OBSESSION

Od slay-v

99.7K 10.2K 6K

Bethany Chance dan Aimee Parker. Mereka gadis berusia 17 tahun yang sekilas terlihat seperti remaja pada umum... Více

OBSESSION
CAST
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 30 (2)
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 34 (2)
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 36 (2)
Chapter 37
Chapter 37 (2)
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Epilog
Author's Notes
Random Part
Bonus Chapter: Through The Dark
Bonus Chapter: After
Bonus Chapter
Bonus Chapter: Tough Guys

Chapter 8

1.8K 200 116
Od slay-v

Beth terbangun dari tidurnya karena deringan ponsel. Tanpa mengangkat kedua kelopak matanya, tangan kirinya terulur ke atas meja di samping kasur untuk mengambil ponselnya tersebut.

"Halo."

"Kau baru bangun, Bethany? Di London sekarang sudah pukul delapan, bukan?"

Ia  pun mendongakkan kepalanya dan memerhatikan jam dinding di samping televisi. "Ya. Maaf, Bu. Aku tiba di hotel hampir tengah malam. Sesuatu terjadi," ujar Beth seraya menguap.

"Apa sesuatu itu? Hal negatif atau positif?"

"Mm ... Positif."

Apa yang positif dari seorang Zayn Malik diculik? Dasar idiot, ia mendengus bingung. Tapi rasanya Ia tak perlu mengatakan hal itu kepada Ibunya. Setidaknya, belum.

Ia memerhatikan seisi kamar selama mendengarkan Ibunya berbicara. Dan Ia baru menyadari Greyson tak ada di atas kasurnya.

"Jaga kesehatanmu, dan jangan membuat Ayahmu khawatir. Dengar Ibu, Manis? Kau tahu Ayahmu terlalu protektif namun itu karena dia menyayangimu—"

"Ya, aku tahu. Walaupun sikapnya kadang berlebihan," Beth menyahut dengan santai. Ia turun dari kasur, beranjak menuju kamar mandi untuk memastikan apa Greyson ada di sana. Dan hasilnya sama; tak ada. "Sampaikan salamku pada Ayah, Bu. Jaga kesehatan kalian berdua."

"Tentu, Sayang. Nikmati liburanmu."

Beth kembali duduk di atas kasur Greyson setelah Ibunya memutuskan sambungan telepon. Ia menggumam bingung karena tidak tahu keberadaan sepupunya itu dimana. Beth membuka ponselnya, memeriksa apa ada pesan singkat dari sepupunya itu. Namun lagi; nihil. Tidak ada catatan maupun pesan singkat darinya. 

Seraya menguap, ia kembali berbaring di atas kasur lalu membuka twitter-nya. Di timeline teratas terdapat tweet dari akun fanbase 1D yang Ia follow

'Liam Payne sedang di cafe tengah kota London bersama penyanyi asal A.S, Greyson Chance.'

Tweet tersebut disertai dua foto mereka berdua yang tengah duduk di meja dalam kafe, namun posisi mejanya tepat di sebelah jendela yang terbuka hingga paparazzi dapat menangkap foto mereka dengan mudah. Ini membuatnya penasaran. Kenapa Liam sedang bersama Greyson?

(Greyson's Pov)

"Maaf mengganggu tidurmu pagi-pagi."

"Tak apa," setidaknya aku mendapat traktiran gratis. Aku mendongak untuk menatap Liam yang sedang melihat isi buku menu dan tersenyum padanya. "Dari mana kau tahu aku menginap di Ibis Hotel?"

Liam membalas senyumanku dengan ramah. "Research," jawabnya singkat. Ia mendongak untuk memanggil seorang pelayan. Tak lama kemudian seorang pelayan pria mendekat ke meja kami sambil membawa pulpen dan buku catatan. "Aku pesan chicken sandwich dan cappucino," ucapnya singkat lalu menoleh padaku. "Kau?"

"Fish and chips dan jasmine tea."

Pelayan itu pun pergi ke dapur setelah mencatat pesanan kami. Lalu aku menoleh lagi kepada Liam.

Sejujurnya, aku penasaran kenapa dia niat sekali mencari hotel tempatku dan Beth menginap, lalu pagi buta sudah menyuruh manajer hotel untuk menelepon ke kamarku dan mengatakan "seorang tamu ingin menemuimu". Bahkan manajer hotel itu tidak menyebutkan namanya. Karena penasaran, setelah mandi aku segera turun dan mendapati Liam yang menunggu di lobby. Ia mengajakku sarapan bersama di cafe depan hotel.

"Dimana ... Gadis kemarin? Aku lupa namanya," ucap Liam. Ia menyenderkan punggungnya ke kursi lalu menatapku.

"Sepupuku, Beth. Dia masih tidur," aku menyahut singkat. "Jadi, kenapa kau ingin menemuiku?"

"Kita tidak sempat berbicara lebih banyak tentang Zayn kemarin. Juga tentang sepupumu yang melihat kejadian itu," kata Liam tenang. Ia tersenyum sekilas kepada pelayan yang mengantarkan minuman kami. "Tapi, Beth masih tidur. Apakah dia baik-baik saja?"

"Dia agak syok. Dan khawatir," sampai menangis. Apakah aku harus mengatakan bagian itu kepadanya juga? "Wajar, bukan? Dia sangat menc—maksudku menyukai kalian."

"Ohh," Liam tersenyum. Ia seperti tengah membayangkan sesuatu. Mungkin saja fans-nya? Kudengar dari Beth, boyband ini sangat menghargai fansnya. Ia yakin kalau mereka mencintai fansnya. Dan itulah alasan kenapa dia single sampai sekarang. "Kalau boleh tahu, kenapa kau kemari? Konser?"

Aku menggeleng. "Belum sejauh itu. Ini masih tahap awal. Bahkan albumku masih dalam proses," kataku pelan.

"Setidaknya kau bisa mengirimkanku pesan jika mau pergi."

Aku menoleh. Beth berdiri di samping meja kami dengan tangan bersedekap dan ekspresi di wajahnya tampak tak senang.

"Kau tidur begitu lelap. Aku jadi tak tega," ujarku sambil tersenyum lebar.

"Beth, duduklah," Liam berdiri dan menarik kursi untuk Beth. Bisa kulihat wajahnya merona dan Ia tampak menahan kegirangannya. Itu lebih baik dari pada Ia menjerit saat ini juga. Karena kalau itu terjadi, aku akan pulang ke Edmond dan meninggalkannya di sini.

Dengan kaku, Beth duduk di kursi tersebut. Saat Liam sedang mendorong kursinya, ia menatapku dengan mata membelalak dan tangan yang menutupi mulutnya. Aku tahu Ia sedang menahan jeritannya. Untung saja Ia tidak terlambat melakukannya.

"Jadi ..." Liam duduk di sebelah Beth. Ia menatap sepupuku itu yang tampak kaku. "Hei, tenang saja. Tak perlu tegang."

Beth cengengesan. Ia menggaruk pipinya dengan malu, "a-akan kucoba. Aku hanya terlalu gugup! Aku pertama kalinya bertemu denganmu. Sarapan bersama pula," ujar Beth malu-malu. Aku memutar bola mataku melihatnya. Dia sedang menjaga image-nya. Coba saja kalau tidak.

"Boleh aku tahu kenapa kalian kemari?" tanya Liam. "Greyson bilang, bukan urusan musik."

Aku dan Beth bertatapan. Ia seperti meminta persetujuanku untuk menceritakan masalah yang kami alami. Tapi, aku sebenarnya tak terlalu keberatan jika Ia menceritakannya kepada Liam. Jadi aku hanya menatap Beth, dan akhirnya Ia menoleh dan berbicara kepadanya, "kami mencari sahabat kami."

"Apa?" Liam mendelik terkejut. "Dia diculik?"

"Tidak. Dia kabur. Dia pergi kemari menggunakan tiket pesawat teman kami," aku menjawab pertanyaan Liam karena Beth kini membisu.

"Kalian teman yang baik. Sungguh," puji Liam sambil tersenyum. "Dia ... Directioner?"

"Ya. Namanya Aimee," Beth mengangguk. Dia menatapku dan Liam secara bergiliran, "kami menduga dia kemari untuk bertemu kalian."

"Oh?" Liam mengerutkan dahinya. "Kau punya fotonya?"

Aku mengeluarkan ponselku, lalu menunjukkan foto Aimee. Fotonya saat sedang memeluk anjing kesayangannya, namun telah mati karena sakit dua tahun lalu. Liam tersenyum saat melihat fotonya. "Dia cantik," komentarnya pelan.

"Memang," aku dan Beth berucap bersamaan.

Hening. Kami saling diam karena Liam masih mengagumi foto Aimee. Sebaiknya dia tidak menyukai Aimee karena setahuku dia sudah punya pacar. DAN, Liam terlalu tua untuk Aimee.

"Okay, that's enough," aku mengambil ponsel Beth dari tangan Liam. Ia menoleh padaku dengan heran. Sebelum Ia protes, aku berkata, "kau memiliki pacar, bukan?"

"Ya, dan aku hanya mengagumi anjing miliknya!" seru Liam beralasan. Namun, aku tahu dia bohong. Dia terpesona oleh Aimee. Di sebelahnya, Beth tergelak puas.

"Aimee pasti akan menangis jika tahu kau menyukainya," gumam Beth dengan geli. "Dia menyayangimu."

"Ya, dan kuharap dia tahu aku sayang dia juga-"

Aku memelototi Liam. Ia pun menyambung ucapannya sambil memandangiku dengan malas, "sebagai fans, astaga. Aku menghargai fansku. Kau tidak tahu itu?" ucap Liam sewot.

DOR!

PRANG!

Liam melonjak mundur dari kursinya saat cangkir di depannya tiba-tiba pecah. Pandangan kami bertiga pun kini hanya tertuju ke pecahan cangkirnya yang berserakan di atas meja. 

"Oke," Liam mengangkat bagian gagang cangkir yang terpisah dari pecahan cangkir lainnya. "Ini aneh."

Kami menoleh, dan saat itu aku melihat sebuah mobil van berwarna biru tua di seberang jalan. Pintu belakangnya terbuka dan dari sana menjulur selongsong peluru senjata yang panjang. Tepat mengarah kepada kami bertiga!

"Merunduk!"

Liam membelalak karena aku berteriak tiba-tiba. Namun, itu tidak menghentikannya untuk ikut berlindung di bawah meja bersamaku seraya menarik Beth. Setelah itulah suara letusan pistol terdengar dan menembaki seisi cafe karena jendela dan pintunya terbuka lebar. Aku dapat melihat beberapa orang dan pelayan di dalam kafe tertembak dan jatuh ke atas lantai tak bernyawa.

Itu pemandangan paling mengerikan yang pernah kulihat!

Selain memergoki orang tuaku sedang berciuman.

DOR! DOR! DOR! DOR!

"AHH!!" Beth menjerit histeris. Ia menutup kedua telinganya karena suara letusan senjata begitu memekikkan telinga. "Ada apa ini?!"

"Keluar lewat pintu belakang!" instruksi Liam panik.

Sebelum aku berdiri, Ia sudah menarikku dan Beth berlari dengan agak membungkuk selama orang-orang gila itu masih berusaha menembaki kafe. Begitu melihat pintu belakang, kami bertiga berebutan keluar hingga tersangkut di daun pintu.

"Astaga! Greyson, kau keluar duluan!" Liam berteriak panik.

Aku mendengus frustasi. Ini terjadi di waktu yang sangat tidak tepat. "Tidak bisa! Kita tersangkut, tahu!"

"Holy mother we're gonna die!" gumam Beth histeris.

Liam mencoba memaksa mendorong badannya sendiri agar bebas, namun itu malah membuat Beth yang berada di tengah kami meringis kesakitan karena terjepit. Aku tidak memercayai ini. Saat orang lain telah berlindung dari tembakan, kami malah tersangkut di pintu!

"Dimana Liam Payne?!"

Kami bertiga bertatapan. Orang-orang itu sudah di dalam cafe! Ternyata mereka mengincar Liam! Ini membuat Liam panik. Kami bertiga terus berusaha membebaskan diri dari pintu secara bersamaan.

"DIMANA LIAM PAYNE?!"

"Ta-tadi kami melihatnya ke belakang bersama dua remaja ..."

"Siaaal!!" dengan sekuat tenaga Liam mendorong dirinya ke depan, dan kami bertiga pun terbebas namun langsung terjatuh ke atas tanah di depan pintu. Hebat.

"Itu mereka!"

Kami bertiga menoleh dan mendapati tiga orang berwajah preman di dapur. Dan buruknya—mereka membawa senjata. Tanpa aba-aba, Liam menarikku agar bangkit. Spontan aku ikut menarik Beth agar mengikuti Liam yang menggiring kami ke mobilnya di parkiran. Untungnya disana tidak ada bandit yang mengincar Liam, jadi kami bisa kabur dengan mudah.

"What the fuck was that?!" jerit Beth histeris. Ia menjambaki rambutnya sembari menundukkan kepalanya ke dashboard mobil, sedangkan Liam duduk di sampingnya—menyupir dan aku di jok tengah.

"Seseorang mengincar Liam, itu yang kutahu," aku melirik Beth yang tampak ketakutan. "Tapi ..."

"Kalian tadi bersamaku," Liam menyela ucapanku dengan risih. "Bagaimana jika kalian pun menjadi incaran mereka?"

Beth tercengang. Ia menoleh kepadaku, lalu kepada Liam dengan mulut tercengang. Ia seakan tidak percaya Liam mengatakan itu. "Really, Liam?! Tidak perlu memedulikan kami berdua, oke? Kita belum tahu pasti apakah aku dan Greyson benar-benar diincar mereka, tetapi, kaulah sasaran utama mereka!" pekik Beth dengan gemas.

Aku meliriknya sewot. Apa maksudnya 'tidak perlu memedulikan kami berdua'? Apakah dia merasa tidak masalah jika sewaktu-waktu salah seorang dari orang gila tadi datang dan menembaki kami berdua hingga tewas?!

"Tidak bisa seperti itu. Astaga," tangan kanan Liam memijat tulang hidungnya. Ia sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Dan secara tiba-tiba Ia membelokkan setir mobilnya, "biar kita fikirkan setiba-nya di rumah."

"Rumah?" Beth tersenyum canggung. "Rumah siapa?"

"Maafkan aku. Maksudku, basecamp."

( Beth's Pov )

Aku nyaris tersedak oleh air liurku sendiri karena mendengar jawaban Liam.

Dia akan membawaku ke basecamp! Basecamp One Direction!

Secara terang-terangan, aku memelototi Liam. Aku begitu terkejut sekarang. Apa dia serius? Dia akan membawaku kesana? Apakah dia lupa kalau aku seorang fans-nya? Bagaimana kalau aku pingsan lagi untuk kedua kalinya?!

"Kenapa?" tanyaku terbata.

"Kenapa?" Liam mengulang pertanyaanku dengan heran. Sedetik selanjutnya Ia paham, "kau tak perlu histeris. Tenangkan dan biasakan dirimu, oke?"

Justru "tenang", adalah suatu hal yang selalu gagal kulakukan.

Liam membawa mobilnya memasuki komplek perumahan yang mewah. Selama beberapa menit Ia menyusuri jalan besar dan taman di kompleks, hingga mobilnya berhenti di depan rumah berlantai 2. Kalau dilihat, rumah ini tidak semewah rumah di sekitarnya. Modelnya minimalis namun berhalaman besar, serta pagar hitam yang tinggi.

"Ayo turun."

Aku dan Greyson mengikuti Liam yang beranjak ke teras. Debaran jantungku meningkat sesaat setelah Liam membuka pintu utama. Mungkin aku terlihat tenang, tapi percayalah kalau gadis batinku kini telah menjerit histeris sambil berguling di atas kasur.

Aku akan bertemu mereka, untuk kedua kalinya!

"Guys," Liam memberi kode kepadaku dan Greyson untuk mengikutinya masuk ke ruang tamu. "Niall! Harry! Louis! Aku pulang!"

"LIAM!!"

Aku terkejut bukan main saat Niall dan Louis tiba-tiba muncul setelah Liam membuka pintu. Mereka berdua dengan dramatis melompat ke arah Liam hingga mereka bertiga terjatuh diatas tubuhnya.

Astaga. Diam-diam aku tertawa karena melihat ini. Mereka benar-benar konyol!

"For fuck sake bangun dari tubuhku!" protes Liam dengan suara sesak. "Ada apa dengan kalian?!"

"Kami khawatir, Idiot! Kau tadi menjadi hot topic di acara berita TV!" teriak Louis sambil mengguncang bahu Liam secara dramatis.

"Kau baik-baik saja?" tanya Niall sambil membantu Liam berdiri.

"Ya, sampai kalian menimpaku!" sungut Liam. Ia menghela nafas, mencoba sabar. "Kau tahu? Lupakan. Greyson, Beth, mari masuk."

Perhatian Niall dan Louis kini tertuju padaku dan Greyson. Niall memberiku senyumannya yang begitu ramah, sedangkan Louis hanya tersenyum singkat sebelum masuk ke ruang keluarga bersama Liam. Kurasa mood-nya masih buruk karena peristiwa semalam.

"Kita bertemu lagi," Niall melirikku dengan senyuman. "Masuklah. Kita akan berbicara di dalam."

Menyadari aku yang diam terkaku, Greyson mendorong punggungku untuk ikut masuk ke ruang keluarga. TV LCD disana menyala, menayangkan berita tentang peristiwa penembakan tadi. Kondisinya setelah ditembaki ratusan kali, sangat parah. Namun yang lebih parah adalah fotoku, Liam dan Greyson yang berlari menuju mobil turut pula ditayangkan. BAHKAN NAMAKU DISEBUT!

"Diduga peristiwa penembakan ini ditujukan kepada tiga orang yang berlari dari kejaran para penembak disana. Liam Payne dari One Direction, penyanyi asal Amerika Serikat Greyson Chance dan seorang gadis asing yang ternyata dikabarkan adalah sepupunya, bernama Bethany Chance."

"Hei, ada apa ini?"

Aku spontan mendongak ke arah tangga karena mendengar suara yang begitu familiar. Namun kesadaranku dalam sekejap lenyap ketika mendapati seorang Harry Styles berdiri disana, dengan keadaan shirtless, rambut panjangnya yang basah dan bagian pinggang sampai kaki yang hanya terbalut handuk.

Holy fuckamolly

"BRUK."

"ASTAGA BETH!"

"Dia pingsan lagi?!"

***

"Aku tidak percaya aku pingsan lagi," aku menutup wajahku dengan malu. Aku bahkan tak berani menatap Liam, Niall, Louis, Harry dan Greyson yang duduk disekitarku. Tapi aku dapat mendengar mereka tertawa.

"Beth, lupakan itu, oke?" untuk pertama kalinya, Louis berbicara padaku. Aku tahu dia sedang menahan diri untuk tidak meledekku, tapi dia hanya memberiku senyumannya yang menawan.

"Ya. Lagi pula kau bukan fans pertama yang pingsan di depan kami," susul Harry, memberi dukungan. Tapi itu tidak berguna. Karena fans macam apa yang bersedia terlihat memalukan di depan idolanya?!

"Kita bicarakan masalah tadi dulu, oke?" Liam mengubah topik dengan tegas. "Ada yang harus kubicarakan."

Kami duduk melingkar di atas karpet sekarang. Yang membuatku gugup adalah Harry terus menatapku. Kedua, aku duduk diapit NIALL HORAN DAN LOUIS TOMLINSON. Ketiga, kenapa rambut Harry lebih keren dariku? Lihat. Rambutnya itu dibiarkan tergerai dalam keadaan setengah kering (sepertinya dia baru saja selesai keramas). Astaga dia seksi sekali! Stop. Aku harus tenang.

"Apa yang terjadi di kafe tadi?" tanya Louis heran. Ia menyenderkan punggungnya di sofa di belakang kami, dan Ia meletakkan lengannya di belakangku. Oh shit shit shit. Louis begitu dekat denganku sekarang. Aku dapat mencium aroma parfumnya yang tidak terlalu menusuk hidung. "Tadi pagi kau memang bilang pada kami akan pergi, tapi tidak bilang akan menemui Greyson dan Beth."

Aku dan Greyson secara bersamaan menatapi Liam. "Kenapa kau tidak bilang?" tanyaku heran.

"Intinya, aku pergi menemui seseorang. Kurasa itu bukan masalah besar," ujar Liam enteng. "Ada pertanyaan lagi?"

"Ya. Bagaimana peristiwa awal penembakannya?" Niall bertanya serius. Suaranya begitu tegas seakan sedang dalam proses interogasi.

Liam menjelaskannya secara terperinci, Ia juga menceritakan tentang Aimee (setelah meminta persetujuanku), dan tentangku, dia dan Greyson yang sempat ribut karena tersangkut di pintu belakang. Itu kejadian konyol, sangat. Tapi jika diingat-ingat lagi mampu membuatku tertawa.

"Jadi," Harry memandangiku, Greyson dan Liam bergiliran. "Liam kini dicari oleh orang-orang itu?"

"Ya. Dan tunggu. Soal Zayn," Liam mengangkat tangannya. Kini Ia beralih kepada ketiga bandmates-nya. Dulu sih empat. "Apa kalian sudah memberitahu management? Atau Simon?"

"Kita memberi tahu mereka kemarin dan coba tebak apa respon Simon!" Louis tertawa sarkastik. "Ia menganggap kita bercanda. Malah mereka kira kita yang menculik Zayn."

Aku memutar bola mataku mendengar ucapan Louis. Bukannya aku ingin merendahkan mereka, tetapi, apa yang mereka harapkan dari 'Modest!'? Management itu hanya mementingkan popularitas.

"Seharusnya aku tak heran," Liam tampak begitu frustasi. Ia menopang dagunya, sebelum beralih kepadaku dan Greyson. "Mmm. Greyson dan Beth ... apa kalian akan kembali ke hotel atau ...?"

Kalau dia mengatakan 'menginap disini', tentu saja aku akan menerimanya dengan senang hati.

"Ya. Kami kembali ke hotel."

Gadis batinku membelalak terkejut dan membayangkan memukul kepala Greyson dengan tongkat baseball. Ya. Greyson mengatakan itu! Kenapa dia selalu mengacaukan rencanaku?

"Entahlah. Sepertinya tidak aman ..." Niall menoleh kepada Liam dengan bingung.

"Aku akan mengantar mereka ke hotel," kata Harry sembari mengangkat bahunya. Seolah sama sekali tak keberatan dengan usulnya sendiri. "Itu lebih aman, bukan?"

"Ya," Liam mengangguk setuju. Ia menatapku dan Greyson, "kita bertemu lagi lain waktu, oke?"

Oke. Itu boleh juga.

"Aku ikut!" Louis berdiri dengan bersemangat. "Aku bosan mendekam di rumah."

Aku melirik Greyson yang tampak ragu. Ia sepertinya merasa tak enak karena Harry dan Louis bersedia mengantar kami ke hotel. Tapi jika kau bertanya padaku apakah aku keberatan, maka kau sudah tahu jawabannya.

***

Perjalanan dari basecamp hingga ke hotel menghabiskan waktu satu jam, tapi bagiku rasanya sangat singkat. Selama perjalanan tadi, kami mengobrol sedikit. Harry yang menyetir, sesekali bertanya tentang Aimee. BAHKAN IA BERTANYA NOMOR KAMAR KAMI AGAR IA BISA MAMPIR DAN MENGAJAK KAMI HANG OUT. Beruntung, aku dapat mengontrol diriku hingga tidak terlalu histeris. Aku harus mendapat penghargaan atas ini.

Dan sekarang, Range Rover milik Louis yang dikemudikan Harry berhenti di depan Ibis Hotel. Begitu turun dari mobil, aku dapat melihat kafe di seberang (yang kukunjungi pagi tadi) telah dikelilingi garis kuning polisi. Beberapa polisi pun terlihat disana, sedang berjaga sambil berbincang.

Aku penasaran. Sebenarnya siapa yang nekat menembaki kafe dan mengincar Liam?

"Terima kasih tumpangannya," aku menoleh kepada Louis dan Harry di dalam mobil. Louis yang semula duduk di sampingku tadi di jok tengah, kini pindah ke jok depan di sisi Harry. Ya. Tadi aku duduk bersebelahan dengan Louis! Kesempatan itu tidak terjadi dua kali seumur hidup (namun kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya), jadi aku selfie bersamanya tadi. Hehehe. "Aku menghargainya. Sangat."

"Ya. Terima kasih," susul Greyson dengan senyuman lebar.

"Tidak masalah," Louis membuka kaca jendela mobilnya. Ia menunjukkan senyuman khasnya hingga mulutnya terbentuk garis tipis. "Berhati-hatilah. Kalau kalian ada masalah ... mungkin ..."

Harry memotong ucapan Louis. Ia memiringkan kepalanya agar dapat melihatku dan Greyson, "... kami bisa menolong. Tentu saja," sambung Harry santai.

"Semoga tidak ada masalah seperti pagi tadi," Greyson menyahut dengan tawa yang dipaksakan. Kenapa aku merasa jika Greyson selalu risih jika sedang bersama Harry, Louis, Niall maupun Liam?

Greyson sudah berjalan lebih dulu menuju pintu utama, tapi aku masih terpaku di sisi pintu mobil Louis. Apakah aku akan seperti Greyson? Langsung pergi tanpa melakukan apapun?

"Terima kasih banyak!"

Aku langsung berlari menyusul Greyson begitu mencium pipi Louis. Bahkan aku tak sempat melihat ekspresinya karena malu sekaligus terkejut atas apa yang kulakukan tadi. Yang jelas—aku beruntung masih mendapat kesempatan untuk menciumnya tadi.

RASANYA SEPERTI MIMPI!! ASTAGAJAJJDLALDJ!

"Kau dari mana?" Greyson ternyata sudah berada di depan lift. Ia mengerutkan dahi karena melihatku yang begitu bersemangat. "Hei. Beth."

"Hm, well ..." aku tertawa sendiri. Seharusnya tadi aku mencium bibir Louis sekalian—ups. "Tidak. Tidak ada."

Greyson menatapku penuh curiga. Namun dia tidak memikirkannya lebih jauh. Begitu pintu lift terbuka, Ia mengajakku bergegas masuk agar kami dapat segera beristirahat di kamar.

"Apa aku harus memberitahu Ayahmu tentang peristiwa tadi, Beth?" Greyson bertanya sesaat kami tiba di kamar.

Aku menggeleng. "Tidak perlu. Pasti dia sudah tahu lebih dulu sebelum media menyiarkannya di televisi," tolakku singkat. Aku baru saja ingin berbaring di atas kasur ketika Greyson memanggilku dari jendela besar di kamar.

"Beth. Kemarilah. Aku melihat sesuatu."

Aku mengerang malas. Dengan lesu aku berguling hingga berada di sisi kasur, menatap sepupuku yang mengintip keluar jendela melalui tirai. "Lupakan. Aku butuh istirahat setelah apa yang kita alami tadi," desahku sedikit menguap.

Tidak ada sahutan. Kukira Greyson telah menyerah membujukku namun ternyata dia menarikku paksa hingga turun dari kasur dan menyeretku ke jendela. "Astaga! Sebenarnya apa yang kau lihat?!" pekikku kesal.

Greyson menyibak tirai dan menunjuk ke sebuah jendela di gedung seberang hotel kami. Mataku membelalak ketika mendapati senjata besar terulur keluar dari sana, tepat mengarah ke jendela kamar ku dan Greyson.

Kau tahu. Itu RPG. Senjata besar semacam bazooka yang sering digunakan di perang (dan film action).

"Oh, shit," aku melangkah mundur. "Greyson, ini belum selesai."

Greyson menatapku khawatir. "Kita terlibat, Beth. Kita dalam bahaya!" seru Greyson panik. Tangannya yang gemetar mengeluarkan ponsel dari celana, lalu menggerakkan jemarinya di atas layar iPhone-nya. "Aku akan menelepon Phil. Tidak. Maksudku—"

"Telepon Liam!" teriakku histeris. "Kalian bertukar nomor ponsel saat di basecamp tadi, bukan?!"

Greyson mengangguk. Namun sebelum dia berhasil menghubungi Liam, aku mendengar suara letusan senjata yang memekikkan telinga. Dan selanjutnya, kamar kami berdua ditembak dari luar, turut menghancurkan jendela dan dindingnya. Aku dan Greyson pun terpental angin ledakan yang begitu kuat.

"DUAAARR!!"

*** 

larry stylinson for lyfe.

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

27.8K 4K 53
COMPLETED Cerita ini berlatar pada jaman penjajahan kolonial Belanda, di mana seorang perempuan yang lahir dari hasil pernikahan campuran antara Bang...
106K 11.1K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
2.3K 624 45
Aku mungkin mencintainya, sejenak. Saat kami berada setahun di gedung yang sama menuntut ilmu layaknya remaja usia belasan. Itu masa SMA yang kujalan...
1.2M 169K 36
[TERSEDIA DI TOKO BUKU] Im Soha adalah medusa di dunia nyata. Dia cantik, genius, dan tahu apa yang harus dia singkirkan untuk mempertahankan Queena...