OBSESSION

By slay-v

99.7K 10.2K 6K

Bethany Chance dan Aimee Parker. Mereka gadis berusia 17 tahun yang sekilas terlihat seperti remaja pada umum... More

OBSESSION
CAST
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 30 (2)
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 34 (2)
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 36 (2)
Chapter 37
Chapter 37 (2)
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Epilog
Author's Notes
Random Part
Bonus Chapter: Through The Dark
Bonus Chapter: After
Bonus Chapter
Bonus Chapter: Tough Guys

Chapter 17

1.5K 171 164
By slay-v

"Ca-cari Aimee. Juga ... Zayn."

Beth memijati kepalanya yang terasa pening setiap mengingat dua kalimat Liam yang diucapkannya pada Beth beberapa jam yang lalu. Beth tidak habis fikir, kenapa Liam sempat-sempatnya memikirkan Aimee dan Zayn di saat kondisinya pun buruk?

Kalau dia memikirkan Zayn wajar. Zayn sahabatnya. Tetapi Aimee? Beth berbatin sedih. Ia memejamkan matanya, berharap fikiran negatif yang kerap datang kepadanya segera lenyap. Aimee bukanlah siapapun baginya selain seorang fans! Tapi Zayn—

"Beth."

Beth tersentak mendengar suara Niall yang tiba-tiba. Ia mendongakkan kepalanya, dan mendapati lelaki dengan rambut blonde itu berlutut di hadapannya dengan senyuman tipis. Niall menyodorkannya sekaleng soft drink.

"Kau butuh minuman," Niall membuka kaleng tersebut sebelum memberikannya kepada Beth. "Minumlah."

Beth mengusap air matanya, kemudian menerima kaleng minuman tersebut dari tangan Niall dengan enggan. Namun sebelum Ia mengambil kaleng darinya, Beth merasakan setetes air menyentuh permukaan tangannya.

"Ni-Niall?" Beth memanggil nama pria di depannya dengan getir. Perasannya kian memburuk ketika mendapati orang itu ternyata menangis. "Niall, jangan—"

"Liam mati, Bethany."

Beth spontan menangis, lagi. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya agar Niall tidak melihat raut wajahnya yang aneh ketika menangis. Namun tentu saja, selanjutnya Niall merasa bersalah karena membuat gadis itu terisak. Niall kini memeluk Beth erat.

"Maafkan aku," Niall terisak. Air matanya tumpah, entah untuk keberapa kalinya hari ini. Ia sangat merasa tertekan dan sedih karena tahu nasib Liam sekarang. "Maafkan aku, Beth."

Harry dan Greyson yang ada di sekitar Niall bungkam. Tidak ada niat menghibur Niall dan Beth karena nasib keduanya—bahkan Harry, tak jauh berbeda. Harry sesenggukan. Ia mencoba menahan air matanya, tetapi setiap Ia mengingat peristiwa dua jam yang lalu, Ia menangis lagi. Batinnya seakan terus menjerit sedih karena kehilangan sahabat terbaiknya.

"Tenanglah, Harry," Greyson mengusap pundak lelaki itu dengan desahan pasrah. "A-aku turut berduka cita."

Tak Greyson duga, tangisan Harry mengeras, bahkan menggema hingga ke ujung lorong Rumah Sakit—yang untungnya saja sepi. Tapi bukan berarti Greyson tidak merasa bersalah. Karena tidak tahu harus melakukan apa, Ia pun memeluk pria itu. Rasa canggung langsung menyelimutinya, terutama ketika Beth menatapinya.

"Dimana Louis?" tanya Greyson saat teringat orang satu itu. "Aku tidak melihatnya sedari tadi."

"Keluarga Mr.Payne?"

Seorang dokter bernama Kenny keluar dari ICU seraya membuka masker yang menutup mulutnya. Matanya melirik keempat pemuda yang kini berdiri di depannya dengan raut wajah penuh kekhawatiran. "Kalian saudara Liam?"

"Ya," Niall mengangguk cepat. Matanya tak bisa lepas dari tangan Dokter Kenny yang terbungkus sarung tangan yang berlumuran darah. "Kami saudaranya."

"Orang tua Liam dalam perjalanan kemari," Harry menambahkan dengan suara yang bergetar—efek karena menangis tadi. Ia menerima sapu tangan yang disodorkan Greyson untuk mengeringkan air mata di pipinya. "Bagaimana kondisi Liam?"

Dokter Kenny ber-oh sambil menganggukkan kepalanya. Ia terlihat sangat santai, yang tentu saja membuat Niall, Harry, Greyson dan Beth cukup heran.

"Keadaan Liam kritis. Ia mengalami luka bakar ringan di kaki, lengan dan leher. Tangan kirinya pun patah. Kira-kira butuh waktu dua minggu baginya untuk sembuh total—"

"What?" Beth menggumam bingung. "Kritis?"

"Dia tidak mati?!" Greyson bertanya dengan cengiran lebar di wajahnya.

"Tentu saja tidak," Dokter Kenny memandangi Greyson heran. "Liam selamat."

"Oh fuck!" Harry menangis bahagia. Ia langsung melompat dan memeluk Niall, Greyson dan Beth sekaligus. Bahkan kakinya nyaris melingkar di pinggang Greyson. Di sisi lain, wajah Beth merah padam. Bukan karena malu. Melainkan menahan segala emosi terpendamnya agar tidak meledak-ledak.

"Maafkan dia," Niall berujar dengan malu sesaat setelah Ia memaksa Harry melepas pelukannya.

"Well," Dokter Kenny menyembunyikan keterkejutannya.  "Aku mengerti kalian bingung. Tentu kalian tahu media massa terkadang penuh dengan omong kosong. Tapi kurasa, biarkan mereka memberitakan kematian Liam. Setidaknya mengulur waktu untuknya, juga kalian untuk beristirahat. Aku tahu apa yang kalian alami akhir-akhir ini membahayakan nyawa, dan tentu saja melelahkan."

"Ide bagus," Niall mengangguk setuju. Ia menoleh untuk menatapi Beth, Greyson dan Harry.

"Boleh kami menjenguknya sekarang?" Beth bertanya dengan tidak sabaran. Tetapi perasaannya jauh lebih baik setelah mengetahui bahwa Liam baik-baik saja—maksudnya hanya mengalami cedera.

"Tidak, maaf. Liam masih belum sadar setelah kami melakukan operasi padanya untuk mengeluarkan pecahan kaca dari tubuhnya, serta melakukan CPR berulang kali karena detak jantungnya sempat lenyap. Besok, boleh kalian menjenguknya."

"Tapi, Dok," Harry mencegah Dokter yang hendak pergi. Ia bertanya dengan ekspresi bingung, "bagaimana Liam bisa selamat? Dia di dalam mobil yang meledak."

"Ya. Kami melihatnya sendiri," Greyson mendekapkan tangannya. "Sabuk pengamannya tersangkut, membuatnya sulit untuk keluar."

Dokter berfikir selama beberapa detik. "Polisi tadi sempat berbicara padaku," ujar Dokter Kenny. "Sepertinya sabuk pengaman Liam dan Shahid terbakar hingga mereka jatuh. Lalu Shahid, yang semobil dengan Liam mengeluarkannya dari sana. Padahal kondisi Shahid lebih buruk. Makanya aku heran kenapa Shahid mampu menarik Liam keluar mobil padahal Ia mengalami gegar otak parah karena peristiwa itu. Malah seharusnya Shahid tidak sadarkan diri. Dia orang yang cukup kuat."

"Shahid," Harry bergumam dengan terkejut. Ia bahkan baru ingat bahwa orang itu semobil dengan Liam. "Tapi, gegar otak parah?!"

"Ya. Tulang rusuk Shahid patah dan telinga kanannya tuli karena benturan keras dengan kaca. Apalagi setengah badannya terbakar saat Ia menarik Liam keluar mobil. Itu malah memperburuk keadaannya. Jadi—"

"Dimana dia sekarang?" Beth bertanya penuh kekhawatiran. Ia ingin menjenguk Shahid. Bagaimana pun masalahnya dengan Shahid tempo lalu, mungkin sebaiknya dilupakan saja. Apalagi Ia telah menyelamatkan Liam. "Kami ingin melihat keadaannya."

"Maaf," Dokter Kenny tersenyum iba. "Dia tidak selamat."

Beth, Niall, Greyson dan Harry terkejut bukan main. Mulut mereka terbuka, merasa syok karena mendengar berita dari Dokter.

"Tidak," Harry tertawa ironi. "Kalau Liam selamat, tentu juga Shahid selamat!"

"Sudah kubilang tadi. Dia menarik Liam keluar mobil. Shahid menyelamatkannya. Tapi karena itu tubuhnya mengalami luka bakar hebat hampir di sekujur tubuhnya. Apalagi kondisi kepalanya pun mengalami gegar otak."

Setelah mengatakan itu, Dokter Kenny beranjak pergi. "Aku ingin menghubungi keluarga Shahid. Kalian lebih baik pulang dan beristirahatlah. Kuyakin Liam sudah sadar besok hari."

Beth menatap punggung Dokter itu hingga hilang dari pandangannya. Barulah, Ia bereaksi. Beth langsung terduduk di atas kursi, mengusap pelipisnya kasar. Ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya sekarang. Terkejut? Ya. Merasa menyesal? Pastinya. Ia selalu menganggap Shahid adalah orang terburuk yang pernah ada. Ternyata? Orang itu menyelamatkan Liam!

"Tidak mungkin," Greyson mengacak-ngacak rambutnya. "God! Aku merasa seperti bajingan sekarang!"

"Kita," ralat Harry dengan sarkastik. "Kita semua bajingan."

"Itu tidak membantu!" Niall memekik. Dengan frustasi Ia menarik rambutnya ke belakang sebelum berkata, "oh my god. Aku tidak menyangka Shahid akan melakukan itu!"

Beth mendongak, memerhatikan Harry, Niall dan Greyson yang saling menyalahkan diri sendiri. Beth agak terkejut karena tiba-tiba merasa rasa nyeri yang sangat di kepalanya. Selanjutnya Ia merasa pening dan pandangannya memburam.

Shit. Ada apa denganku? Beth menyender ke dinding. Ia mencoba menenangkan dirinya. Ia mengira kalau dirinya kini tengah syok karena kenyataan yang Ia hadapi sekarang. Shahid tewas menyelamatkan Liam. Dan aku selalu menganggapnya orang paling brengsek di dunia!

"Beth? Beth!"

Beth dapat mendengar suara Harry memanggil namanya dengan panik, bertepatan saat pandangan Beth semakin kabur. Dan detik selanjutnya, Beth tidak sadarkan diri.

***

"Bagaimana, Dok?" Greyson bertanya dengan khawatir ketika Dokter Kenny selesai memeriksa keadaan sepupunya, yang tadi pingsan secara tiba-tiba dan membuatnya serta Niall dan Harry panik bukan main.

Dokter Kenny melepas stetoskop dari telinganya. Ia meraba dahi Beth lalu berucap, "dia syok, dan kurang istirahat. Berdasarkan apa yang kalian alami akhir-akhir ini wajar saja dia merasa seperti itu," ujar Dokter Kenny tenang. "Tak perlu terlalu khawatir. Biarkan saja dia beristirahat dan kondisinya akan pulih."

Greyson mengangguk paham. Ia mengucapkan kata terima kasih saat Dokter kembali meninggalkan mereka di lorong yang sama; di depan ICU dimana Liam berada.

"Kurasa kita pulang saja sekarang," usul Niall. "Beth harus beristirahat di tempat yang nyaman."

"Kau benar," Greyson mengangguk setuju. Ia mencoba menggendong Beth seperti yang pernah Ia lakukan tempo hari. Tapi kondisi tubuhnya yang lelah membuatnya kesulitan melakukannya. "Sial. Aku kurang berolahraga."

Niall tersenyum, menahan tawanya. "Biar aku yang menggendongnya," Niall menawarkan bantuan. Ia melepaskan jaket yang Ia kenakan untuk menutupi tubuh Beth yang saat itu hanya memakai kaus tipis dan cardigan. "Kau menyetir. Oke, Grey?"

Greyson mengangguk setuju. Ia memerhatikan Niall yang menggendong Beth di atas punggungnya, tanpa merasa keberatan sedikit pun. Ia baru saja akan melangkah bersama Niall menuju ujung lorong saat menyadari sesuatu. Ia menoleh kepada Harry yang sedari tadi diam, "Harry, dimana Louis?"

Harry menghela nafas. Ia tahu Louis kini pasti merasa marah, sedih dan frustasi. Ia melihat bagaimana reaksi Louis ketika mobil yang ditumpangi Liam dan Shahid meledak. Louis menjerit, menangis meraung. Bahkan nyaris melukai dirinya sendiri seperti mencakar jalan dengan jemarinya hingga berdarah.

Dan Harry tahu apa yang sedang Louis lakukan sekarang.

"Aku akan mencarinya," Harry menggaruk kulit kepalanya sebentar sebelum berbalik. "Kalian tunggu saja kami di mobil."

Niall mengangguk. Ia dan Greyson pun segera menuju parkiran, sedangkan Harry berjalan ke lorong dekat pintu emergency exit, dimana Ia melihat Louis disana. Dan penglihatannya memang tidak salah. Ia mendapati seorang pria yang lebih tua tiga tahun darinya, memakai jaket adidas hitam sedang bersender pada dinding. Dia menyesap suatu batang putih di jemarinya, lalu Ia mengeluarkan asap putih dari mulutnya.

Harry menggelengkan kepalanya tak percaya. Dugaannya benar. Louis merokok.

"Dilarang merokok di Rumah Sakit," tegur Harry.

Louis menoleh. Masih memasang ekspresi dingin kepada Harry sebelum kembali menyesap rokoknya, "go away," usir Louis datar.

Harry tidak mendengarkan. Ia berdiri menyender di dinding di seberang Louis, memerhatikan sahabatnya itu yang terus merokok. Ekspresinya begitu kontras bahwa Ia sangat sedih . Harry tak tega melihatnya. Ia tahu Louis terpuruk.

"Lou," ucap Harry pelan. Ia baru saja akan membuka mulut lagi saat Louis berkata dengan emosi campur aduk.

"Zayn, lalu Liam ..." Louis mencibir sebal. Ia menyesap rokok lagi dengan dahi berkerut. "Siapa lagi selanjutnya? Adik-adikku? Ibuku?"

"Louis," Harry menggelengkan kepalanya. "Liam selamat."

Louis terbatuk karena asap rokoknya sendiri. Ia mendongak, sepasang mata birunya menatapi Harry penuh keterkejutan. "Tidak mungkin."

Mata Harry menyipit dan ekspresinya berubah keheranan karena mendengar respon Louis. "Apa maksudmu tidak mungkin?" Harry bertanya dengan tawa tertahan. "Liam selamat. Ia mengalami cedera yang cukup parah. Dan kita baru boleh menjenguknya besok."

Louis tergelak pelan. "Sialan. Dia membuatku panik," Ia bergumam pelan. "Hebat juga dia selamat dari ledakan seperti itu." Louis tersenyum, merasa berkali lipat lebih lega dari pada sebelumnya. "By the way, Harry."

"Hm?"

"Apa kau pernah berfikir, bisa saja orang-orang idiot itu mengincar ... fans?"

Harry menatap sahabatnya selama enam detik sebelum menyahut. "Sering, Lou," Ia menjawab getir. "Para kriminal itu sudah berani mengincar keluarga kita. Bukan tidak mungkin selanjutnya fans."

"Fuck," Louis mengumpat lagi, lalu menyesap rokoknya untuk kesekian kalinya. Dia bingung harus melakukan apa. "Harry."

Harry mendongak, menatap Louis ketika sahabatnya itu memanggil namanya. Ia mendapati Louis masih menyender di dinding di seberangnya, tersenyum lebih tulus dari pada sebelumnya.

"I'm gonna stay  here till the end,"ucap Louis dengan ekspresi percaya diri. "How about you?"

"Kau bercanda?" Harry tergelak. "Tentu saja, mate."

Louis mengangguk puas mendengar jawaban Harry. Namun Ia menunjukkan kegembiraannya dengan melempar puntung rokoknya yang masih menyala ke kaki Harry. Tentu saja Harry terlonjak untuk menghindar, Ia bahkan nyaris terpeleset namun berhasil bertumpu ke dinding.

"Fuck you!"

"Me too, Horton."

***

( Beth's Pov )

"Kau tidak akan mencariku?"

Aku menoleh kepada seorang perempuan yang berdiri cukup jauh dariku. Aku tak dapat melihat wajahnya karena Ia berdiri di hadapan cahaya yang seterang matahari, menyebabkan sekujur tubuhnya tertutupi oleh bayangan.

Tapi aku kenal suaranya.

"Aimee?" suaraku nyaris memekik karena terkejut. Aku melangkah mendekatinya, namun entah kenapa aku tidak mendekat. Malah semakin menjauh darinya. "Hei! Aimee!"

"TOLONG!"

Aku menoleh. Suara itu berasal dari belakangku, dan aku tahu itu suara siapa.

Suara Zayn!

"Zayn?!" aku berbalik, maju beberapa langkah untuk mencari suaranya. "Zayn!"

"Siapa yang kau pilih, Beth?"

Aku terdiam bingung karena mendengar pertanyaan dari Aimee.

"Aku ... atau, Zayn?"

Aku berbalik lagi, menjerit penuh ketakutan saat menyadari Aimee sudah berdiri di belakangku dengan kondisi tubuh babak belur dan penuh luka.

...

Aku merasakan tubuhku tersentak terkejut ketika aku sepenuhnya terbangun. Kupejamkan kedua mataku dan tanganku yang berkeringat mencengkeram bantal di bawah kepalaku. Sekejap saja perasaanku menjadi tidak karuan. Jantungku berdebar cepat, membuatku merasa gelisah dan ketakutan.

Sial. Ini pertama kalinya aku memimpikan Aimee sejak tiba di London.

Apa ini tandanya dia dalam bahaya?

"Cklek."

Aku langsung menoleh ke belakang begitu mendengar suara pintu terbuka. Aku mengira itu Greyson namun ternyata bukan, melainkan Niall. Ia datang sambil membawa dua buah mug. Ketika sadar aku menatapnya, kedua sudut mulutnya tertarik ke atas, membentuk senyuman lebar yang begitu menular.

"Aku tahu kau akan bangun di tengah malam!" ucapnya, masih tersenyum. "Kebetulan aku membuat minuman hangat. Tapi kufikir, jika kau tidak bangun, aku akan minum dua minuman hangat ini sekaligus."

Aku hanya nyengir mendengar ucapan Niall karena sesungguhnya, gadis batinku telah melonjak-lonjak karena melihat Niall. Demi apapun, aku merasa darahku seakan berdesir cepat saat melihatnya tersenyum tadi. Dia sungguh ... menggemaskan! Tetapi anehnya, reaksiku tidak "segila" saat-saat pertama aku bertemu dengannya. Aku menjadi lebih tenang—walaupun rasanya sama saja; jantungku seperti akan meledak, tangan dan kakiku gemetar serta gadis batinku yang siap pingsan kapan saja. Mungkin ini karena aku telah terbiasa telah di dekat mereka.

"Bagaimana perasaanmu?" Niall bertanya sembari duduk di sisiku. Dia menoleh, tersenyum lagi—dan sumpah, kakiku semakin gemetar sekarang.

Tapi tunggu. Kenapa dia bertanya seperti itu?

"Maksudmu?" aku bertanya bingung.

"Kau pingsan di RS tadi karena shock. Kau lupa itu?" Niall memberikanku mug di tangan kanannya. Oh, hot chocolate. "Saat tiba di rumah, suhu tubuhmu tiba-tiba panas. Karena Greyson sudah merawatmu sejak pulang tadi, kurasa Ia kelelahan jadi sekarang giliranku. Minum ini."

Dengan kaku aku mengangkat mug itu dan menyesapnya sedikit. Aku—yang semula tadi rasanya seperti ingin pingsan—seratus persen merasa lebih rileks setelah meminum cokelat panas ini. Niall Horan membuatku cokelat panas. Wow. Kuharap aku bisa bernafas dengan lancar selama berbincang dengannya. "Mmm. Ini lezat," aku menjilat bibirku. "Terima kasih, Niall. Maaf merepotkanmu. Seharusnya kau tidak melakukannya."

"B, kau tamu disini dan kau pantas mendapatkan layanan yang baik dari kami, oke?" Niall tersenyum santai, seakan merawatku adalah bukan masalah baginya.

Tapi bagiku kata mendapatkan layanan yang baik dari kami sungguh ambigu.

"O-oke," aku menggelengkan kepalaku, mengusir fikiran aneh itu dari kepalaku. Dasar. Rasanya kepolosanku sudah hilang entah kemana sejak aku bergabung di fandom ini.

"Beth. Maaf. Aku ingin merasakan suhu tubuhmu."

Mataku membulat ketika mendengar ucapannya. Baru saja aku ingin menoleh, telapak tangannya berada di dahiku. Tubuhku langsung kaku. Bahkan mataku kini melotot, menatapi Niall.

Apa aku masih hidup?!

Niall mengusap dahiku!

DAN DIA MEMBERIKANKU HOT CHOCOLATE—Asdjdljsdhd *mati*

"Suhumu sudah turun," kini tangannya bergerak menuju pipiku. Apa yang dia lakukan?! Apa dia mencoba membunuhku?! "Saat kau masih pingsan tadi suhu tubuhmu nyaris 40 derajat."

Mataku membelalak. Serius? Aku tidak pernah demam hingga suhu tubuhku setinggi itu.

"Kau tidak tidur?" tangan kiriku meraih ponsel di sisi kasur, dan menggeser lockscreen-nya. "Sekarang pukul satu pagi. Kau tidur saja."

"Dan membiarkanmu minum cokelat panas sendirian? Tidak," Ia mencibir sebelum kembali menyesap minuman hangat di mug-nya. "Kau punya twitter?"

"Tentu saja," I'm a fangirl, duh. Aku menyentuh ikon twitter dan menampilkan notif-ku yang jebol—100+ mentions yang tentunya dari sesama fangirls. Senyumanku memudar saat membaca tweets dan mentions yang ada disana satu persatu.

What a bitch. Dia tinggal di basecamp 1D bersama lima orang lelaki!

Aku tidak tahu apa yang mereka alami sampai diteror, tapi Beth pantas mati

Kenapa Liam yang mati? Kenapa bukan Beth saja?!

Beth is a fake fans she better dead!

"Oh, nope."

Aku kaget karena Niall tiba-tiba menyambar ponsel dari tanganku dan meletakkannya di atas lantai.

"Niall!"

"Jangan membuka socmed sampai masalah kita selesai. Lagi pula kenapa kau membuka twitter? Aku berani taruhan, sebelumnya kau tahu kalau banyak orang akan membencimu karena tinggal bersama kami."

"A-aku bosan!" aku mendengus saat mendengar jawabanku sendiri. "Lagi pula aku tidak peduli. Aku sudah biasa dibenci dan—dan semua yang mereka katakan tidak benar. Tentu saja aku bukan jalang! Aku tinggal disini karena membantu kalian mencari Zayn, lalu Aimee—"

"Sst! Kau ini cerewet sekali," Niall menutup mulutku dengan cara menempelkan bibir gelasnya di mulutku. "Minum saja dan habiskan. Tentang haters, bisa kita atasi kapan saja."

Gelasnya.

JADI AKU MINUM DI GELAS NIALL?!

Begitu tahu maksudnya, aku tidak berfikir lagi untuk segera menghabiskan cokelat panas di gelas Niall ini. Lumayan. Aku beruntung dapat ciuman tidak langsung dari Niall. Hehehe. "Kau tahu," aku meletakkan gelas Niall dan gelasku di atas lantai. "Aku ... masih tidak menyangka Shahid menyelamatkan Liam. Dan yang kulakukan adalah selalu menganggapnya brengsek. Aku merasa sangat—"

"Hei, jangan menyudutkan dirimu sendiri," Niall merangkul bahuku, membuatku rileks (dan membuat gadis batinku semakin histeris). "Dia meninggal bukan karenamu."

"Tapi aku menghinanya."

"Begitu pun aku, Beth. Juga Harry, Louis, Greyson dan Liam. Dan fans lainnya. Aku tadi mengecek twitter. Fans banyak yang tidak percaya atas tindakan Shahid, mereka sama menyesalnya sepertimu. Belum lagi mereka "histeris" karena berita kematian Liam."

Oh, ya. Liam diberitakan meninggal oleh media massa.

Aku terdiam, membenamkan wajahku ke selimut. Perasaan takut kembali mendatangiku, membuatku resah. Aku takut kehilangan seseorang lagi. Aku sudah kehilangan Olivia. Aku nyaris saja kehilangan Aimee karena kini aku tidak tahu keberadaannya dimana. Aku juga nyaris kehilangan Liam karena peristiwa tadi.

Kehilangan seseorang rasanya sangat menyakitkan dan aku tidak mau merasakannya untuk kedua kalinya.

"Aku tidak mau kehilangan siapapun lagi," lirihku sembari menutup wajahku dengan selimut. "Aku—"

"Tidak akan, B," Niall menggeleng keras. Ia menarikku ke dalam pelukannya. Oh tidak. "Kau tidak akan kehilangan siapapun lagi."

"Bagaimana jika ..." aku menelan ludah. Takut, cemas dan girang bercampur aduk menjadi satu. "Kalau ... kau, Harry atau Louis selanjutnya?"

Niall menggeleng. "Kami bertiga disini, mencoba mencari siapapun yang membahayakan kami bersamamu dan Greyson, kan? Dan sejauh ini, kemungkinan besar yang mengincar kita adalah orang yang sama yang menculik Zayn," ungkap Niall dengan optimis. Kurasa Ia mengatakan itu untuk menenangkanku, tapi aku tahu Niall sama takutnya denganku. "Semuanya akan baik-baik saja."

Aku menatap Niall ragu. Tentu saja, semuanya tidak akan baik-baik saja. Liam nyaris terbunuh. Shahid meninggal karena turut campur dengan masalah penculikan Zayn ini. Rasanya setiap orang yang mendekati kami maka pada akhirnya akan celaka. Ini mengerikan.

"Kumohon, lupakan masalah ini," kata Niall dengan malas. Ia menolehkan kepalanya padaku hingga jarak wajah kami begitu dekat. "Bagaimana kalau kita mengobrol hal lain? Aku pun tidak mengantuk karena terbiasa begadang menonton pertandingan sepak bola."

Aku turut menolehkan kepalaku hingga jarak wajah kami berdekatan. Bahkan aku dapat melihat sepasang mata birunya itu dengan jelas—sial. Kontrol, Beth. Jangan terlihat aneh. Rileks. Tenang ...

"Bagaimana?"

Dafuq.

Apa dia baru saja mengedip padaku?!!

"Really?!" suaraku tercekat karena reaksi fangirling-ku yang tak dapat dibendung lagi. Gila. Sebentar lagi aku akan mati. "Kau baru saja mengedip padaku?! Oh my God," aku menyambar bantal, berteriak tanpa suara saat membenamkan wajahku disana. Demi tuhan dia benar-benar membuatku meleleh!

"Maaf!" Niall menertawaiku hingga kedua matanya menyipit. Tapi itu malah membuatnya terlihat lebih menggemaskan, tampan—semuanya! "Itu karena kau malah bengong. Jadi aku sedikit menggodamu. Ternyata reaksimu malah seperti ini," komentar Niall dengan geli.

"I'm dead. But thanks, Niall. You're so adorable. I love you so much."

"Aw, thanks, love. I love you too."

***

Maaf ya kalau ngebosenin :( Karena chapter-chapter selanjutnya rada banyak action scene, jadi chapter 17 ini Beth dkk "rehat" dulu wkwk.

Liam masih hidup ya. Jangan tabok gue. Jangan terror gue lagi. Gue juga ga tega kalau sampe bikin Liam mati (walaupun cuman di ff)

-masa depan niall x

p.s: Niall lucu banget alshdhsoasdfggk

Niall and Beth. Asalnya udah aku masukkin foto ini di multimedia cuman photobucketnya sekarang mesti bayar :""""

Continue Reading

You'll Also Like

6K 856 31
Henzie, salah seorang anak bangsawan Belanda yang lahir di Rotterdam. Yang cinta pada Netherland, dengan menyebut nama Ratu Wilhelmina, Henzie rela m...
623 119 11
"Sebelum sedingin es, kita pernah sepanas salonpas." Sebelumnya Syua dan Djatmiko adalah sepasang sahabat yang berubah haluan menjadi musuh. Bertahu...
49.3K 2.4K 23
Niran cewek problematik yang hobi bikin onar di sekolah tiba-tiba dijodohkan dengan CEO muda kaya raya yang lemah lembut dan penyayang. Apa jadinya? ...
19.9K 3.2K 55
Raden Arya Adinata telah mencintai adik angkatnya Maria hampir seumur hidupnya. Tahun 1912, Arya, cucu bupati Bandung, yang baru berusia dua tahun m...