SEBUAH PILIHAN HATI

By Abiyasha

66.4K 4.8K 842

Adrian bukan hanya kehilangan rumah tangga yang dibangunnya bersama Kara, tetapi perceraian membuatnya kehila... More

TEASER
DUA - YOU'RE MY DAY'S EYE
TIGA - PLAYING WITH FIRE
EMPAT - THE DINNER
LIMA - ALSTROEMERIA
ENAM - HE FOUND ME
TUJUH - SHE IS HERE
DELAPAN - HOW I MET HER
SEMBILAN - THE WAY OUT
SEPULUH - THEY MEET AGAIN
SEBELAS - SAYING GOODBYE
DUA BELAS - COMING HOME
TIGA BELAS - UNTIL WE MEET AGAIN
EPILOG
DI BALIK SEBUAH PILIHAN HATI

SATU - THREE ROSES

8.5K 456 93
By Abiyasha


Cinta.

Satu kata, yang bisa diartikan berbagai macam oleh banyak orang. Banyak orang memujanya, ada yang bersikap skeptis, tidak sedikit juga yang membencinya. Jika saat ini usiaku baru menginjak 14 tahun, aku mungkin akan memuja kata itu seperti Da Vinci memuja sosok wanita yang menjadi objek lukisannnya yang paling tersohor, Monalisa. Aku akan takjub pada semua keindahan yang ditawarkan oleh kata itu, hingga tidak akan ada keraguan untuk mengikuti ke mana perginya cinta itu, tanpa harus memedulikan apa pun.

Namun, aku bukan pria berusia belasan. Bahkan tiga bulan lalu, angka 34 baru saja melewatiku. Definisi cinta bagiku adalah logika, karena aku tidak bisa lagi menyerah begitu saja tanpa harus memikirkan banyak hal dalam hidupku, terutama Adam. Selama lima tahun, hanya dia yang menjadi pusat hidupku. Hanya kebahagiaannya. Melihat senyumnya setiap pagi, mendengar tawanya di sela kesibukanku dan memeluknya setiap malam. Hanya Adam.

Aku termenung menyaksikan televisi yang sedari tadi gagal menyita perhatianku. Pikiranku terlalu penuh untuk mengikuti apa yang ditayangkan di televisi. Mungkin aku memang harus tidur. Benar-benar beristirahat. Saat ini, tidak ada keyakinan jika mataku terpejam, maka aku akan tertidur. Aku memencet tombol POWER hingga yang tertampil di hadapanku adalah layar hitam. Beranjak dari tempat tidur, aku berjalan menuju kamar Adam, yang memang hanya terpisah oleh sebuah pintu. Ketika membangun rumah ini, aku memang menginginkan connecting room antara kamar utama dan kamar Adam. Dengan model seperti ini, aku bisa memastikan dia baik-baik saja tanpa harus berjalan keluar dari kamar.

Putra semata wayangku tidur begitu pulas, hingga tidak menyadari selimut yang aku gunakan untuk menutupi tubuhnya, telah berkumpul di ujung kakinya. Aku menghampirinya untuk menaikkan kembali selimut hingga mencapai dagunya dan mengecup keningnya sebelum duduk di tepi tempat tidur. Dengan pelan, aku membelai rambutnya.

Dadaku terasa sakit setiap kali melihat Adam tertidur pulas seperti ini. Hanya ketika dia tidur, aku membiarkan emosi yang aku pendam, keluar. Mengedarkan pandanganku ke seluruh isi kamar, aku membayangkan bulan depan. Apa jadinya kamar ini tanpa celotehnya? Apa jadinya kamar ini... tanpa dirinya?

Adam akan ke London, mengikuti Kara yang memenangkan hak asuh Adam atas diriku. Perceraian kami tidak berlangsung alot, tapi persidangan atas hak asuh Adamlah yang membuat kami berdua tidak ingin mengalah. Sidang demi sidang yang membuat emosiku begitu lelah dan perjuanganku untuk membuat Adam tetap bersamaku. Ketika akhirnya hakim memutuskan sebaliknya, tinggal menunggu waktu sebelum kegelapan menyelimuti hariku. Aku memang tidak sepenuhnya kehilangan Adam, tetapi tiga bulan bersamanya dalam satu tahun, jelas tidak cukup. 90 hari dari 365 hari yang bisa aku dapatkan untuk bersama Adam.

Aku bangkit dari tepi tempat tidur untuk berjalan kembali ke kamar utama. Lampu di kamar Adam memang tidak pernah aku matikan. Aku ingin dia merasa hangat. Aku membiarkan pintu sedikit terbuka, karena Adam memintaku untuk tidak menutupnya. Aku bisa langsung berlari ke kamarnya jika dia terbangun tengah malam karena mimpi buruk atau dia bisa langsung menghampiri tempat tidurku setiap pagi untuk membangunkanku.

Aku membanting tubuh ke atas tempat tidur. Pikiranku tidak pernah lepas dari makhluk mungil di kamar sebelah. Membayangkan bagaimana harus menjalani hariku tanpanya cukup membuat dadaku perih. Adam sudah menjadi keseharianku, menjadi satu-satunya perhatian sejak perceraianku dengan Kara. Hanya ada satu orang yang bisa membuatku sedikit mengalihkan perhatian dari Adam.

Ada senyum kecil menghiasi wajahku ketika membayangkannya.

Dia hanya pria muda biasa, tidak ada yang begitu istimewa tentangnya. Namun, dia bisa membuatku tersenyum tanpa harus melakukan apa pun. Matanya akan berbinar, setiap kali mendengarkan cerita tentang kehidupanku di London. Dengan antusias, dia akan menanyakan banyak hal. Lebih ke keseharianku, hal-hal kecil tentang London. Ada senyum lebar di wajahnya, setiap kali aku menawarkan untuk meminjaminya buku atau kalimat pamungkasnya 'Saya nggak tahu' setiap kali aku bercerita tentang film-film lama. Namun, hanya sebatas itu.

Ada begitu banyak hal yang menghalangiku untuk melangkah lebih jauh. Ketakutan menjadikannya sebagai pelampiasan adalah yang utama. Aku tidak ingin menjebaknya dalam sesuatu yang tidak diinginkannya. Hanya akan ada kerumitan jika aku menuruti ego dan membiarkan logikaku diam. Dia masih 22 tahun.

Meraih guling, aku memejamkan mata. Berharap dengan paksaan itu, aku bisa tertidur. Namun, tawa kecil Adam dan celotehnya selalu bisa membuatku terjaga. Aku menghela napas panjang dan kembali membuka mata. Meraih tablet yang ada di samping tempat tidur, aku memutuskan untuk mengecek apakah ada surel yang masuk sejak meninggalkannya sore tadi. Nihil.

Ketika berniat meletakannya kembali, sebuah notifikasi membuatku membatalkan niat. Hanya seseorang dari belahan bumi lain yang mengirim surel selarut ini. Jam di layar tablet-ku menunjukkan pukul 1.20 pagi. Namun, nama pengirim surel itu yang membuatku tertegun, bukan pada jam yang sudah memasuki awal pagi.

From : Chris Burton <chris.burton@bluefoil.co.fr>

To : Adrian Wirayoga <adrian.wr@moonstone.com>

Subject : Indonesia

Date : 1.18 AM, March 14, 2013

Adrian,

It's been a while since I sent you an email. I had to contemplate with myself whether I have to tell you about this news or not. But, deep down inside I want you to know, so I'm writing this email.

How are you? And how is Adam? I bet he must be as handsome as his father and becoming a cute little boy.

I will be in Indonesia, in Bali to be precise, for 6 months. My office in Indonesia needs me. It's been... 3 years since the last time we met in Barcelona that summer. I will try to find you, because it's been an agony for not seeing you that long, though I know exactly why. I've tried my best to keep the promise I made for not stepping into your life again. But this time, I knew that I would break it. And I won't apologize this time.

I just don't want to surprise you. I guess, this old habit of mine, will never die. And I understand if you don't want to reply this email.

I guess, I said everything I wanted.

Good night Adrian and send my regard to Adam.

Chris

Rasanya, paaru-paruku berhenti menghirup oksigen selama beberapa saat. Chris. Nama itu cukup untuk membuat semua kenangan tentangnya berkelebat begitu hebatnya. Tiga tahun terasa begitu cepat, hingga aku tidak menyadari sudah begitu lama kami tidak bertatap muka. Dan sekarang dia akan ke Bali. Ada berapa persen kemungkinan dia akan menemukanku? Membayangkan Chris, membuatku tahu akan semakin sulit untuk tertidur.

Chris memang berjanji, dia tidak akan hadir dalam kehidupanku lagi setelah pertemuan kami di Barcelona. Adalah ide Kara, agar kami bertiga berlibur ke Barcelona setelah dari London. Pertemuan dengan Chris bukanlah sebuah kesengajaan. Selama dua hari, Kara membuat liburan kami menjadi bencana, menuduhku bermain dengan Chris di belakangnya dan menggunakan Adam sebagai senjata. Tanpa henti, dia mengingatkanku akan peran seorang suami dan ayah. Tidak mengejutkan jika Chris tidak menyebut nama Kara sama sekali, meski dia tidak mengetahui kami sudah berpisah. Dan selama tiga tahun, dia menepati janjinya. Aku selalu mendapatkan surel darinya, setiap pergantian tahun dan aku selalu membalasnya dengan ucapan terima kasih. Kemudian, kami tidak akan bertukar kabar apa pun lagi selama satu tahun.

Kedatangannya ke Indonesia jelas membuatku gelisah. Bukan karena ada kemungkinan kami akan bertemu, tetapi kami berdua berbagi kenangan selama hampir 5 tahun. Dan kenangan itu yang meresahkanku. Memory can be cruel sometimes.

Aku menarik napas dalam sebelum kembali memejamkan mata. Berharap kali ini, aku benar-benar bisa tertidur.

***

"Papa, bangun! Papa bangun! Udah siang!"

Aku merasakan tubuhku ditindih oleh sesuatu yang berat dan kedua pipiku ditepuk berkali-kali hingga mustahil untuk mengabaikannya. Perlahan, aku membuka mata dan melihat malaikat kecilku sudah bertengger di atas dada. Setelah memastikan usahanya berhasil untuk membangunkanku, dia langsung menyilangkan kedua lengannya di dada. Aku tersenyum sebelum menarik tubuhnya untuk mencium pipi dan keningnya.

"Selamat pagi, Adam."

"Napas Papa bau!" ucapnya sambil menarik diri dan menutup hidungnya.

Aku tidak bisa menahan tawa. "Kan Papa baru buka mata, belum sempat ke kamar mandi. Wajar dong kalau bau. Kok kamu udah bangun?" tanyaku masih dengan suara parau.

"Papa, ini jam 10 lebih!"

Aku meraih arloji yang tergeletak di atas meja di samping tempat tidur dan melihat jarum jam menunjukkan pukul 10.14.

"Kamu kok masih pakai piama?"

"Karena Adam males mandi."

"Mau Papa mandiin?"

Adam menggeleng. "Masak dimandiin Papa? Geli! Adam kan udah bisa mandi sendiri."

Aku kemudian mulai menggelitik pinggangnya yang langsung disambut Adam dengan tawa dan tubuhnya yang berusaha lepas dariku.

"Papa, ampuuuuuun!" jerit Adam.

Aku berhenti menggelitiknya, sebelum mengangkat tubuhnya agar berbaring di sampingku. Aku selalu ingin melihat tawa Adam untuk memulai hari. Tawanya tidak pernah gagal menjadi penyemangat untuk menghadapi apa pun jika aku sudah melihatnya seperti ini.

"Adam mau ngapain hari ini?" tanyaku sambil membelai rambutnya

"Adam mau ikut Papa ke toko bunga aja. Bosen pergi-pergi terus."

Aku tertawa pelan. "Adam yakin? Hari ini kelihatannya cerah, sayang kalau Adam cuma di dalam ruangan aja. Nggak mau pergi ke pantai?"

Adam menggeleng. "Nggak mau! Panas! Nanti Adam item lagi. Mending di toko bunga aja, adem."

Lagi-lagi, ucapannya membuatku gemas. "Item? Adam nggak bakal item, Papa janji. Nanti biar Mbak Eni Papa kasih tahu supaya kasih Adam sunblock yang banyak atau Adam mau bawa payung ke pantai?"

"Adam kan cowok Pa, masak pake payung, nanti kayak cewek. Kan cuma cewek yang pake payung."

"Kalau Papa pake payung tiap kali ujan berarti Papa cewek dong?"

"Ya kan kalau ujan nggak panas, Pa. Jadi nggak papa. Adam mau ikut Papa pokoknya. Titik!"

Aku menghela napas sambil mengangguk. "Oke, kalau begitu, kita bangun, mandi terus sarapan baru ke toko. Setuju?" ucapku sambil bangkit dari tempat tidur dan menurunkan Adam. Melihat pakaian tidurnya yang lusuh dan rambutnya yang berantakan, aku tidak bisa menahan diri untuk kembali mendaratkan kecupan di pipinya.

"Papa bau ah!" Dengan kalimat itu, dia langsung berlari kembali ke kamarnya, meninggalkanku dalam tawa.

Aku berjalan menuju kamar mandi dan begitu meihat bayanganku di cermin, aku berhenti. Melihat wajah yang mulai terlihat kerutan di kening, aku tersenyum. Hidupku memang tidak sempurna, tetapi Adam membuat semuanya jadi lebih baik. Ada bayangan Banyu melintas, juga Chris. Aku tertegun. Hidup sepertinya tahu bagaimana memainkan kartu milikku. Seolah kehadiran Banyu tidak cukup, sekarang Chris juga akan kembali dalam hidupku. What is it life?

Aku membiarkan wajahku terkena air dingin sebelum melepas pakaian untuk segera mandi. Adam paling tidak suka kalau aku telat sampai di meja makan untuk sarapan.

***

Begitu selesai mandi, aku menuju kamar Adam dan menemukannya sedang duduk di tepi tempat tidur sambil memegang bus tingkat berwarna merah. Dia mengangkat wajah ketika aku berjalan mendekat, sebelum duduk di sampingnya.

"Kok masih di kamar?"

"Nunggu Papa," jawabnya sambil memainkan double-decker bus itu di tangannya.

"Kamu pasti mau naik bus seperti itu kan?"

"Kan udah pernah Pa."

"Tapi, kamu pasti mau kan naik bus kayak gitu tiap hari?"

Adam menggeleng.

"Kenapa?"

"Karena bus ini cuma ada di Landon, bukan di Bali."

Mendengarnya menyebut nama London, membuat dadaku kembali sesak. Aku kemudian mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di pangkuanku. Aku lelah mengoreksi ucapan Adam tentang London, sepertinya dia memang sengaja mengucapkan Landon, untuk alasan yang tidak aku pahami.

"Kamu pasti suka London. Kamu bisa naik London Eye, bisa ke Istana Buckingham."

"Papa kenapa nggak ikut?"

Menjelaskan perceraian kepada anak 5 tahun memang bukan hal mudah. Namun, aku dan Kara setuju, kami tidak akan menyembunyikan apa pun dari Adam. Aku berusaha menyederhanakan arti perceraian agar Adam bisa memahaminya.

"Siapa yang jaga rumah dan toko bunganya nanti?"

"Minta Mas Banyu aja."

Aku tertawa. "Iya kalau Mas Banyu mau, kan Mas Banyu punya urusan sendiri."

Adam menghela napas sebelum turun dari pangkuanku. Kami saling bertatapan. Mata besarnya membuatku mengulurkan tangan untuk merapikan rambutnya.

"Papa sayang Adam," ucapku.

"Adam juga sayang Papa."

Aku mengulurkan lengan yang langsung disambutnya. Selama beberapa menit, kami hanya berpelukan. Merasakan lengan kecilnya memeluk erat leherku, aku kembali berusaha menahan emosi yang mendesak untuk keluar. Ketika melepaskan pelukannya di leherku, Adam menundukkan wajahnya sambil masih memainkan double-decker bus miliknya..

"Kamu mau sarapan roti atau sereal?"

"Sereal aja Pa."

Aku mengangguk. "Oke, kita sarapan sereal. Yuk!"

Aku bangkit dari tempat tidur sambil menggandeng tangan Adam. Sejak perceraianku dengan Kara, rumah ini jadi terlalu besar untuk dihuni aku, Adam dan Mbak Eni, pembantu sekaligus pengasuh Adam. Sempat terpikir untuk menjual rumah ini dan pindah ke rumah yang lebih kecil, tapi aku mengurungkan niat. Ini rumah Adam dan aku tidak ingin dia merasa harus kehilangan tempat dia dibesarkan, meski dia akan meninggalkannya. Setelah kami bercerai, Kara kembali ke Jakarta untuk mengurus bisnis yang ditinggalkannya ketika kami pindah ke Bali. Sejak saat itu, Adam bersamaku. Bahkan, ketika hakim memutuskan hak asuh Adam jatuh ke Kara, aku memohon kepadanya agar Adam tetap tinggal di Bali. Alasan yang aku berikan waktu itu, dia akan punya lebih banyak waktu bersamanya nanti. Dan Kara menyetujuinya.

Satu bulan. Hanya itu yang aku miliki sebelum Adam ke London.

Kami menuruni tangga dan segera menuju ruang makan. Adam selalu menuruni anak tangga dengan suara berdebum. Aku sudah sering mengingatkannya kalau itu tidak sopan, tapi sepertinya dia tidak ingin mematuhinya. Begitu sampai di dasar tangga, dia melepaskan genggaman tanganku dan sedikit berlari ke arah meja makan. Dia sudah duduk manis, dengan dua lengan yang dilipat di atas meja, ketika aku baru saja menggeser kursi untuk duduk.

"Selamat pagi, Pak."

"Pagi, Mbak."

"Bapak mau sarapan apa pagi ini?'

"Saya mau sereal aja Mbak. Adam sepertinya mau sereal."

"Iya, tadi malam dia juga sudah bilang kalau mau sarapan sereal."

Mbak Eni berlalu ke dapur untuk menyiapkan sarapan, sementara Adam hanya tersenyum lebar ketika kami berdua saling berhadapan.

"Pa, kapan Mama ke sini?"

Pertanyaan itu jelas aku antisipasi. Hanya saja, aku juga tidak punya jawaban yang pasti. Kara hanya memberitahuku dia akan ke Bali bulan depan, tanpa memberitahu tanggal yang pasti. Aku akan menanyakannya lagi nanti, meski aku lebih memilih Kara yang menghubungiku terlebih dulu.

"Mama bulan depan ke sini. Cuma, Papa masih belum tahu tanggal berapa. Kamu nggak mau tanya Mama?"

Adam menggeleng.

"Kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa."

Mbak Eni kemudian kembali ke ruang makan dengan dua mangkuk sereal. Milikku sebenarnya adalah sereal yang dicampur daging kelapa muda, potongan apel dan buah naga, sementara Adam hanya peduli pada susu yang memenuhi mangkuknya. Setelah mengucapkan terima kasih, Mbak Eni langsung menuju kamarku dan Adam untuk merapikannya, sebelum nanti menemani Adam seharian.

"Kalau kamu kangen banget sama Mama, Papa bisa antar kamu ke Jakarta."

Lagi-lagi, Adam menggeleng.

"Oke. Kita sarapan sekarang?"

Kali ini, Adam mengangguk.

Kami sarapan dalam diam. Aku memerhatikan Adam yang menyendok serealnya dengan sempurna, tanpa menumpahkan susu di bajunya. Aku takjub bagaimana Adam bisa begitu... teratur di usianya yang masih 5 tahun. Dia terkadang merapikan tempat tidurnya sendiri, meski Mbak Eni masih harus tetap membersihkannya. Dia sudah bisa sikat gigi, mandi dan memilih pakaiannya sendiri. Dan aku sering dibuatnya tertawa jika bertanya kenapa dia memakai pakaian tertentu. Dia benar-benar kopi dari Kara dalam hal berpakaian.

"Kalau Adam ikut Papa ke toko, nanti mau makan siang di mana?"

"Boleh kita ke Biku?"

Aku mengangguk. "Boleh. Kenapa nggak?"

"Papa, nanti Mama gelitikin Adam juga nggak udah di Landon?"

"Nanti Papa minta Mama deh."

Jawabanku memang terdengar ringan, tetapi ada yang berusaha tidak aku tunjukkan ke Adam. Sampai kapan pun.

Adam menggeleng. "Mama pasti nggak mau. Mama kan begitu, susah diajak main."

Aku hanya memberikan senyum kepadanya sambil mengulurkan tangan untuk mengacak rambutnya, cukup untuk membuatnya sedikit berantakan.

"Kamu abisin serealnya terus kita berangkat. Papa mau ganti baju dulu."

Adam mengangguk sebelum menyuapkan satu sendok penuh sereal, sementara aku beranjak dari kursi dan melangkah kembali ke kamar.

Aku mengembuskan napas panjang ketika sampai di kamar dan duduk di tepi tempat tidur. Aku meraih tablet dan kembali membaca surel Chris semalam. Meyakinkan diriku, ini bukan salah satu gurauan dari Chris. Aku memandang jendela yang sudah dibuka Mbak Eni dan merasakan angin berembus masuk.

Adam, Banyu dan Chris.

Tiga pria. Adam jelas mendapatkan cinta terbesar dariku, karena dia darah dagingku. Banyu... aku masih tidak yakin sepenuhnya tentang perasaanku terhadapnya. Sementara Chris... Chris Burton adalah kenangan, yang kembali berjalan menuju realitas kehidupanku.

Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalanmenuju walk-in cabinet. Akan banyak yang harus aku kerjakan di Jasminehari ini.    

Continue Reading

You'll Also Like

6.3M 325K 59
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
4.9K 628 27
Patah hati berkali-kali membawa dampak yang cukup besar bagi hidup Alex. Diputuskan untuk kesekian kalinya oleh wanita membuat Alex pergi untuk mengh...
2.5M 36.3K 28
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
82.7K 10.9K 200
Author's : XiaoAks 1001-1700 Penduduk ibu kota tidak pernah berpikir bahwa suatu hari lelaki besar legendaris itu akan bisa jatuh cinta pada seorang...