OBSESSION

By slay-v

99.6K 10.2K 6K

Bethany Chance dan Aimee Parker. Mereka gadis berusia 17 tahun yang sekilas terlihat seperti remaja pada umum... More

OBSESSION
CAST
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 30 (2)
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 34 (2)
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 36 (2)
Chapter 37
Chapter 37 (2)
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Epilog
Author's Notes
Random Part
Bonus Chapter: Through The Dark
Bonus Chapter: After
Bonus Chapter
Bonus Chapter: Tough Guys

Chapter 19

1.7K 167 147
By slay-v

( Beth's Pov )

"Buntu. Entah ini sudah hari keberapa kita disini, Beth. Tapi kita sama sekali tak menemukan petunjuk tentang Aimee."

Itu perbincangan pertama yang diawali oleh Greyson sesaat setelah kami memasuki rumah. Kami baru saja pulang dari RS namun sepertinya Greyson ingin menguras emosiku lagi. Entah kenapa suasana hatiku hari ini sedang buruk.

"Jadi kau menyerah?" aku bertanya ketus. Aku tidak peduli Greyson mengeluh atau bahkan akan pulang ke Edmond dan meninggalkanku. Setidaknya disini aku bisa bersama Harry, Liam, Niall dan Louis. "Kalau begitu pulang saja."

Greyson pun tak menanggapi jawabanku dengan serius. Ia tertawa hambar, menatapku penuh selidik. "Jarang sekali kau marah-marah sejak kita menginap disini."

"Ada apa denganmu, Bee?" Harry menatapku keheranan. "Biasanya kau tersenyum setiap saat."

"Tersenyum setiap saat? Siapa aku? Joker?"

Harry menarik kepalanya ke belakang seakan tersinggung dengan responku. Ia berbalik sembari meneguk air di gelasnya, "fine ..." aku mendengarnya menggumam saat berjalan menuju sofa dan duduk disana. Aku sedikit menyesal telah ketus padanya tapi aku sudah kelewat sebal.

"Kutebak," Greyson menoleh padaku. "Kau sedang berdarah."

Aku tidak tahu harus tertawa atau marah karena ucapannya. Aku tahu maksudnya berdarah adalah menstruasi. Tetapi apa dia tidak bisa memilih kata yang lebih pantas? Ia mengatakan hal itu seakan aku sedang mengidap penyakit parah yang mengancam nyawa.

"Ooh! Berdarah," bodohnya, Niall dan Harry mengerti. Mereka menertawakanku. Itu pun sampai aku menatap mereka dalam diam dengan ekspresi sedatar mungkin. Tawa mereka langsung terhenti dan pura-pura mengobrolkan hal lain bersama Greyson. Dasar cowok.

"Aku lupa satu hal penting!" Louis memekik saat dia datang dari dapur. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa tunggal lalu menyisir rambutnya ke belakang. "Persediaan makanan benar-benar habis. Tidak ada stok untuk makan malam dan seterusnya."

"What?" Niall menoleh terkejut. Posisi duduknya yang semula menyender santai ke sofa langsung menegak. Ia pun berdiri dan meraih kunci mobil yang semula Ia lempar ke atas sofa. "Baiklah. Ayo. Kita berbelanja sebanyak mungkin agar kita tidak perlu keluar lagi."

"Kita semua ikut?" Harry menggeleng. "Kau ditemani seorang saja. Sisanya menjaga rumah. Lagi pula aku malas berbelanja."

"Aku juga," susul Louis. Bahunya merosot ke belakang dan menyender ke punggung sofa sambil mengusap wajahnya. Ia sedikit menguap sebelum melanjutkan ucapannya, "aku dan Harry di rumah saja."

Oh shit!

Berarti aku harus ikut bersama Niall!

Kau pasti tahu maksudku.

"Aku ikut!" aku berteriak, bersamaan dengan Greyson yang bangkit dari posisi duduknya. Kemudian Greyson berjalan menuju gantungan di tembok sisi dapur untuk mengambil jaket kulit miliknya. Ia memakainya sambil berujar, "aku ingin membeli peralatan mandi."

"Jadi Harry dan Louis berdua saja di rumah?" Niall menatapi kedua orang yang Ia maksud dengan dahi berkerut. Ia menoleh padaku dan mengatakan sesuatu yang membuat rencanaku berantakan. "Beth, kau di rumah. Awasi kedua manusia itu."

Aku mengerang, sama sekali tak setuju dengan perintah Niall. "Kenapa? Aku pun ingin membeli sesuatu," aku bersikeras ingin ikut pergi. Ayolah. Kukira Niall seorang Larries sepertiku.

"Memangnya apa yang terjadi jika Harry dan Louis ditinggal berdua di rumah?" kini Greyson yang bertanya.

"Terakhir kali aku dan Liam pergi berbelanja, entah bagaimana caranya mereka menjatuhkan televisi dari dinding dan nyaris membakar dapur."

Aku melirik Harry dan Louis yang malah ber-high five.

Jadi aku di rumah, mengawasi keduanya? Aku sebenarnya tidak keberatan. Tapi aku lebih senang jika membiarkan mereka berdua, kau tahu?

Akhirnya, aku mengalah walaupun sebenarnya tidak terlalu senang dengan ini. Tapi, oke. Lihat sisi baiknya. Aku di rumah bersama Harry dan Louis. Apa buruknya dengan itu?

Jadi, aku kembali duduk di sofa. "Berarti kau dan Greyson harus membelikanku barang yang kubutuhkan," ucapku kepada Niall dan Greyson sebelum keduanya menuju garasi.

"Anything," Niall mengangkat kedua pundaknya, seakan merasa tidak masalah jika dia mengambil barang pribadi seorang perempuan di supermarket yang dikunjungi banyak orang. Dan tidak mungkin seseorang—apalagi paparazzi—memotret kejadian itu.

"Pembalut. Dua bungkus."

Aku menahan gelak tawaku saat melihat perubahan ekspresi dari Greyson dan Niall. Mereka bertatapan dengan mulut terbuka, seakan tidak percaya bahwa mereka harus membelikan benda itu untukku. Tapi Niall sendiri yang bilang aku harus tetap di rumah, mengawasi Harry dan Louis yang bisa saja membakar tempat ini. Berarti mau tak mau, dia dan Greyson harus membelikanku pembalut.

"Yang ada sayapnya atau tidak?"

Gelak tawaku, Louis dan Harry seketika meledak-ledak karena pertanyaan Niall. Bahkan Harry kini sampai terbaring di atas sofa dan Louis tertawa sambil memegangi perutnya.

"Dari mana kau tahu tentang sayap? Astaga, jangan-jangan kau sering memakainya, Niall!" ledek Louis, yang serta merta membuat tawaku dan Harry semakin kencang.

"Aku—aku pernah membelikannya untuk Ibuku! Diam, Tommo!" Niall menghentakkan kakinya kesal sebelum berjalan menyusul Greyson yang sudah lebih dulu menuju garasi. Aku mendengar dia berteriak kepada Greyson, "Gee, jangan lupa bawa pistolmu!"

Aku, Harry dan Louis masih tertawa selama satu menit lamanya sebelum kami benar-benar menutup mulut. Aku merasa geli dan tersanjung karena Niall berbaik hati (atau terpaksa) untuk membelikanku pembalut. Kalau saja seseorang benar-benar mengabadikan moment itu dan menyebarkannya ke media, mungkin saja Niall tidak akan pergi ke supermarket lagi.

"That's hilarious," komentar Louis. Ia menghela nafasnya kuat sebelum tawanya benar-benar berhenti. "Okay. Sekarang masih siang. Sudah lama aku tidak berenang! Bagaimana, Harry?"

Apa?!

"YA!" dengan penuh semangat Harry langsung membuka kaus dan celananya hingga hanya tersisa boxer—di depanku. Rasanya jantungku langsung naik ke tenggorokan dan tersangkut disana, membuatku sesak nafas. Aku akan mati sekarang.

"Harry! Lepas pakaianmu di belakang, sialan. Ada Beth disini!"

"Terlanjur!" Harry tergelak puas karena melihat wajahku yang merah padam. Dengan tubuh bertato-nya yang hanya terbalut boxer, Ia berlari menuju halaman belakang, dan melompat di tepi kolam sebelum masuk ke dalam air. "Wohooo!"

Aku masih diam dengan jantung berdebar kuat hingga tak menyadari Louis yang masih berdiri di depanku. Gelak tawanya yang renyah membuatku sadar dari lamunanku. Apalagi saat Ia menarik lenganku dan menuntunku menuju halaman belakang. "Kurasa lebih baik kau memerhatikan saja dari tepi kolam, ya?"

Oke. Entah maksud ucapannya itu untuk meledek atau menenangkanku (yang bisa saja pingsan di kolam renang karena menyaksikannya dan Harry). Tapi kurasa usul Louis benar. Aku tidak mungkin berenang bersama dua lelaki. Rasanya sangat tidak pantas. Walaupun gadis batinku ingin sekali menerima ajakan Louis, aku tetap tidak bisa melakukannya.

Dan tentu saja aku tidak mau mengganggu kegiatan mereka berdua.

"Aku setuju," aku mengangguk. Kulangkahkan kakiku menuju kursi pantai di tepi kolam dan mengistirahatkan bokongku disana. Aku mati-matian berusaha untuk mengontrol tubuhku agar tidak bergerak sendiri dan melompat ke kolam saat melihat Louis mulai bergabung dengan Harry.

"Kurang seru berenang berdua saja, Tommo. Bukankah sebaiknya kita menunggu Greyson dan Niall dulu?"

"Berenang bersama mereka bisa kapan saja. Aku mau berdua saja dulu denganmu."

...

Kalau mereka berdua berencana membunuhku maka mereka berdua berhasil.

Aku dapat merasakan ajalku akan datang sebentar lagi.

Oh, astaga. Aku harus mengabadikan moment ini. Harus.

Aku kembali ke ruang keluarga untuk mengambil ponselku lalu kembali duduk di kursi pantai. Kamera belakang ponselku menyorot Harry dan Louis, merekam keduanya yang tengah berenang. Mereka saling berlomba untuk sampai di ujung kolam lainnya. Saat Harry menyadari Louislah yang lebih dulu tiba, Ia menyiram wajah Louis dengan air. Dan berlanjutlah ke perang siraman air. Mereka terkadang tertawa dan saling memukul.

Yap. Aku mati. Menyaksikan mereka bersenang-senang bersama membuat nyawaku seakan ditarik paksa untuk meninggalkan dunia. Katakan saja aku berlebihan karena aku sama sekali tidak peduli.

"Bethany, jangan merekam kami, astaga!"

Aku gelagapan saat mendengar teguran Louis. Tentu saja aku tak mau menghentikan rekaman berharga ini. "Apa maksudmu? Aku sedang selfie," aku mencibir seraya memasang senyumanku yang paling lebar ke kamera depan—padahal yang sedang kulakukan sekarang adalah merekam Louis dan Harry menggunakan kamera belakang.

Kuperhatikan tubuh keduanya basah kuyup. Rambut panjang Harry yang basah tergerai bebas, nyaris melewati pundaknya. Namun yang membuatku histeris adalah saat Ia mengibaskan rambutnya itu ke belakang lalu mengusap wajahnya.

ASDFGHJKLPWJSJA--

"Nice try," Harry berkomentar geli saat melihat tingkahku. "Biarkan saja, Lou. Aku yakin dia tidak akan menyebarkannya ke twitter. Bukan begitu, B?"

Aku menjawabnya dengan memberikan kedua orang itu cengiran terbaikku. Entah apa yang akan kulakukan dengan rekaman ini. Mungkin sebaiknya kujadikan koleksi pribadi saja. Larry berenang bersama? Pft. Jika saja aku menyebarkannya di twitter, akan ada banyak nyawa yang melayang.

"Yeah, sure," aku menyahut santai. "Lanjutkan kegiatan kalian. Aku akan ke kamar."

Harry dan Louis mengikuti usulku tadi. Mereka kembali berenang sedangkan aku melangkah memasuki rumah. Sebelum ke kamar, aku mengambil sebotol jus jambu dari kulkas. Hanya tersisa botol ini. Kurasa Harry dan Louis tidak keberatan aku meminumnya karena lagi pula, Niall dan Greyson sedang berbelanja.

Ponsel yang kuletakkan di atas counter bergetar dengan durasi panjang. Kuraih benda itu. Senyumku muncul ketika menyadari bahwa Johana menelepon. Sudah lama sekali aku tidak berhubungan dengannya. Terakhir kali ketika sebelum aku pergi ke rumah Perrie. Itu beberapa hari yang lalu. Aku lupa kapan tepatnya.

"Hai, Jo!" aku meletakkan botol jus di atas counter, lalu menggerakkan kakiku menuju kamar di lantai dua. "Maaf aku lupa meneleponmu. Banyak yang terjadi beberapa hari ini."

"Banyak? Apa saja? Coba ceritakan padaku, Bethany."

Kenapa dia terdengar marah?

"Kau tahu," aku menggigit bibirku sambil memejamkan mata. Aku memikirkan apa yang harus kukatakan pada Jo. Apa dia marah karena aku jarang membalas tweet-nya? "Mereka semakin gencar mengincar kami ... apa—"

"Hingga Liam mati!" kini suara Jo berubah parau. Dan ini membuatku khawatir. Pasti Ia telah mengetahui berita tentang kematian Liam. "Aku tidak percaya ini! Aku mengetahuinya dari televisi! Bukan kau, sahabatku yang sedang disana, menyaksikannya terbakar api."

"Johana!" aku memekik terkejut karena ucapannya. Apa dia benar-benar mengatakan itu padaku? Hell! "Aku tidak mungkin memberitahumu lewat telepon kalau Liam meninggal! Aku tidak tahu bagaiamana caranya!"

Aku tidak mendengar suara Johana setelahnya. Aku menghempaskan tubuhku ke atas ranjang, dan memijat keningku yang rasanya pening. Aku bingung. Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya pada Jo? Kuyakin dia tidak akan menyebarkannya kepada orang lain jika aku memintanya.

Setidaknya, dia harus tahu kalau Liam sebenarnya tidak meninggal.

"Johana?" aku kembali mendekatkan ponsel ke telinga kiriku. "Oke. Aku akan memberitahumu sesuatu. Tapi, kau harus berjanji padaku kalau tidak akan memberitahu ini ke orang lain ..."

"Ouch!"

Kenapa dia meringis seperti itu? Dia seperti tengah kesakitan?

"Johana?" aku kembali menegakkan punggungku hingga duduk di atas ranjang. "Jo? Hei!"

"Sialan. Ternyata sakit juga. Hahaha."

...

Holy shit.

"Apa kau ... astaga!" aku menjambak rambutku sendiri saat menyadari apa yang tengah Jo lakukan sekarang. "Kau cutting?! Demi tuhan, Johana. Hentikan itu! Kukira kau sudah berhenti melakukannya!"

"Apa pedulimu?!"

"Apa peduliku?!" aku menjerit marah karena mendengar responnya. Yang benar saja. "Karena kau sahabatku! Hentikan itu!"

"Ini untuk Liam!"

"LIAM MASIH HIDUP!"

Aku mendengar suara nafas Johana yang memburu. Selanjutnya, aku mendengar suara isak tangisnya. Dan ini tidak bagus. Tidak. Sekalinya aku berhubungan kembali dengannya, aku malah mendengar Ia sedang melukai diri sendiri dan menangis.

Aku tahu Johana sering melukai dirinya sendiri semacam cutting semenjak Ibunya meninggal dua tahun lalu. Ia membutuhkan waktu cukup lama menghentikan "obsesi"-nya untuk melukai dirinya sendiri. Ia mulai berhenti total setelah ... well, "mengenal" One Direction.

Terdengar cheesy namun itu kenyataannya. Mereka benar-benar menyelamatkan Jo, dan banyak orang lain di seluruh dunia. Termasuk aku dan Aimee. Aku bersyukur kehidupanku normal. Tidak ada masalah selain di sekolah. Tetapi, tetap, One Direction alasan utama mengapa aku selalu ceria setiap saat. Mereka benar-benar moodbooster terampuh bagiku.

"Sekarang ..." nafasku tercekat. Aku merasakan mataku memanas, dan pandanganku mulai mengabur karena air mata. "Bi-bisa kau hentikan? Letakkan silet atau benda tajam apapun yang mengoyak kulitmu. Liam tidak menginginkan itu, kau tahu?"

"Liam selamat?" suaranya kini mulai tenang. Tetapi kemudian Ia tertawa, membuatku keheranan. "Astaga. Syu-syukurlah. Kalau begitu ... sekarang u-untuk Carly ..."

Carly?

"Hentikan! Astaga! Hentikan, Johana!" aku berteriak marah karena mendengar ucapannya. Aku merasakan air mataku menetes ke pipiku. Aku takut mendengarnya yang sedang menderita seperti ini. Sayang sekali aku tidak ada disana untuk menenangkannya. "Hentikan hal itu dan—apa maksudmu untuk Carly?! Ada apa dengannya?!"

"Sudah kuduga beberapa hari ini kau dan the lads tidak membuka twitter hingga tidak tahu apa yang terjadi dengan fandom yang gila ini."

"Tentu saja kami tidak melakukannya, Johana! Ada sesuatu yang lebih penting dilakukan dari pada membuka twitter!"

"Sesuatu yang lebih penting?!" Johana menjerit. Ia menangis pilu dan itu membuat jantungku semakin berdetak tak karuan. Aku sama sekali tidak tahu apa yang dia maksud dan apa yang terjadi. Semua peristiwa yang kualami akhir-akhir ini membuatku seakan buta dan tuli dengan apa yang terjadi. "Sahabat kita meninggal! Carly meninggal! Itu tidak penting, Bethany?!"

***

( Author's Pov )

"Harry, sudah hampir pukul empat. Kita sudah berenang selama dua jam!"

"Aku tahu!" Harry menggerakkan lengan dan kakinya menuju tangga di tepi kolam. Ia menaiki tangga tersebut sambil memerhatikan Louis yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk di sisi kursi pantai. "Niall dan Greyson belum juga pulang. Apa mereka baik-baik saja?"

"Aku akan menelepon Greyson nanti. Mereka memang terlalu lama berbelanja," ucap Louis. Ia melingkarkan handuk di pundaknya dan berjalan menuju dapur. "Hei, Harry. Bagaimana kalau kita menonton film?"

"Boleh saja. Akan kupanggilkan Beth. Dia ada di kamar, bukan?"

"Yap."

Harry meraih kaus hitam dan celana selutut yang tergeletak di atas lantai. Dengan cepat Ia memakai keduanya, kemudian menyambar handuk dari pundak Louis dan membungkus rambutnya dengan benda itu. Ia tidak memedulikan protesan Louis. Dengan langkah cepat, Harry menuju lantai dua, dimana kamar Beth berada.

"Bethany!" Harry mengetuk daun pintu kamar dengan kepalan tangan kanannya. "Aku dan Louis akan menonton film! Bergabunglah dengan kami!"

Hening.

Sama sekali tak ada jawaban.

"Hei!" Harry membenturkan kepalan tangannya ke pintu selama tiga kali. "Kau sudah di kamar selama dua jam! Apa kau tidak bosan?" Ia berteriak lebih keras.

Untuk kedua kalinya, tak ada jawaban.

Harry menjadi penasaran. Ia menarik gagang pintu ke bawah, dan pintu kayu tersebut langsung terdorong ke belakang. Harry melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Dahinya berkerut bingung karena mendapati kamar tamu yang ditempati Beth sangatlah sepi.

Harry memutuskan untuk masuk. Matanya langsung tertuju ke ponsel yang tergeletak di atas lantai. Ia tahu betul ponsel dengan case foto paduan tato-nya dan Louis itu adalah milik Beth. Ia menekan tombol di atas iPhone hingga layarnya menyala, menampilkan lockscreen-nya yang merupakan foto dirinya bersama Beth dan Louis tempo hari.

Senyuman Harry muncul. Ia pun menggeser lockscreen tersebut. Namun senyumannya sekejap memudar karena membaca tweet yang muncul di layar setelah Ia membuka lockscreen-nya.

Carly Georgia, Directioner dari Washington a.k.a @rockmeharry meninggal bunuh diri! :( #RIPCarly

Nafas Harry tercekat. Otot kakinya melemas, membuatnya langsung jatuh terduduk di atas kasur dengan jantung yang berdebar. Tidak! Tidak! Tidak mungkin ini terjadi lagi, batin Harry menjerit ketakutan bercampur sedih. Mereka terluka lagi—

Lamunan Harry buyar saat mendengar suara tumpahan air yang deras dari kamar mandi. Maka Ia meletakkan ponsel Beth di atas kasur sebelum bangkit menuju pintu kamar mandi. "Bethany, kau di dalam?" Harry bertanya dengan risih. Sejak Ia mengetahui tentang Carly, batinnya kerap merasa gelisah. "Kau baik-baik saja, Beth?"

Dahi Harry berkerut ketika merasakan kakinya terendam air. Ia menunduk. Kakinya dengan refleks melangkah mundur saat melihat air mengalir keluar dari celah bawah pintu dengan deras.

"BETH!" Harry berteriak. Ia menggedor pintu dengan keras. Ia memegang gagang pintu dan mencoba membukanya dengan gusar, namun nihil. Pintu ini terkunci dari dalam. "Bethany, buka pintunya! Jawab panggilanku!"

Louis, yang baru saja selesai mengganti pakaiannya merasa heran karena mendengar teriakan Harry. Ia keluar dari kamarnya yang hanya terpisahkan tiga ruangan dari kamar tamu Beth. Ketika melihat Harry yang sedang berteriak di depan pintu kamar mandi, Ia semakin keheranan. "Wow! Apa keran air kamar mandi Beth bocor?" pekik Louis terkejut.

"Lou," Harry menoleh kepada Louis yang berdiri kebingungan di depan pintu. "Beth ada di dalam. Bantu aku dobrak pintunya."

Louis setuju. Ia berdiri di sisi Harry, dan menegakkan tubuhnya. "Satu ... dua, tiga!"

"BUK!"

Belum berhasil. Louis mengomel kesal, menahan rasa nyeri di lengannya. "Lebih keras!" teriaknya tegas. "Ayo!"

"BUK!"

"Belum!"

"BUK!"

"Lebih keras, Horton!"

"AKU MENCOBANYA!"

"BUK!"

"BRAK!"

Harry dan Louis tersentak saat pintu kamar terdorong ke belakang dengan keras. Sebelum terpeleset, Louis segera berpegangan pada pundak Harry. Keduanya mendongak, mencari keberadaan Beth di kamar mandi. Lantainya becek tergenang air. Pandangan Louis dan Harry kemudian terkunci pada bathub, dimana kerannya terbuka, mengalirkan air dengan deras hingga bathub penuh dengan air dan tumpah ke lantai hingga keluar kamar mandi.

"Astaga!" Harry panik bukan main ketika melihat tubuh Beth mengambang di dalam bathub. Ia segera mengangkatnya hingga setengah tubuh Beth berada di atas permukaan air. Namun dirinya dan Louis khawatir karena ternyata Beth tidak sadarkan diri.

"Astaga, apa yang dia lakukan?!" Louis menjerit kebingungan. "Lihat wajahnya! Membiru!"

Harry menggotong tubuh Beth keluar bathub dan mereka terduduk di atas lantai. Harry menyenderkan punggung Beth di lengan kirinya. Jantungnya berdebar cepat tak karuan. Tangannya pun gemetar karena panik atas kondisi Beth. "Dia tidak bernafas!" dengan hati-hati, Harry meletakkan tubuh Beth di atas lantai. Ia memompa dada Beth dengan kuat agar air di dalam dadanya keluar. "Ayolah, Beth!"

"Aku akan menelepon Greyson!"

Louis berlari keluar kamar, meninggalkan Harry yang masih berusaha mengeluarkan air dari dada Beth. Lama kelamaan tangannya merasa pegal karena kerap menekan dada Beth. Usahanya sia-sia saja.

"Ayolah, Beth. Tidak mungkin kau pergi juga!" Harry merintih sedih. Ia menumpukkan kedua tangannya di atas dada Beth, mengumpulkan tenaganya sebelum kembali memompa dada Beth. "Breath!"

Harry mendorong tumpukan tangannya ke dada Beth dengan lebih kuat, menyebabkan gadis itu langsung tersadar. Beth terbatuk, bersamaan dengan itu, air keluar dari mulutnya. Harry dengan sigap memiringkan tubuh Beth dan memijat tengkuknya agar air yang masuk ke dalam tubuh Beth lebih mudah keluar. "Tenang saja. Kau sudah sadar," Harry bergumam dengan lega. "Tenanglah. Kuyakin Greyson sudah di perjalanan pulang."

Beth tidak menyahut. Ia duduk dengan posisi miring. Kepalanya menunduk, hingga rambutnya yang basah berjatuhan ke depan wajahnya. Dia menangis. Dia menangis karena mengingat alasan kenapa dia sampai melakukan hal ekstrem tadi. Ia menenggelamkan dirinya sendiri, yang bisa saja dapat membuat nyawanya melayang.

"A-aku ... aku sudah kehilangan Olivia," nafas Beth tercekat. Kini wajahnya tidak hanya basah karena air keran, namun juga karena air matanya. "Sekarang aku kehilangan Carly ..."

Tatapan Harry melemah. Ia diam, memandangi Beth yang terisak tanpa melakukan apapun. Ia merasa terkejut. Selain karena tindakan Beth yang nyaris membunuh dirinya sendiri, namun juga karena tweet yang Ia baca di ponsel Beth tadi.

Seorang fans-nya meninggal. Lagi. Bunuh diri. Batin Harry mengatakan bahwa bisa saja penyebabnya bunuh diri karena meninggalnya Liam.

Atau sepertinya, memang itu penyebab utamanya.

"Aku kehilangan sahabatku lagi ..."

"Sst," Harry menarik Beth ke dalam pelukannya. Ia meletakkan dagunya di atas kepala Beth, lalu memeluknya, berharap dengan ini akan membuat Beth lebih tenang. Namun yang Ia dengar malah tangisan Beth yang semakin terdengar menyedihkan. "Aku turut berduka cita, Bee."

"It's hurt ..." Beth terbata. Air matanya tumpah semakin banyak. Jantungnya pun terus berdebar tak karuan karena merasa sedih dan kecewa yang amat sangat. Aku kehilangan sahabatku lagi! Aku kehilangan sahabatku lagi—"A-aku tidak bisa mengalami ini lagi. Aku—"

Harry berusaha menegarkan dirinya. Tetapi sekeras apapun usahanya, pada akhirnya gagal. Harry hanya dapat merutuki dirinya sendiri karena tidak dapat mengontrol emosinya sejak kemarin.

Karena kini, air matanya ikut turun. Dia menangis karena kondisi Beth. Ia menangis karena berita yang Ia ketahui tadi. Ia menangis karena Ia paham perasaan Beth sekarang.

Yaitu, kehilangan sahabat yang penting baginya. Ia tahu, perasaan macam ini begitu menyakitkan.

Harry memeluk Beth sangat erat saat Ia terisak. Ia menunduk, menyebabkan dahinya dan Beth bersentuhan. Tapi keduanya menangis pilu. Tidak ada niat untuk saling menenangkan. Mereka saling menangisi kepergian sahabat masing-masing. Sahabat Harry mungkin tidak pergi seperti Carly maupun Olivia. Namun Ia tidak tahu keberadaannya--Zayn--sekarang. Dan itu tidak membuat perasaannya kian membaik karena setelah 2 minggu lamanya berusaha mencari Zayn, usahanya sia-sia. Karena sejauh ini yang Ia dapatkan hanyalah bahaya.

Lalu ditambah mengetahui kematian fans-nya lagi, membuat perasaannya semakin memburuk.

"I—I'm sorry ..." kedua tangan Harry bergerak ke belakang kepala Beth, mengusapnya lembut walaupun tangannya gemetar karena berbagai emosi yang seakan meruntuhkan pertahanan dirinya. "I'm sorry for being useless. I'm sorry because I can't save you right now. I'm really sorry ..."

***

Louis, Niall dan Greyson diam tak berkomentar saat mendengar penjelasan dari Harry tentang tindakan Beth siang tadi. Greyson terkejut karena mendengar berita kematian Carly dari Harry. Greyson memang tidak mengenal Carly sebaik mengenal Beth maupun Aimee. Tetapi Ia pernah mendengar cerita Aimee tentang Carly, internet friend Aimee dan Beth yang berasal dari Washington. Ia tahu, Carly sahabat dekat Aimee dan Beth, juga Johana.

"Bunuh diri?" Louis mencibir. Ia tertawa ironi. "La-lagi ...?"

"Aku tidak percaya ini terjadi lagi," Niall menunduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menghembuskan nafasnya dengan berat, merasa begitu tertekan karena banyaknya masalah yang Ia (dan teman-temannya) alami selama hampir satu minggu ini. "Kenapa mereka terus melakukan itu?"

Mereka saling diam karena tidak tahu harus melakukan apa lagi. Namun tanpa keempat lelaki ini sadari, Beth telah terbangun. Tadi dia tertidur sebentar setelah Harry menyadarkannya. Dan Ia terbangun karena mendengar Niall, Louis, Harry dan Greyson membicarakannya di depan kamarnya. Mereka tidak tahu Beth sedang berdiri di balik pintu, menguping perbincangan mereka.

Ponsel Beth yang berada di genggamannya berbunyi nyaring. Ia panik, segera berlari ke balkon kamarnya guna menerima telepon dari Ayahnya itu. Batinnya berharap Niall, Louis, Harry dan Greyson tidak mendengar suara teleponnya maupun memergokinya telah bangun dan menguping perbincangan mereka.

"Halo, Ayah," Beth menyelipkan rambutnya yang setengah lembap ke belakang telinga. Ia duduk menyender ke pagar balkon, dan tangan kanannya yang bebas mendekap di bawah dada. "Ada apa?"

"Hai, Bethany Sayang. Bagaimana kabarmu disana?"

Aku tidak mungkin mengatakan pada Ayah kalau aku nyaris mati tenggelam. "Baik-baik saja," Beth menunduk, memandangi cat berwarna biru tua yang memoles kuku-kuku jari kakinya. Ia melamun selama beberapa detik sampai Ayahnya memanggil namanya dengan suara yang lebih tegas.

"Bethany."

"Ya?"

"Ayah ingin kau pulang."

Beth membelalak. Gadis batinnya kini berteriak panik, langsung berpegangan pada tiang seakan bertahan agar Logan tidak menyeretnya pulang.

Tentu saja, Bethany tidak mau pulang. Tidak.

"Ti-tidak ..." suara Beth bergetar. Ia merasa ragu untuk melawan keputusan Ayahnya, namun Ia benar-benar tidak mau pulang ke Edmond. "Aku tidak mau pulang! Ini bahkan belum dua minggu! Aku pun belum menemukan Aimee!" tanpa sadar, Beth menjerit. Ia menutupi mulutnya, dan entah untuk keberapa kalinya hari ini, lagi-lagi Ia menitikkan air mata. Emosi Beth benar-benar terkuras hari ini. "Aku tidak akan pulang sampai aku menemukan Aimee!"

"Bethany, Ayah tidak mau mendengar perlawanan darimu! Ayah tahu, kau baru enam hari berada di London tetapi kau terlibat banyak bahaya yang membuat Ayah dan Ibu khawatir! Jika kau tetap bersikeras menetap di London, kau hanya akan melukai dirimu sendiri! Dan jangan jadikan Aimee alasan karena kau tak mau pulang! Ayah tahu kau enggan pulang karena kini kau dapat bersama idolamu itu!"

Beth tersentak. Ia tidak percaya dengan ucapan Ayahnya. Dengan gusar Ia menyeka air mata di pipinya. Ia mengumpulkan tekad sebanyak mungkin sebelum berteriak, mengeluarkan segala amarahnya kepada Logan, Ayahnya yang gila kontrol.

"Ayah fikir itu alasan aku bersikeras menetap disini?!" Beth menjerit-jerit marah. Ia mendudukkan bokongnya di atas pagar balkon. Diremasnya rambutnya sejenak sebelum kembali berteriak kepada Ayahnya—suatu tindakan yang mungkin akan Ia sesali suatu hari nanti. "Ayah tahu sendiri tujuan utamaku kemari adalah untuk mencari Aimee! Selama enam hari ini aku dan Greyson memang membantu mereka mencari Zayn. Kemarin bahkan kami hampir mengetahui keberadaan Aimee tapi semuanya gagal karena teman kami meninggal! Ayah fikir aku pun mau mengalami ini semua?! Tidak! Aku hanya ingin Aimee kembali!"

"Bethany!"

Beth tidak peduli. Ia meletakkan ponselnya di atas pagar setelah menutup sambungan telepon. Kakinya kini menekuk, sedikit naik hingga tak menyentuh lantai dan kepalanya tertunduk. Sembari meremas rambutnya, Ia bergumam penuh penyesalan. "Aku akan mati. Aku akan mati," Ia mengacak rambutnya kesal. Ini pertama kalinya dia membangkang pada Ayahnya dan tentu saja—Ia merasa semakin tertekan.

"Beth?"

Gadis itu tidak merespon apapun saat mendengar suara langkah mendekatinya. Kepalanya tertunduk, jadi dia dapat melihat sepasang kaki yang berdiri di depannya. Kemudian, orang itu duduk di sisinya. Selama beberapa menit, Ia tidak mengeluarkan satu kata pun.

"Aku tidak mau pulang," suara Beth berubah getir. "Aku akan pulang bersama Aimee."

"Ya. Itu pun keputusanku," Greyson mengangguk setuju. Ia meletakkan lengannya di atas pundak Beth, dan mengusap pundaknya secara perlahan. "Aku akan terus disini bersamamu sampai kita menemukan Aimee. Deal?"

Senyuman Beth muncul. Ia melingkarkan kedua lengannya di pinggang Greyson, memeluk sepupunya itu. Ia harap, dengan ini perasaannya dapat lebih rileks setelah pertengkaran singkat dengan Ayahnya. "Terima kasih, G," ucap Beth tulus.

"Kau tidak perlu berterima kasih padaku," ujar Greyson santai. Ia melompat turun dari pagar hingga kakinya kembali berpijak di atas lantai. "Itu memang janjiku sejak awal, oke?"

Beth tersenyum. Ia hanya diam tidak berkomentar saat Greyson menuntunnya keluar kamar menuju ruang keluarga di lantai satu. Disana, Harry dan Niall tengah berdebat sengit. Tentu topiknya tak jauh dari masalah bunuh diri yang baru mereka ketahui tadi. Tetapi saat menyadari kedatangan Greyson bersama Beth, mereka langsung bungkam, berlagak santai seakan tak ada masalah.

"Sudah merasa lebih baik, Bee?" tanya Niall sambil menatap Beth yang duduk di sofa tunggal di seberangnya.

Beth hanya meresponnya dengan senyuman. Fikirannya masih berkecamuk dengan pertengkaran dengan Ayahnya, juga perbuatannya di kamar mandi tadi yang dapat membuatnya kehilangan nyawanya sendiri. Ia tidak berfikir panjang, Ia tahu itu. Beth termakan semua emosi yang Ia pendam. Intinya, Beth merasa sangat kehilangan. Ia sangat sedih dan tertekan karena telah kehilangan dua sahabat terbaiknya—Olivia dan Carly. Dan ditambah lagi, Johana. Sahabatnya yang satu itu kemungkinan besar tidak mau berbicara dengannya lagi.

Demi tuhan, batin Beth menangis sedih. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, di saat yang sama mencoba menahan air matanya yang terbendung di balik kelopak matanya. Aku butuh Aimee sekarang. Sebenarnya dia dimana? Apa yang dia lakukan?

"Ting tong."

"Aku akan membukanya!" seru Louis. Ia datang dari dapur dengan sebungkus potato chip di tangan kanannya. Dia memberikan makanan ringan tersebut kepada Niall—yang tentu saja diterima dengan tangan terbuka—sebelum menuju ruang tamu dan membuka pintu.

Selama 10 detik pertama, Ia berbincang dengan tamu yang datang dengan tenang. Namun selanjutnya, volume suara lelaki yang usianya paling tua di rumah itu meninggi. Louis terdengar marah, hingga menarik perhatian teman-temannya yang masih berkumpul di ruang keluarga. Karena penasaran, akhirnya Beth, Greyson, Niall dan Harry mendatanginya.

Mereka terkejut karena melihat seorang pria dengan seragam polisi berdiri di hadapan Louis.

"Selamat siang, officer ..." Niall menyapa, namun suaranya kontras terdengar heran karena kedatangan polisi ke rumahnya. Ia dan teman-temannya mengira Simon sudah mengatasi perihal polisi agar tidak mengganggu urusan mereka. "Ada yang bisa kami bantu?"

"Selamat siang. Aku Sersan Ben," pria tersebut menunjukkan senyuman ramah yang terkesan dipaksakan kepada Niall, kemudian kepada Harry, Beth dan Greyson secara bergiliran. "Saya mendapat perintah dari atasan saya, Letnan Jackson untuk menjemput dan mengantar kalian ke markas kepolisian London."

"Untuk perihal apa?" kini Greyson yang bertanya.

"Ya. Kukira kepolisian London sudah menerima uang sogokan untuk tidak mengganggu urusan kami."

Kontan Harry memukul pelan punggung Louis saat mengatakan itu. "Tenanglah, Tommo. Lebih baik kita turuti saja permintaan mereka dari pada timbul masalah lain," Harry menenangkan Louis dengan cara merangkul pundak bandmate-nya itu. Kemudian Ia memberikan senyuman terbaiknya kepada polisi di depannya. "Baiklah, officer. Kami akan datang. Kuyakin tidak akan membutuhkan waktu lama, bukan?"

"Tentu saja tidak," Ben tersenyum seadanya. "Saya datang dengan rekan saya. Agar mencegah hal yang tidak diinginkan, sebaiknya kalian pergi bersama kami tanpa menggunakan mobil pribadi."

Hal yang tidak diinginkan. Beth tahu maksudnya. Kemanapun mereka pergi, selalu datang bahaya yang mengancam nyawa.

"Setuju," Niall mengangguk paham. "Bisa berikan kami waktu sebentar? Untuk bersiap."

"Tentu saja. Kami tunggu di mobil," Ben kemudian membalikkan tubuhnya dan berjalan santai menuju depan basecamp, dimana dua mobil van hitam kepolisian yang Ia gunakan untuk kemari bersama temannya terparkir.

"Bersiap?" Louis mengerutkan dahinya karena ucapan Niall. "Orang macam apa yang bersiap ke markas polisi? Kalau maksudmu kita harus berdoa dulu agar tidak dipenjara, aku setuju."

"Pistol, Tommo," Niall menjawab pertanyaan Louis setelah Ia menutup pintu utama. "Ingat peraturan jika kita keluar rumah, bukan? Selalu membawa senjata. Walaupun kita ke markas kepolisian London, bukan berarti kita akan baik-baik saja."

***

"Kalian menggunakan senjata tanpa surat izin."

Louis, Beth, Harry, Greyson dan Niall serta merta mencemooh ucapan Letnan Jackson—yang kini tengah duduk di kursi di hadpaan kelima "tamu"-nya dengan santai. Sebagai tambahan informasi, kini mereka berada di salah satu ruang interogasi di Markas Kepolisian London bersama Letnan Jackson, seorang polisi yang diberi tugas oleh atasannya agar mengatasi masalah yang dialami Louis dan teman-temannya.

"Kau bercanda," Harry mendecak tak percaya. "Tentu saja kami mempunyai surat izinnya."

"Dan kukira Simon telah berbicara kepada Inspektur kalian untuk tidak mencampuri urusan kami?" Greyson bertanya dengan heran. Louis pun menunjuk Greyson, setuju dengan ucapan remaja satu itu.

"Ya, memang. Tapi dia tidak mengatakan soal penggunaan senjata. Kalian pun membahayakan banyak nyawa atas kecelakaan mobil kemarin," ujar Letnan Jackson dengan tegas. "Kalau sudah begini, mau tak mau kami harus terlibat. Kalian menyebabkan bahaya."

"Wow," Niall tercengang. Ia kini bangkit dari tempat duduknya lalu berbicara dengan penuh kekesalan. "Kami menyebabkan bahaya? Apa kau tidak tahu, bahwa kamilah korbannya disini? Kami selalu diserang oleh sekelompok orang idiot saat kami mencoba mencari tahu tentang nasib kedua teman kami. Aimee Parker dan Zayn Malik."

"Aimee Parker dan Zayn Malik? Memangnya ada apa dengannya?"

"Dia diculik lima hari yang lalu! Kami tidak mendapatkan satu pun petunjuk!" Beth menjawab dengan tak sabaran. Ia mendekapkan kedua tangannya di dada dan menatap Letnan dengan sebal.

"Kenapa kalian tidak melapor ke polisi?"

"Karena kami mendapat pesan ancaman, duh," Louis mengangkat kedua tangannya secara dramatis. Ia benar-benar malas untuk menjelaskan hal ini. Tetapi, Letnan pasti akan terus mendesaknya dan itu akan membuatnya geram. "Mereka mengancam jika kami melapor atau pun meminta bantuan polisi, mereka akan melukai keluarga kami. Bahkan sebelum kami melapor pun, Gemma, kakak Harry telah diculik."

"Dan ..." Harry mengeluarkan selipat kertas dari saku jaketnya. Ia memberikannya kepada Letnan, "ini surat izin penggunaan senjata."

Letnan menerima kertas itu dengan senang hati. Ia membacanya selama dua menit, kemudian menatap kelima orang di hadapannya dengan serius. "Baiklah. Begini perjanjiannya," Letnan melipat tangannya dan meletakkannya di atas meja. "Sebenarnya kami pun menyelidiki kelompok yang menyerang kalian. Namun mereka sulit dilacak hingga kami tidak mendapat satu informasi pun. Jadi, kurasa aku akan mengajukan surat ke Inspektur Lee untuk meminta bantuan ke MI6."

Hening panjang.

"MI6? Dari film Skyfall?" Greyson mengerutkan dahinya.

"Pft. Lucu sekali," Louis mencibir geli. "Kau akan meminta bantuan James Bond?"

Letnan memutar kedua bola matanya. Ia merasa jengkel kepada Louis yang sejak tiga puluh menit yang lalu kerap menguji kesabarannya dengan ucapannya yang kurang sopan. "MI6 terkadang membantu kepolisian London untuk mengatasi kasus yang sulit. Seperti yang sedang coba kuatasi sekarang," ujar Letnan seraya membuka kedua tangannya, menunjuk Harry, Louis, Niall, Beth dan Greyson. "Percaya padaku. Kalian akan aman dengan bantuan MI6. Aku akan meminta mereka agar melindungi keluarga kalian juga—"

"DUAAARR!!"

Perbincangan mereka terhenti karena suara ledakan yang kuat. Dinding dan lantai tempat mereka berpijak pun bergetar layaknya gempa. Letnan Jackson pun berdiri, lalu berjalan menuju pintu ruang interogasi tempatnya bersama Niall, Harry, Louis, Beth dan Greyson berada. Ia berdiri di ambang pintu dan berteriak ke seorang anak buahnya yang berada tak jauh dari ruang interogasi. "Ada apa?!"

"Seseorang menembakkan RPG ke dalam markas, Letnan! Sekumpulan orang pun menembaki markas dari halaman depan!"

Letnan kontan membalikkan tubuhnya, memandangi Harry, Niall, Louis, Greyson dan Beth yang duduk di atas kursi dengan penuh kebingungan. "Mereka datang mengincar kalian," ujar Letnan.

"No shit, dumbass," Louis mengumpat pelan sambil menopang kepalanya, merasa pasrah dengan nasibnya sekarang.

"Aku akan menghubungi temanku dari MI6. Dan kalian jangan keluar dari ruangan ini! Aku akan memerintahkan anak buahku berjaga di depan ruangan ini dan di lorong!" peringat Letnan dengan tegas. Ia keluar dari ruangan lalu membanting pintu dengan keras sebelum berlari menuju ruangannya.

"Great! Apa kataku? Walaupun kita sedang di markas polisi, bukan berarti kita akan selalu aman!" seru Niall sarkastik.

"Jadi, sekarang apa? Kita hanya diam?" Geyson merengut kesal. Ia menggelengkan kepalanya, tertawa ironi sebelum berkomentar; "percuma saja kita disini."

"DOR! DOR! DOR!"

"DIMANA MEREKA?!"

"PERGI DARI SINI!"

"DOR!"

Mendengar suara rentetan senjata dan teriakan orang dari luar ruangan tentu saja membuat perasaan mereka semakin gelisah. Apalagi tidak ada tanda-tanda kalau Letnan Jackson akan kembali. Dan lagi; suara tembakan itu semakin dekat dan dekat ke ruangan tempat mereka berada.

"Kita harus keluar dari sini," Harry turun dari kursi dan berjalan menuju pintu. Butuh beberapa saat untuk mengumpulkan tekadnya karena jujur saja; Ia merasa gentar karena menyadari fakta bahwa lagi-lagi, nyawanya dan teman-temannya diincar. Pada akhirnya, Harry mengeluarkan senjatanya dari balik bagian pinggang celana jeans yang Ia pakai. Ia menoleh, memandangi Louis, Niall, Beth dan Greyson yang memandanginya dengan syok.

"Harry," Beth kini berdiri dari kursi. "Apa yang akan kau lakukan?"

"Pergi dari sini!" Harry berseru penuh keberanian. Padahal batinnya bersembunyi di balik selimut, menangis ketakutan. "Siapkan pistol kalian, Guys. Saatnya melawan."

Louis melongo.

"Setan apa yang merasukimu, Horton?!"

***

P.s: abaikan satpamnya. Anggap aja ga ada xD

Continue Reading

You'll Also Like

932K 76.7K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
49.8K 7.5K 30
[FULL CHAPTER ONLY AVAILABLE AT E-BOOK] Beribu kali Minji bertanya didalam hatinya, Untuk apa pria sempurna seperti Jungkook bersedia untuk menikahi...
793K 43.1K 45
Siapakah di balik ini semua? ---- ©2014 by billaza
6.3K 1.3K 33
Untukmu yang merasa tidak cantik, gemuk, tidak pintar ...dan tidak diperhatikan orang. Hanna Choo dikenal pemalu, tak cantik, tak diperhatikan di uni...