Sketcher's Secret

By lychadiva

231K 18.5K 1.2K

(Completed) Bagi orang-orang lain, Aidan itu; -Cakep -Suka musik dan basket -Agak pendiam -Suka bawa buku ske... More

Prolog
Satu|Loker
Dua|Hujan
Tiga|Sketsa Pertama
Lima|Festival Kembang Api (2)
Enam|Sketsa Baru
Tujuh|Tekad Anya
Delapan|Teman Lama
Sembilan|Berubah
Sepuluh|Amarah
Sebelas|Kenyataan(1)
Dua Belas|Kenyataan(2)
Tiga Belas|Sepatu dan Jas Hujan
Empat Belas|Manis
Lima Belas|Misterius
Enam Belas|Sketsa yang Jatuh
Tujuh Belas|Tersembunyi
Delapan Belas|Surat
Sembilan Belas|Target
Dua puluh|Misi (1)
Dua Puluh Satu|Misi (2)
Dua Puluh Dua|Rasa
Dua Puluh Tiga|Kesalahan
Dua Puluh Empat|Waktu
Dua Puluh Lima|Momen
Dua Puluh Enam|Hilang
Dua Puluh Tujuh|Hitam Putih
Dua Puluh Delapan|Dokumen
Dua Puluh Sembilan|Lima Lembar
Tiga Puluh|1095 days of Kira and Dino.
Tiga Puluh Satu | 1095 Days of Anya and Aidan
Tiga Puluh Dua| Akhir yang Baru
Epilog
Hai!

Empat|Festival Kembang Api (1)

6.9K 685 19
By lychadiva


     Gambar dalam sketsa itu terlihat tidak asing, sangat tidak asing. Tertera goresan-goresan hitam yang membentuk suatu gambar.

    Gambar seorang gadis dari belakang, gadis dua dimensi yang setiap helai rambutnya digambar dengan sangat detail, begitu niat, seluruh unsur gambar itu seakan mencerminkan emosi dan pikiran si penggambar.

    Seakan kertas sketsa itu adalah helaian yang berisi imajinasi dan pemikiran, sebuah media yang memberikan begitu banyak kesan tersendiri.

     Goresan pensil itu membentuk seorang gadis muda yang sedang berdiri, bahunya disandarkan ke sebatang pohon. Rambutnya yang terlihat begitu nyata menambah kesempurnaan gambar tak berwarna itu. Dan satu hal lagi yang tidak luput dari pandanganku, seragam yang dikenakannya adalah seragam sekolahku.

     Apa gadis ini nyata? Apa gadis ini adalah murid di sekolahku? Kenapa gambar gadis itu terlihat sangat tidak asing? Kenapa gambar sebagus ini dibuang? Siapa yang menggambar sketsa ini?

    Itulah pertanyaan yang mendesak-desak otakku untuk mencari jawaban dari semuanya. Untuk pertanyaan terakhir, apa mungkin Aidan? Tapi jawaban itu tidak bisa dianggap benar dulu. Dari ribuan anak di SMA Pelita Bangsa, bukan cuma Aidan yang bisa menggambar sketsa.

     Tiba-tiba nada dering ponselku terdengar, membuat permukaan meja belajarku bergetar. Aku menggeser Layarnya, terlihat nama kontak pemanggil yang langsung membuat mataku melotot sempurna.

     Panjang umur. lagi.

     Aidan meneleponku.

     Sebelum menjawabnya, aku berdeham terlebih dahulu, memastikan agar suaraku tidak terdengar serak.

     "Woy, Anya!" Terdengar suara mendesak dari seberang sana, membuatku langsung  menjauhkan ponsel dari telinga.

     "Gak pake teriak,  apaan?" tanyaku heran.

    "Gue nemu dompet warna biru muda di sela-sela sofa, itu dompet lo?" Tanyanya kemudian, aku langsung bangkit dari dudukku dengan penuh semangat.

     "Iya itu dompet gue! Duh, kirain jatuh atau dicuri orang, ternyata ketinggalan di situ." Aku mengusap dada lega.

    "Makanya, lain kali kalau baru bangun tidur di rumah orang, tenangin otak dulu," Aidan meledek.  "Jangan baru bangun langsung ngedesak minta diantar pulang.

     Mendengar itu, pipiku langsung panas sampe ke ujung-ujungnya.

    Cowok itu bahkan bisa membuatku serasa ingin membenturkan dahi ke atas meja bahkan ketika mendengar suaranya saja.

     "Kan gue gak  minta dianterin," Lama-lama aku kesal juga. "Gue ke rumah lo ya, cuman pengen ngambil dompet," kataku kemudian.

     "Eh, eh gue aja yang ke rumah lo. Sekalian pengen keluar rumah, bosan," ucap Aidan dengan nada memohon, aku terkekeh mendengar suaranya. "Ehem, lo, ehm lo...,"

     Aku mengernyitkan alis mendengar suara Aidan yang entah kenapa langsung terbata-bata. "Apa?"

     "Ehem, lo, eh-lo ganti baju ya." Lalu sambungan terputus.

     Aku menatap layar ponsel lalu tersenyum mengingat Aidan yang seperti salah-salah tingkah di akhir percakapan.

     1 detik

     2 detik

    Eh?

    Hah?! Aidan mau datang ke sini?! 

    Aku mengutuk kelemotanku. Buru-buru aku menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi untuk mandi sore, ku acak-acak pakaianku, entah kenapa kali ini aku tidak menemukan pakaian yang kupikir pas. 

     Sampai aku menemukan sweater warna peach dan jeans pendek serta sepasang sepatu converse yang kubeli tahun lalu.

     Tidak lupa aku mengantongi sketsa itu, entah kenapa aku merasa membutuhkannya. Siapa tahu nanti ada kesempatan untuk tahu dia yang menggambari kertas itu atau bukan.

     Bunyi bel dari lantai bawah terdengar, buru-buru aku menuruni tangga dan segera membuka pintu. Benar saja, Aidan di berdiri di sana, membuatku membeku seketika. Aidan terlihat begitu keren dengan penampilan casual yang simpel, dengan kaos warna gelap dibalut jaket yang warnanya senada dengan kaosnya. Belum lagi celana jeans panjang dan sepatu converse yang sama dengan punyaku, hanya saja warnanya berbeda.

    Aku benar-benar terpaku.

     Aidan melihatku dari atas sampai bawah, lalu ia tersenyum.

     Oh God.

     "Kenapa ngeliat gue sambil bengong gitu?" Aidan menyentil dahiku sembari terkekeh.

     "Um, eh, dompet gue mana?" Tanyaku, jangan sampai Aidan tahu bahwa tadi aku terpaku melihatnya.

      "Dom- eh  iya!" Aidan menepuk dahi, aku menatapnya heran "Gue lupa, astaga kenapa gue bisa lupa?" Aidan menjambak rambutnya sendiri.

      "Lo gimana sih? Kok lo bisa lupa 'inti'nya?" tanyaku, heran

     "Gue juga gak tahu, kita balik ke rumah gue trus gue antar lo pulang lagi, gimana?" tawar Aidan.

      Aku berpikir sejenak, tidak apa-apa deh, toh orang tuaku sedang pergi ke luar kota. "Oke, kalau gitu." Aku mengangguk.

     Aku segera mengekori Aidan keluar rumah setelah mengunci pintu, kunci itu kuletakkan di dalam tasku. Aku terkejut ketika mendapati mobil berwarna hitam terparkir di depan rumahku.

     "Aidan? Lo ke sini naik mobil?" Tanyaku, Aidan mengangguk sembari membuka pintu mobil untukku. "Bener-bener ya lo ribet banget. Udah dompet gue kelupaan segala!"

      "Iya sori-sori gue buru-buru banget tadi soalnya temen Reza mau datang, gue males aja basa-basi kalau ketemu mereka, mungkin waktu ngambil kunci mobil, gue taro gak tau di mana dan kelupaan. Oh, dan motor gue lagi di bengkel."

      "Oh, kirain lo mau nyulik gue,"  kataku sembari fokus ke warna mobil itu, aku bermaksud bercanda. Segera kubuka pintu mobil dan duduk di jok depan, kututup pintu mobil.

     Aidan memutari mobil hingga duduk di jok sebelah, tepatnya di depan kemudi mobil.

     "Maafin gue Anya." Raut wajah Aidan tiba-tiba berubah menjadi sedih, kepalanya ia tundukkan dalam-dalam.

     "Eh-eh maksud lo apa? Kenapa minta maaf?" Tiba-tiba sekujur tubuhku kaku, pikiranku mulai melayang-layang kemana-mana dan firasat buruk mulai berdatangan.

     Aidan terdiam, raut wajahnya yang sedih berubah menjadi serius. Diinjaknya pedal gas, mendadak mobil melaju kencang, hingga aku terkejut dan terbanting ke depan.

     Seluruh tubuhku bergetar, lidahku kelu. Aku mulai merasa takut, ini menakutkan. Kaca jendela yang tadi terbuka kini bergerak menutup ke atas.

      "Aidan ini gak lucu banget sumpah!" Aku setengah berteriak, Aidan tidak menjawabku. Ia fokus mengendalikan mobil yang kecepatannya kencang bukan main. Sampai-sampai orang yang berada di sekitar kami tidak berani menyalip atau mendahului.

    "Aidan, gue gak suka, lo jangan bercanda!" Gigiku bergemeletuk, kuremas jok mobil, kepalaku mulai pusing.

     Aku benar-benar panik, ini lebih dari sekedar menakutkan. Aku ingin sekali menjerit saat Aidan menaikkan kecepatan mobil, ia masih saja diam tak bersuara. Mengabaikanku yang kini berada di dalam keadaan yang kacau.

     Seharusnya dari tadi aku curiga!

    Aku semakin panik dan takut saat kami berbelok ke arah yang salah--arah yang berlawanan dengan rumah Aidan sendiri.

      "Aidan! Kita mau ke mana?!" Aku benar-benar berteriak. "Kita mau ke mana Aidan?!"

     Aku terguncang-guncang, mobil ini melaju tanpa mengerem sekalipun. Orang-orang yang berlalu lalang diselip, bahkan lampu merah diterobos. Pikiranku kacau, aku tidak bisa lagi memikirkan hal lain "Aidaaan!" Aku berteriak keras.
    
     Tiba-tiba mobil berhenti mendadak, Aku terpental ke depan karena tidak memakai sabuk pengaman. Aku melihat ke depan, memandangi pemandangan tak terduga di luar mobil. p

     Papan toko mengenai informasi rumah makan terpampang jelas.

     Eh?

     "Buruan turun Anya, gue udah laper banget nih." Raut wajah Aidan yang serius terganti menjadi ekspresi menahan tawa, Aidan keluar duluan mendahuluiku.

     Tunggu dulu, aku masih belum mengerti. Kubuka pintu mobil dan mendapati Aidan yang tertawa ngakak di luar, perutnya sampai dipegang.

    "Ahahaha, Anya, Anya lo tuh polos banget ya?" Aidan menyeka air matanya "Ngakak banget muka lo tadi, gue hampir aja ketawa."

     Wajahku merah semua, entah karena marah atau malu. "Jadi tadi lo...," Aku menunjuk Aidan yang masih terbahak-bahak, ia mengangguk. Aku segera berjalan menuju Aidan sambil tersenyum halus.

     TAK! TAK! TAK!

     "Ampun!" Aidan masih saja tertawa walau sudah kujitak tiga kali berturut-turut. "Abis gue keinget mulu waktu lo kayak gini 'Aidan kita mau Kemana? Aidaaan!'" Aidan mengubah suaranya menjadi cewek.

    Aku benar-benar sebal,  dahiku kukerutkan. "Lain kali lo jangan gitu lagi, bahaya!"

    Aidan malah memain-mainkan rambutku. "Iyaaa, maaf," ucap Aidan dengan nada yang memelan. "Lo tuh ya, bisa-bisanya elo nganggep itu serius." Aidan terkekeh geli, degupan jantungku benar-benar melonjak saat Aidan mulai menggandeng tanganku masuk menuju restoran di depan kami.

     "Ya abis kayak real banget,  siapapun pasti bakal percaya lah!" Aku masih cemberut. Sebenarnya aku mengatakan itu untuk meredakan degupan jantungku yang kacau balau, aku benar-benar malu. Sangat.

     Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Percakapan di telepon tadi.

     "Eh tapi kalau dipikir-pikir, anjir! alus banget ya modus lu," ucapku, kini giliranku untuk membuat Aidan salah tingkah seperti ucapannya di telepon tadi. "Pantesan lo nyuruh gue ganti baju, pantesan lo gak bawa dompetnya!"

     Aidan langsung melihat ke arah lain, sambil mengelus belakang lehernya. "Abis gue ngidam rendang di sini," ucapnya, gantian dia yang malu. "Gak ada delivery-nya, terus Reza mau jalan, masa iya gue makan sendiri. Terus gue nemu dompet lu,  jadi ya gue susun rencana dong hehe."

     Aku tertawa kecil. "Langsung bilang aja kali! Jadi orang ribet banget."

     Mendengar itu, Aidan langsung membeku. "Udahlah, Makan dulu kuy, gue laper." Aidan cepat-cepat berbicara, menarik ujung lengang sweaterku.

      Aku melihat punggung Aidan, rambutnya bergerak mengikuti angin sepoi-sepoi.

     Sejak kapan semua jadi begini.

     Aku tersenyum kecil, mengikuti langkahnya.

 
                                                                               ***

      "Lo kecil-kecil gini makannya banyak juga ya." Aidan mulai menancap gas.

     "Tapi kan lo makan lebih banyak." Aku mendadak tegang saat mobil melaju kencang. "Gara-gara lo gue jadi tegang naik mobil lu." Aku mengepalkan tangan, terus melihat ke bawah.

      Aidan terkekeh geli. "Santai aja kali, gue gak bakalan nyulik lo beneran." Aidan memutar musik.

      Aku mulai rileks, kumasukkan tanganku ke dalam saku celana lalu kurasakan sebuah benda di sana.

      Kertas sketsa itu kini kurasakan.

      Oh iya, kertas ini!

     Ingin sekali aku bertanya pada Aidan tentang itu.

     Apa dia yang menggambar sketsa ini? Jika iya, siapa gadis berseragam sekolah yang ia gambar? Apa gadis itu adalau seseorang yang penting baginya?

      Aku menengok ke belakang. Mataku melebar begitu melihat jok mobil di belakang itu tidak kosong, di atasnya tergeletak sebuah buku sketsa yang ukurannya persis sama dengan kertas sketsa yang ada di sakuku.

    Buku sketsa itu.

    Aku ingin sekali tahu tentang sketsa gadis ini, gadis yang sepertinya ada di dunia nyata, gadis yang digambar penuh perasaan, seolah sangat penting bagi si penggambar.

     Aku meraih buku sketsa itu, sebelum tanganku sempat menyentuhnya, mobil berhenti tiba-tiba.

     Membuatku terhempas ke depan sedikit.

      "Tolong jangan buka buku sketsa gue." Aku serasa dijotos saat senyum Aidan pudar, sabuk pengaman ia lepaskan dari tubuhnya "Itu benda pribadi gue."

     Aku meneguk ludah, suasana awkward seketika. "Eh maaf, gue enggak-"

     "Gak usah minta maaf," sela Aidan.

     Deg, Deg, Deg

     "Lo kan gak tahu itu barang pribadi," lanjut Aidan.

      Fyuh, aku menghela nafas lega. "Udah sampai, lo gak mau turun?"

       Eh? Aku sampai tidak sadar bahwa rumah Aidan sudah terlihat jelas di depan mata.

       Kami berdua turun dari mobil. Seperti biasa, jantungku 'loncat' saat Aidan menarik tanganku dan menuntunku ke dalam rumahnya. well, bukan tanganku sih, cuman ujung lengan sweaterku. mungkin dia masih agak awkward semenjak kami dikata-katain Reza waktu itu.

      Tapi terima kasih untuk hari ini, akhirnya aku tahu satu hal.

      Jangan pernah membuka buku sketsa Aidan.

                     ***

     Saat membuka pintu, kami terkejut saat melihat banyak orang duduk di sofa. Reza juga ada di sana, sepertinya orang-orang itu adalah teman-teman Reza.

     "Itu adik gue udah datang." Reza mununjuk Aidan, yang ditunjuk malah diam sambil terheran-heran "Dan cewek di sebelahnya itu te- eh, pacarnya." Reza tertawa renyah.

     "Wah, mereka serasi" salah seorang cowok berkulit coklat berkata, aku cuma bisa senyum.

     Aidan menyikut. "Dia temen gue kak Ren, jangan percaya sama Reza." Aidan tertawa.

        Kemuadian ia mengambil dompet milikku dari atas kursi kecil yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

      "Nih." Aidan menyodorkan dompet itu. "Lain kali hati-hati."

      Aku tertawa kecil "Hehe, iya." Aku mengambil dompet itu dari tangan Aidan. "Sowri."

     Aidan menyentil dahiku, aku mengelus bekas sentilannya sembari menatap Aidan tajam.

     "ih gemes banget." Seorang cewek berambut panjang tersenyum.

      "Ehem," Reza berdehem, teman-temannya tertawa.

       Aidan menggaruk kepalanya yang sepertinya tak gatal, aku menunduk. Menyembunyikan wajahku yang super duper malu.

      "Cukup bercandanya. Aidan, ada sesuatu yang perlu kita tanyain ke lo." salah satu cewek ber-make up tebal bicara. "Jadi kita berdelapan pengen pergi festival kembang api malam ini. tahu, kan? yang terkenal itu loh."

       Aku mengangkat wajah, Aidan duduk di kursi kecil tadi, menarikku untuk duduk juga di kursi sebelahnya.

    Reza berdeham sambil tersenyum penuh arti.

    Sebelum kakaknya menggoda lagi, Aidan buru-buru memotong. "Trus?" Aidan mengerutkan keningnya, aku hanya menyimak.

       "Gini, festival itu bakal ngasih diskon besar kalau pengunjungnya datang bersepuluh," Reza angkat bicara "Sementara kami cuma berdelapan, kalau ditambah kalian berdua kan sepuluh, jadi...." Reza tersenyum penuh arti, lagi.

       Aidan memutar bola matanya.

       "Lo mau gak, Anya?" bisik Aidan tanpa melirikku.

       "Kalau lo?" tanyaku balik.

       "Gue sih bosan di rumah," jawabnya

      "Gue juga sih." Aku mengakui.

      "Oh, ayolah! Kalian kan ke sana bisa sekalian nge-date." Reza menjahili, Aidan langsung mendelik nyolot. "Eh, gue salah bicara ya? Tapi, pokoknya malam ini kalian harus ikut! Titik. Kalau enggak, kalian bakal ngebatalin rencana yang udah ditunggu delapan orang ini!" tegas Reza. "Masa kalian tega."

       Aku dan Aidan saling berpandangan, lalu Aidan tersenyum penuh arti.

       "Yaudah, kami ikut."

                     ***
      
     Chapter ini panjang banget, jadi aku bagi dua.
     Next baca; Festifal Kembang Api(2) ya, hari ini aku kerja rodi:v update dua kali.
     Yang suka tolong hargai dengan vomments. Your vomments really make my day:)
 
With joy,
Lycha


Continue Reading

You'll Also Like

EX By Lev

Teen Fiction

148K 6.5K 45
Dunia itu berputar. Di dunia berlaku yang namanya hukum alam. Artinya, apa yang kau lakukan ke orang, baik atau buruk, suatu hari nanti pasti akan be...
4.3M 255K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
1.5M 55.2K 20
Sebagai perempuan modern yang sukses dalam karier, dijodohkan adalah sesuatu yang sangat konyol dalam hidupku. Tapi ketika aku mulai mengenalnya apak...
356K 14.5K 20
Caliandra Caliandra menutup pintu kamarnya agak keras, dan duduk di depan meja riasnya, " Apa? Lo pikir lo siapa tuan Rayhan? Karena sejujurnya gue s...