Dedarah 「END」

By andhyrama

440K 54.9K 19.7K

[15+] Aku dikutuk. Aku hanyalah seorang gadis penderita asma yang ingin menjalani hari-hari dengan tenang ber... More

Prolog
Bagian 00
Bagian 01
Bagian 02
Bagian 03
Bagian 04
Bagian 05
Bagian 06
Bagian 07
Bagian 08
Bagian 09
Bagian 10
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Epilog
Delapan
Segera Terbit!
Vote Cover!
Pre-Order
Ada di Shopee!

Bagian 11

10.4K 1.6K 735
By andhyrama

Dedarah
Bagian 11

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

○●○

Lebih sering nonton TV atau buka Youtube?

Apakah kalian suka mengikuti channel yang membahas hal seram di Youtube? Kalau ada channel apa itu?

Jika kalian berada di kuburan sendirian dan pelan-pelan semua penghuni liang lahat keluar dari tanah, apa reaksi kalian?

Jika kalian berada di sebuah kereta dan menyadari kalau kalian penumpang manusia satu-satunya, apa yang akan kalian lakukan?

Apakah kalian percaya bahwa ayam bisa melihat hal ghaib? Ada yang mengatakan ayam berkokok di pagi hari mengindikasikan bahwa mereka melihat malaikat dan membangunkan manusia untuk bangun agar tidak kehilangan rezeki.

Apakah kalian percaya bahwa gagak hitam menyampaikan kematian? Mitos mengatakan jika ada suara gagak yang muncul malam hari, maka akan ada seseorang yang mati di daerah itu. 

○●○

"Penghapus baruku hilang!" Naya berseru kesal. Dia menggeledah tasnya, mencari-cari dengan panik.

"Mungkin jatuh," kataku yang mulai membuka kotak bekal.

Naya berhenti mencari, dia menoleh ke arah salah satu meja. Aku yakin dia tengah memperhatikan meja Ajeng dan Dewi. Keduanya sedang ke kantin.

"Aku akan menggeledah tas Ajeng," kata dia yang kemudian berdiri.

"Jangan," bisikku sembari melihat sekeliling, ada beberapa anak yang masih ada di kelas ini, semuanya sedang sibuk sendiri.

"Kamu ingat pulpenmu? Atau penggarisku waktu itu? Semua dicuri oleh Ajeng," kata Naya yang tampak marah.

"Maksudku, nanti saja kalau dia sudah kembali," ucapku. "Bicarakan baik-baik dengannya."

Naya menggeleng. "Aku akan menggeledahnya sekarang!" Dia berjalan ke arah tas di kursi Ajeng, mengambilnya, dan membukanya. "Ketemu!" Naya menunjukkan penghapus berbentuk kepala Doraemon itu.

"Apa yang sedang kau lakukan dengan tas Ajeng?" tanya Dewi yang tiba-tiba muncul.

"Mengambil barang milikku yang dia curi," jawab Naya santai.

"Itu penghapus punya Ajeng, dia tidak mencurinya," kata Dewi.

"Dewi. Kita sama-sama tahu kalau ada barang kita yang hilang pelakunya pasti Ajeng," jawab Naya dengan enteng.

"Tapi, aku yang menemaninya membeli itu," kata Dewi tampak yakin.

Aku tidak ingin ikut campur dengan masalah itu. Kuperhatikan anak-anak lain sepertinya tengah memperhatikan Naya dan Dewi yang terus berdebat. Lalu, pandanganku berhenti di meja paling pojok, meja Hani.

Dia sedang menggambar sesuatu. Aku berdiri untuk bisa melihat apa yang sedang dia gambar. Lalu, aku melihat penghapus itu. Penghapus bentuk kepala Doraemon. Aku pun memberanikan diri untuk mendekat ke arahnya.

"Dari mana kau dapatkan itu?" tanyaku dengan lirih.

Hani masih terus mengambar. Dia sedang menggambar sebuah pohon. Lalu, aku mengulangi pertanyaanku, tetapi dia tetap tidak menoleh. Aku sebenarnya ingin mengatakan tentang beberapa hal yang dia lihat dan hal-hal yang dia lakukan. Namun, saat aku melihat darah menetes ke buku gambarnya. Aku membatalkannya.

Hani membersihkan darah di hidungnya dengan tangannya, lalu dia menoleh padaku. Dia tampak sangat pucat, mungkin dia sedang sakit. "Aku menemukannya."

"I-itu milik Naya," kataku yang ingin segera pergi saat melihat hidungnya kembali meneteskan darah. "Boleh aku mengambilnya?"

Dia mengangguk.

Aku pun segera mengambil penghapus itu dan segera menjauh dari Hani. Aku ingin memberitahu yang lain kalau Hani sakit, tetapi aku menyadari sesuatu. Aku tidak mau orang tahu tentang asmaku. Mungkin Hani juga. Jadi, kupendam saja tentang apa yang aku lihat barusan.

"Naya, ini milikmu," kataku seraya menunjukkan penghapus di tanganku.

"Lihat, yang mencurinya justru sahabatmu sendiri," kata Dewi seraya melirik ke arahku.

"Aku menemukannya di lantai," kataku berbohong—aku sengaja tidak ingin mengatakan bahwa Hani yang menemukannya. Menurutku, Naya bisa marah ke Hani.

Naya menaruh kembali penghapus milik Ajeng. "Kali ini memang Ajeng tidak mencuri, tapi itu tidak akan mengubah fakta bahwa sahabatmu itu suka mencuri," ujarnya yang kemudian kembali ke kursinya.

Hendra begitu girang. Dia berdiri di depan kelas pada hari Rabu. "Perangko terbaru yang berhasil ayahku dapatkan pasti akan membuat kalian terce—"

"Bisakah kau duduk dan berhenti bicara soal perangko?" kata Gilang. "Rasanya aku mulai muak."

"Biarkan dia," kata Danu. "Lagi pula, tidak ada yang mendengarnya. Kenapa harus dilarang?"

"Diam," ujar Gilang pada Danu yang tampak cengengesan.

"Aku punya beberapa mobil terparkir di rumah, koleksi beberapa jam tangan pun harganya akan membuat kalian tercengang. Tidak hanya itu, keluargaku punya empat rumah mewah dan liburanku selalu ke luar negeri. Aku bukan hanya bisa membeli perangkomu, Hendra. Kau dan seluruh keluargamu juga bisa aku beli," kata Gilang dengan sombongnya.

"Gilang, seberapa banyak harta yang ingin kau pamerkan. Sikap sombongmu tidak akan seberkelas Rema," kata Danu yang kemudian membuat semua anak di kelas menoleh ke arahku.

Gilang menoleh ke arahku. Aku memandangnya dengan tatapan biasa—mungkin orang lain akan mengatakan aku dingin jika menatap seperti ini. "Dikagumi semua laki-laki, tak ada perempuan yang tidak iri dengannya, dan seluruh guru memuji-mujinya," ujarnya. "Rema pantas untuk bersikap sombong." Aku mengerutkan dahi. Gilang hanya mengatakan itu? Memaklumi jika aku bersikap sombong?

"Tapi apa dia bisa menikmati apa yang aku nikmati?" tanya Gilang. "Menjadi orang terkaya di daerah ini?"

"Lalu, apa kamu bisa menyelesaikan sepuluh soal rumit matematika dalam waktu singkat, menghafal tabel kimia, atau menjelaskan teori-teori fisika di depan kelas tanpa melihat buku?" Naya yang tampaknya geram mulai menyahuti Gilang.

"Kau benar Naya. Aku tidak bisa," kata Gilang.

"Dengan apa yang dia miliki, bukannya dia bisa menikah dengan pria yang sangat kaya?" tanya Danu dengan suara getir.

"Benar. Bahkan dengan kepintarannya mungkin dia bisa membunuh orang tanpa ketahuan. Dia akan mencari pria tua yang kaya raya, menikahinya, lalu membunuhnya. Dengan begitu, dia akan kaya mendadak," ujar Gilang yang tertawa. "Namun, tetap saja aku akan lebih kaya."

Aku berdiri. "Gilang. Kau pikir, jika kau kaya itu menempatkanmu di atas yang lain? Padahal, apa yang kau lakukan hanya meminta-minta pada orang tuamu. Menyedihkan jika kau membanggakan itu," kataku.

Danu tertawa mendengar kata-kataku.

"Apa yang sedang kalian ributkan?" Sari baru masuk ke kelas. Dia melirik ke arahku. "Rema? Tidak ada topik lain, ya?"

"Lalu, kami harus membicarakanmu?" tanya Danu.

Hendra masih berada di depan kelas. "Aku lanjutkan tentang perangko mi—"

Gilang masih memperhatikanku dengan pandangan kurang suka.


Saat pulang sekolah, aku melihat Sari sedang menghampiri Darma di parkiran. Aku kaget saat Sari menarik Darma. Melihat Darma tampak pasrah dibawa oleh Sari membuatku mencoba mengikuti mereka. Aku berhati-hati agar tidak dilihat oleh keduanya.

Mereka berdua berhenti di samping gudang sekolah. Aku bersembunyi di balik dinding dan menunduk agar bisa mengintip apa yang ingin mereka bicarakan.

"Kau sudah tahu, kan? Aku tidak akan menyerah. Sudah lama aku suka padamu dan itu akan selalu," kata Sari tanpa basa-basi. "Kau harus mau jadi pacarku."

"Saya tidak mau," jawab Darma santai. "Jawaban tetap sama."

"Ayo dong. Kamu bisa melakukan apa saja padaku kalau kita pacaran. Aku sangat menyukaimu. Saat lihat kamu, aku selalu lupa yang lain. Pokoknya, aku tidak bisa berhenti mikirin kamu. Aku cinta kamu, Darma," kata Sari yang benar-benar membuatku jijik.

"Apa alasannya? Kenapa kamu bisa menyukai saya?" tanya Darma dengan nada bingung.

"Semua orang pasti sudah tahu kan, kalau kamu ganteng, jago olahraga, pintar, anak saudagar kaya," jawab Sari. "Siapa sih cewek yang tidak menyukaimu? Kau jangan bodoh menanyakan hal seperti itu."

"Dari jawabanmu, kamu hanya bagian dari mereka yang punya alasan serupa, kan? Jadi, tidak ada alasan untukku menerimamu," kata Darma.

"Tapi aku cantik, tubuhku juga bagus," ungkap Sari. "Pegang saja jika kamu ingin."

"Kecantikan perempuan bukan soal wajah dan tubuh," kata Darma. "Cantik adalah soal bagaimana perempuan bisa bersikap dengan menjaga harkat dan martabatnya."

"Jadi, kamu mau bilang kalau aku tidak punya harkat dan martabat?" tanya Sari yang tampak kesal.

Tamparan terdengar, aku melihat Sari berlari pergi dengan marah. Lalu, disusul Darma yang berjalan santai meski sudah ditampar keras oleh Sari. Mereka tidak menyadari kehadiranku. Itu membuatku lega.

Apa Sari selalu melakukan itu dengan pacar-pacar sebelumnya? Maksudku, dia pernah bilang bisa mendapatkan laki-laki yang disa mau. Jika caranya dengan menawarkan tubuhnya kurasa itu cukup masuk akal. Laki-laki sekarang mana yang tidak mau diberikan hal semacam itu secara gratis. Mendengar bahwa Darma menolak membuatku semakin bersalah dengan kecurigaanku hari Sabtu lalu.


Kamis siang, aku berada di perpustakaan, tepatnya di salah satu ruang khusus tempat aku dan Bu Nikma membahas soal-soal olimpiade. Dia sudah mendapatkan soal olimpiade matematika tingkat nasional yang dikompetisikan tahun kemarin. Hari ini, Bu Nikma kelihatan sangat segar, dia seperti sedang bahagia. Aku cukup senang dengan itu.

"Soalnya rumit-rumit," kataku yang memang agak kesusahan mengerjakan ini.

"Iya, Ibu juga ada yang bingung," ujarnya.

"Aku mau ambil buku matematika lain ya Bu, sepertinya ada yang membahas soal nomor enam ini," kataku yang kemudian izin keluar ruangan.

Aku mencari buku di bagian rak untuk matematika. Aku pernah ingat ada buku aljabar yang sangat lengkap. Buku kalkulus terbitan yang sama juga sepertinya aku perlu. Di mana ya? Semoga sedang tidak dipinjam orang.

"Hei," bisik seseorang.

Aku menoleh ke belakang. Darma berdiri di belakangku dan tersenyum. Aku menelan ludah karena mengingat kejadian kemarin saat aku melihatnya menolak Sari. Apa dia ingin mengatakan kalau dia melihatku kemarin? Tiba-tiba aku agak gugup.

"Kita perlu bicara," kata dia. "Membahas kasusmu."

Untunglah, dia tidak membahas hal kemarin. "Untuk sekarang tidak bisa, aku sedang ada bimbingan."

"Bisa saya telepon nanti siang?" tanyanya.

"Bisa," jawabku.

Dia kemudian pamit pergi.

Aku pun kembali mencari buku. Namun, suara seseorang yang terbatuk-batuk membuatku berhenti. Sepertinya, suara itu berasal dari seseorang di balik rak buku di depanku. Aku pun mengintip. Itu Hani. Dia sedang berlutut di lantai, satu tangan memegangi mulutnya, satu tangan lagi menumpu ke lantai.

Seperti yang kulihat sebelumnya, dia berdarah. Darahnya lebih banyak dari sebelumnya. Saat tangan kanannya ia turunkan dari mulut, aku melihat darah di telapak tangannya yang sampai menetes ke lantai.

Tidak ada orang lain di sini karena dia berada di ujung perpustakaan. Tidak ada yang melihat kami. Hanya ada aku yang berada di samping rak buku dan Hani yang masih terbatuk-batuk. Dia masih menunduk dengan rambut panjang kumalnya tergerai hingga ujungnya menyentuh lantai.

Aku ingin membantunya. Namun, aku tidak berani. Melihat darah yang begitu kental itu mengingatkanku pada malam itu. Saat rambutku dicukur oleh makhluk itu, darah memuncrat dari rambutku, lalu menetes. Sosok itu mengambil darahku dengan tangannya. Setelah darah berhenti menetes, seluruh rambut yang membelengguku perlahan lepas, dan dia pergi. Bagaimana seorang Hani mengingatkanku pada sosok itu? Apakah Hani adalah jelmaan sosok itu? Aku menggeleng karena pemikiran bodohku.

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Menurut kalian, siapa sebenarnya Hani?

3. Apa pendapat kalian tentang  sifat-sifat karakter di cerita ini?

Siapa yang pengin lanjut? Comment: Ah she up!

Hadiah permainan di Bagian 28: Terkutuk menjadi samyang.

Continue Reading

You'll Also Like

156K 12.1K 21
(Completed) Satu sms misterius kepada beberapa murid sekolah menengah atas di kota Xylite berkumpul di sekolah mereka setelah matahari terbenam. Tiba...
2.2K 202 180
Mari ceritakan tentang hari ini.Mari tersenyum hari ini,hari esok dan seterusnya.Sampai suatu saat waktu mengusaikan.
129K 14.5K 57
DALAM LAPAK INI ADA DUA SERI SERI PERTAMA [THE DIARY FROM DEAD] -Completed ✓ SERI KEDUA [NEW BEGINNING: WELCOME!] -On Going- -The Diary From Dead- S...