Sketcher's Secret

By lychadiva

231K 18.5K 1.2K

(Completed) Bagi orang-orang lain, Aidan itu; -Cakep -Suka musik dan basket -Agak pendiam -Suka bawa buku ske... More

Satu|Loker
Dua|Hujan
Tiga|Sketsa Pertama
Empat|Festival Kembang Api (1)
Lima|Festival Kembang Api (2)
Enam|Sketsa Baru
Tujuh|Tekad Anya
Delapan|Teman Lama
Sembilan|Berubah
Sepuluh|Amarah
Sebelas|Kenyataan(1)
Dua Belas|Kenyataan(2)
Tiga Belas|Sepatu dan Jas Hujan
Empat Belas|Manis
Lima Belas|Misterius
Enam Belas|Sketsa yang Jatuh
Tujuh Belas|Tersembunyi
Delapan Belas|Surat
Sembilan Belas|Target
Dua puluh|Misi (1)
Dua Puluh Satu|Misi (2)
Dua Puluh Dua|Rasa
Dua Puluh Tiga|Kesalahan
Dua Puluh Empat|Waktu
Dua Puluh Lima|Momen
Dua Puluh Enam|Hilang
Dua Puluh Tujuh|Hitam Putih
Dua Puluh Delapan|Dokumen
Dua Puluh Sembilan|Lima Lembar
Tiga Puluh|1095 days of Kira and Dino.
Tiga Puluh Satu | 1095 Days of Anya and Aidan
Tiga Puluh Dua| Akhir yang Baru
Epilog
Hai!

Prolog

22.8K 1.1K 69
By lychadiva

"Anya! Anya! Anya!"

Aku memundurkan pantatku ke belakang begitu melihat teman-temanku melotot ke arahku bak pemangsa. Mereka semua meneriakkan namaku berulang kali, menepuk-nepukkan tangan sambil terus berseru.

"Anya! Anya! Anya!"

Mata mereka makin melotot, menusuk manik mataku yang sudah membulat sempurna. Kumundurkan lagi pantatku ke belakang.

"Ah, curang lo pada! Gue gak mau terima! Pokoknya nih botol pasti udah dipretelin kan?" Aku menepuk lantai.

"Lo jangan ngaco, cepetan jawab pertanyaan gue," celetuk Kira.

Biar kujelaskan sepenggal cerita tentang apa yang terjadi sekarang. Kami sedang mengadakan permainan truth or dare dengan pemain yang banyak, dan bahkan bisa dibilang terlalu banyak.

Sekarang sedang jam kosong, dan tidak ada guru yang masuk. Jadi, di sinilah aku. Duduk di antara lingkaran super besar yang dibentuk oleh teman-temanku yang tengah duduk bersila di lantai.

Tiga puluh tujuh orang yang kurang kerjaan sedang melotot ke arah si sial yang sudah kena giliran sebanyak empat kali berturut-turut, si sial itu tak lain tak bukan adalah aku, Safanya Aluna.

Mungkin aku benar-benar tidak ditakdirkan bermain truth or dare. Bayangkan saja, dari tiga puluh tujuh orang yang duduk di situ, dan botol minum yang jadi panah penentu menunjuk tepat ke arahku.

Empat kali.

Empat dare yang membuatku menjadi pelawak gratisan.

Bayangkan saja, Dare pertama aku diharuskan naik ke atas meja guru dan berteriak  "SUKIRMAN?! AKU MENCINTAIMU!" Sebanyak tiga kali. Siapa itu Sukirman? Guru piket sekolah yang namanya tersohor karena sering modus ke cewek-cewek. Khususnya cebodibek alias cewek bodi bebek.

Dare kampret kedua, aku diharuskan mengganti foto profil instagramku yang cantik dan aesthetic abis menjadi gambar laknat yang ampuh bikin runtuh image seratus persen.  Sampai sekarang aku masih tidak bisa memaafkan Arkam⎯cowok yang mengajukan dare itu padaku.

Dare kampret ketiga, aku diharuskan pergi menembak Pak bujang bergigi tonggos yang biasanya nangkring di depan WC cewek, entah apa yang ia lakukan di sana.

Dare kampret keempat, aku diharuskan sujud syukur di depan ruang guru. Sebagai cewek yang anti-mainstream dan bertanggung jawab, aku dengan berat hati melakukannya.

Namun semua dare yang membuatku terlihat mengenaskan itu tidak separah dengan truth yang baru saja kudapat dari Kira! Sahabatku dari TK sampai SMA.

Dari sini aku belajar, jangan pernah membiarkan sahabatmu mengajukan pertanyaan padamu ketika sedang bermain truth or dare.

Percayalah, aku ini sudah spesialis.

"Siapa cowok yang lo taksir?" ulang Kira, membuatku kembali memundurkan pantat.

Jreng ... Jreng! Pertanyaan legendaris. Mainstream tapi bikin gigit jari.

"Anya! Anya! Anya!" teman-temanku yang sama kampret-nya malah mendorongku ke ujung tanduk. Truth dari Kira memang terdengar biasa saja, tapi bagiku tidak sama sekali, PERIOD

"Gak ada! Udah, kan? Gue udah jujur!" seruku kemudian, itu bohong.

Dan sialnya: Kira tahu itu.

"Oh, jadi lo gak naksir sama siapa-siapa, ya?" tanya Kira sambil mengukir senyum jahat ala sinetron. "Jadi apa ini?!" seru Kira sambil mengangkat selembar kertas biru muda tinggi-tinggi, memperlihatkan kertas itu pada semua orang.

Kampretos numero uno.

Bagaimana ia bisa mendapatkan benda itu?! Habislah.

Aku terbelalak kaget melirik kertas biru muda di tangan Kira itu. Refleks, aku berdiri dari dudukku.

Teman kelasku kompak melirik ke arah kertas itu juga, menerka-nerka apa yang tertulis di sana. Oh tidak, tidak, aku akan habis jika mereka tahu!

Lalu dengan senyum sinetron yang tadi Kira sunggingkan, mereka kembali melempar lirikan ke arahku.

"Lo beneran gak suka sama siapa-siapa?" tanya Kira sembari mengipas lehernya dengan kertas itu.

Red alert.

Aku menelan ludah gugup, bingung mau menjawab apa. Pang-shit! Kalau aku bohong, Kira akan membaca surat itu dan ... tamat sudah riwayat.

"Gak! Gue gak naksir sama siapa-siapa!" seruku spontan, atmosfir berubah menjadi panas dan tegang, hening, tidak ada lagi seruan-seruan aneh.

"Oh jadi gitu, yah. Jadi apa arti dari surat ini?" tanya Kira, membuat seisi kelas yang duduk bersila langsung menoleh ke arahnya. "Ehem, ehem...." Kira mulai berdeham, membuka lipatan kertas di tangannya itu hingga bisa ia baca.

DEG!

"Kamu yang selalu duduk di sana, tidak pernahkah kau sadar bahwa aku telah memperhatikanmu?" Kira terlihat menahan tawa begitu ia membaca satu bait dari surat alay nan pasaran itu, membuat beberapa temanku mesem-mesem. "Aku di sini, selalu menunggumu, melihat segala tingkahmu, menja⎯aduh ampun HAHAHAHA!" Kira akhirnya tertawa terbahak-bahak.

Cewek itu kemudian lanjut membacanya dengan nada hiperbololis seperti sedang jadi narator drama musikal.

Wajahku memerah. Aku mengingat masa-masa di mana aku menulis surat itu, waktu itu, aku sedang berada di titik-titik puncak alay-ku, tahu kan maksudnya? Seperti isi galeri foto kalian waktu masih pakai BlackBerry atau Maxtron Chibi, gimana perasaan kalian pas liat pose-pose jadul kalian di dalam benda itu?

Enek kan? Begitu persis rasanya waktu mendengar ulang isi surat keramat itu.

"Hei, kamu! Kamu yang selalu aku sukai, kamu yang tidak pernah menyadari kehadiranku, tidak bisakah kau menoleh sekali saja! Oh Aid⎯" Kira hampir saja menyebut merek, menyebut namanya.

Tapi tidak! Aku yang masih kepingin menikmati masa SMA dengan reputasi yang aman jaya—tidak akan membiarkannya.

Dengan langkah yang pasti, aku berlari lalu melompat. Waktu seakan melambat, membuat adegan lompatanku bergerak secara slow motion.

"Jangaaaan!" teriakku.

BRUK!

***

"Elo, sih!" Aku mengusap pelipisku yang benjol.

"Elo, tuh! Siapa suruh ngelompat trus nubruk gue? untung aja cuma lo yang pingsan, gue enggak," keluh Kira sembari mengusap ubun-ubunnya yang bengkak.

Kami sekarang sedang duduk di kursi taman sekolah, menikmati jam istirahat di bawah pohon. Taman sekolah ini sejuk dan segar, hamparan rumut hijau tercium segar baunya.

"Cih! Balasan karena udah berani ngambil buku diary beserta surat-suratnya dari loker gue!" Aku merenggut.

"Eleh, balasan, balasan. Lo mau liat balasan gue?" tanya Kira, membuatku menoleh ke arahnya. "Oke, jangan marah ya!" pasti Kira akan berbuat yang tidak-tidak! Aku melirik Aidan yang sedang duduk di kursi taman, tak jauh dari tempat kami duduk.

Tolong jangan bilang dia mau...

"AIDAAAN! ANYA SUKA SAMA LO!" Kira berteriak cukup keras untuk membuat Aidan menoleh dari posisi ganteng nya dan melihat ke arah kami dan Alhamdulillah jadi tambah ganteng.

Eh bentar.

Mendengar namanya disebut, cowok itu berbalik ke arah kami. pandangannya terlepas dari buku sketsa yang sedari tadi ia pegang. Aidan menaikkan alisnya tanda bertanya, melihat pose kami yang seperti saling siksa-menyiksa, membuat cowok itu tersenyum simpul, menampakkan lesung pipinya.

Gila gila gila, Melihatnya senyum seperti itu membuatku lengah, hampir saja aku melepaskan dekapan tanganku dari mulut Kira.

"Apa-apaan sih lo, Kir." Aku masih tetap membungkam mulut ember Kira dengan tanganku.

"Lepasin Anya! Weekk, gue enggak bisa napas!" Kira bersungut-sungut, berusaha meniru suara orang yang tercekik.

"Gue gak bakalan ngelepasin lo." Aku terkekeh "Kecuali kalau lo mau janji enggak bakalan teriak ke Aidan lagi." Aku mulai kasihan padanya, salahnya sih.

"I-iya" cicit Kira, aku langsung melepaskan tanganku.
Sahabatku itu kini sibuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan, lalu seakan tidak kapok, ia melirikku jenaka.

"Lo masih mau gue bikin sesak napas?" ancamku, sekaligus mengalihkan pembicaraan.

"Eh, eh iya bos, gue kapok" Kira mencolek lenganku.

"Anya, gue pergi dulu ya, pengen jajan," ucap Kira. "Lo di sini aja, gue gak mau moment ini lo lewatkan," bisik kira

Hah? Moment apaan dah?

Aku segera melirik ke kursi di mana Aidan duduk tadi, aku mematung begitu melihat cowok itu menatapku penuh selidik.

Deg, deg, deg.

Begitu melihat arah mataku yang sekarang memperhatikannya, cowok itu terlihat agak terkejut lalu memasang senyum simpulnya yang khas.

Demi apa.

Si Kira malah ngacir tidak tahu ke mana, meninggalkanku yang masih tidak tahu harus berbuat apa.

Aku melirik Aidan, syukurlah, dia sudah tidak melihatku lagi. Kini matanya terfokus pada buku sketsanya.

Anjirlah, aku sampai lupa senyum balik.

Di dalam hati aku tersenyum girang. Ketika Aidan tersenyum, aku sudah cukup senang. Aku suka Aidan, walau sebenarnya kami tidak terlalu dekat. Aidan selalu dingin pada siapa saja, ia cuma bicara seperlunya saja. Entah kenapa ia tadi bisa tersenyum seperti itu padaku. Pada orang asing yang tidak ia kenal.

Aku tersenyum kecil, memperhatikan Aidan yang sibuk berkutat dengan buku sketsanya.

Tanganku mulai bergerak, menuangkan semua imajinasiku ke dalam sebuah cerita.

Aku harap aku bisa dekat dengan cowok berambut cokelat itu.

Tapi aku tidak akan memaksakan diri, bukannya hal itu akan membuatku semakin terjatuh? Walau ceroboh, aku masih punya pemikiran yang lumayan realistis.

Kalau soal rasa ke Aidan, sudah lama sekali dan belum sekalipun hilang, heran juga kenapa. Tapi daripada menanggung resiko, aku memilih untuk diam dan tidak menunjukkan apa-apa. Klasik sekali, ya mau bagaimana lagi?

Orang bilang: payah jika tidak mengambil resiko. Namun mereka tidak tahu bahwa resiko tidak sesepele itu.

Jika aku dan Aidan memang harus dekat, aku cukup melihatnya datang, dan melihat alasannya. Lalu aku akan memulai.

Dengan caraku sendiri.

***

Kupandang sekeliling, sekolah sudah mulai sepi. Murid-murid lain sudah pulang. Aku agak sedikit terlambat karena tadi aku menyelesaikan ketikan cerita yang nanggung jika tidak dilanjutkan di saat itu juga. Aku takut ideku yang tadinya ada, menjadi hilang karena kutunda pengerjaannya.

Aku berjalan menyusuri koridor yang sepi dan agak gelap. Langkahku berderap dan menggema seiring mataku mencari lokerku yang berlawanan dengan pintu keluar, aku masih harus menyimpan barangku di dalam sana.

Namun tiba-tiba mataku menangkap sesuatu: tak jauh dari tempatku berdiri, kulihat seorang laki-laki bertubuh tinggi yang sangat familiar sedang berdiri, diam, menyelidik, memandang lokerku dengan tatapan bertanya-tanya, tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya.

Aku menahan napas lalu segera bersembunyi di balik salah satu celah di antara loker-loker. menyembulkan kepalaku sedikit agar bisa melihat apa yang cowok itu lakukan. Sama seperti tadi, cowok itu masih saja terlihat seperti mengamati dan mempelajari detailnya.

Jantungku berpacu bercampur rasa penasaran.

Apa yang sedang ia lakukan di sana? Rasa penasaanku membuncah, aku menyipitkan mataku dan pikiranku semakin melayang ke mana-mana.

Kenapa dia memperhatikan lokerku begitu lekat? Akhirnya cowok yang wajahnya tak terlalu jelas itu pergi dari sana. Melangkah menjauh dari loker yang tadi ia pandangi.

Ia melangkah semakin dekat ke arah tempat persembunyianku, hendak menuju ke arah pintu keluar.

Di satu sisi otakku berkata: ya, bagus mendekatlah jadi aku bisa melihat jelas wajahmu! Di sisi lain: anjir, anjir, gimana kalau aku ketahuan sembunyi? kan canggung!

Namun kenyataan yang menyatakan tempatku bersemubunyi ini adalah celah yang cukup gelap, membuat panikku sedikit mereda.

Langkahnya terdengar semakin keras, dan itu artinya semakin dekat. Sial, tanganku sampai bergetar karena gugup.

Ketika instingku bilang cowok itu tepat di sampingku, aku meliriknya.

Lalu mataku melebar begitu melihat wajah cowok itu dari samping.

Aidan.

Setelah beberapa menit, aku keluar dari tempatku bersembunyi, dalam hati lega tidak ketahuan, namun gelisah karena rasa penasaran yang tidak terjawab.

Aku melangkah menuju lokerku sendiri, lalu kubuka kuncinya. Perlahan, kutarik gagangnya, lalu kuperiksa isinya

Hah? Tidak ada yang hilang kok. Tidak ada juga benda asing. Tidak ada yang berubah dari lokerku.

Jadi, Sebenarnya apa yang tadi ia lakukan?

***

Sabtu, 19 Desember 2015

Hai! ini ada cerita baru
Ini memang masih permulaan, yah maklum kalau agak flat. tapi scroll aja ke bawah dulu, go check chapter one;)
Jangan lupa vomments, tolong hargai usaha penulis dengan satu tap ke tombol bintang di pojokan itu*maksa 

Regards,

Lycha











Continue Reading

You'll Also Like

52.3K 7.8K 38
Yara Sahira adalah penggemar novel romantis nomor satu di dunia! (kata Alif) Namun karena keseringan ketemu ending cerita yang gak sesuai keinginanny...
172K 15.1K 53
{Romance-Komedi}~Bahasa santai, Enjoy this story guys😉 Judul Awal Aiby's little life. #Dosenseries "Pulang kemana pak? Ke rumah kita?" "Memangnya sa...
266K 8.7K 38
WAJIB FOLLOW SEBELUM BACA! COMPLETE ✅ HR #72 in Fanfiction 17/05/2018 Ketidak tahuanya akan maksud buruk dari lelaki yang menikahinya, membuatnya har...
EX By Lev

Teen Fiction

148K 6.5K 45
Dunia itu berputar. Di dunia berlaku yang namanya hukum alam. Artinya, apa yang kau lakukan ke orang, baik atau buruk, suatu hari nanti pasti akan be...