Sketcher's Secret

By lychadiva

231K 18.5K 1.2K

(Completed) Bagi orang-orang lain, Aidan itu; -Cakep -Suka musik dan basket -Agak pendiam -Suka bawa buku ske... More

Prolog
Satu|Loker
Dua|Hujan
Tiga|Sketsa Pertama
Empat|Festival Kembang Api (1)
Lima|Festival Kembang Api (2)
Enam|Sketsa Baru
Tujuh|Tekad Anya
Sembilan|Berubah
Sepuluh|Amarah
Sebelas|Kenyataan(1)
Dua Belas|Kenyataan(2)
Tiga Belas|Sepatu dan Jas Hujan
Empat Belas|Manis
Lima Belas|Misterius
Enam Belas|Sketsa yang Jatuh
Tujuh Belas|Tersembunyi
Delapan Belas|Surat
Sembilan Belas|Target
Dua puluh|Misi (1)
Dua Puluh Satu|Misi (2)
Dua Puluh Dua|Rasa
Dua Puluh Tiga|Kesalahan
Dua Puluh Empat|Waktu
Dua Puluh Lima|Momen
Dua Puluh Enam|Hilang
Dua Puluh Tujuh|Hitam Putih
Dua Puluh Delapan|Dokumen
Dua Puluh Sembilan|Lima Lembar
Tiga Puluh|1095 days of Kira and Dino.
Tiga Puluh Satu | 1095 Days of Anya and Aidan
Tiga Puluh Dua| Akhir yang Baru
Epilog
Hai!

Delapan|Teman Lama

6K 569 30
By lychadiva

Dear Penny,

Mungkin mencari tahu tentang ini bisa saja jadi hal terbodoh atau pun tidak, karena aku malah menuruti rasa penasaranku padahal aku tahu, jika aku memecahkan rahasia gambaran itu, tidak akan ada dampaknya sama sekali bagiku.

                        ***

     Aku bergetar, sosok itu masih memegang pergelangan tanganku erat. Dengan susah payah, aku berbalik melihat wajahnya.

       "Dino?!" aku menarik tanganku agar lepas dari pegangannya. "Lo ngapain di sini?" Aku memperhatikannya dari atas sampai bawah.

       "Sorry, lo kaget ya?" Dino menggaruk tengkuknya. "Tadi gue mau ke rumah lo, tapi gak jadi karena gue udah nemuin lo di sini."

      Aku masih bingung, alisku bertautan. "Lo mau ngapain di rumah gue?" tanyaku heran.

       "Kita bicara di sana aja," tunjuk Dino ke sebuah bangku panjang di dekat halte.

       Aku hanya mengikuti Dino dari belakang, kalau Kira tahu aku bersama Dino, apa dia akan marah?

     Aku duduk di kursi panjang itu, menunggu Dino kembali dari kios kecil yang tak jauh dari sana.

       "Nih." Dino membawa dua kaleng soda dingin dan menyodorkan sekaleng padaku yang kemudian kuambil dari tangannya.

       Dino duduk di sampingku, ia membuka penutup sodanya. "Ada yang perlu gue tanyain ke lo, ini soal eh...." Ia tidak melanjutkan pertanyaannya. "Soal Kira, gue mau nanya beberapa hal tentang dia ke lo."

 
       "Uhuk!" Aku tersedak soda. "Kenapa lo nanya soal itu? Suka ya sama Kira?" aura jahilku keluar lagi.

      Dino salah tingkah, namun lagaknya tidak seperti salah tingkah milik Aidan. Dino agak sedikit ... Seperti memaksakannya.

     Ah, bodo amat, yang jelasnya sekarang aku tahu ia suka sahabatku.

   "Sembarangan lo! Gue cuma...." Dino tidak melanjutkan perkataanya. lagi.

      "Cuma apa?" sergahku.

      "Cuma...," Dino terlihat berpikir sembari meneguk soda.

      Aku menaikkan sebelah alisku, memasang tampang menyebalkan.

      "Iya! Gue suka sama Kira, puas?!" Dino menegakkan duduknya.

      Mataku berbinar, Kira pasti akan loncat-loncat ketika tahu soal ini. Aku mengukir senyum senang, Kira hebat.

       "Gue mulai penjelasan gue ya," ucapku sembari memperbaiki posisi dudukku. Dino mengangguk mantap.

       "Jadi gini, Kira tuh suka yang manis-manis, alergi seafood, gak suka boneka yang berbulu, penakut, baperan, enggak bisa dibohongi...," dan berlanjutlah penjelasanku sampai dua menit kemudian.

       Dino manggut-manggut mengerti, matanya terlihat lelah dan memiliki lingkar hitam di bawahnya, antusiasnya berbeda dengan di awal. Pasti dia kurang tidur atau semacamnya atau aku yang membosankan karena mengucapkan hal-hal yang tidak penting sekali pun.

    "Oh gitu, makasih ya Anya." Dino membuang kaleng sodanya yang sudah kosong. "Kalau gini gue bisa lebih mudah deketin dia, lo tahu banyak ya?" Dino teresenyum hangat.

      "Iyalah! Kira sama gue udah nempel sejak TK, gimana gue gak tahu banyak." Aku tersenyum.

       "Lo bantuin gue deket sama dia ya, nanti gue minta tolong ke lo lagi." Dino memperbaiki jaketnya. "Ohiya gue mau nanya, l-lo pacaran sama Aidan, kan?"

      Mendengar pertanyaannya yang agak tiba-tiba, aku mengernyitkan alis. "Kenapa lo nanya?"

      "Oh sudah kuduga." Cowok itu tersenyum. Baru sajah aku akan bilang kalau aku dan Aidan tidak ada hubungan apa-apa selain teman, Dino sudah beridiri dari kursi. "Gue balik dulu ya, udah hampir jam setengah enam nih." Dino berdiri.

      "Eh, eh Dino, lo jangan balik dulu" Aku menahannya.

       Dino berbalik, sebelah alisnya terangkat menunggu jawabanku.

       "Ada yang mau gue tanyain ke lo." aku menunduk sedikit.

     "Soal apa?" tanya Dino.

     "Apa hubungan lo sama Aidan?" tanyaku, mengingat kejadian di festival beberapa hari yang lalu.

                           ***

     "Gue sama Aidan itu saingan dari dulu, rebutan prestasi, rebutan popularitas, rebutan reputasi, tiga hal itu gue selalu jadi yang kedua setelah Aidan.


      "Tapi enggak hanya itu, kita juga rebutan satu cewek yang sama, kalau dipikir-pikir gue selalu malu sendiri. Tapi untuk yang pertama kalinya, Aidan kalah."

     Aku termenung sesaat.

     "Udah ya gue duluan, udah hampir jam enam," ucap Dino lalu bangkit, ekspresinya berubah, sama seperti perubahan ekspresi Aidan sewaktu di festival kembang api, sebelum menaiki biang lala itu. "Untung gue ketemu lo di sini ya, kalau gue ke rumah lo sekarang, pasti gue sampai di rumah pas udah gelap."

     Lalu cowok itu bangkit dan melangkah pergi, menaiki motornya.

     Eh?

     Tunggu sebentar.

     Darimana ia bisa tahu lokasi rumahku?

                                 ***

      Aku berdiri memandangi pemandangan malam dari balkon kamarku. Masih memegang kedua sketsa yang digambar Aidan dengan tatapan sayu. Dua sketsa dengan gambar gadis yang sama.

     Aidan menyukainya ya?  

     Pertanyaan yang muncul di kepalaku itu bisa membuat hatiku serasa mencelos.

      Aku kembali teringat dengan perkataan Dino sore itu.
 
      Aku menghela napas.

      Siapa sebenarnya gadis yang ada di dalam sketsa itu? Siapa sebenarnya yang selalu Aidan perhatikan?

                       ***

        "Anya! Lo harus tahu, lo harus tahu!" seru Kira heboh. "Ada anak baru!"

         "Trus?" aku memiringkan kepalaku heran. "Bodo amat elah, emang gue peduli?"

        "Ck, lo kudet banget sih." Kira memutar bola matanya. "Dia cewek blasteran Indonesia-Inggris, satu kelas dengan Aidan sama Dino, dan ... Eh, dia sebangku sama Aidan." Kira menunduk.

       Tanganku yang sedari tadi menulis catatan harianku di buku diary langsung berhenti bergerak

                               ***

      Ada sekitar tujuh-delapan orang yang berdiri di dekat pintu kelas. Aku gelisah, ingin mengecek apa pernyataan Kira benar.

      "Tadi banyak banget orang yang berkerumun di depan kelas Aidan, sekitar dua puluh lebih. Tapi mungkin udah diusir sama Pak Sukirman." Kira masih menunduk.

       Benar saja, seorang gadis berambut pirang duduk sebangku dengan Aidan. Gadis yang sangat cantik, rambut pirangnya terurai panjang, matanya indah, dan kulitnya sempurna.

       Bukan itu yang membuat bibir bawahku sampai kugigit keras, tapi Aidan yang meladeninya. Mereka saling tertawa-tawa, Aidan tertawa.

      Tawanya renyah sekali.

        Aku mundur ke belakang, menghadap Kira sambil menunduk, bibir bawahku sudah sangat perih karena kugigit sejak tadi. Kira bisa melihat tanganku yang bergetar.

       "Kir? Siapa nama cewek itu?" suaraku terdengar berbeda, wajahku menunjukkan ekspresi kosong.

       "Anya, maaf, seharusnya gue engga-," perkataan Kira terputus.

      "Siapa namanya?" sergahku.

       "Eh, a-anu...." Kira terbata. "Namanya Gracia Harrison."

       Jantungku berdegup kencang, aku melirik mereka dari jendela. Dan Aidan menyadarinya. Di sela tawanya bersama anak pindahan itu, matanya melihatku.

       Aku langsung berpaling dan berlari ke kelas.

       Di sela langkah kakiku yang cepat, aku mengedip-ngedipkan mataku tanpa henti. Tenggorokanku seperti tercekat sesuatu.

       Namanya Gracia Harrison ya?

       Aku langsung teringat percakapanku bersama Dino kemarin sore.

      "Um Dino, jadi lo sama Aidan pernah suka satu cewek yang sama?"

      "Iya, gue yang berhasil ngedapetin cewek itu, tapi udah putus dua tahun lalu pas dia pindah sekolah. Setahu gue, Aidan suka banget sama cewek itu. Kalau sama dia, Aidan pasti ketawa. Aidan menyayanginya."

     "Si-siapa nama cewek itu?"

     "Namanya Gracia Harrison."

                       ***

       Aku diam membisu, seperti biasa aku sedang duduk di kursi taman.

        Aidan duduk di kursi taman yang biasa ia duduki. Tapi aku tidak lagi tersenyum melihatnya, tidak lagi berdebar saat dia melihat ke arahku.

     Karena Aidan tidak sendiri, wajah seriusnya terpaku pada buku sketsa seperti biasa. Ia masih menggambar, menggambar gadis dua dimensi yang belum kuketahui identitasnya. Gadis cantik itu ikut duduk di samping Aidan, sambil sekali-sekali melihat buku sketsanya.

       Waktu di mobil Aidan, dia sampai memarahiku karena menyentuh buku sketsanya. Tapi gadis ini berbeda, ia sudah ratusan kali melirik ke arah gambaran Aidan, tapi cowok itu sama sekali tidak mengatakan apa pun.

      Aidan tersenyum manis ke arah cewek itu, tapi anehnya, keningnya berkerut. Buku sketsanya ditutup, lalu ia segera bangkit berdiri.

     Dilihatnya sekeliling, lalu matanya terpaku padaku selama lima detik, aku membuang muka. Entah kenapa, melihat wajah Aidan sekarang terasa mengecewakan. Terasa sangat berbeda.

      Aku bodoh ya? Jelas-jelas senyum Aidan padaku tidak begitu cerah, tidak begitu jujur. Dan aku merasa dibohongi, walau pun sebenarnya aku yamg membongi diri sendiri.

      Aidan itu terlalu sempurna, bukan?

      Aku terbelalak, jantungku berdegup begitu kencang saat sebuah tangan memegang pergelangan tanganku erat.

      Aku mendongak.

      DEG!

      "Aidan?" Aku masih terkejut, tanganku serasa mati rasa. Perasaanku campur aduk.

       "Ayo, ikut gue." Aidan menatapku dengan tatapan lembut, namun agak mengintimidasi. Aku hanya mengekorinya ketika Aidan menarikku entah ke mana.

       Tangannya menggamitku sekarang terasa melelahkan karena aku harus menahan leherku yang tercekat, menahan mataku agar tidak memancarkan sorot yang sedih.

       Cepat sekali, seolah kemarin itu tidak terjadi.
 
      Aku melirik Grace, gadis pirang itu memiringkan kepalanya tanda heran. Orang-orang di taman menjadikan kami sebagai pusat perhatian. Aku hanya menunduk dalam, merasakan pegangan tangan Aidan yang semakin erat.

       Kami akhirnya terbebas dari ingar-bingar taman yang ramai. Aidan terus menarikku hingga sampai ke belakang sekolah.

      Aku semakin tidak mengerti, kami tidak lagi menapak wilayah sekolah, kami keluar batas hingga sampai ke lahan hijau penuh ilalang. Lahan terbengkalai di belakang sekolah. Aidan berhenti ketika kami sampai di depan tembok, tembok bata kokoh yang tinggi menjulang.

     Tembok itu adalah pembatas antara sekolah dengan wilayah di luarnya.

      Aku menyentakkan tanganku kuat. "Lo kenapa bawa gue ke sini?" aku memasang wajah penuh emosi, menahan sedih yang meluap sedari tadi. "Gue mau balik." Aku menggigit bibir sekuat tenaga, berusaha agar suaraku tidak serak. Kubalikkan badan, bersiap berjalan meninggalkannya.

      Kurasakan tangannya menahan telapak tanganku. Aku susah payah menelan ludah, mataku kukedip-kedipkan berkali-kali. Lalu kemudian mendelik. "Apa?" tanyaku dengan wajah penuh emosi, susah payah memasang wajah baru agar Aidan tidak tahu apa yang kurasakan.

      "Lo di sini, jangan coba-coba balik," tegas Aidan. Aku menunduk, menyembunyikan wajah. "Banyak yang gue mau tanyain."

       Aidan langsung loncat, lalu sekarang ia sudah terduduk di atas tembok pembatas. Memandangi wilayah luar sekolah.

       "Sini gue bantu naik." Aidan menjulurkan tangannya ke bawah, menunggu agar aku memegangnya sebagai bantuan.

      Tapi aku menepisnya pelan.

     Lalu aku memanjat sendiri dengan mudahnya hingga sekarang aku duduk di sampingnya, masih menunduk.

      Aku melirik sekilas, Aidan menatapku terkesima sejak aku manjat tadi.

       "Lo mau bilang apa?" tanyaku.

       "Liat ke depan." Aidan menarik rambut belakangku pelan, otomatis kepalaku langsung terangkat dan terkesima melihat pemandangan luar sekolah itu benar-benar indah. Tidak ada rumah, kendaraan, atau semacamnya. Hanya sawah, kebun bunga, dan pohon-pohon yang terangkai membentuk satu nuansa yang cocok, birunya langit dan cahaya matahari yang lembut menambah keindahannya. Aku kagum.

       "Bagus kan?" Aidan tersenyum manis, manis sekali. Aku cuma bisa berbalik sembari mengulum bibir bawahku sendiri.

        "Lo kok gak bareng Grace sih? Malah repot-repot bawa gue segala."

       Bagus, sekarang aku terdengar kayak orang yang cemburu abis. Padahal memang iya.

       "Gak, tadi Grace ngeliatin gambar gue mulu. Lo kan tahu gue gak suka, jadi gue nutup tuh buku trus langsung narik lo ke sini," jelas Aidan. "Gue cuma mau ngeredahin emosi aja sebelum gue ngeluarin kata-kata buruk ke anak orang."

       "Grace itu siapa lo?" tanyaku ragu-ragu.

       "Grace? Dia teman lama gue," jawab Aidan singkat.

       "Gak lebih?" tanyaku lagi, Oke, aku mengucapkan itu di luar ke sadaranku.

       "Dulu gue suka Grace waktu SMP, suka banget malahan. Kalau ada yang gangguin dia, gue enggak segan-segan main kekerasan. Grace itu cantik, baik, juga lucu. Tapi dia bukan untuk gue lagi, terakhir gue liat dia udah punya cowok. Tapi sekarang, gue enggak bakalan ganggu dia," jelas Aidan panjang lebar.

       Hatiku serasa mencelos, tanganku yang bergetar kumasukkan ke dalam  saku rok agar ia tidak tahu.

    Mataku terasa panas, dengan susah payah aku berkedip berakali-kali.

     Itu reaksi paling tolol untuk seharian ini.

      "Ta-tapi kalau Grace mau kembali ke lo?" sial, aku terbata.

       Aidan tersenyum sendu, mendongak memandang langit, ia terdiam.

      "Gue balik dulu ya, bentar lagi masuk." Aku perlahan berbalik.

       Aidan menahanku. "Lo di sini, bareng gue sampai pelajaran pertama selesai," kata Aidan.

        Aku menahan suaraku yang mulai bergetar. "Bolos bareng?" Aku menutup wajahku dengan rambut sebelah kanan. Dapat kurasakan Aidan mengangguk membenarkan.

       Aku menggigit bibirku hingga perih menyeruak, tanganku kutautkan, masih bergerak dengan jempol yang tak karuan.

        Tapi untung saja fisikku masih bertahan, pipiku kering. Aidan merilekskan badannya, aku masih di posisi yang sama, tidak berubah.

       Kami berdiam diri, Aidan masih dengan perasaannya yang damai. Sedangkan aku bungkam. Menahan sedih dalam diam, tanpa Aidan sendiri tahu.

                         ***

     Aku berjalan lesu, menatap sepatu converse yang dulu kupakai bersama Aidan ke festival, sekarang sudah jam pulang.

       "Anya!" teriakan maut Kira langsung membuatku mendelik ke asal suara. "Astaga, lo kok gak masuk pelajaran terakhir? Gue nyariin lo ke mana-mana, hayo, lo bolos bareng Aidan ya? Satu kelas curiga, anak cowok-cewek terpintar kok bersamaan gak masuk? Lo kemana aja?" Kira menghujamku dengan pertanyaan-pertanyaanya.

       Aku terdiam, tenggorokanku sakit.

       "Oh, maafin gue." Kira mengerti aku butuh sendiri.

       "Kira!" suara itu mampu membuatku terlonjak, itu suara Dino dari koridor, ini bagian dari rencanaku dengan cowok itu. Aku jinjit sedikit, lalu berkedip kepada Dino, memberi kode bahwa Kira sedang goodmood. Barulah Dino, menyapa dan berjalan menuju Kira yang masih membeku.

     Aku tahu situasi kok, jadi aku meninggalkan mereka. Katanya Dino mau mengajak Kira makan cupcake di cafe, aku harap mereka senang.

       Di gerbang sekolah, sudah tidak ada orang lagi. Hanya aku sendiri, langit sore mulai menggelap.

       Tapi aku menyadari bahwa aku ternyata tidak sendiri, kulihat Grace duduk di depan kios kecil di seberang sekolah.

     Apa aku seharusnya pergi ke sana?

      Namun sebelum aku bingung menentukan pilihan, Grace sudah melambaikan tangannya ke arahku. Jari-jarinya yang lentik bergerak-gerak memanggilku.

     Aku segera menyeberang, lalu menghampirinya. Aku duduk di kursi kecil yang dekat dengan tempat duduk Grace.

     "Kamu tidak pulang?" tanya Grace dengan bahasa baku. Wah, selain cantik, cewek ini juga lembut dan ramah. Pantas saja Aidan dulu--maksudku masih suka padanya.

      "Ah, iya, lagi nunggu jemputan. Kamu?" kataku bohong, berusaha seramah mungkin. Basa-basi dulu baru langsung bertanya.

     "Aku juga sama, tapi belum datang dari tadi." Grace tersenyum manis.

     "Grace, aku mau nanya sesuatu." Aku memberanikan diri.

     "Mau tanya apa?" tanya Grace lembut.

     "A-apa hubungan lo dengan Aidan?" tanyaku hati-hati.

      Grace terdiam sejenak, "Aidan itu sudah bisa kuanggap kakak, tapi dia menyayangiku lebih dari sekedar itu. Aidan itu cowok yang baik, perhatian, dan lucu. Kalau aku di dekatnya, aku merasa nyaman. Sampai lama kelamaan ada cowok yang menyatakan perasaanya padaku, Dino namanya. Di situ Aidan marah besar, lalu dia sama Dino berkelahi habis-habisan.

     "Tapi Aidan kalah, ia babak belur, wajahnya luka-luka, namun ia masih mau berkelahi, sampai akhirnya dia ambruk. Aku sampai menangis saat menerima hadiah terakhir sebelum pergi ke London dari Aidan, cincin perak." Grace menggerakkan jarinya yang dipasangi cincin.

       Tenggorokanku yang sakit serasa tercekat lagi, mungkin aku akan terbata jika berbicara.

      Semua ini benar-benar tiba-tiba. Rasanya hari-hari kemarin seperti berlari kencang sekali seperti ingin terbang rasanya, lalu tanpa pertanda apa pun, jalanan yang ditapak langsung membawa ke arah persimpangan yang tidak lagi lurus. 

       "Ka-kalau Aidan mau kembali ke kamu, kamu bakal nerima dia lagi gak, Grace?" tanyaku, suaraku serak bukan main.

        "Iya, aku terima. Aku masih menyukai Aidan."

        Bunyi dari geseran kursiku terdengar, aku bangkit dari dudukku.

       "Gue balik ya Grace, makasih udah mau nemenin gue ngobrol," ucapku parau, aku segera berbalik dan berjalan menjauh, tidak menghiraukan panggilan Grace.

      Air dari pelupuk mataku kian penuh, tapi tidak jatuh. Aku tidak mau menangis. Terkutuklah semua kejadian-kejadian lucu yang pernah kami alami di masa lalu dan masih tidak hilang di kepalaku. Kuucapkan serangkaian sumpah serapah sambil sesekali mengusap pipi.

       Tanganku kukepal keras-keras, aku ingin sekali terduduk dan membenamkan mataku ke telapak tangan.

     Aku kesal dengan kebodohan yang kuperbuat.

       Anya yang bodoh karena tidak bisa berbuat apa-apa tak peduli seberapa kecewa dirinya.

-

       "Kalau dia mau balik ke lo lagi, lo bakalan nerima dia gak?"
 
      Aidan cuma tersenyum memandang langit.

-

      "Kalau dia ingin kembali ke kamu, kamu bakal nerima dia lagi gak, Grace?"

       "Iya, aku terima, aku masih menyukai Aidan."

-

       Aku merasa seperti orang bodoh yang menjadi figuran penghancur di kisah roman antara dua orang yang saling menyimpan rasa.

      Aku meremas dua kertas sketsa yang sedari tadi kupegang. Gadis dua dimensi itu.

     Apa aku masih harus mencari tahu lagi? semuanya jelas.

      Namun tiba-tiba, langkah lesuku tiba-tiba terhenti begitu kurasakan genggaman seseorang di pergelangan tanganku.

     Aku mendongak dan terkejut begitu melihat siapa orang itu.

                        ***

  Jangan kesal sama Aidan, Grace, atau Anya ya hehe. Masing-masing punya rahasia dan masing-masing juga punya hal tersendiri yang mereka tidak tahu dari pemikiran tokoh tokoh di sekelilingnya.

Hope you guys got the feelings!🍭✨

With joy,
Lycha

Continue Reading

You'll Also Like

57.7K 2.4K 44
Sebenernya, happy ending itu ada beneran gak sih? Apa karma benar - benar nyata? Apa kehidupan yang di novel - novel itu beneran ada? Yang selalu ber...
36.9K 3.9K 49
Tentang seorang gadis bernama Ruina yang harus menjalani hukumannya ke Moskow, Rusia untuk melanjutkan pendidikannya. Keputusan sang Papa itu bukan h...
266K 8.7K 38
WAJIB FOLLOW SEBELUM BACA! COMPLETE ✅ HR #72 in Fanfiction 17/05/2018 Ketidak tahuanya akan maksud buruk dari lelaki yang menikahinya, membuatnya har...
49.7K 5.4K 34
Semua orang benci ditinggalkan tanpa permisi. Semua orang tak suka dibiarkan tanpa aba-aba. Semua orang muak diabaikan tanpa alasan. Begitu pula deng...