn," sahut Sasuke singkat.

Naruto membawa keenam pemuda itu ke klinik Konan. Seperti biasa, Konan hanya bisa menghela napas berat saat melihat Naruto berdiri di ruang prakteknya dengan membawa beberapa pemuda yang juga sama terluka sepertinya.

"Berhenti bermain-main!" desis Konan seraya mengobati luka Naruto yang terdapat di beberapa tempat di tubuhnya, sementara Sasuke cs yang sudah ditangani Konan, menunggu di ruang tunggu saat ini. "Lebam ini pasti akan berubah menjadi hijau besok," tukasnya seraya menunjuk pada bagian pinggang Naruto. "Siapa mereka, kenapa kau bisa bersama mereka Naru?"

"Tugas," jawab Naruto tanpa menjelaskan panjang lebar. Konan kembali menghela napas panjang dan menatap lurus ke arah Naruto. "Sampai kapan kau akan bekerja seperti ini? Aku benar-benar cemas, aku sudah menganggapmu seperti adik kandungku sendiri," katanya dengah wajah sedih.

"Terima kasih, Konan-san. Tapi, ini adalah pekerjaanku, hidupku. Aku pasti berhenti, tapi nanti. Saat ini, aku masih mencintai pekerjaanku, melebihi nyawaku sendiri," kata Naruto dengan sungguh-sungguh, dan Konan bisa melihat keteguhan terpancar dikedua bola mata shappire itu.

Konan menyentil ringan hidung Naruto dan tersenyum lembut. "Kalian sama saja, baik suamiku, juga kau, Naru. Kalian begitu mencintai pekerjaan kalian. Aku beruntung, karena akhirnya suamiku memilih untuk menjadi instruktur pelatih."

Naruto berdiri dan mengecup pipi kanan Konan. "Terima kasih untuk bantuanmu," katanya sopan seraya membenahi pakaiannya.

"Lain kali, kau harus kembali kesini tanpa luka. Jangan hanya datang karena terluka, mengerti?"

Naruto mengangguk dan membuka pintu ruang praktek Konan, keenam pemuda yang masih duduk di ruang tunggu, secara refleks berdiri saat melihat Naruto keluar dari ruang praktek dengan ditemani Konan.

"Sudah selesai?" Naruto kembali mengangguk menjawab pertanyaan Sasuke. "Terima kasih sudah mau membantu kami, dokter," kata Sasuke mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Konan.

"Teman Naruto, berarti temanku juga," sahut Konan santai. "Senang bisa membantu kalian," katanya lagi. Shikamaru, Kiba, Neji, Gaara dan Juugo bergantian menyalami Konan, dan berjalan menuju pintu keluar klinik.

"Sampai jumpa Konan-san," ujar Naruto seraya memeluk hangat Konan.

"Sampai jumpa Naruto, hati-hati di jalan," katanya, membalas pelukan itu singkat dan menatap Naruto penuh sayang.

.

"Apa hubunganmu dengan dokter tadi?" tanya Kiba penuh rasa ingin tahu.

"Dia kenalanku," sahut Naruto pendek.

"Hanya itu?"

"Hn," sahut Naruto meminjam ucapan yang menjadi ciri khas Sasuke.

Seakan mengerti akan batas yang tidak boleh dilewati, akhirnya Kiba kembali menutup mulut. Mengurungkan setiap pertanyaan yang sebenarnya sudah ada di dalam pikirannya saat ini.

"Jadi, kita mau kemana setelah ini?" tanya Juugo begitu semangat saat mereka semua sudah berada di sebuah halte bis.

"Tentu saja pulang," sahut Naruto cepat. "Aku lelah, aku ingin istirahat, dan kau Juugo," Naruto memberi jeda dan melirik tajam ke arah Juugo. "Sebaiknya kau juga pulang, agar luka-lukau itu cepat sembuh!"

Juugo sama sekali tidak menghiraukan tatapan tajam Naruto, malah merasa tersentuh karena diperhatikan oleh gadis itu. Secara tidak sadar dia memeluk Naruto dan berkata dengan riang. "Terima kasih sudah mengkhawatirkan-ku, Naru-chan," katanya begitu senang.

Sikap Juugo ini, kontan membuat ke-empat teman Sasuke yang lain mendesis tidak suka, dan dengan cepat mereka memaksa Juugo untuk melepaskan pelukannya dari Naruto. "Jangan dekat-dekat!" ujar Kiba, berdiri di depan Naruto sebagai penghalang.

"Memangnya kenapa?" sungut Juugo sebal, dan dijawab oleh tatapan tajam dari keempat teman Sasuke. Naruto hanya bisa menggeleng pelan, melihat sikap antik keempat teman Sasuke ini. Mereka selalu menghalangi seseorang untuk dekat dengannya, seolah-olah hanya merekalah yang berhak memonopoli gadis itu. Juugo akhirnya mengalah, dengan cepat dia berpamitan, dan memutuskan untuk pulang dengan menggunakan taxi.

Setelah kepergian Juugo, Naruto dan yang lain kembali duduk di sebuah bangku, yang memang disediakan di halte itu. Menunggu dengan sabarbkedatangan bis yang akan mengantar mereka kembali ke asrama. Setelah lima belas menit menunggu, bis itu pun datang, dan kelimanya dengan cepat naik ke dalamnya.

Naruto tidak menolak saat Sasuke memilih untuk duduk disampingnya. Dia semakin rikuh, saat mendapati semua pandangan penumpang bus yang lain tertuju kepada mereka. Yah, mungkin lebih tepat jika dikatakan, terarah pada kelima pemuda yang saat ini duduk di samping kirinya yaitu Sasuke, pemuda yang duduk di belakangnya, yaitu Gaara dan Kiba, serta pemuda yang duduk di bangku depannya, yaitu Shikamaru dan Neji.

Naruto hanya bisa memutar kedua bola matanya dan kembali menatap keluar jendela, saat telinganya menangkap samar bisik-bisik genit penumpang wanita yang terjerat oleh pheromone kelima pemuda itu.

"Bagaimana lukau?" ucap Sasuke memutus keheningan yang menggantung diantara mereka.

"Aku baik-baik saja," sahut Naruto kaku hingga Sasuke mengernyit heran karenanya. "Ada apa?"

"Apa?" Naruto balik bertanya, sementara matanya melirik malas ke arah Sasuke.

Sasuke menatap datar ke arah Naruto dan mendengus kesal. "Kau marah?"

"Untuk apa aku marah, tidak ada alasan juga," cibirnya dingin, nyaris membuat Sasuke emosi, namun ditahannya. "Maaf," ujar Sasuke dengan napas tertahan.

"Berhenti bermain-main, Sasuke. Aku harap, kejadian tadi bisa memberimu pelajaran, semua yang kalian perbuat, pasti ada akibatnya. Bagaimana, jika salah satu diantara kalian meregang nyawa disana?"

Ekspresi Sasuke saat ini menjawab pertanyaan Naruto. Tentu saja Sasuke tidak pernah membayangkan jika dia akan kehilangan salah satu sahabat terbaiknya, dia selalu yakin, jika dia pasti mampu menghancurkan setiap musuh-musuhnya, dia hanya ingin bersenang-senang, bukan? Hanya saja, ucapan Naruto membuatnya berpikir saat ini, perlahan, otaknya mulai memutar kejadian beberapa saat lalu. Dia kembali teringat bagaimana jantungnya seakan berhenti saat penjahat itu menodongkan senjata di kepala Naruto. Dia tidak pernah merasa begitu takut selama hidupnya, tapi, saat dia mengira akan kehilangan Naruto untuk selamanya, dia merasa takut, begitu takut.

Begitu juga dengan keempat teman Sasuke yang lain, dalam hening mereka turut mencuri dengar pembicaraan diantara Naruto dan Sasuke. Mereka hanya ingin bersenang-senang, menikmati hidup, sebelum datang masa mereka dewasa, saat itu, hidup mereka tidak akan pernah sama, karena tanggung jawab keluarga yang akan dibebankan di pundak mereka masing-masing.

Mereka tidak pernah berpikir akibat dari perilaku mereka selama ini, mereka terlalu asik dengan dunia yang mereka bangun, hingga tidak peduli sekitar mereka. Shikamaru, Neji, Gaara dan Kiba kembali tenggelam dalam lamunannya. Kali ini, mereka sangat beruntung karena Naruto mampu menghindari bahaya yang siap merengut nyawanya. Mereka terlalu ngeri untuk membayangkan apa yang akan terjadi pada Naruto jika dia tidak bisa melawan dan membalik keadaan. Mungkin, bukan hanya Naruto yang saat ini tidak bernyawa, tapi, mereka berlima juga pasti bernasib sama.

.

Perlu waktu hampir satu jam untuk mereka sampai kembali ke asrama, bukan karena perjalanan yang panjang, tapi, lebih karena situasi jalan yang begitu macet malam ini. Naruto bahkan menghela napas lega, karena akhirnya dia bisa meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku karena pegal.

"Kita masuk lewat mana Sas?" tanya Neji melirik ke arah Sasuke.

Sasuke masih berjalan dengan tenang dan menjawab. "Lewat tembok belakang," ujarnya ringan.

"Bagaimana dengan Naruto?"

"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku Kiba," sahut Naruto tanpa ekspresi. "Tapi, aku bisa mengatasinya," katanya santai.

"Tembok itu terlalu tinggi Naru," kata Neji mengingatkan.

Naruto mengangkat bahu dan menjawab dengan nada datar yang sama. "Aku tahu."

"Sudahlah, dari pada bertengkar, lebih baik kita cepat masuk ke asrama, sebentar lagi waktu pengawas berkeliling," ujar Gaara sebal sementara Shikamaru hanya bergumam. "Merepotkan!"

Satu persatu dari mereka mulai memanjat naik, dan melompat turun, keempat pemuda itu menatap takjub, saat Naruto dengan mulus mendarat di tanah, sementara Sasuke menatapnya tak tertarik. "Kau benar-benar menarik Naruto, sepertinya aku tidak akan terkejut jika mendapati kau itu seorang lelaki, bukan perempuan," ujar Kiba dengan senyum meledek.

"Benar," sahut Gaara menimpali. "Mana ada wanita yang pandai berkelahi dan meloncat tembok seperti monyet," katanya menyeringai kecil, sementara Naruto hanya memutar kedua bola matanya dengan bosan, terlalu malas untuk membalas ejekan mereka, yang juga sudah sering kali dia dengar.

Naruto memilih untuk meninggalkan kelimanya di belakang, terus berjalan tanpa menghiraukan ejekan yang terus keluar dari mulut Kiba dan Gaara, sementara Sasuke dan Neji menyeringai puas, sedangkan Shikamaru hanya menguap malas.

"Ya Tuhan," pekik Naruto seraya berlari, mengagetkan kelima pemuda yang berjalan tidak jauh di belakangnya. Sasuke melihat Naruto berjongkok, memeriksa seorang pemuda yang terkapar dengan tingkat kesadaran minim.

Tubuh pemuda yang ditemukan oleh Naruto itu menggigil layaknya seseorang yang terkena hipotermia, wajahnya begitu pucat, dan nampak begitu tidak berdaya. "Bantu aku!" tukas Naruto pada kelimanya, namun, kelima pemuda itu hanya menatap sosok pemuda yang terkapar itu acuh.

"Dia seperti itu karena ulahnya sendiri, sudahlah Naru, biarkan saja," kata Gaara tanpa merasa kasihan pada Kimimaro.

"Kumohon, tolong bantu aku," pinta Naruto dengan nada memohon. "Anggap saja, ini sebagai balasan, karena aku telah membantu kalian tadi."

Sasuke hanya mendengus, namun dia menjadi orang pertama yang membantu Naruto untuk menolong Kimimaro, sementara keempat pemuda lainnya nampak berpikir, dan setelah beberapa saat, mereka pun bergerak membantu Sasuke dan Naruto.

"Mau dibawa kemana?" tanya Neji menatap lurus ke arah Naruto.

"Ke kamarku saja," sahut Naruto. "Aku akan merawatnya disana," katanya lagi.

"Tidak!" tukas Sasuke cepat. "Bawa dia ke kamarku, kau boleh rawat dia disana," katanya dengan nada monoton seperti biasa. Shikamaru dan Neji menatap horor ke arah Sasuke, menganggapnya gila karena mau menjadikan kamarnya untuk merawat Kimimaro. Bagaimana pun, jika pihak sekolah mengetahui Kimimaro sakau di ruangannya, maka, Sasuke juga bisa terkena masalah.

"Bagaimana jika dia mati?" seru Kiba menyuarakan isi hati Shikamaru dan Neji. Namun Naruto bergeming, seolah menulikan ucapan Kiba, yang ada di dalam pikirannya saat ini adalah cara menyelamatkan Kimimaro. Dengan susah payah mereka membawa tubuh Kimimaro, mengendap-endap masuk asrama putra, menuju kamar Sasuke, dan meletakkannya di atas tempat tidur Sasuke setelah mereka sampai.

"Tolong penuhi bathub dengan air hangat," perintah Naruto tegas sementara dirinya mulai memeriksa detak jantung dan denyut nadi Kimimaro. Tanpa harus diperintah dua kali, Gaara langsung melaksanakan permintaan Naruto. Dengan cepat Gaara memutar keran dan terus menunggu di dalam kamar mandi hingga bathub terisi penuh.

"Lalu, apa lagi yang harus kami lakukan?" tanya Neji sedikit cemas saat mendengar Kimimaro terus mengerang kesakitan.

"Aku memerlukan beberapa lembar baju hangat, sweater atau apapun yang kalian miliki untuk aku pakaikan padanya, dan tolong siapkan susu steril, apa kalian punya?"

"Sepertinya, aku punya susu steril, sebentar aku ambil," tukas Kiba bergegas pergi ke kamarnya sendiri untuk mengambil susu yang diminta oleh Naruto, sementara Sasuke mengeluarkan beberapa pakaian hangat dari lemari pakaiannya dan memberikannya pada Naruto. "Ini cukup?" tanya Sasuke. Naruto melirik ke arah Sasuke dan mengangguk. "Cukup," balasnya lirih.

"Naruto, air hangatnya sudah siap," teriak Gaara dari dalam kamar mandi. "Tolong bawa Kimimaro ke kamar mandi," kata Naruto. Sasuke, Shikamaru dan Neji mengangkat tubuh Kimimaro, menggotongnya dan memindahkannya ke dalam kamar mandi. "Masukkan dia ke dalam bathub," tukas Naruto lagi.

"Kenapa harus dimasukkan ke dalam air hangat?" tanya Gaara dengan dahi berkerut saat melihat Sasuke, Shikamaru dan Neji memasukkan tubuh Kimimaro yang masih berbalut pakaian ke dalam bathub.

"Kita harus meredam tubuhnya di dalam air hangat, untuk mencegah aliran darah yang membeku," jelas Naruto panjang lebar.

"Lalu, apa fungsi susu steril," sahut Kiba dari pintu masuk kamar mandi seraya menyodorkan susu steril itu ke Naruto.

"Fungsi susu untuk melawan racun," sahut Naruto sementara kelima pemuda itu mengangguk mengerti.

"Berapa lama kita merendam tubuh Kimimaro disini?" tanya Neji. "Hingga tubuhnya berhenti menggigil," sahut Naruto. "Suke, aku pinjam baju ganti untuknya yah."

Sasuke kembali mendengus dan mengangguk kecil, sebenarnya dia sedikit tidak rela melihat Naruto begitu perhatian pada Kimimaro. "Terima kasih," ucap Naruto saat Sasuke memberikan satu pasang pakaian padanya. "Sepertinya sudah cukup," kata Naruto saat mendapati tubuh Kimimaro sudah berhenti menggigil. "Tolong bantu aku untuk mengganti pakaiannya," ujar Naruto meninggalkan Sasuke dan Shikamaru untuk mengganti pakaian Kimimaro.

Naruto duduk di sofa bersama Gaara, Kiba dan Neji, menunggu Sasuke dan Shikamaru selesai mengganti pakaian Kimimaro. Tidak ada satu pun diantara mereka yang bicara saat ini, mereka sibuk pada pikiran mereka masing-masing.

Suara klik pelan terdengar, saat Sasuke dan Shikamaru keluar dari dalam kamar mandi dengan membopong Kimimaro. Setelah Kimimaro kembali dibaringkan di tempat tidur Sasuke, Naruto segera memakaikan baju hangat hingga berlapis-lapis pada tubuh Kimimaro, dan memaksa pemuda itu untuk meminum susu steril yang sudah disiapkan.

Naruto akhirnya bisa menghela napas lega saat melihat Kimimaro yang mulai tenang, dan jatuh tertidur. "Kenapa tubuhnya berkeringat seperti itu, apa itu normal?" tanya Gaara serius dengan wajah ditekuk dalam. Naruto tersenyum dan menarik selimut hingga sebatas dada Kimimaro. "Ini normal, malah sangat baik," jawab Naruto penuh syukur. "Keringat sangat membantu untuk mengeluarkan infeksi racun narkoba di peredaran darah, hal ini bisa mempercepat penyembuhannya."

"Apa dia bisa sembuh dari ketergantungannya?" tanya Kiba merinding ngeri.

"Bisa," jawab Naruto yakin. "Dengan usaha keras dan dorongan dari lingkungan sekitar, dia bisa sembuh. Tapi, mungkin hal itu akan memakan waktu yang lama," lanjutnya tenang.

"Darimana kau belajar tentang semua ini, Dobe?"

"Berdasarkan pengalaman, Sasuke." Naruto mendelik ke arah Sasuke, saat mendengar panggilan tidak sopan itu.

"Kau pernah mengalami sakau?" tanya Kiba cepat, sementara Naruto menghela napas pendek dan menatap Kiba lurus. "Dulu aku ikut kegiatan sosial, membantu di pusat rehabilitasi narkoba, disana aku belajar banyak," jelas Naruto, tanpa menjawab lebih lanjut, karena tidak mungkin jika dia mengatakan seluruh ceritanya.

"Murah hati sekali, Dobe?" seru Sasuke dengan nada mengejek, sementara Kiba dan Gaara terlihat kaget, karena mereka kira, Naruto anti sosial. Sedangkan Neji dan Shikamaru nampaknya sudah tidak tertarik untuk ikut bergabung dalam pembicaraan itu, mereka lebih memilih untuk berbaring, dan berusaha tidur di atas karpet yang tergelar di depan lemari TV.

"Itu caraku menghabiskan waktu, Sasuke. Saling berbagi dengan yang membutuhkan, bukankah bermanfaat?" cibir Naruto, secara tidak langsung menyindir gaya hidup Sasuke yang menurut Naruto hanya untuk berfoya-foya dan menimbulkan masalah.

Sasuke mendengus dan menatap tajam ke arah Kimimaro, kedua tangannya diletakkan di depan dada dengan angkuh. "Apa kita harus menungguinya semalam suntuk?"

"Kalian tidur saja, biar aku yang menjaganya. Aku harus memastikan dia baik-baik saja."

"Kenapa kau sangat perhatian pada Kimimaro, apa kau menyukainya?" tanya Gaara dengan wajah tanpa ekspresi, namun ada keingintahuan dalam nada bicaranya.

"Dia membutuhkan bantuan kita Gaara, sudah menjadi kewajiban kita untuk saling membantu."

"Tapi, kau tidak mengenalnya dengan baik," protes Kiba kencang.

"Aku tidak peduli, bagiku, dia adalah teman, dia membutuhkan pertolongan, karena itu, aku campur tangan."

"Jika kau terus seperti itu, suatu hari, kau akan terkena masalah, Dobe."

"Yah, sepertinya aku memang harus lebih selektif jika ingin membantu orang lain. Hampir saja aku kehilangan nyawa karena membantu kalian," balasnya dingin, seolah mengingatkan Sasuke akan jasanya sore tadi pada kelima pemuda itu.

Gaara dan Kiba akhirnya memilih mundur, kembali ke kamar mereka masing-masing, setelah merasakan aura gelap yang mengelilingi Sasuke dan Naruto. Tidak ada satu pun diantara mereka yang berbicara, mereka hanya saling membalas tatapan dalam diam, menciptakan udara yang semakin berat di sekelilingnya. Dengan perlahan, Gaara dan Kiba beranjak keluar kamar, menutup pintu dengan debaman kecil, meninggalkan Naruto dan Sasuke yang masih bersitatap sengit.

"Bisa kalian hentikan sikap kekanakan kalian?" seru Shikamaru, menguap lebar merasa terganggu akan aura keduanya.

"Memangnya aku kenapa?" protes Naruto dengan nada satu oktaf lebih tinggi. Mendengar nada suara Naruto, Shikamaru hanya mengerling dan kembali mengistirahatkan kedua matanya.

"Ini semua gara-gara kau," tukas Naruto dengan nada menuduh pada Sasuke, sementara pria itu hanya menaikkan sebelah alisnya tanda tidak mengerti. "Sikap kekanakanmu membuatku bersikap sama," katanya mendengus sebal.

"Apa tidak terbalik?" sindir Sasuke tajam. "Justru aku yang harus bersabar menghadapi sifat kekanakanmu itu."

"Aku tidak kekanakan!" protes Naruto lagi.

"Hn."

"Itu dia, lihat cara bicaramu," tunjuk Naruto tepat di depan hidung Sasuke. "Kau itu selalu bersikap sok keren, padahal sangat kekanakan," semburnya cepat.

"Hn," sahut Sasuke cuek.

"Berhenti bergumam seperti itu, kau membuatku kesal."

"Hn."

"Sasuke!"

"Dobe!"

"Menyebalkan!"

"Hn."

"Aku malas bertengkar denganmu!"

"Hn."

Naruto akhirnya mengambil napas dalam, mengeluarkannya perlahan untuk mengendalikan emosinya yang sering kali naik turun jika dirinya berada dekat dengan Sasuke. Naruto memeriksa Kimimaro untuk terakhir kali, dan beringsut duduk di atas sofa. Tubuhnya sangat lelah saat ini, matanya terasa sangat berat, Naruto akhirnya tertidur di sana, di atas sofa dengan posisi duduk yang tidak nyaman. Sasuke pun sama, dia sangat lelah malam ini. Dia hanya ingin tidur, mengistirahatkan mata dan tubuhnya. Perlahan dia duduk di samping Naruto, memejamkan mata hingga akhirnya jatuh tertidur disana.

.

Naruto mengerjapkan matanya berkali-kali, dan mengernyit dalam saat mendapati ruangan yang kurang familier. Ruangan yang dicat putih dengan furniture serba hitam sebagai property-nya. Naruto menghela napas panjang saat dia ingat dimana dirinya saat ini, kamar Sasuke, ya... dia ada disana.

Gadis itu bangkit dengan perlahan, sebisa mungkin tidak membangunkan Sasuke yang tertidur di sampingnya. Naruto berjalan mendekati tempat tidur dimana Kimimaro berbaring, mengecek suhu tubuh pemuda itu, dengan menempelkan telapak tangannya di atas kening Kimimaro.

Naruto tersenyum saat melihat Kimimaro mulai membuka matanya. "Kau sudah bangun?" tanya Naruto setengah berbisik. Kimimaro mengerutkan kening dan melihat ke sekeliling ruangan. "Aku dimana?" tanyanya.

Dengan sigap, Naruto memberikan Kimimaro segelas air putih. Pemuda itu menghabiskan isi gelas dengan cepat, dan meletakkan kembali gelas itu ke atas meja di samping tempat tidur. "Aku ada dimana?" tanyanya untuk yang kedua kali.

"Kamar Sasuke," jawab Naruto pendek.

"Bagaimana aku bisa ada disini?" tanya Kimimaro tidak mengerti dan kembali mengernyit saat sadar jika dia mengenakan pakaian hangat yang berlapis-lapis.

"Kami menemukanmu, tergeletak dalam keadaan sakau di taman belakang."

Kimimaro menatap Naruto. "Ah," katanya seraya mengangguk kecil. "Terima kasih, kalian sudah mau menolongku," katanya lirih.

Naruto mengangguk kecil dan bertanya dengan nada serius. "Pernahkah kau berniat untuk mencoba melepaskan diri?"

Pandangan Kimimaro menatap keluar jendela, memberikan sedikit jeda sebelum dia menjawab. "Aku tidak yakin, jika aku bisa sembuh, Naru," katanya dengan nada putus asa. "Semua hanya akan berakhir sia-sia, aku sudah jatuh terlalu dalam," katanya lagi, menatap Naruto dan tersenyum lembut.

"Kau belum mencobanya," sanggah Naruto. "Bagaimana bisa kau mengatakan jika semua hanya akan jadi sia-sia?" tambahnya dengan mengangkat kedua tangannya ke udara. "Jangan menyerah sebelum bertanding, aku yakin, kau bisa sembuh." Ujar Naruto mantap.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Naruto saat melihat Kimimaro tertawa pelan.

"Karena lucu," jawab Kimimaro. "Baru kau saja yang menaruh kepercayaan padaku, bahkan orang tuaku saja, sudah lama menyerah akan masa depanku." Katanya kembali terkekeh kecil, namun Naruto bisa melihat segurat luka dikedua mata Kimimaro.

"Kalau begitu, berjuanglah untuk kesembuhanmu. Bukan untuk orang lain, tapi, tunjukan pada dirimu sendiri, jika kau bisa lepas dari jeratan narkoba." Kimimaro tampak memikirkan perkataan Naruto dengan menutup kedua matanya, sementara Naruto kembali melanjutkan ucapannya. "Aku memiliki kenalan di pusat rehabilitasi narkoba, jika kau mau, aku bisa mengatur janji temu antara kau dan dia. Semua data pasien bersifat rahasia, jadi kau bisa tenang selama masa penyembuhan disana. Pikirkanlah dulu dan bicarakan dengan kedua orang tuamu."

Kimimaro mengangguk kecil. "Baiklah, aku akan memikirkannya. Terima kasih Naruto."

"Welcome," sahut Naruto pendek.

"Ngomong-ngomong, kenapa aku mengenakan pakaian hangat begitu banyak?"

"Agar kau berkeringat, keringat yang keluar bisa membantu untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh," jelas Naruto.

"Apa, pakaian ini juga milik Sasuke?"

"Begitulah," jawab Naruto pendek.

"Kalau begitu, aku akan mengembalikannya setelah dicuci nanti."

"Tidak perlu," sahut Naruto. "Lepas saja, biar aku yang mencucinya."

"Tapi..."

"Tidak apa-apa, lagipula besok aku memang mau ke pantry untuk mencuci. Sudah banyak pakaian kotor yang belum sempat aku cuci," ujar Naruto.

"Lagi-lagi, aku berhutang padamu."

"Tidak perlu sungkan, kita kan teman."

Kimimaro memberikan pakaian hangat yang sudah dilepasnya pada Naruto. "Ini juga pasti milik Sasuke," kata Kimimaro menatap ke pakaian yang dikenakannya saat ini..

"Pakaian yang kau kenakan basah, jadi, Sasuke dan Shikamaru menggantinya dengan pakaian milik Sasuke," jelas Naruto sementara Kimimaro hanya tersenyum kecil.

"Pakaian ini biar aku yang cuci, sekalian aku akan berterima kasih pada Sasuke dan yang lainnya saat aku mengembalikan pakaian ini."

"Hm...baiklah, terserah..." Sahut Naruto.

.

Bel istirahat sudah berbunyi siang ini, seperti biasa, Naruto berjalan dengan cepat menuju kantin sekolah, membeli dua buah roti melon beserta satu kotak kecil susu coklat. Setelah mengantri cukup lama, akhirnya dia mendapatkan semua pesanannya, segera membayar dan membelokkan langkah kakinya menuju perpustakaan.

Tadi pagi, Kakashi memberi kabar, jika dia harus menyelidiki sesuatu di luar sekolah, yang berarti, Naruto harus mengawasi Sasuke seorang diri untuk beberapa hari ke depan. Acap kali, Kakashi memperingatkan Naruto untuk lebih berhati-hati dalam bertindak, karena hingga saat ini, mereka masih belum mengetahui siapa yang memasang kamera pengintai di kamar Naruto dan apa motif dibalik pemasangan kamera itu.

"Tidak usah khawatir," ucap Naruto untuk kesekian kali pada Kakashi. "Aku tidak bodoh paman, aku sudah mencari blind spot dari kamera pengintai itu, dan memastikan semua yang kulakukan aman dari intaiannya."

"Aku hanya tidak ingin penyamaran kita terbongkar sebelum waktunya Naru."

"Hai, wakatta. Paman tidak perlu khawatir, aku pasti berhati-hati dalam tindakanku."

"Souka... Aku akan pergi keluar untuk mengintai, jika kau sulit menghubungiku, kau bisa menghubungi Yamato sebagai penghubung."

"Hai..."

"Aku pergi!" ucap Kakashi kemudian, sementara Naruto hanya mengangguk kecil menimpalinya.

Naruto kembali mengambil napas dalam dan menghembuskannya dengan keras. Masalah kematian Tayuya masih belum ada titik terang. Penyusup yang masuk ke dalam kamar Tayuya pun hilang tanpa jejak. Bahkan Kimamaro sudah dua hari ini tidak menampakkan batang hidungnya. Kedua buah roti Naruto sudah habis beberapa saat lalu, dia terlalu hanyut dalam lamunannya hingga tidak sadar jika susu coklatnya pun sudah habis hingga tetes terakhir.

"Sampai kapan kau mau memasang tampang jelekmu itu Naru, bahkan wajah Lee terlihat lebih baik daripada wajahmu saat ini," sindir Gaara yang mendudukkan diri tepat di depan bangku Naruto, disusul oleh Kiba, Shikamaru, Neji dan Sasuke setelahnya.

Naruto melirik dengan malas ke arah mereka, sebelum kembali menenggelamkan diri ke buku bacaan yang ada di tangannya saat ini. "Wajahmu bertambah jelek, Dobe."

"Aku tidak mengundang kalian untuk duduk disini, pergi saja jika kalian tidak mau melihat wajahku," sembur Naruto.

"Hei... ini tempat umum, kami bebas untuk duduk dimana-pun kami mau," timpal Neji mengingatkan, sementara Shikamaru sudah melipat kedua tangannya di atas meja dan tertidur.

Lagi-lagi Naruto menghela napas dalam dan menjawab datar. "Terserah, yang penting jangan menggangguku, aku terlalu malas untuk berdebat dengan kalian."

"Tadi pagi aku berpapasan dengan Kimimaro, sepertinya dia sudah lebih baik sekarang," tukas Neji yang dengan sukses menyedot perhatian kelima sosok lain padanya.

"Kau berpapasan dengan dia dimana?" tanya Naruto tanpa mampu menyembunyikan rasa penasarannya.

Gaara mengangkat sebelah alisnya, menatap Naruto dengan intens. "Apa?" tanya Naruto yang merasa terganggu akan tatapan Gaara.

"Kenapa kau begitu tertarik akan kondisi Kimimaro?" ucap Kiba, menyuarakan isi hati keempat temannya yang lain.

Naruto menutup buku dan menyandarkan punggungya pada punggung kursi. "Sudah berapa kali aku katakan, dia teman kita, dan sudah menjadi kewajiban kita untuk menolongnya. Aku takut jika sesuatu terjadi padanya lagi."

"Jika kau khawatir, kenapa tidak memasang kamera pengintai saja di kamarnya, seperti yang Sasuke pasang di kamarmu," sahut Kiba disambut jitakan keras Shikamaru pada kepalanya hingga pemuda itu meringis kesakitan, sementara Naruto menoleh dan menyipitkan mata dengan tajam. "Apa maksudnya?" tanya Naruto dingin, sementara raut wajah Sasuke masih datar seperti biasa.

Satu persatu, keempat teman Sasuke mulai meninggalkan meja itu, keempatnya memilih untuk menyelamatkan diri dan menghindari pertengkaran suami istri yang sebentar lagi akan berlangsung. Udara dingin seakan menggantung diantara keduanya, Sasuke masih duduk dengan tenang, wajahnya masih tidak menampakkan ekspresi, sementara Naruto mengatupkan giginya begitu erat, emosi yang meletup di dadanya dia tekan sekeras mungkin, bagaimana pun, dia tidak ingin ada pertumpahan darah diantara mereka saat ini.

"Jadi..."

"Hn."

"Aku bertanya padamu, Sasuke!" gumam Naruto lagi dengan penekanan pada setiap ucapannya.

"Kau musuhku," jawab Sasuke tenang. "Aku harus mengawasi setiap gerakan lawanku," lanjutnya tanpa emosi.

"Tapi, bukan berarti kau boleh memasang kamera di kamarku, Sasuke."

"Hn."

"Apa saja yang sudah kau lihat, dasar mesum!"

Sasuke menyeringai kecil, dan menurunkan pandangannya ke arah dada Naruto. Naruto yang menyadari arah tatapan Sasuke segera menyilangkan kedua tangannya di atas dada. "Siapa yang mau melihat papan setrika, kau terlalu percaya diri, Dobe."

"Aku tidak mau tahu, Sasuke. Siang ini, kamera itu harus sudah tidak ada di kamarku."

"Hn."

"Aku serius, Sasuke."

"Hn."

"Baka!"

"Dobe!"

"Mesum!"

"Jelek!"

"Pantat ayam!"

"Papan rata!"

"Yaaaaaaaa!" teriak Naruto tepat di wajah Sasuke begitu keras, sementara Sasuke hanya menutup kedua telinganya dengan tangan, bagaimana pun dia tidak mau terkena gangguan telinga setelahnya. Naruto hampir saja melayangkan sebuah buku tebal ke muka Sasuke, jika saja sang petugas perpustakaan tidak menginterupsi-nya dan mengusir keduanya dari perpustakaan karena mengganggu murid yang lain.

"Semua ini gara-gara kau, Sasuke."

"Bukan aku yang berteriak disana," elak Sasuke dengan nada mengejek.

"Aku tidak akan teriak jika kau tidak melakukan hal bodoh seperti itu."

"Apa yang aku lakukan itu pintar."

"Kau menaruh kamera pengintai disetiap kamar musuhmu?"

"Musuhku hanya satu, Dobe. Dan itu, adalah kau," jawab Sasuke santai tanpa merasa bersalah sedikit pun.

"Aku tidak mau tahu, Sasuke. Sore ini, kamarku harus bersih dari semua alat pengintai yang kau pasang."

"Hn, mana kunci kamarmu."

"Kau bisa masuk tanpa kunci, kenapa sekarang harus meminta kunci padaku?" sindir Naruto tajam. Sasuke hanya mengangkat bahunya malas dan beranjak pergi, meninggalkan Naruto yang masih berdiri di lorong depan pintu perpustakaan dengan emosi yang masih meluap-luap.

Naruto mengambil napas berkali-kali dan menghembuskannya perlahan, hanya itu yang bisa dia lakukan untuk meredam emosinya saat ini. Namun matanya masih melihat punggung Sasuke yang mulai menjauh dengan tatapan tajam, bibirnya dia katup rapat, menghalau setiap kata yang siap dilontarkannya pada Sasuke.

.

.

"Kamarmu sudah bersih," itu bunyi email yang diterima Naruto dari Sasuke sore ini. Naruto mengerti betul akan arti dari email yang dikirim Sasuke padanya. Naruto mendengus dan membalas email itu dengan cepat. "Bagus," itu katanya. Dengan kasar, Naruto memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas, dan beranjak menuju kamarnya di asrama.

Di satu sisi, Naruto merasa lega karena Sasuke-lah yang memangang kamera di kamarnya. Itu berarti belum ada yang mencium penyamarannya di asrama. Tapi, disisi lain, Naruto tidak bisa memungkiri jika dia sangat kesal pada Sasuke. Tindakannya itu, diluar perkiraan Naruto. "Dasar anak jaman sekarang," keluh Naruto lirih dan membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur nyaman miliknya.

Naruto memejamkan kedua matanya, dia sangat bersyukur karena sudah dua hari ini, Sasuke tidak menyelinap keluar asrama. Hal itu, memberikan waktu pada Naruto untuk beristirahat dan melepaskan sejenak beban tugasnya yang terasa semakin melelahkan belakangan ini.

Di kamar lain, Shikamaru cs berkumpul di kamar Sasuke. Gaara dan yang lain terus mengomeli kebodohan Kiba yang tidak sengaja membocorkan rahasia Sasuke pada Naruto. Kiba yang merasa terpojok hanya bisa diam dan menerima semua omelan teman-temannya saat ini. Sementara Sasuke masih duduk dengan tenang di sudut sofa, sesekali menyesap minuman bersoda yang dituang di dalam gelas tinggi yang kini berada di genggamannya.

"Sas, bisakah kau mengatakan sesuatu. Sikap diam-mu itu malah membuat rasa bersalahku semakin buruk," tukas Kiba salah tingkah.

"Hn."

"Ayolah, katakan sesuatu," pinta Kiba memelas.

"Apa lagi yang harus aku katakan Kiba?" sahut Sasuke datar. "Yang terjadi sudah terjadi," katanya lagi.

"Kau boleh marah padaku, jika itu bisa membuatmu lebih baik," tukas Kiba frustasi sementara ketiga temannya yang lain terdiam menunggu reaksi Sasuke, namun Sasuke sama sekali tidak bereaksi, seperti biasa, wajahnya masih tetap datar dan sekali lagi menyesap minumannya dengan santai.

"Aku malah berterima kasih padamu Kiba," kata Sasuke membuat keempat temannya menatapnya bingung.

"Maksudmu?" tanya Kiba.

"Wajah Naruto sangat sexy saat marah," seringai kecil muncul di sudut kiri mulut Sasuke setelah mengucapkannya.

"Dia gila," tukas Neji menepuk dahinya dengan keras.

"Dia gila karena cinta," timpal Shikamaru menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Dia jatuh cinta pada siluman rubah," desis Gaara dengan mulut terbuka lebar.

"Dan semua itu salahku," jerit Kiba frustasi dan membenamkan kepalanya pada kedua tangannya.

"Aku tidak mengatakan jika aku menyukai wanita bodoh itu," sanggah Sasuke cepat.

"Yeahhhhh..." Balas keempatnya kompak dengan mendelik kasar ke arah Sasuke.

.

.

.

Tepat dihari keempat setelah peristiwa Kimimaro yang ditemukan sakau, akhirnya pemuda itu mendatangi Naruto, mengatakan dengan gugup jika dia ingin sembuh dan mau melakukan apapun agar dia bisa terbebas dari jerat narkoba.

Naruto tersenyum begitu lebar sore itu, dengan keras dan berulang-ulang dia menepuk bahu Kimimaro, layaknya seorang kakak yang bangga akan keberhasilan adiknya. "Aku akan menghubungi kenalanku disana, aku akan mengabarimu secepatnya."

Kimimaro mengangguk dan tersenyum lembut ke arah Naruto, lalu bergumam pelan dan melemparkan pandangannya jauh ke langit senja yang mulai dihiasi semburat orange. "Entah kenapa, walaupun kita seusia, tapi, terkadang aku merasa jika dirimu jauh lebih bijaksana daripada usiamu, Naru," katanya halus sementara Naruto pun mengikuti arah tatapan Kimimaro, menikmati langit senja sore ini. "Andai saja, aku dan Tayuya mengenalmu sejak dulu, mungkin saja Tayuya masih bernapas dan sehat saat ini."

"Kau mencintainya?"

"Sangat," jawab Kimimaro tanpa keraguan.

"Tapi, kau melepaskannya."

"Karena dia tidak bahagia bersamaku," sahut Kimimaro getir. "Narkoba merengut binar bahagia di matanya, untuknya, aku hanyalah alat untuk memenuhi kebutuhannya akan narkoba. Aku benar-benar menyedihkan," desis Kimimaro. "Cintaku bertepuk sebelah tangan, dan saat aku menyadarinya, aku pun sudah masuk ke dalam lembah hitam itu dan terjebak di dalamnya begitu lama. Sementara Tayuya, dia terus mencari cara agar bisa mendapatkan pasokan narkoba secara gratis."

"Kudengar dia sering berganti kekasih."

"Begitulah," jawab Kimimaro pendek.

"Apa Tayuya menggunakan mereka juga untuk memenuhi kebutuhannya?" tanya Naruto lagi. "Ah, maaf jika aku terlalu ingin tahu, kau tidak perlu menjawabnya Kimimaro."

"Tidak apa," sahut Kimimaro sekilas melirik ke arah Naruto. "Dia memang melakukan semua itu untuk memenuhi kebutuhannya, hingga akhirnya dia menjatuhkan diri pada pilihan yang salah dan akhirnya pilihannya merengut nyawanya."

"Maksudmu, Tayuya dibunuh?"

"Entahlah, yang pasti, pilihannya itu membuatnya meregang nyawa. Entah dia memang bunuh diri ataupun dibunuh, aku pun tidak tahu."

"Kau tahu siapa kekasih Tayuya yang terakhir?"

"Aku tidak pernah melihatnya secara langsung, namun anak buahnya selalu memanggilnya 'Bos'." Sepertinya orang yang menjadi kekasih Tayuya memiliki posisi penting di dunia hitam, pikir Naruto. "Maaf, aku selalu merepotkanmu Naru."

"Eh... aku sudah katakan padamu Kimimaro, kita kan teman. Sudah sewajarnya jika kita saling membantu, bukan begitu?"

"Terima kasih," ucap Kimimaro lirih. "Aku juga sudah menemui Sasuke, mengembalikan pakaiannya dan mengucapkan terima kasih untuk bantuannya tempo hari."

"Souka?"

"Hm, dia juga mengatakan jika aku tidak boleh membuatmu cemas lagi."

"Dia mengatakan itu?" tanya Naruto dengan nada tidak percaya. Padahal dialah yang selalu membuatku cemas dan repot, omel Naruto dalam hati.

"Begitulah, sepertinya dia tidak suka jika kekasihnya sakit karena banyak pikiran."

"Tunggu sebentar! Apa maksudmu kekasih? Dia bukan kekasihku," protes Naruto keras.

"Saat ini memang bukan, tapi akan," goda Kimimaro membuat Naruto mendesis tidak suka.

"Siapa yang mau berpacaran dengan anak manja, angkuh, egois, keras kepala, dan playboy seperti dia."

"Apa maksudmu itu- aku?"

Suara baritone itu membuat Naruto dan Kimimaro menoleh mencari asal suara. Perlahan Kimimaro tersenyum menatap Sasuke dan Naruto, lalu berdiri dan akhirnya meninggalkan keduanya yang masih saling melempar tatapan dingin. Dengan santai Sasuke mendudukan diri di tempat Kimimaro duduk tadi, tepat disebelah kanan Naruto, disebuah kursi taman dengan pohon willow yang bertengger begitu gagah di samping kanan kursi taman itu.

"Untuk apa kau duduk disitu?"

"Hn."

"Bisakah untuk sekali saja kau menjawab dengan benar?"

"Bisakah untuk sekali saja kau diam, dan berhenti mengomel?" Sasuke balik bertanya dengan nada sinis.

"Kenapa kau begitu senang menggangguku?"

"Kenapa kau begitu senang mengurusi orang lain?"

"Kenapa kau senang membuatku marah?"

"Kapan kau bisa memahamiku?"

"Jawab pertanyaanku dan berhenti membalikkan pertanyaan, Sasuke," teriak Naruto keras.

"Berhenti berteriak, Dobe. Kau bisa melukai gendang telingaku."

Naruto menghela napas kecil dan berkata lirih. "Kapan kau bisa bersikap dewasa, Sasuke?"

"Aku tidak bisa bersikap dewasa jika berada di dekatmu, Dobe."

"Apa maksudmu?" tanya Naruto tidak mengerti.

"Pikirkan, dan jadikan PR. Jika kau sudah tahu jawabannya, katakan padaku," ucap Sasuke serius lalu beranjak meninggalkan Naruto yang masih duduk dengan ekspresi bingung.

"Kenapa aku tidak pernah bisa membaca pikiran anak remaja jaman sekarang?" keluh Naruto lirih. "Ah... mungkin aku terlalu tua untuk mengerti."

.

.

"Kau kemana saja Naruto?" teriak Kakashi dari sebrang sambungan telepon. Naruto hanya bisa menjauhkan telepon genggamnya itu dari telinganya untuk menyelamatkan pendengarannya.

"Maaf paman, aku baru saja kembali ke asrama. Telepon genggamku tertinggal di kamar," aku Naruto merasa bersalah saat melihat ada lebih dari sepuluh panggilan masuk dari Kakashi yang tidak terjawab olehnya.

"Benar-benar ceroboh," tegur Kakashi. "Ada hal penting yang ingin ku katakan. Kau ingat penjahat yang memukuli Kimimaro tempo hari?"

"Tentu, memangnya dia kenapa?"

"Kisame mati saat akan dipindahkan ke penjara federal."

"Maksud paman, dia bunuh diri?"

"Tidak, mobil yang membawanya mengalami kecelakaan dan masuk ke dalam jurang."

"Kalau begitu, itu kecelakaan biasa?"

"Bisa jadi sabotase Naru, karena Kisame adalah salah satu kunci yang bisa memudahkan kita untuk menemukan 'Bos Besar'."

"Satu lagi, Kakuzu, yakuza yang kau hadapi empat hari yang lalu, dia juga mati di dalam sel."

"Bagaimana mungkin paman?"

"Sepertinya dia juga dibunuh, menurut penyelidikan terakhir, Kakuzu merupakan anggota dari sang Professor."

"Bukankah Professor adalah julukan anak buah kepercayaan Bos Besar?"

"Begitulah," sahut Kakashi pendek. "Sebelum dia mati, Yamato berhasil mengorek keterangan darinya, tentang jalur penjualan narkoba Professor. Dan kau tahu, mereka memusatkan penjualan pada murid-murid SMA. Pria itu juga menyinggung nama Tayuya."

"Paman, hari ini aku berbicara dengan Kimimaro. Menurutnya, kekasih Tayuya sebelum dia mati selalu dipanggil 'Bos', menurut paman, apa mungkin hal ini ada hubungannya?"

"Aku akan mencari tahu tentang hal itu, sebaiknya kau juga bersiap-siap Naru, mungkin kami akan segera memerlukan bantuanmu untuk melacak persembunyian sang Profesor, dan jika beruntung, mungkin kita bisa menemukan Bos Besar."

"Hai, wakatta paman."

"Ingat Naru, ini bukan ajang balas dendam," ucap Kakashi dengan nada serius.

"Aku mengerti, paman tidak usah khawatir," tukas Naruto sebelum akhirnya memutuskan hubungan telepon mereka.

Naruto memijit pelipisnya perlahan, kasus ini terasa semakin rumit. Sepertinya kejadian-kejadian kecil seputar kematian Tayuya memang sengaja dibuat untuk membuyarkan dan mengecoh penyelidikan pihak berwajib. Membuatnya semakin samar, hingga sulit untuk mendapatkan kebenaran dari hasil penemuan mereka.

Sebelum membersihkan diri dan mengerjakan PR, Naruto menghubungi Shion, salah satu kenalannya di pusat rehabilitasi narkoba. Setelah menjelaskan panjang lebar, akhirnya Shion memutuskan untuk menjemput Kimimaro secepat mungkin, agar proses penyembuhan pemuda itu bisa cepat dimulai.

Setelah mendapat kepastian dari Shion, Naruto segera memberikan kabar pada Kimimaro, agar kedua orang tua pemuda itu bisa dengan cepat memproses pengunduran diri Kimimaro dengan alasan sekolah di luar negeri.

Merasa yakin semua berjalan sesuai dengan harapan, Naruto pun akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya, Kimimaro besar kemungkinannya sembuh dari ketergantungannya, dan bisa menatap masa depan, yang mungkin akan lebih baik dan cerah.

.

Sementara itu di Washington DC, sang rektor dengan rambut yang sudah memutih dengan sempurna dan kacamata dari tempurung kura-kura bertengger di atas hidungnya, masih mencoba untuk kesekian kali meyakinkan Namikaze Kurama agar tetap bertahan mengajar disana.

"Maaf prof, tapi, saya sudah memutuskan untuk kembali ke tanah kelahiran saya dan mengabdi disana," jelas Kurama sopan.

"Tolong pikirkan kembali, kami sangat memerlukan anda disini," mohon rektor itu lagi.

"Terima kasih untuk kepercayaan anda, tapi, saat ini saya benar-benar ingin mengabdi untuk negara saya, walaupun hanya untuk sesaat."

"Itu berarti ada kemungkinan anda akan kembali mengajar disini?" tanya rektor itu penuh harap.

"Benar, jika diijinkan, suatu hari nanti saya mungkin akan kembali mengajar disini."

"Tentu saja Prof Kurama, kami akan selalu menyambut anda dengan tangan terbuka," sahut rektor itu tersenyum lebar, sejenak senyum itu menghapus kerutan-kerutan yang nampak di wajahnya karena faktor usia. "Kapan anda berangkat?"

"Dua minggu lagi prof, ada beberapa hal yang harus saya bereskan, serah terima jabatan, serta hal lainnya sebelum saya pergi," jelas Kurama panjang lebar sementara rektor itu mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.

"Kembalilah kapan pun anda mau, kami akan menunggu anda."

"Terima kasih untuk kepercayaannya prof," Kurama bangkit dari kursi yang didudukinya dan menjabat tangan rektor itu mantap. Setelah menundukkan kepala untuk memberi hormat, dia pun melenggang pergi, keluar dari ruang kerja sang rektor untuk bersiap kembali mengajar.

Dengan kembali ke Jepang, aku bisa menjaga Naruto dan kembali menjalankan peranku sebagai seorang kakak. Sudah terlalu lama, aku mengabaikan kewajibanku untuk menjaga Naruto. Rasanya aku bukan seorang kakak yang baik untuknya. Aku tahu, jika Naruto bisa hidup mandiri dan menjaga diri dengan baik. Tapi, aku juga tidak tenang dengan meninggalkannya bersama paman mesum juga kakek Sarutobi. Apalagi, Naruto menolak tinggal dengan kakek dan memilih tinggal di aparSasuken, gumam Kurama dalam hati. Dia pasti mengira jika aku pulang untuk peringatan kematian Ayah dan Ibu. Aku sudah tidak sabar melihat mimik wajahnya saat tahu jika aku akan menetap lama disana.

Kurama terus bersenandung di dalam hati, tidak menghiraukan tatapan-tatapan aneh para muridnya saat melihat senyum kecil yang nampak asing di wajah tampannya. Ya, Kurama memang bukan tipe yang mudah tersenyum, senyumnya berkesan mahal, dan hanya segelintir orang saja yang mampu membuatnya tersenyum, dan salah satunya adalah Naruto.

.

.

.

Seperti biasa, setiap Sabtu jam delapan pagi, Naruto membawa ketiga muridnya untuk berlatih di dojo milik Sarutobi. Setelah menguras semua energi ketiga muridnya hingga tengah hari, Naruto membawa mereka makan di Ichiraku ramen sebelum kembali ke asrama. Setelah kembali ke asrama, sisa harinya dia habiskan untuk mengawasi Sasuke. Dia bahkan menolak dengan halus saat Karin, Hinata dan Ino mengajaknya keluar untuk belanja dan menonton film ke bioskop. Awalnya Naruto sedikit gelisah saat malam datang, karena dia takut jika Sasuke kembali keluar asrama dan bersenang-senang di sebuah klub hingga dini hari. Namun, ternyata yang ditakutkannya itu tidak terjadi, sepanjang malam, Sasuke terus berada di dalam kamar, menghabiskan waktu bersama keempat temannya yang lain untuk sekedar bermain PS, setelah bosan mereka menonton film hingga lelah dan tertidur kemudian.

.

Hari Minggu pagi, Naruto mengantarkan kepergian Kimimaro hingga pemuda itu masuk ke dalam mobil BMW hitam. Kedua orang tua Kimimaro nampak tersentuh dengan kesungguhan putranya untuk berubah, dan mendukung sepenuhnya agar putranya itu bisa sembuh. Setelah mengucapkan terima kasih pada Naruto, kedua orang tua Kimimaro segera masuk ke dalam mobil pribadi mereka dan mengikuti mobil BMW hitam milik Shion dari belakang.

"Jadi, dia memutuskan berjuang untuk sembuh?"

"Begitulah," sahut Naruto tanpa menoleh pada asal suara, karena dia sudah tahu betul siapa pemilik suara baritone itu. "Tidak keluar untuk bersenang-senang, Sasuke?" sindir Naruto, pelan namun tajam.

"Ada seorang Dobe yang mengatakan agar aku mulai menata hidup dan berhenti bermain-main."

"Begitu, dan kau mengikuti sarannya?"

"Tidak ada salahnya mengikuti saran yang benar, bukan begitu, Dobe?" Sasuke menyeringai kecil.

"Syukurlah, jika kau mulai berpikir untuk berubah, Sasuke."

Sasuke tersenyum kecil saat mendengar Naruto menyebut namanya dengan akrab, ada secuil kegembiraan yang membucah di hatinya setelah mendengarnya. "Kau sudah tahu jawaban dari PR yang kuberikan?"

"Apa aku harus memberi jawaban?"

"Menurutmu?"

"Kenapa kau tidak memberitahuku saja, Sasuke? Terlalu banyak yang harus aku pikirkan, tanpa harus mencari jawaban untuk memuaskan egomu."

"Cari tahu jawabannya sendiri, Dobe. Buktikan jika kau memang pintar," balas Sasuke dengan santainya meninggalkan Naruto disana seorang diri, dan kembali masuk ke dalam asrama putra.

"Baka no Sasuke!" gerutu Naruto pelan sebelum beranjak untuk kembali ke asrama putri.

.

Sementara itu, di kediaman Uchiha. Uchiha Fugaku sang kepala keluarga menatap putri sulungnya, Uchiha Itachi dengan tatapan serius. Sementara putrinya itu dengan santai menyantap sarapan paginya hingga habis tak bersisa.

"Kau sudah yakin dengan keputusanmu itu Itachi?" tanya Fugaku dengan nada dalam dan tegas seperti biasanya, sementara Mikoto meletakkan secangkir kopi hitam yang masih mengepul tepat di meja di hadapannya.

"Aku yakin, Ayah."

"Kenapa kau malah memilih untuk mengajar di KHS?" tanya Mikoto tidak mengerti. "Pekerjaanmu di Konoha University benar-benar bagus Itachi, orang lain saling berebut untuk bisa diposisi-mu saat ini."

"Aku ingin lebih dekat dengan Sasuke, dengan mengajar disana, aku bisa mengawasinya dari dekat, bukan begitu?"

"Ayah sudah menugaskan beberapa orang untuk mengawasi adikmu, kau tidak perlu berkorban sejauh itu, jika hanya untuk mengawasi adikmu," kata Fugaku lagi.

"Justru itu Ayah, aku tidak habis pikir, bagaimana caranya Jendral Sarutobi meyakinkan anak buahnya untuk tinggal di KHS dan mengawasi Sasuke, bukankah lebih baik jika aku saja yang mengawasi Sasuke dan biarkan anak buah Jendral Sarutobi untuk melaksanakan tugas yang pantas untuk mereka?"

"Kau tidak mengerti Tachi, Jendral Sarutobi pasti memiliki pandangan sendiri sebelum dia menyetujui permintaanku untuk menjaga Sasuke. Aku memang tidak tahu apa yang dijadikan alasannya, yang jelas, akhir-akhir ini, aku mendapat kabar jika Sasuke sudah tidak pernah keluar dari asrama lagi. Bukankah itu berita baik?"

"Benar Ayah, itu memang berita baik. Apa Ayah tahu, siapa yang diperintahkan jendral untuk menjaga Sasuke?"

"Tidak, Ayah tidak tahu."

"Begitu," sahut Itachi lirih. "Jadi, Ayah memberikanku ijin untuk mengajar disana?"

"Hn."

"Bagaimana dengan Ibu?"

"Jika kau memang berkeras untuk mengajar disana, Ibu hanya bisa memberikan dukungan untukmu."

"Terima kasih, Bu," ucap Itachi lembut.

"Jadi, kapan kau akan mulai mengajar disana, Itachi?" tanya Mikoto lembut.

"Rabu besok, Bu. Aku akan menjadi guru pengganti untuk pelajaran bahasa Inggris."

"Guru pengganti?"

"Benar, Ayah, aku dengar guru yang seharusnya mengajar ada keperluan pribadi saat ini, hingga harus digantikan untuk sementara waktu," jelas Itachi panjang lebar.

"Bagaimana selanjutnya?"

"Kepala sekolah sudah berjanji untuk mencarikan posisi yang tepat untukku disana, bahkan, beliau menawariku posisi sebagai wakil kepala sekolah."

"Begitu?"

"Aku masih memikirkannya, karena, posisi itu terlalu berat menurutku. Aku lebih suka menjadi pengajar biasa," jelas Itachi lagi menjawab pertanyaan Fugaku yang mengangguk kecil saat ini. Tujuan utama Itachi yang sebenarnya memang untuk mengawasi Sasuke. Dia tidak terlalu mempercayai kemampuan anak buah Sarutobi dalam menangani kenakalan remaja seusia Sasuke. Usia Sasuke saat ini memang usia yang rentan akan pengaruh luar, usia yang sering kali berusaha memberontak dan melepaskan diri dari setiap belenggu yang bernama disiplin. Itachi merasa jika dia harus turun tangan, apalagi setelah mendengar ada seorang siswi yang bunuh diri disana.

Sebenarnya, Sarutobi memang berbohong pada Naruto dan Kakashi saat dia mengatakan jika ada beberapa ancaman yang diterima Sasuke. Dia mengatakan hal itu, agar Naruto dan Kakashi mau menjaga Sasuke tanpa banyak protes. Sarutobi tahu, keduanya akan menolak dengan tegas jika tahu mereka hanya ditugaskan untuk mengawasi seorang remaja.

Dan alasan lain Sarutobi menerima tugas dari Fugaku, tidak lain untuk memudahkan jalan baginya untuk menyusupkan orang kepercayaannya ke dalam KHS untuk menguak kematian Tayuya. Karena Sarutobi menyetujui permintaan petinggi kepolisian untuk membantunya menyelidiki kematian itu yang disinyalir ada hubungannya dengan kartel perdagangan narkoba terbesar di negara itu, namun hingga saat ini, analisis pihak kepolisian masih samar dan bercabang.

.

Hari Senin datang dengan cepat, pagi ini seharusnya diisi oleh Kakashi sebagai guru mata pelajaran bahasa Inggris. Namun, karena alasan kesehatan, Asuma menggantikannya untuk sementara hingga guru pengganti Kakashi datang. Naruto tentu saja tahu, alasan dibalik absennya Kakashi, hanya saja, dia agak kaget saat mendengar akan ada guru pengganti yang akan menggantikan Kakashi untuk sementara waktu. Sepertinya tugas paman agak sulit di luar sana, sementara aku terjebak bersama si Sasuke disini seorang diri, pikir Naruto miris. Andai saja aku bisa bergabung dengan paman Kakashi, pasti akan lebih menyenangkan daripada disini, keluhnya lagi dalam hati.

"Berhenti menghela napas seperti itu, Dobe. Kau benar-benar mengganggu!" tegur Sasuke tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Naruto.

"Berhenti mengurusi urusanku, Sasuke!" balas Naruto dengan nada satu oktaf lebih tinggi.

"Hn."

"Baka no Sasuke!"

"Baka no Dobe!"

"Jangan menjiplak kata-kataku, dasar tidak kreatif."

"Hn."

"Pantat ayam!"

"Ugly!"

"Muka mayat!"

"Muka monyet!"

"Te-"

"Naruto, Sasuke, after school detention!" teriak Asuma keras dari depan kelas, berhasil mengembalikan perhatian keduanya ke pelajaran yang sedang dibawakan oleh Asuma pagi ini. Hingga bel pelajaran kedua berbunyi beberapa saat kemudian. "Setelah bel makan siang, kalian berdua menghadap kepadaku. Aku akan memberikan list hukuman untuk kalian kerjakan sepulang sekolah nanti," katanya sebelum melenggang pergi keluar kelas. Beberapa siswi berdecak dan menatap sinis ke arah Naruto, terutama Sakura yang berpikir jika Naruto sengaja melakukan hal itu agar bisa berduaan dengan Sasuke.

"Hai', Sensei." Sahut Naruto tidak bersemangat, sementara Sasuke hanya mengangguk mengerti.

Kiba bertepuk tangan dan bersiul riang. "Wow, romantisnya pasangan kita ini, kalian sengaja yah supaya bisa berduaan sepulang sekolah tanpa harus kena tegur?"

"Hentikan ocehanmu itu bocah, siapa juga yang mau berduaan dengan manusia tanpa emosi seperti dia," sembur Naruto menatap tajam Kiba. "Membuang-buang waktu," katanya yang dengan kasar memasukkan buku pelajaran bahasa Inggrisnya ke dalam tas dan mulai mengeluarkan buku untuk bahan pelajaran selanjutnya.

"Jangan sia-siakan waktu Sas, gunakan waktu dengan baik, kau mengerti?" tukas Neji sok bijak, menepuk bahu Sasuke pelan.

"Apa maksudmu dengan menyia-nyiakan waktu hah?" serang Naruto kepada Neji dengan sengit. "Ah, aku tahu, kalian berniat menyiksaku kan sepulang sekolah nanti."

"Wanita ini benar-benar lemah jika menyangkut perasaan, aku turut berduka cita untukmu Sas," ucap Kiba prihatin.

"Bahkan Kiba saja mampu membaca isi hati Sasuke," Gaara melirik ke arah Naruto dan menatapnya datar. "Kau benar-benar tidak mengerti rubah?"

"Memangnya apa yang harus ku mengerti?"

"Haaaah," keluh keempat teman Sasuke secara bersamaan dan kembali duduk ke mejanya masing-masing.

"Sebenarnya, apa yang sedang mereka bicarakan Sasuke? Ada apa denganmu, lalu, apa hubungannya denganku?"

"Hn," sahut Sasuke ambigu, dan kembali melemparkan pandangannya keluar jendela. Sepertinya hubungannya dengan Naruto akan berjalan lambat jika menyangkut masalah perasaan dan hati. Senyum kecil kembali menghiasi wajah Sasuke, dia tidak akan menyerah, karena seorang Uchiha, selalu mendapatkan apa yang diinginkannya.

.

.

.

TBC

#WeDoCareAbout SFN





Continue Reading

You'll Also Like

44.3K 3.6K 8
🔚 COMPLETE 🔚 Naruto milik Masashi Kishimoto. Pair : Sasofemnaru. Genre : Drama, romance, family dll Sasori duda tampan berwajah baby face mempunyai...
426K 4.5K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
203K 19.8K 19
SASUFEMNARU FANFICTION Roh Naruto tidak bisa kembali ke dalam tubuhnya sendiri. Tapi, untuk apa juga dia hidup? Keluarganya tidak menyayanginya. Hub...
21.3K 2.6K 17
Sequel Kala Cemburu Usai "'Kan sudah kubilang kau tidak boleh dekat-dekat dengan yakuza itu! Kenapa kau mengabaikan perintahku?" "Kalau begitu apa ka...