ALLAMANDA [SUDAH TERBIT]

By Oolitewriter

1.6M 56.3K 1.4K

SEBAGIAN CERITA DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN "It's all about senior high school, maybe." || Amazing c... More

PROLOG
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
CAST
BONUS CHAPTER 1
BONUS CHAPTER 2
BONUS CHAPTER 3
BONUS CHAPTER 4
BONUS CHAPTER 5
BONUS CHAPTER 7
BETA & GAMMA
INFO PENERBITAN & OPEN PO
COVER & OPEN PRE ORDER

BONUS CHAPTER 6

36.5K 2.3K 63
By Oolitewriter

"Man, ini siapa lagi yang belom diundang?" Nida bertanya sambil memeriksa kembali nama-nama undangan yang sudah ditulisnya.

"Liat daftarnya sama Nurcahaya. Eh, undangan buat kolega bisnisnya Arka dipisah, ya? Tau kan yang mana?" Manda menjawab sambil merapikan undangan-undangan yang lain.

Nida mengangguk. "Tau kok. Nur, liat daftar namanya."

"Bentar, gue lagi ngecek juga. Eh, rumah Elizabeth udah pindah. Gimana, nih?" Nurcahaya menatap Manda yang sedang serius menghitung jumlah undangan.

Mungkin karena terlalu serius dan takut lupa dengan hitungannya, Manda tak menjawab, membuat Nurcahaya mendengus. "Udah, nggak usah diundang," putusnya.

"Undang lah. Alamat emailnya belom ganti, nanti gue kirim lewat email. Mudah-mudahan dibaca." Selesai menghitung, Manda langsung menjawab. "Hadeuh, gue capek."

Sementara Nurcahaya langsung mencibir. "Lagian, ngurus undangan sendirian."

"Biarin," Manda menjulurkan lidahnya. "Eh, sini deh undangannya."

Nida memberikan sebagian undangannya pada Manda. "Itu udah ditulis semuanya. Tangan gue pegel anjir."

Saat ini, Manda, Nida dan Nurcahaya sedang mempersiapkan undangan pernikahan Manda dan Arka yang akan diselenggarakan sebulan lagi. Manda bahkan tak menyangka bisa menikah begitu cepat, bahkan sebelum dirinya menjadi perawat.

Kalau ingat kejadian di rumah Arka beberapa bulan lalu, Manda jadi malu.

Manda menatap pintu kamar Arka yang tertutup rapat. Arka marah padanya karena kelabilan wanita itu dan sifat menyebalkannya yang lain.

Manda menarik napas, lalu menghembuskannya kasar. Wanita itu tahu, kalau Arka pasti marah. Tapi, dia tidak tahu kalau marahnya Arka bisa membuatnya ingin menangis.

Saat sedang berpikir, sebuah suara muncul yang membuatnya hampir mengumpat.

"Arka, aku mau ngambil barang yang ketinggalan!"

Kenya. Itu suara Kenya. Jadi, teman yang menginap di sini tadi malam  yang dimaksud Sandra itu Kenya. Dan, Arka baru saja mengantarnya pulang.

Dalam hatinya, Manda mengutuk Kenya dan segala tingkah menyebalkan wanita itu. Sudah jelas Arka memiliki calon istri, tapi wanita itu sepertinya tidak peduli.

Manda menoleh, matanya bersitatap dengan Kenya yang berada di lantai dasar. Lantas, wanita itu mengetuk pintu kamar Arka tidak sabar. "Arka, ayok kita nikah!"

Manda terkekeh. Lucu juga kalau mengingat itu. Karena setelah Arka membuka pintu kamarnya, pria itu menampilkan ekspresi kaget yang lucu.

"Man, Kenya diundang nggak, nih?" Pertanyaan Nida membuyarkan lamunan Manda.

Manda menoleh. "Undang. Namanya diukir pake sepidol, Nid. Oh iya, kasih tulisan tamu VVIP biar tau rasa. Sekalian, kasih gambar bunga-bunga biar spesial."

Sementara Nida dan Nurcahaya yang mendengarnya langsung tertawa ngakak. "Segitunya, Man." Nida mendecak kagum.

"Iya dong. Bila perlu nih, gue kasih arak-arakan pas dia dateng. Terus, gue kasih kursi di depan pelaminan buat dia duduk biar nyaho. Siapa suruh gangguin calon suami orang? Kayak nggak laku aja," Manda mencibir.

"Tapi Man, gue suka gaya lo," Nida mengacungkan kedua ibu jarinya berlebihan.

---

"Arka, mau ke mana kamu?"

Arka yang sedang berjalan menuruni tangga dengan pakaian rapih berhenti karena pertanyaan Sandra. "Mau maen sama temen-temen."

"Sekalian dong, mampir ke butik buat ngambil baju Bunda yang salah ukuran waktu itu."

Arka melempar kunci mobilnya ke atas, lalu menangkapnya saat jatuh. "Arka mau malem mingguan sama Manda."

Sementara Sandra langsung mendecak. "Katanya mau maen sama temen-temen."

"Iya, abis itu ke rumah Manda. Ya udah, Arka ambilin kalo inget. Arka berangkat dulu." Lalu, tanpa menunggu ucapan dari Sandra, Arka langsung melenggang pergi keluar rumah.

"Dasar, semprul!"

---

Rayhan langsung tertawa ngakak begitu Aziz menyemburkan minuman ke baju Ivan yang membuat cowok itu mengumpat.

"Apaan, sih? Siapa yang suruh kalian masukin gue ke biro jodoh begituan? Nggak mau gue, kayak nggak laku aja," Aziz mengibaskan tangannya.

Sementara Ivan sedang sibuk membersihkan baju bagian depannya yang basah, Samuel menyeletuk. "Nih ya, Aziz boro-boro pacaran, dideketin cewek aja langsung nyebut. Kayak ketemu setan."

"Alah, sok polos lo, Jiz. Kayak gue nggak tau aja, lo kan suka ngoleksi majalah dewasa." Rayhan lagi-lagi tertawa ngakak.

"Sialan! Gue nggak gitu. Fitnah banget," sementara Aziz sebisa mungkin membela dirinya yang sedang dianiaya saat ini.

"Gue ketemu Lily," ucapan Samuel menimbulkan bunyi kursi berderit di sebelahnya.

"Gue ke toilet bentar. Liat, Jiz! Air liur lo menyatu sama baju gue. Bisa bakteri terus berjamur." Setelahnya, Ivan melenggang pergi meninggalkan ketiga temannya.

Rayhan menyeruput minumannya. "Ya udah."

"Lo nggak mau balikan apa, Ray? Kalo nggak mau buat gue aja."

Aziz langsung menyela. "Dasar cowok biadab. Udah punya calon istri malah cari selingkuhan."

Samuel menggelengkan kepalanya sambil mendecak. "Begitulah cowok, Jiz. Karena itu, gue nggak mau pacaran sama cowok."

"Bodo amat," Aziz malas menanggapi lebih jauh.

"Manda? Itu Manda, kan?"

Perkataan Rayhan membuat Samuel dan Aziz mengikuti arah pandang pria itu. "Bener. Woy, Manda!" Samuel mengangkat tangannya, bermaksud memberitahu keberadaan dirinya pada wanita itu.

Manda menoleh, lalu berjalan menghampiri. "Loh? Kalian nggak bareng Arka? Biasanya kayak idung sama upil, menyatu terus," wanita itu terkekeh.

"Perumpamaan lo nggak banget. Pak bos lagi jalan ke sini. Macet kali." Rayhan menepuk-nepuk kursi di sebelahnya, tempat Ivan duduk tadi.

Manda menurut. "Kayaknya selain Arka, anggota kalian kurang satu."

Samuel mengangguk. "Lagi ke toilet. Abis kena semburan asam klorida dari pinguin tropis."

Manda sebenarnya tak mengerti, tapi dia mengangguk. "Aziz banyak berubah ya sekarang, jadi makin ganteng."

Samuel dan Rayhan sama-sama menahan tawanya saat melihat Aziz tersenyum salah tingkah. "Man, baru lo orang yang muji Ajiz selain emaknya." Dan, pecahlah tawa Rayhan.

"Sori telat. Loh? Kamu ngapain di sini?" Arka yang baru sampai terkejut saat melihat Manda.

"Loh? Emangnya kenapa? Nggak boleh?" Wanita itu bertanya ketus.

"Cuma nanya. Itu Ajiz kenapa? Mukanya merah. Nahan boker?" Arka, pria itu menarik kursi di samping Manda.

Sementara Manda yang mendengar tata bahasa Arka langsung memukul keras bahu pria itu, membuat Arka mengaduh sakit. "Ajiz malu abis dibilang ganteng."

"Sama siapa?"

"Sama Manda," Samuel menjawab, mewakili Manda.

Sementara Arka langsung menoleh ke arah Manda yang berada di sampingnya. Pria itu menunjukkan wajah kesal. "Kamu nggak pernah bilang aku ganteng, kok udah muji Ajiz ganteng? Calon suami kamu itu siapa? Ajiz?"

Manda merapikan poninya yang diacak-acak Arka. "Aku cuma muji dikit."

Arka langsung menghela napas. "Itu masalahnya. Kamu liat muka Ajiz? Dia jadi malu gitu."

Aziz yang merasa jadi pemeran utama langsung menyeletuk. "Gue kaget, Ka."

Sementara Arka menatap Aziz tak suka. "Diem, gue nggak nyuruh lo ngomong."

Aziz dan Manda, keduanya sama-sama memutar bola mata malas.

"Liat? Kalian kompak banget keliatannya," Arka menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Kenapa mukanya?"

Manda mencibir. "Kamu itu calon suami pencemburu."

"Dan, kamu itu calon istri nyebelin."

Sementara Samuel dan Rayhan hanya menjadi penonton antara ketiganya. Menurut mereka, sepertinya seru kalau Arka dan Aziz adu jambak di sini. Maksudnya, adu jotos.

"Ngapain di sini?"

"Abis ketemu temen, terus dia udah pulang," Manda menjawab malas.

"Cowok?"

"Ya ampun, dia juga udah pulang duluan."

"Itu yang mencurigakan," Arka menekan hidung Manda. "Ayok pergi." Tanpa menunggu izin dari teman-temannya, Arka menarik Manda untuk berdiri, lalu membawa wanita itu pergi bersamanya.

"Temen lo, tuh!" Aziz menyeruput minumannya.

"Sori, kalo yang kayak gitu bukan temen gue." Samuel mengangkat kedua bahunya.

---

Sungguh, Manda sedang tak bisa mengontrol detak jantungnya dan deru napasnya yang menggila saat ini. Setelah membawa Manda pergi dari rumah makan cepat saji, pria itu mengajaknya jalan-jalan menyusuri trotoar sambil menautkan jadi mereka masing-masing. Itu yang membuat Manda sulit bernapas.

"Man?"

"Hm?"

"Jangan muji-muji Ajiz lagi."

Sontak saja Manda melepaskan tangannya dari genggaman Arka. "Ya ampun, sama Ajiz aja kamu cemburu? Ka, aku duduk di samping Ajiz aja dia istigfar mulu. Dikira aku setan kali."

Arka terkekeh. "Untungnya Ajiz kayak gitu," pria itu lalu kembali menggenggam tangan Manda. "Dingin," ucapnya.

"Man?"

"Apa lagi?"

"Aku suka rambut kamu yang baru."

Perkataan Arka sontak membuatnya menunduk malu. Tak dipungkiri, Pipinya pasti sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Arka?"

"Apa? Mau batalin pernikahan lagi?"

Detik itu juga, Manda berhenti berjalan dan langsung memukul bahu Arka keras.

"Aduh, kok dipukul?!"

"Kamu tuh suuzon aja terus. Mau ngatain aku yang suka batalin pernikahan?"

"Aku nggak bilang gitu. Kamu yang bilang."

Lagi, Manda memukul bahu Arka. Tapi, kali ini lebih keras.

"Apa, sih?" Arka bertanya tak suka.

"Terus aja ungkit masalah itu. Dasar, calon suami tukang sindir."

Arka mendengus. "Tukang pukul." Tepat setelah Arka mengucapkan itu, Manda ingin memukul bahunya lagi. Tapi, Arka berkata sebelum tangan itu menyentuh bahunya. "Apa? Tuh kan, mau pukul lagi."

Bukannya memukul, Manda justru mengacak-acak rambut Arka. "Orang mau gini."

Perlakuan Manda lantas membuat Arka tersenyum. "Ah, nyaman juga."

Setelah itu, Manda tetap memukul bahu Arka. Tapi, sebelum Arka mengaduh, Manda sudah berbicara. "Jangan mengaduh!" Membuat Arka bungkam.

Keduanya kembali melanjutkan langkah mereka. Manda selalu mencuri-curi pandang ke arah Arka yang sekarang sedang merengut kesal karena dipukul bahunya sebanyak tiga kali. Tapi, Manda yakin kalau pukulannya tidak terlalu keras bagi seorang Arka. Pria itu memang berlebihan.

"Ka?"

"Jangan ajak aku ngomong. Aku marah."

Manda menghela napas. "Dasar, calon suami kekanakan!" Wanita itu terkekeh.

"Dasar, calon istri ratu tega. Ayok pulang! Kamu besok kerja. Jadi, harus istirahat yang cukup."

Manda tersenyum saat Arka menggandeng tangannya berbalik arah menuju rumah makan cepat saji tadi. Karena pria itu meninggalkan mobilnya di sana, jadi mereka harus kembali. Arka menggenggam tangan Manda masih dengan wajah ditekuk. Tapi, Manda tahu, meskipun terlihat marah, nyatanya Arka tidak benar-benar marah.

---

Pernikahan Arka dan Manda akan dilaksanakan seminggu lagi. Itu artinya, selama seminggu pula Arka dan Manda tidak boleh bertemu. Tentu saja itu semakin membuat Manda tersiksa. Dia sudah begitu merindukan Arka, tapi tidak boleh bertemu.

Dan ternyata, Nazwa sudah kembali ke jakarta tepat dua minggu sebelum acara pernikahan berlangsung. Dan saat ini, Manda dan ketiga temannya sedang berada di kamar wanita itu yang diubah jadi salon mendadak.

Nurcahaya sedang serius memoleskan sesuatu di rambut Manda yang dipotong sebahu. Karena sebelum itu, rambutnya sudah panjang menyentuh pinggangnya. "Ya ampun, aura calon pengantin lo keliatan banget."

Sementara Nazwa sedang memoleskan sesuatu ke jari-jari Manda. "Abis ini kita maskeran bareng-bareng, ya?"

Nida yang sedang memoleskan sesuatu di lengan Manda mengangguk antusias. "Iya nih, gue iteman."

"Nurcahaya sekarang putihan, padahal dulu kotoran." Manda tertawa ngakak yang langsung disambut jitakan Nurcahaya.

"Bahasa lo itu menyakitkan. Tai kali gue kotoran."

"Nanti pas acara pernikahan, jangan lupa pake seragam yang gue kasih. Karena kalian itu udah gue anggap keluarga." Manda memukul tangan Nida saat lengannya ditekan terlalu keras.

"Siap Ibu menejer," Nazwa terkekeh.

"Ya, ampun, gue jadi mau nangis kalo inget seminggu lagi bakal sah jadi istri orang. Padahal, rasanya baru kemaren gue bisa jalan."

Nurcahaya mengangguk. "Iya, waktu berjalan cepet banget. Padahal, rasanya baru kemaren kenalan sama lo. Eh, udah mau nikah aja."

Nida langsung memekik begitu ada seseorang yang masuk lewat jendela kamar Manda. "Arka?"

Arka, pria itu menempelkan jari telunjuknya pada bibir, bermaksud menyuruh mereka diam. "Gue mau ketemu sama Manda, pliss! Kangen."

"Ya ampun!" Manda yang mengenakan celana pendek sejengkal di atas lutut langsung menarik selimut hingga menutupi kakinya. Tapi, sepertinya Arka sudah melihat itu.

"Nggak bisa," Nida langsung menghadang. "Pulang lo! Atau gue teriak biar Om Reza sama Bang Zafran denger."

"Nid, nanti lo gue beliin es pisang ijo sebanyak yang lo mau deh." Entah dari mana Arka tahu kelemahan Nida yang satu itu.

Nida tampak berpikir. Masalahnya, mencari penjual es pisang ijo itu susah di lingkungan rumahnya. Tanpa sadar, Nida mengangguk. "Oke."

"Nida doang? Gue sama Nazwa?"

Arka melupakan tentang Nurcahaya dan Nazwa.

"Udah malem nih, pulang aja sana!" Nurcahaya mendorong bahu Arka hingga mendekat ke jendela tempatnya masuk tadi.

"Eh, Nur, gue beliin DVD kartun animasi yang lo mau deh. Sebanyak-banyaknya." Akhirnya, Arka menemukan titik kelemahan Nurcahaya.

Nurcahaya tampak berpikir, sebelum akhirnya membuat keputusan. "Oke deh."

Arka lalu menatap Nazwa. "Apa? Lo mau nyogok gue pake apa?" Wanita itu melipat tangannya di depan dada.

Pria itu tampak berpikir, kira-kira apa yang menjadi kelemahan Nazwa yang bisa digunakannya saat ini. "Kelemahan Adam. Gue bakal kasih tau lo kelemahan Adam. Gimana?"

Sungguh, ini tawaran yang paling menarik untuk Nazwa. Jadi, wanita itu mengangguk. "Deal. Tapi, gue kasih lo waktu lima belas menit. Kalo lo belom pulang, gue bilangin Om Reza biar gagal nikah."

Arka mendecak. "Bentar amat. Oke deh. Ya udah, sana keluar."

Nazwa menggeleng keras. "Nggak bisa. Kita bakal tetep di sini."

"Kok gitu?!"

Sementara Manda yang memperhatikan hanya terkekeh geli. Sungguh, Arka terlihat menggemaskan.

"Terserah. Lima belas menit dan kita tetep di sini, atau nggak sama sekali. Siapa yang tau kalo lo bakal melakukan tindakan nggak senonoh di sini?" Nazwa mengajukan penawaran, sekaligus memperingatkan Arka.

Sementara pria itu menarik rambutnya kesal. "Astagfirulloh. Ya udah, terserah," Arka berjalan mendekati tempat tidur Manda. "Hai," sapanya.

"Hm," Manda menjawab pura-pura malas.

"Aku nggak leluasa kalo diperhatiin gitu. Nyebelin banget nggak, sih?" Arka berbisik, membuat Manda sebisa mungkin menahan tawanya.

"Dilarang berbisik! Kita jadi nggak bisa denger kalian ngomongin apa aja!" Nida yang berada di sudut ruangan berkomentar.

"Nyebelin, kan?" Arka mendengus. "Aku sumpahin-"

Belum menyelesaikan ucapannya, Manda menghentikannya dengan jari telunjuknya yang berada di depan bibir Arka. "Jangan nyumpahin temen-temen aku. Mereka kayak gini, karena mereka sayang sama aku. Mereka takut kamu macem-macemin aku."

"Emangnya aku gitu?"

Bunyi ponsel Manda yang berada di samping Arka membuat pembicaraan mereka berhenti sementara. Arka, pria itu mengambil ponsel Manda dan melihat nama si pemanggil.

Mario's calling

Arka langsung menunjukkannya pada Manda. "Liat? Kamu ketauan lagi."

"Ketauan apa?"

"Selingkuh."

"Heh! Ya udah, matiin aja," Manda berkata tidak peduli.

"Sebenernya sejauh mana hubungan kalian ini. Berapa kali dia nelepon kamu? Jangan-jangan sering jalan juga."

Karena gemas, Manda memukul bahu Arka. Kebiasaan Arka sebelum pria itu mengaduh, Manda berkata. "Jangan mengaduh!" Membuat Arka bungkam. "Pikiran kamu itu harus dicuci biar nggak suuzon terus."

Bunyi ponsel berhenti, Menandakan panggilan terputus. Jari-jari Arka langsung bergerak lincah di ponsel Manda.

To: Mario

Ngapain lagi, Nyet? Ganggu aja lo!

Setelahnya meletakkan kembali ponsel Manda di atas tempat tidur. Tapi sebelum itu, Arka menghapus pesannya tadi. "Aku pulang. Sampai ketemu seminggu lagi."

---

Manda mengatur napasnya yang seolah menipis. Saat ini, dia dan ketiga temannya sedang menyaksikan Arka dan para tamu undangan serta keluarga besar keduanya di depan televisi. Arka terlihat tampan saat mengenakan setelan jas seperti itu. Terlebih, statusnya akan berubah menjadi suaminya beberapa menit lagi.

"Gue deg-deg-an," itu suara Nurcahaya.

"Kayak lo yang mau nikah aja," Nida mencibir.

Sementara Nazwa masih sibuk membenarkan kebaya Manda dan make up wanita itu. "Ah, nggak bener nih periasnya!"

"Udah, Wa. Manda udah cantik gitu, mau di apain lagi?" Nida sepertinya mulai jengah dengan kelakuan Nazwa.

Manda yang dibilang cantik lantas tersenyum malu.

"Saya terima nikah dan kawinnya Allamanda Cathartica binti Reza Radian dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Bagaimana saksi? Sah?"

"SAH!"

"Alhamdulillah."

Air mata Manda lolos begitu saja saat mendengar kata 'alhamdulillah' yang diucapkan penghulu dan orang-orang yang menyaksikan. Sungguh, rasanya begitu menyentuh hatinya.

"Selamat ya, Man."

Ketiga temannya memandang Manda haru. Sementara Manda juga tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan rasa sedihnya. Bahagia karena sudah menikah dengan Arka, sedih karena harus berpisah dari Reza dan Abangnya. "Makasih."

"Ayok, Mas Arka udah nungguin," goda Nurcahaya yang langsung membuat ketiganya terkekeh.

"Nur, gue malu."

"Ya elah, alay amat. Buruan, nanti gue embat Mas Arka-nya."

Manda mendengus. "Masih aja, Nur."

Manda berjalan hati-hati keluar dari ruangan yang sudah disediakan hotel sebagai tempatnya berias diri. Dia takut sekaligus malu. Bagaimana kalau wajahnya terlihat aneh?

Semakin dekat dengan ruangan utama, Manda semakin takut bertemu orang-orang banyak. "Inget, Man, senyum."

Manda mengangguk. "Malu, Nid."

"Wajar," Nida memaklumi.

Nazwa, Nida dan Nurcahaya membantu Manda duduk di samping Arka.

"Manda, sekarang kamu tanggung jawab Arka. Arka, Ayah titip anak Ayah sama kamu. Jagain dia, sayangi dia lebih dari yang bisa Ayah berikan untuknya," Reza menghela napasnya berat.

Manda menoleh ke sampingnya, lalu mencium punggung tangan Arka. Dan, Arka mencium kening Manda. Manda mendengar Arka membisikkan sesuatu di telinganya. "Kamu cantik."

Setelahnya, keduanya saling memasangkan cincin secara bergantian, kemudian manandatangani buku-buku penting. Sekarang, keduanya sah menjadi suami-istri di mata agama dan juga hukum.

Manda lalu mencium punggung tangan Reza, kemudian memeluk Ayahnya sambil menangis.

"Udah, nanti make up-nya luntur," meski ingin menangis juga, tapi sebisa mungkin Reza menahannya. Dia tidak ingin Manda menjadi berat meninggalkannya nanti. "Kamu udah cantik, nanti cantiknya ilang gara-gara nangis."

Sementara Arka yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Dia tahu, terlalu berat bagi Manda meninggalkan Reza yang hanya sebagai orangtua tunggal.

Setelah Manda melepaskan pelukannya dan bergeser ke orangtua Arka, Arka mencium punggung tangan Reza. "Jaga Manda baik-baik," Ayah mertuanya menepuk bahu Arka berkali-kali.

"Pasti, Yah."

---

Resepsinya diadakan jam dua siang, setelah acara ijab qobul berakhir. Manda sedang berdiri di samping Arka, ikut menyalami para tamu yang datang silih berganti. Tapi, kebanyakan memang rekan bisnis Arka atau karyawan kantor.

Dan, sudah delapan jam kira-kira Arka dan Manda duduk, lalu berdiri untuk bersalaman dengan para tamu yang mengucapkan selamat. Meski sudah malam, tapi tamu yang datang sepertinya belum juga berakhir.

Teman-teman Arka dan teman-teman Manda sudah datang sejak tadi dan asik melahap makanan-makanan yang disajikan. Bahkan, mereka dengan tidak tahu malunya membuat kehebohan sendiri.

"Kenya belom dateng?"

Arka menggeleng. "Kenapa nanyain Kenya?"

"Nanya aja."

Masih ingat janji Manda dengan Adam untuk mengundang Pak Dasuki di hari pernikahannya? Dan, ternyata janji itu berhasil Manda laksanakan. Tidak hanya Pak Dasuki, tapi juga keluarga beliau. Sekarang, beliau dan keluarganya sedang asik berbincang dengan teman-temannya yang alumni SMA Global.

Tak lama, tamu yang ditunggu-tunggu Manda akhirnya datang juga. Kenya datang sendiri, sesuai dugaannya.

"Selaman ya, Ka. Aku nggak nyangka kamu udah nikah aja."

Manda bisa melihat ada gurat sedih dan kecewa dari wajah Kenya. Haha, rasakan!

"Selamat, Manda."

"Makasih."

"Oh iya, Ka. Bunga-bunga di undangannya bagus. Namaku juga bagus diukirnya."

Dalam hatinya, Manda sekuat mungkin menahan tawa.

"Bunga-bunga?" Sementara Arka mengernyit tak mengerti.

Kenya mengangguk. "Aku ke sana dulu, ya?" Setelahnya, wanita itu berlalu pergi.

Dan, meledak lah tawa Manda. Katakan dia jahat, tapi itu pantas untuk Kenya. Sesekali membuatnya sadar tentang posisi wanita itu tidak masalah, kan? Kalau dengan cara baik-baik tidak bisa, ya dengan cara ini.

"Kamu apain undangan dia?"

"Dikasih sesuatu yang spesial."

Thank you Nida


-------------------------------------------------------------


Dan, bonus chapter ketujuh adalah bonus chapter terakhir dari cerita ini. Jadi, tunggu satu bonus chapter lagi, ya?

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya biar saya semangat ngetik.

Thank u

Continue Reading

You'll Also Like

14M 89.1K 11
#rank 1 kategori fiksi remaja ( 5sep2019) #rank 1 kategori remaja (7sep 2019) # rank 1 kategori school (26 Novr 19) Sani delva adhitama, lelaki yan...
4.8M 445K 81
[TELAH DITERBITKAN]Nikah sama musuh sendiri? Mendingan gua loncat dari pohon toge dah
893K 23.4K 82
"quotes tentang kehidupan sehari hari remaja, terutama tentang cinta" "dari cinta yang menyakitkan hingga yang membahagiakan"
3M 157K 45
[PROSES PENERBITAN] Menurut anak IPA, anak IPS itu terlalu bodoh. Hanya bisa mengandalkan kenakalan, berbeda dengan anak IPA yang membanggakan presta...