Shadow Kiss [Completed]

By Faradisme

5.7M 420K 22.9K

(Proses Penerbitan) Alicia tidak pernah mengira jika mimpi aneh yang sering mendatanginya berarti sesuatu. M... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 34
Part 35
PRE ORDER NOVEL SHADOW

Part 9

154K 12.8K 827
By Faradisme


“Aku akan menghangatkanmu.”

Entah karena hawa dingin yang serasa semakin menusuk hingga ketulang, atau karena tatapan tajam Damian saat ini, atau karena debaran dadaku yang menggila, aku tak tau pasti yang mana penyebab diriku hampir menjatuhkan mulutku diantara kedua tanganku yang bertaut kencang.

Tangan Damian masih bertengger di leherku sebelum turun menuruni sisi bahu dan lenganku. Rasanya telapak tangannya seperti memiliki aliran listrik statis dimana setiap kali ia menyentuhku memberi sengatan dipermukaan kulitku. Lucunya, itu membuatku ketagihan disentuh olehnya.

Tangannya berhenti di tanganku yang sedang bergetar. Mungkin ini kali kedua dimana sentuhannya membuatku begitu gugup hingga ingin berlari mengelilingi rumah ini dan meneriakkan namanya.
Diangkatnya tanganku menuju wajahnya. Mendekati bibirnya. Dapat kurasakan hembusan nafasnya menerpa permukaan kulitku ketika sebuah ketukan di kaca mobil menyadarkanku, dan Damian.

Oh really?

Sial.

“Kalian akan turun atau bagaimana?” Alec mencoba menajamkan matanya, mengintip melalui kaca untuk bisa melihat kedalam mobil. Aku segera menarik lepas tanganku dari Damian. Mengatur ekspresi dan nafasku. Damian hanya menghela nafas kasar lalu membuka pintu mobil dan mengelilinginya untuk membukakan pintuku.

Alec tersenyum riang seperti biasa. Jangan salahkan ia jika kehadirannya sangat tidak tepat. Maksudku, apa yang hendak dilakukan Damian tadi? Ucapan dan tatapannya saja sudah lebih dari cukup untuk membakarku.

Sudut hatiku melompat riang tatkala memikirkannya.

Aku bergegas naik untuk membersihkan diri secepat yang kubisa dan segera turun untuk makan malam. Rasanya aku bisa menghabiskan  apapun sekarang.

Alec membuat makan malam yang sudah tertata rapi dimeja makan. Kulihat Damian sudah ada disana dengan rambut acak-acakan sehabis mandinya. Damian menarikkan salah satu  kursi untukku tepat disampingnya. Sedangkan Alec memilih kursi berhadapan denganku dan Damian.

“kau baik-baik saja Alice? Aku sudah dengar cerita penyerangan tadi pagi dari Damian. Aku sungguh menyesal kau harus mengalami itu.” Ucapnya ketika disuapan ketigaku. Dengusan Damian terdengar terlalu keras sehingga membuatku menoleh kearahnya. Ia menatap Alec tajam sesaat dan menoleh padaku tersenyum. Membuatku berpikir jika lagi-lagi ia bicara pada Alec dengan diam. Seperti sedang ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Ia selalu menyembunyikan banyak hal.

“Aku baik-baik saja. Untungnya Damian datang tepat pada waktunya. Kalau tidak, mungkin aku tak bisa memuji makananmu saat ini. Ini enak sekali.” Aku kembali memasukkan kentang tumbuk dan potongan daging kedalam mulut.

Disamping karena aku memang lapar, mengingat aku tidak sarapan dengan layak tadi pagi dan melewatkan makan siangku, masakan Alec memang sangat enak. Sebut saja sekelas restoran jika kalian ingin membayangkannya.

“Baguslah. Aku sempat panik saat mengetahui ada iblis berhasil masuk dan menyerangmu. Itu tidak seharusnya terjadi. Aku tidak mengira jika iblis bisa masuk sejauh itu kedalam hutan. Aku harap kau tak ketakutan sekarang.” Ucapnya sambil kembali kepiringnya. Aku mengerut bingung. Apakah seharusnya iblis tak bisa masuk? Kurasa Alec melihat kebingunganku karena ia kembali melanjutkan.

“Hutan ini dilindungi sebuah mantra pengikat iblis. Tidak ada satupun iblis yang bisa masuk tanpa ijin dariku ataupun Damian. Mantra itu dipasang di sekeliling hutan tepat dengan aliran sungai yang mengelilingi hutan. Melihat jarak kedatangannya dari perbatasan sungai, iblis itu tak masuk terlalu jauh dari lingkaran yang kami buat. Sepertinya ia mencoba masuk secara paksa dan sayangnya berhasil.”

Sekarang rasa laparku akan makanan berganti dengan keingintahuan yang kuat akan cerita Alec barusan. Telingaku seperti ditumbuhi antena tinggi karena berusaha menangkap apapun yang akan dikatakan Alec selanjutnya. Hal yang langsung disadari oleh Damian. Damian menahan tanganku yang akan melepaskan garpu.

“Habiskan makananmu.”

“Aku akan menghabiskannya..” setelah cerita Alec selesai.

“kau tidak tertarik lagi dengan makanan itu.” Ucapnya yang seperti sebuah pernyataan bagiku.

“Aku hanya ingin tahu.”

“Maka, habiskan makananmu dulu.” Aku mengerucutkan bibir kearah Damian lalu memandang Alec. “Kau bisa melanjutkan ceritamu Alec, kenapa hutan ini di kelilingi mantra pelindung?”

Damian memutat matanya sedangkan Alrc terkekeh. Alec kembali akan bicara namun gagal karena dipotong Damian. “Habiskan makananmu.” Ulangnya lagi kali ini dengan penekanan disetiap katanya. Damian menoleh pada Alec sekilas yang sedang menyeringai. “Aku yang akan menceritakannya padamu. Setelah kau selesai dengan makanan itu.”

Dia mulai lagi.

“Aku ragu, apa yang Alec ceritakan akan sama dengan apa yang kau ceritakan.” Ucapku asal sambil menusuk sepotong daging dengan kesal dan menelannya dalam satu gigitan. Ternyata walau tidak lapar lagi, namun perutku tak menolak makanan lezat.

“Apakah hanya perasaanku saja atau kau tadi menyebutku pembohong?”

“Hanya perasaanmu saja, Tuan.” Aku menoleh dan menjulurkan lidah padanya. Ia terkekeh dan menarik ujung rambutku. Membuat kepalaku bergoyang kearahnya. Tidak keras, tapi tetap saja sakit. Aku melotot kearahnya. Kusikut lengannya yang hendak menyuap sepotong daging. Membuat daging di ujung garpu itu jatuh keatas meja. Di luar piring miliknya.

“Aku tak melakukannya.” Aku mengedikkan bahu dengan wajah tak bersalah dan kembali makan.
Dapat kudengar Alec tertawa geli di seberang meja.

“Kalian terlihat sangat serasi, seperti sepasang kekasih saja. Membuatku iri.“

Kekasih?

”Sebaiknya aku pergi, sebelum aku mengasihani diriku sendiri karena melihat kemesraan kalian.”

“Kami tidak mesra!" Ucapku lantang.

yes, we are.” Ucap Damian disaat yang bersamaan.

Aku menoleh padanya. Ia tersenyum miring seolah membenarkan apa yang tadi dikatakan Alec.

Alec tertawa berusaha menarik perhatian aku dan Damian yang tengah beradu pandang. Aku melotot sedangkan Damian menatapku geli. Sialan sekali laki-laki ini.

Untung tampan!

“Damian, malam ini aku akan kembali ke sarang. Ada sesuatu yang harus kukerjakan. Kau tidak keberatan bukan untuk menjaga tempat ini sementara waktu.”

“Tidak masalah. Itu yang selalu kulakukan selama ini bukan. Lagipula perbatasan sudah dilapisi mantra baru. Aku yakin tidak akan ada iblis yang bisa mendobraknya lagi.”

Alec mengangguk. Memberi senyum dan mengucapkan selamat tinggal padaku. Ia berjalan menuju tangga sesaat setelah ia menoleh pada Damian dan aku yang masih berada dimeja makan.

“Hei kalian. Usahakan untuk tidak saling membunuh. Aku tidak ingin saat pulang nanti menemukan salah satu dari kalian tergeletak dilantai indahku.” Ia tertawa geli akan candaannya sendiri dan menghilang diujung tangga.

Sepeninggal Alec entah kenapa tidak ada percakapan lain antara aku dan Damian. Sampai piringku kosongpun tidak ada suara apapun dari kami selain bunyi gelas dan garpu yang berdenting. Heran bagaimana suasana akrab tadi menghilang dan digantikan dengan kebisuan.  Seakan kegugupan menyergapku sama halnya seperti dimobil tadi.

“ikut aku.” Damian tiba-tiba berdiri dan meraih lenganku.  Kami menuju area belakang rumah. Melewati sebuah pintu kaca besar dan berhenti di balkon bata yang melengkung sepanjang teras. Di ujung balkon terdapat pilar besar yang ditumbuhi rumput menjalar tak teurus. Dikedua sisi teras ini juga terdapat tangga yang menuju halaman di hadapan kami.

Jika pada siang hari, halaman di belakang rumah ini terlihat gersang dan tak terurus, banyak rumput-rumput liar yang memenuhi hampir seluruh halaman. Pot-pot bunga jatuh berserakan tak beraturan. Sangat berantakan untuk dikatakan sebuah taman. Padahal aku berani bertaruh jika ada yang mengurusnya maka halaman ini bisa sangat indah.

Dan jika malam tiba halaman belakang ini akan terlihat seperti tempat yang bagus untuk dijadikan tempat pembunuhan berantai atau sejenisnya. Aku menyebutnya begitu karena hanya gelap pekat yang terlihat. Tidak ada penerangan sama sekali sehingga seperti sebuah tirai hitam yang tak terdapat apa-apa disana.

Jika bukan karena ada Damian, mungkin aku tak akan mau berdiri disini.

Damian berdiri menghadapku tanpa terganggu dengan seberapa menyeramkannya tempat ini sekarang. Ia menatapku dan menyenderkan sikunya dibalkon.

“Aku ingin minta maaf.” Damian menatapku seksama dimana aku sedang berusaha tampak biasa saja.

“untuk?”

“aku minta maaf karena berteriak padamu tadi pagi. Aku tak tau apa yang kulakukan. Aku panik ketika tidak menemukanmu dimanapun. Lalu aku menemukanmu jauh dari rumah, baru saja diserang oleh iblis dan tak berdaya ditanah. Itu membuatku tak bisa menahan emosiku yang tiba-tiba meledak. Tidak seharusnya aku melimpahkannya padamu dengan berteriak.“

Damian menatapku intens. Seperti disetiap akhir kata yang ia ucapkan menggantung kesungguhan akan penyesalannya. Namun fokusku justru berhenti di matanya.

Dia meminta maaf disaat aku justru kabur darinya, tidak mendengarkan apa yang ia katakan, hampir celaka karena serangan iblis, dan ia masih meminta maaf?

“Aku rasa aku yang perlu mengatakan ini. Tidak seharusnya aku kabur begitu saja.”

Damian tersenyum. Tatapannya lembut lalu mengusap kepalaku. Melangkah lebih dekat padaku yang mana membuatku seketika waspada.

“Tubuhmu masih dingin?” tanyanya tiba-tiba. Pertanyaan di luar perkiraanku. Sepertinya ia tak perlu jawabanku karena sekarang ia tengah mengelus pipiku. Merasakan suhu disana sama seperti yang ia lakukan sebelumnya didalam mobil. Tanpa perintah tubuhku bereaksi akan sentuhannya. Ujung jarinya mengelus tulang pipiku, turun hingga kedagu.

Sesaat, hanya sesaat aku seperti melihatnya menjatuhkan tatapan kearah bibirku. Membuatku tak kuasa untuk menarik nafas dalam hanya karena pengamatan terlampau intensnya.

Ujung jarinya jatuh disisi leherku. Mengelusnya perlahan menuju sisi lenganku hingga mengenggam telapak tanganku, lalu di bawanya tanganku kearah wajahnya. Diambilnya tanganku yang lain dan ditangkupnya jadi satu, sedangkan tangan besarnya menangkup keseluruhan tanganku yang terlihat kecil dalam genggamannya.

Damian mengelus punggung tanganku maju mundur seperti ingin menciptakan api disana. Lalu dia menarik tanganku keatas, sejajar dengan bibirnya dan meniupkan hawa panas pada genggaman tanganku. Reflex aku menarik tanganku karena terkejut akan sapuan tiupannya. Namun Damian menahan tanganku.

Tanganku diterpa hangatnya nafas serta tiupan panas dari mulutnya. Memberiku rasa hangat yang berlebihan dari pada seharusnya. Matanya tak meninggalkan mataku ketika bibirku terbuka, bukan karena melihat bagaimana bibirnya meniup disana, namun karena sesekali bibirnya tak sengaja bersentuhan dengan punggung tangganku. Itu jauh lebih panas dari pada hawa hangat yang coba ia berikan.

Bahkan kini seluruh tubuhku bergetar hanya karena kedua tanganku tak berdaya di dalam dekapan tangannya. Damian masih mengusap pungung tanganku disela tiupannya. Seperti ingin membuatku bertambah hangat dan berhasil, seluruh tubuhku memanas.

Tiba-tiba, bibirnya berhenti meniup dan kini mengecup lembut buku-buku jariku yang terkait.

Benarkah sebuah ciuman ditangan bisa seintens ini. Aku merasa kakiku lemah seperti jeli. Bibirnya berada disela-sela jariku yang tergenggam olehnya. Diciumnya setiap sudut ruas jariku. Di bebaskanya pergelanan tanganku, bukan untuk dilepas namun untuk mengecup ujung-ujung jariku. Bisa kurasakan kelembutan bibirnya diujung jariku.

Dijalankanya ciumannya di seluruh permukaan kulit jariku yang bergetar. Bahkan kini lidahnya ikut menari diujung jariku. Membuatku tersengat.

Insting primitif mendorongku untuk menggerakkan jari diatas bibirnya. Damian sempat terkejut karena matanya yang menyipit padaku, namun hanya sesaat karena setelah itu ia memejamkan matanya.

Apa.. apa ini artinya. Kenapa ia memejamkan matanya. Bukankah harusnya aku yang menutup mata?... Bagaimana ini… Apa yang harus kulakukan...

Aku terjebak diantara keinginan untuk menyentuh bibirnya dengan sesuatu selain jariku atau menjauh darinya dan mengikat diriku sendiri dipilar dengan tali.  Aku tak bisa melakukan ini. Tapi aku sangat menginginkannya. Setidaknya aku ingin merasakan ciuman pertamaku.

Jariku masih mengelus bibir bawahnya yang terbuka. Sekelebat bayangan tempo hari saat ia menolakku kembali hadir dan menyurutkan keberanianku. Aku tak mungkin melakukan itu jika ternyata ia akan menolak lagi. Mau taruh dimana wajahku?

Tapi Damian bersikap seolah ia mengijinkanku. Ia menutup mata dan menunggu. Membiarkanku mengelus bibirnya. Bahkan sebelah tangannya sudah mengelilingi pingganggku. Menipiskan jarak diantara kami menjadi nol. Apalagi artinya itu jika bukan karena ia juga menginginkan apa yang kupikirkan.

Jariku mengelus sudut bibirnya. Dengan keberanian yang tak kuingin tau dari mana, aku mencondongkan tubuhku lebih merapat pada Damian. Salah satu tanganku yang masih digenggamnya tak menahanku untuk mendekat dan menghirup oksigen yang sama dari jarak dekat. Satu tanganku meremas baju kaus bagian depannya. Aku sudah bisa merasakan aroma mint dari mulutnya ketika kepalanya melewati wajahku dan jatuh kesisi  bahuku.

What?

Dapat kurasakan nafas berat yang berusaha ia kontrol. Kepalanya masih bersandar dibahuku saat aku mencoba menganalisis apa yang baru saja terjadi.

1. Ia mencoba menghangatkanku.

2. Ia meniup kedua tanganku.

3. Ia mencium tanganku.

4. Ia membiarkanku mengusap bibirnya.

5. Ia menutup mata seolah menunggu.

6. Lalu disaat aku percaya ia menginginkan apa yang juga kuinginkan, ia menghindari itu.

Sial mataku memanas.

Aku mendorong bahu Damian menjauh. Walaupun rasanya aku sudah mendorongnya cukup keras namun tubuhnya masih berada begitu dekat denganku. Aku mengambil langkah mundur darinya. Membuat jarak dimana itu sangat kubutuhkan saat ini. Untuk melawannya.

“Berhenti mempermainkanku!” suaraku lebih keras dari pada yang kupikirkan. Damian terhenyak. Nafas beratnya masih dapat kutangkap saat ia melarikan tangannya kerambut. Meremas frustasi disaat aku sudah ingin kembali masuk kedalam. Damian cukup cepat menahan langkahku dengan merentangkan tangannya melintasi pintu. Menghalangi jalanku.

“Alice, aku tak mempermainkanmu. Aku hanya.. aku...” wajahnya diliputi berbagai emosi yang baru pertama kulihat. Ia kacau seperti sedang bertarung dengan sesuatu yang ada di dalam dirinya.

“Apa? Kau hanya apa?” kemarahanku sudah berada dititik tak terkendali. “kau sudah melakukan ini dua kali padaku. Sebenarnya apa maksudmu? Jangan memperlakukanku sesuka hati yang bisa kau sentuh disaat kau ingin. Aku bukan wanita seperti Anggela jika kau penasaran."

"Aku bukan wanita yang akan disentuh tanpa ada alasan. Atau jika kau ingin bermain, kenapa kau tidak berlari pada Anggela yang sudah dengan jelas akan terlentang dibawahmu tanpa bersusah payah meminta.”

“Ya Tuhan, Alicia. Apa yang sedang kau bicarakan. Kenapa kau membawa Anggela dalam masalah ini? Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengannya. Aku tak bermaksud membuatmu merasakan hal yang tidak seharusnya,,, aku tak akan mempermainkanmu, tidak akan... tapi… aku hanya… aku hanya tidak bisa.”

“kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa melakukannya? Apa yang membuatmu tidak bisa menciumku?”

Damian berusaha meraih lenganku yang langsung kutepis. Pandangan memohonnya tidak dapat mempengaruhiku disaat kemarahan berada pada list nomor satu saat ini. Tidak walau mata birunya menatapku lembut.

Aku menarik nafas. Berusaha mengontrol diri agar tidak mengatakan hal yang memalukan. “Sebaiknya kau tidak melakukan hal ini lagi, Damian. Lakukan apa yang harus kau lakukan sebagai bayangan. Lakukan apa yang menjadi kewajibanmu sebagai salah satu tugas pengabdianmu. Aku tak peduli apa itu, tapi perlu kau ingat. Jangan pernah mendekatiku lagi. Tidak sekarang. Tidak malam ini. Tidak besok atau besoknya lagi. Aku tak percaya akan mengatakan ini, tapi kau benar-benar pengecut.”

Damian tetap diam. Aku menerobos tangannya yang menghalangiku. Meninggalkannya diteras dan menaiki tangga dengan melangkahi dua anak tangga sekaligus. Aku hanya ingin menangis. Kalau bisa berteriak sekeras-kerasnya. Demi meluruhkan ganjalan tidak nyaman didadaku.

Tanganku membuka pintu ketika tubuhku berbalik cepat saat kusadari lenganku yang ditahan olehnya. Aku merutuk dalam hati karena kemampuannya berpindah tempat dalam satu kedipan mata. Sangat tidak menguntungkan bagiku sekarang, dimana nafasku tersengal menaiki tangga itu sedangkan ia bahkan sudah berada didepan pintu kamarku.

“Lepaskan Damian.”

“Alicia… apa yang kau pikirkan saat ini itu tidak benar...”

“Apa yang kupikirkan tidak ada sangkut pautnya denganmu. Tinggalkan aku sendiri.” Aku berusaha melepaskan genggamannya. Mendorongnya menjauh dari pintu dan menutupnya keras tepat didepan wajahnya. Kukunci pintu dengan kunci ekstra, lalu kusangga dengan kursi.

Aku melangkah mundur memperhatikan pintu, seolah mataku dapat menembusnya dan melihat Damian yang mungkin masih berdiri di depan kamarku.

Aku yakin ia masih berdiri disana.

Aku berusaha mengatur nafasku yang memburu. Aku seperti baru selesai berlari marathon dimana bukan hanya berlari namun juga dikejar oleh serigala sekaligus. Aku menekan keras dadaku yang berdegup kencang.

“Alicia..”

Aku berbalik. Terkejut karena saat ini dihadapanku berdiri sosok tinggi tegap dengan wajah menyakitkannya. Kepalaku menoleh kearah pintu. Pintu itu masih terkunci dan sebuah kursi masih mengganjalnya. Mataku kembali menatap sepasang mata biru yang saat ini menatapku tajam.

Apa yang bisa menghentikannya!

“Demi Tuhan Damian, tinggalkan aku sendiri. Aku tidak memiliki apapun lagi untuk dibicarakan denganmu.” Aku mengambil langkah mundur yang dibalas Damian dengan langkah maju.

“Aku tak akan berhenti sampai kau mendengarkanku. Apa yang kau pikirkan tentangku itu salah. Aku tidak mempermainkanmu Alicia, kau satu-satunya yang menjadi kepentinganku saat ini.”

“benarkah? Lalu apakah aku harus merasa beruntung karena itu?”

“Aku tau kau marah saat ini…,”

“hebat sekali kau mengetahuinya.” Ucapku sarkatik dengan melipat kedua tanganku didada. Damian menghela nafas.

“kau boleh marah padaku. Memang sudah sepantasnya aku mendapatkan itu. Berulang kali kita berada pada moment yang pas dimana seharusnya aku menciummu…,”

Aku menahan nafas.

Kali ini Damian mendekat dan sudah tak ada ruang untukku mundur ketika punggungku menekan dinding yang dingin.
“ada banyak hal yang harusnya kukatakan padamu lebih awal.”

Kini kami kembali berhadapan. Damian tak berusaha menyentuhku namun ia tak memberiku kesempatan untuk lari dari tatapannya.

“Pertama, tak pernah terpikirkan olehku untuk mempermainkanmu. Yang selalu ada di dalam kepalaku hanya bagaimana caranya aku menjagamu tetap aman dan baik-baik saja. Tak tersentuh oleh iblis atau bahaya apapun. Saat aku hampir saja melakukan kesalahan dengan membuatmu diserang oleh iblis pagi tadi adalah saat dimana aku tak bisa merasakan apapun selain kemarahan. Bukan padamu, tapi pada diriku sendiri. Karena aku tak mampu melindungimu.”

Kau sudah melindungiku.

Tapi kau juga menjengkelkan.

“Kedua. Aku tau apa yang membuatmu pagi ini mencoba kabur dariku. Yang berujung hal membahayakan bagimu. Dan bodohnya, aku kembali mengulang kesalahan yang sama malam ini. aku tak tau apa yang terjadi padaku setiap kali berada didekatmu. Seperti tubuhku memiliki pikiran sendiri. Aku menyentuhmu bukan karena bermaksud melecehkan. Karena aku memang benar-benar menginginkannya,”  aku ingin menyelanya namun ujung jarinya menyentuh bibirku. Menutup mulutku kembali.

“sejak pertama bertemu denganmu… bukan, saat pertama kali melihatmu tertidur lelap di ranjangmu aku sudah merasakan ini. aku sudah merasakan ini saat melihatmu membuka mata dan melihatku di dalam kamarmu. Bagaimana wajah terkejutmu yang menyihirku beberapa saat. Aku seperti sedang berada disekitar para malaikat. Tapi anehnya, hanya kau yang kulihat.

“Aku menginginkanmu sejak pertama kali mendengar suaramu yang meneriakiku. Memaksaku keluar dari rumahmu karena mengira aku seorang pencuri. Tapi taukah kau, Itu justru terdengar begitu indah bagiku. Melihat caramu melotot padaku. Bagaimana cerewetnya kau yang begitu menggebu ingin tahu asal usulku. Itu semua memikatku dengan cara paling menakjubkan yang pernah terjadi padaku.

“Aku berdebar sejak pertama kali meraih tanganmu. Kau mungkin tak tahu saat itu aku berusaha mati-matian untuk tidak meremas tanganmu terlalu kuat. Aku tak ingin meremas tanganmu terlalu keras karena saat itu aku begitu gembira. Bisa merasakan hangat tubuhmu yang selama ini hanya bisa kubayangkan.”

Suaraku hilang mendengar seluruh perkataannya. Mataku berkabut. Aku tak bisa merasakan hentakan jantungku yang berdebar.

Seakan bisa membaca isi kepalaku, Damian semakin mendekat lalu meraih pinggulku. Merapatkan tubuh kami dengan pelukan yang tak kusangka. Tanganku hanya mampu jatuh disisi tubuhku, ketika kedua lengan Damian mengelilingiku erat.

“Ketiga. Aku tak bisa begitu saja menciummu. Aku sangat ingin melakukannya. Sangat ingin melebihi apa yang kau kira. Aku harus berusaha sekuat yang kubisa untuk tidak menarikmu mendekat. Menciummu dengan keras sampai kau tak ingin melepaskannya walau hanya sekedar mengambil nafas. Aku sangat ingin merasakan lembab bibirmu di bibirku. Bagaimana lembutnya itu ketika kugigit. Bagaimana rasanya itu jika kujilat. Kau mampu menghilangkan kendaliku hanya dengan kau memasang wajah cemberutmu.”

“Lalu … kenapa?” itu sebuah bisikan. Namun Damian tersenyum. Kurasa ia bahkan mampu mendengar semut di kakiku.

“Sama sepertimu, Itu adalah pertama kalinya juga untukku.” Aku terbelalak. Damian tidak menciumku karena ia juga belum pernah mencium seseorang.

Benarkah?

Perasaan senang membuncah di dadaku. Aku menggigit pipi bagian dalamku untuk mencegahku tersenyum padanya.

“Aku belum pernah mencium seorang wanita sebelumnya. Silahkan jika kau ingin menertawakanku. “ Damian mencubit pipiku. Membuatku mau tidak mau mengeluarkan senyuman yang sedari tadi kutahan.

“Aku tidak percaya ini.”

“aaku seorang bayangan. Tidak ada wanita disana yang menarik disana.” Damian menangkup pipiku. Aku tak menolaknya lagi. “Jika waktunya sudah tiba nanti, Aku akan menciummu.” Dielusnya bibir bawahku menggunakan jempolnya. “ Dan jika saat itu tiba, aku tak akan membiarkan bibir ini diam walau sedetik pun.”

Aku tersenyum. Bukan karena janji itu saja, tapi karena apa yang kupikirkan ternyata salah. Setidaknya ia memiliki perasaan yang sama seperti yang kurasakan. Sepertinya aku benar-benar akan menunggu saat itu tiba. Seberapa lamapun.

“Kau berkata begitu seperti aku ingin dicium olehmu saja...”

“Percayalah, kau sangat menginginkannya.”

Aku meninjuk pelan perutnya. Damian terkekeh lalu melangkah mundur.

“Sebaiknya kau tidur. Ini hari yang panjang...“

“Aku memang berencana ingin tidur saat seseorang bayangan menggangguku dan memaksa masuk ke dalam kamarku.”

Damian tertawa. Ia kembali memelukku. “Kau sangat menggemaskan.” Ia mencium puncak kepalaku lalu keningku lama. Rasanya ini sangat nyaman, dan sudah sangata cukup dari apa yang kuinginkan. Aku membalas pelukannya dan menanamkan wajahku di dadanya.

“Kau harus sering-sering mengatakan banyak hal seperti ini jika ingin aku bersikap baik padamu.”

“Baiklah.” Ucapnya di atas kepalaku.

"Dan sering-sering menceritakan apa yang sedang terjadi."

"Oke."

"Misalnya tentang kejadian pagi tadi.." pancingku agar ia mau bercerita.

Damian membuat jarak sehingga aku bisa melihat senyumnya.

“Aku penasaran tentang iblis yang berhasil masuk mendobrak mantra. Aku bahkan tak tau jika hutan ini di kelilingi mantra. Untuk apa? Kenapa iblis mencoba menyerangku? Apa tujuannya? Apa yang meraka dapatkan dariku?”

“Kau cerewet sekali.” Damian tersenyum.

“kumohon ceritakan sekarang.” Kukatupkan kedua tangan di bawah dagu. Memasang wajah meyakinkan.

“Tidak, Alicia. Kau butuh tidur. Besok ada kelas pagi, aku tak mau kau kurang istirahat.” Damian menarikku dan membawaku ke dalam kamar mandi. Ia meraih sikat gigi dan mengoleskan pasta gigi di atasnya. Memberikan padaku dengan mata memerintahkan.

Aku menggosok gigi dengan dia berada di belakangku. Kami berdiri bersisian menghadap kaca.

“Khau hihsa mhemterithakhannya shekharhang?” (Kau bisa menceritakannya sekarang?)

Damian tertawa lalu menggeleng. Ia menyerahkan segelas air untukku memcuci mulut. Setelah selesai ia menarikku kembali kekamar dan mendudukkanku ke tepi ranjang. Damian berjongkok di hadapanku dan mencoba melepaskan sendal yang kukenakan.

“Kenapa tidak cerita sekarang saja? Aku sudah penasaran.”

“Besok. Aku akan menceritakannya besok.”

“Apa bedanya kalau cerita sekarang?” ia melatakkan sendalku diujung bawah ranjang.

“Apa bedanya kalau cerita besok?”

“Paling tidak aku tidak penasaran.” ia mendorong bahuku hingga aku berbaring diatas ranjang lalu menarik selimutku hingga bawah dagu.

“Selamat malam. Tidur yang nyenyak.” Damian mengecup dahiku lalu turun kepipiku. Ia berdiri dan memperhatikanku sekali lagi.

"Jadi tidak malam ini?" Tanyaku masih berusaha.

"Tidak." damian menggeleng dan tersenyum.

"Kau yakin...?"

Damian mengangguk.

“Kau bisa menemaniku tidur sambil bercerita.”

Aku menutup mulutku dan damian mengangkat salah satu alisnya. Bibirnya menyeringai.

“Bukan itu maksudku.. maksudku. Kau bisa menceritakannya seperti dongeng.. hanya bercerita.. bukan seperti kau… hanya seperti sebuah dongeng yang diceritakan …. Sebelum tidur itu ada dongeng yang biasanya…” Damian tersenyum lebar menatapku. Tidak mempedulikan jika wajahku sudah panas karena seringainya.

"Hentikan... jangan tersenyum!" ucapku padanya. Ia justru melipat tangannya di depan dada sambil memperhatikanku. Aku malu. Duh.

"Damian... " rengekku tanpa sadar. Damian terkekeh geli.

Tak tahan dengan tatapannya aku menarik selimut hingga mencapai kepalaku. Mengubur diriku dalam bersama pipiku yang memerah.

Bisa kudengar Damian tertawa keras. Aku menggelengkan kepala dan tertular tawanya yang merdu. Masih dengan selimut menutupi kepala Damian kembali mencium keningku. Mungkin ia bermaksud mencium keningku tapi karena tertutupi selimut ia justru mencium mataku.

“Selamat malam, Alicia.”

“Selamat malam, Damian.” Balasku dengan senyum lebar mencapai telinga dari balik selimut.

***

TBC


Thanks dearr...

Faradita
Penulis Amatir

Continue Reading

You'll Also Like

104K 16.8K 116
Novel terjemahan! Penulis: Celia Naya Status: On Going Sinopsis: Kevin menoleh ke arahnya dan melihat bahwa dia masih telanjang, memalingkan muka, di...
8.8K 730 12
Alphaleo Shawn Dirgantara menyatakan dengan lantang jika dia ingin menikahi Raquinne Edwin, adik dari sahabatnya sendiri. Tidak masuk akal dan di lua...
5.4M 507K 157
Season 1 dan 2 Ada teror di loker Alice ketika ia mengetahui satu fakta tentang Sean Black, teman sebangkunya yang misterius. Kejadian aneh terus te...
HTS?! By Ree

Teen Fiction

37K 1.9K 23
"Bocil." "Bocil? 17 tahun lo bilang bocil?" "Iyalah, lo masih 17 tahun. Sedangkan gue bentar lagi 19 tahun. Lo masih terlalu kecil...