SOMETIMES [DISCONTINUED]

By badgal97

131K 11.9K 1.8K

Allegra Stewart. Gadis bengis, rakus, aneh, angkuh, dan menyebalkan. Wajahnya juga tidak terlalu cantik. Yaa... More

PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 22
BAGIAN 23
BAGIAN 24
BAGIAN 25
BAGIAN 26
BAGIAN 27
BAGIAN 28
BAGIAN 29
BAGIAN 30
AUTHOR NOTES
BAGIAN 31
BAGIAN 32
BAGIAN 33
BAGIAN 34
BAGIAN 35
BAGIAN 36
BAGIAN 37
BAGIAN 38
BAGIAN 39
BAGIAN 40
BAGIAN 41
BAGIAN 42

BAGIAN 2

4.4K 332 35
By badgal97

Bagian 2




"Aku serius Alle. Justin memang pemilik sekolah ini. Mengapa kau tidak percaya sih?!"

Hening.

Selena berdecak frustasi tanda menyerah. Sudah hampir sepuluh pertanyaan yang ia lontarkan, dan tak ada satu pun yang terjawab. Gadis dihadapannya hanya diam, menunduk dan melahap jatah makanannya yang kelewat rakus. Mengapa gadis ini begitu aneh? Menatap mati lawan temannya dan tampak hidup di depan makanan. Apa gadis ini titisan ular berbisa?
Kini Selena hanya bisa pasrah dan menunggu gadis itu bersuara dengan sendirinya. Matanya berputar melihat sekeliling sesaat sembari meraih kentang goreng miliknya lalu mulut Selena sedikit terbuka untuk memakannya. Setelah melihat suasana Cafetaria yang tidak terlalu menarik, mata Selena kembali berputar dan menatap Allegra yang kini tengah melahap semangkuk kecil puding, keadaan nampannya sudah kosong tak tersisa. Selena menggeleng tak percaya. Gadis ini benar-benar seperti ular.

"Apa aku diwajibkan untuk mempercayainya?" Allegra mulai bersuara satu detik setelah suapan terakhir pudingnya.

"Ya."

"Aku tidak sudi untuk percaya

Selena mendengus"Mengapa?"

"Karena tak ada bukti."

"Kau akan tahu sendiri." Ucap Selena ketus tanpa menatapnya. Ia mulai jengah.

"Ceritakan tentang dirimu." Tiba-tiba Allegra menyungging senyum samar sembari menopang dagunya dengan tangan diatas meja. Kini mata hijau itu menatap penuh kearah Selena. Gadis itu sedikit terkejut, ia melihat senyum Allegra walaupun tipis dan sedetik kemudian ia tersenyum senang melihat Allegra yang ternyata tak terlalu menyebalkan. Dengan antusias Selena siap membuka mulutnya untuk bercerita.

"Aku ad--"

"Bolehkah aku ikut bergabung?"

Allegra sedikit mendongak menatap seorang gadis kelewat jangkung dengan tubuh ramping berambut blonde tengah berdiri tepat disampingnya. Halisnya bertautan keheranan karena ia tahu, gadis ini bukan teman sekelasnya. Hell, waktu istirahat tinggal lima belas menit lagi dan gadis itu datang tanpa membawa nampan. Allegra yakin gadis ini memiliki maksud tertentu.

"Silahkan!"

Sial! Ia lupa soal Selena. Allegra mendengus kesal sembari memutar bola matanya kearah lain. Gadis blonde itu tersenyum anggun sebelum melangkahkan kaki jenjangnya untuk duduk. Dan tanpa permisi, ia duduk tepat di samping Allegra. Itu tindakan yang sangat lancang menurutnya. Menyebalkan. Mata Allegra beralih kearah lain, menatap Selena yang masih tersenyum riang, polos dan...bodoh. Geez.

"Di hari pertama, kau langsung terkenal." ucap gadis blonde itu dengan nada yang sangat berhati-hati. Lembut dan teratur seperti seorang putri.

"Aku tak mengharapkan itu terjadi."

"Aku sudah mendengar tentang insiden Albino yang kau katakan pada Justin. Itu tindakan yang berani Allegra." Ucap gadis itu tersenyum menawan seraya memegang pundak Allegra. Sontak saja ia menyingkir, beraninya gadis ini merasa sok akrab terhadapnya. Satu kelas pun tidak, lantas apakah penting untuk berteman dengan dia? Menurut Allegra, tidak.

"Ou, maaf jika itu menganggumu." Gadis blonde itu tidak tersinggung sama sekali, bahkan ia tertawa senang seakan semua yang Allegra lakukan hanyalah lelucon. Halis Allegra kembali bertautan lebih tajam. "Gadis gila." gumamnya dalam hati.

"Dia belum terbiasa Hailey. Semoga kau mengerti." Ucap Selena sedikit berbisik sok tau pada gadis blonde yang bernama Hailey itu seakan-akan menutupi aib Allegra dan mengetahui segalanya. Shit, mood Allegra mulai menurun lagi.

"Aku tahu. Well, apa pendapatmu tentang Harry? Aku juga melihat detik-detik menegangkan di koridor itu."

"Dia pria yang baik."

"Dan Justin?"

"Tutup mulutmu."

Hailey sedikit terkejut. Namun beberapa detik berikutnya ia kembali menyunggingkan senyum anggunnya.

"Maafkan aku karena terlalu banyak bertanya."

Allegra menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Gadis itu mulai beralih tak peduli sembari merogoh ponsel yang terletak dalam saku jeans-nya. Setelah mengambil itu, ia kembali larut dalam dunianya sendiri. Bukan dengan makanan banyak seperti tadi, melainkan dengan ponselnya.

"Allegra?" Ucap Hailey lembut. Allegra hanya berdeham sebagai jawaban tanpa beralih dari layar ponselnya.

"Kau melakukan ini tidak untuk mencari perhatian pada Justin kan?"

"Jika iya? Kenapa?" Ucap gadis itu dingin. Ia benar-benar tak empati melihat gadis blonde itu.

Tiba-tiba gebrakan meja yang begitu keras menghantam meja yang di tempati Allegra. Allegra sedikit terkejut dan segera mengalihkan pandangan tajam kearah Hailey. Namun dugaannya salah, Hailey sama sekali tak melakukan itu. Terlihat dari raut wajahnya yang juga terkejut dengan apa yang terjadi. Allegra segera memutar matanya dan Bingo! Ia menemukan sepasang mata hazel tajam yang kini tengah menatapnya dalam dalam. Allegra tidak terkejut, ia hanya terheran menatap pria itu dan membalas tatapannya dengan dingin.

"Apa?"

"Kuperingatkan padamu untuk menjaga sikap jika tidak ingin mati."

"Kau mengancamku eh?"

Rahang Justin mengeras seketika. Tangannya yang tertumpu di atas meja mulai menegang hingga urat-urat kasar bermunculan disana. Sialan! Ia dibangkang oleh seseorang. Dan parahnya, oleh seorang gadis! Justin menatap mata hijau misterius itu penuh amarah. Berapi-api, dan matanya mulai memerah. Dengan gerakkan yang kelewat cepat ia menarik lengan gadis itu keras-keras. Sedikit menyeret tubuhnya untuk berdiri hingga gadis itu hampir terhuyung ke sudut meja. Selena mulai panik ketakutan, ingin sekali ia menolong Allegra yang tengah terancam oleh amarah Justin yang tidak patut untuk diremehkan. Namun tubuhnya kaku, ia tak bisa mengambil tindakan berani seperti Allegra. Terlebih lagi tatapan para siswa Perkins kini tengah menonton ketegangan mereka membuat Selena merasa enggan untuk terlibat.

"Kau bajingan!" cercah Justin berapi-api. Tangannya mencekal lengan Allegra kuat-kuat. Gadis itu mulai kesakitan, namun ia tak sudi untuk menampakkan rasa kesakitannya di hadapan pria ini.

"Jika aku adalah bajingan, lalu kau apa?" Balas Allegra sengit. "Lepaskan, aku bersumpah akan membuatmu malu jika kau keras kepala."

Holy shit! Gadis ini bicara apa?! Ia malah balik mengancamnya?! Ia berani memgancamnya?! Justin menggeleng tak percaya. Gadis dihadapannya ini memang berniat untuk cari mati!
Tangan Justin kembali bergerak dan kini merengkuh kedua lengan Allegra kuat-kuat. Gadis itu terpancing dengan ini dan mulai membalas tatapan tajamnya. Melihat reaksi Allegra yang tak kunjung jera, membuat Justin semakin naik pitam. Ejekan Albino yang gadis ini teriakkan di depan semua teman kelasnya, hingga tatapan tajamnya yang dibalas tanpa takut benar-benar membuat Justin muak. Ia mengguncang tubuh gadis itu keras-keras tanpa ampun. Membuat orang-orang disekitarnya berteriak kecil seraya terkejut. Justin merutuk dalam hati. Ingin sekali rasanya menelan gadis ini bulat-bulat sangking geramnya.

Tiba-tiba Justin merasakan sekujur tubuhnya menegang. Rahangnya kian mengeras dan lidah dalam mulutnya ia gigit kuat-kuat. Mata hazelnya membulat merah merasakan sakit yang luar biasa di dalam selangkangannya yang tertutup dibalik celana. Barang berharganya, aset-nya, Hell! Kemaluannya! Rasa sakit sekaligus ngilu yang luar biasa dalam kini mulai menjalar luas kesekitar perut dan pinggangnya. Oh, Bastard!
Allegra menyikut kemaluan Justin dengan tempurung lututnya keras-keras. Serangan telak. Memalukan.

"Kau keras kepala."

Allegra menyingkirkan cengkraman Justin yang melonggar di lengannya dengan angkuh, lalu membetulkan pakaiannya yang sedikit terkoyak berantakan. Kepalanya mulai mendongak melihat Justin yang sedang mengejang dengan mata yang terpejam kuat-kuat menahan sakit. Allegra tersenyum puas melihatnya, merasa bangga bisa memenangkan pertandingan. Lantas ia melangkah santai melewati Justin sembari menyenggol keras lengan Jaden yang tengah melongo tak percaya kearah Justin.

Allegra berlalu melewati pasang mata yang yang menatapnya dalam keheningan. Semua diam, hanya langkah Allegra yang terdengar makin memecah ketegangan disini. Ia berlalu meninggalkan Cafetaria. Sementara Justin masih tetap berada dalam posisinya. Berdiri tegak penuh ketegangan. Merasakan kedutan ngilu di kemaluannya, mulas di perutnya, dan kebas di pinggangnya. Ingin rasanya ia berguling-guling dilantai sembari mengerang dan memegangi kemaluannya. Namun situasi yang ramai sangatlah tidak mendukung, ia tahu orang-orang pasti sedang memperhatikannya. Bisa hancur reputasinya jika merengek kesakitan disini. Jadi ia hanya diam, semua orang di Cafetaria juga terdiam.


Kecuali Jaden. Ia tertawa.





***



Allegra Stewart's View



Kesan pertama memasuki sekolah baru di California adalah satu kata: Buruk! Memang tak terlalu buruk sih, mengingat kemegahan dan fasilitas sekolah yang lebih memadai. Itu sangat keren. Hanya saja keributan-keributan yang aku alami seharian ini membuatku tidak nyaman, maksudku ini hari pertamaku sekolah! Oh astaga menyebalkan!
Aku benci untuk membahas kejadian tadi. Sudahlah.

Jam masih menunjukkan pukul tujuh lebih beberapa menit. Masih ada waktu untuk berjalan-jalan menikmati suasana indah California di malam hari sebelum menjemput ibuku di Halte. Aku baru saja diterima sebagai pekerja paruh waktu di gerai makanan siap saji. Jadi aku bisa menambah uang saku dan tidak terlalu membani ibuku.
Bagus bukan? Mengingat status sosial kami yang sedikit mengalami penurunan satu tahun terakhir karena..ah aku tak ingin mengingatnya.
Aku berjalan santai dengan mood yang sudah kembali stabil. Mengingat kejadian menyebalkan disekolah, mood-ku sangat buruk. Aku menyusuri trotoar California yang lebih ramai karena cuaca terlihat lebih baik hari ini. Tidak hujan, dan tidak lembab. Bahkan sedikit berdesakkan dengan orang-orang membuatku sedikit berkeringat. Tapi semua itu segera terobati karena aku tengah berjalan sembari memakan ice cream Vanilla. Menyenangkan bukan?

Mataku berputar melihat keadaan sekeliling, gedung-gedung yang menjuntai indah hingga terasa menyentuh langit malam, lampu-lampu terang disekitar dan ramainya orang-orang yang masih beraktivitas menjadi pemandangan yang lebih berbeda di bandingkan saat pagi. Kulihat kembali jam tanganku yang masih melingkar rapi, aku berencana untuk pergi ke taman kota bersama ibuku nanti. Melihat pemandangan lain dan bentuk taman yang berbeda dengan Atlanta, dan besok aku berencana untuk mengunjungi gereja-gereja besar di California.
Entah karena terlalu asyik memikirkan taman dan gereja, aku terlarut dalam pikiran dan tiba-tiba aku melihat sepasang kaki yang terbalut sepatu bot besar tengah menghalangi langkahku. Untung saja aku segera berhenti! Jika tidak, habislah semua ice cream-ku membasahi bajunya.

"Hidungmu merah."

Betapa terkejutnya aku saat melihat Harry yang tengah berdiri dihadapanku dengan kepala yang sedikit menunduk. Kepalaku mendongak perlahan dan oh..astaga aku melihat mata indahnya. Kami berdekatan. Membuat jantungku mulai berdegup kencang dan mati-matian aku menahan nafas dengan posisi sedekat ini. Geez. Kenapa pria ini selalu muncul tiba-tiba?!

"Kau sakit?"

"Tidak." kuusahakan sebisa mungkin menegarkan suaraku agar tak terlihat gugup di hadapannya. Namun? Suaraku malah terdengar parau dan aneh. Hentikan kegugupan ini ya Tuhan!

Harry hanya tersenyum simpul dan tatapannya tak henti mengarah padaku. Kukulum bibirku sendiri menahan rasa gugup yang makin meluas. Apa yang harus kulakukan?!

"Kau lucu."

A-apa katanya?

Aku tergagap untuk menjawab. Rasanya sulit untuk berhadapan terlalu lama dengan lelaki ini. Tiba-tiba tangannya bergerak, lalu mengambil ice cream yang ada di genggamanku. Lantas memakannya, memakannya tanpa permisi. Di..dia ini apa-apaan? Itu ice cream-ku! Dia memakan bekas jilatanku!

"Aku tahu kau sakit. Tapi kau malah membeli ice cream dengan keadaan seperti itu. Bagaimana jika kau tak bisa pergi kesekolah besok?" Ucapnya panjang lebar. Oh Harry, asal kau tahu. Aku memang tak berniat pergi ke sekolah besok!

"Aku mengeluarkan uang cukup banyak untuk membeli itu. Itu ice cream pertamaku di California." Balasku jujur. Memang benar, ice cream itu cukup mahal untuk harga ice cream pada umumnya.

Harry hanya memgangguk dan tetap mejilati ice cream-ku. "Aku tahu."

"Kau..harus menggantinya." tukasku asal. Sungguh! Apa yang kukatakan keluar begitu saja. Entah karena terlalu gugup, atau bagaimana. Aku tidak tahu.

Harry mengangguk. Matanya berputar lalu mengarah keatas, dan tanpa henti menjilati ice cream-ku yang sudah mengecil, sedikit mencair, dan hampir habis. Tampaknya ia sedang berpikir. Dan beberapa detik berikutnya, wajahnya berubah sumringah bak sudah mendapatkan ide cemerlang. Ia menjentikkan jarinya lalu kembali menatapku. Tangannya kembali bergerak, menyodorkan sisa ice cream tadi padaku. Dan dengan bodohnya aku menurut saja! Kuperhatikan Harry yang ternyata sedang membuka jaket yang hinggap di tubuhnya. Dan tanpa aku sadari, ia kembali mengambil ice cream-ku. Lalu jaketnya yang sudah terlepas, ia berikan kepadaku. Dan lagi-lagi, aku menerimanya tanpa bertanya-tanya. Geez.

"Itu bayarannya. Pakailah." lirihnya lalu melahap habis ice cream itu sekaligus dengan wafernya.

Aku tak bisa menjawab apa-apa. Dan kali ini, aku juga tak menuruti apa yang ia perintahkan. Entahlah, aku merasa terlalu melayang. Apa yang ia lakukan begitu manis dan berbeda. Jantungku kian berdegup kencang, dan perutku kembali merasakan gelenyar aneh. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa!
Jaket kulit tebal berwarna hitam itu masih ada dalam genggamanku. Wangi khas dari Harry yang sudah ku ketahui tercium disana.

"Kubilang pakai Allegra. Kau ini."
Harry berjalan mendekat. Ia meraih jaketnya yang ada dalam genggamanku, lalu tangannya memutari tubuhku. Memakaikan jaket itu dengan hati-hati. Posisinya yang berhadapan denganku dan memutari tubuhku untuk memakaikan jaket membuatku leluasa melihat wajahnya dari dekat. Aku mengambil kesempatan sekali-kali untuk sedikit meliriknya. Namun itu kesalahan besarnya, ia semakin tampan jika dari dekat! Aku yakin ekspresiku akan sulit terkendali. Argh!

Harry mulai menjauh dan melangkah mundur. Aku segera menunduk untuk melihat--dan mengalihkan pandangan, penampilanku yang berbeda setelah terbalut jaket yang kelewat besar ini.
Mataku sedikit mengerjap cepat untuk mengendalikan diriku yang tengah terbius oleh pesona Harry. Tiba-tiba, Harry merengkuh kedua bahuku lembut. Ia mendekatkan kembali wajahnya kearahku. Lebih dekat dan kini mata hijau itu menatapku serius. Apalagi ini?!

"Dengar." Harry berucap dengan lembut. "Kau harus mengendalikan dirimu. Jangan berbuat macam-macam lagi pada Justin. Jangan pernah menggubris apa yang ia lakukan. Aku peringatkan padamu. Mengerti?"

Harry menatapku lebih dalam. Lalu bibir penuhnya terlihat tenggelam dalam mulutnya. Aku kembali mengerjapkan mata, berusaha mengendalikan diri atas pesonanya yang selalu membuatku mati kutu. Jadi? Aku hanya bisa mengangguk patuh. Benar-benar bukan sosok Allegra yang sebenarnya!

"Bagus." tukas Harry merasa puas dengan ini. Ia mulai menjauh, tangannya bergerak dan mengacak-ngacak rambutku lembut.

"Well, aku harus pergi. Selamat malam, gadis pemberani." Ucap Harry lagi, lalu ia mulai melangkah kebelakangku. Meninggalkanku yang masih terpaku ditempat dan baru bisa mencerna semua perkataannya.

Gadis pemberani?




***




Author's View



Seorang pria kini tengah terduduk kaku dengan tubuh yang bersandar di tepi ranjang. Dengan keadaan yang sedikit lemas, ia mencoba untuk bergerak dan merubah posisi duduknya. Namun baru saja mulai bergerak, pria itu meringis keras dan kembali duduk diposisi semula dengan pasrah. Justin mendengus, efek tendangan di kemaluannya tadi siang sangatlah menjijikkan dan berdampak sangat buruk. Ia sampai harus memanggil dokter pribadinya untuk berkonsultasi dan mendapatkan obat untuk kesembuhannya. Bukan tendangan biasa.

"Luke datang." Jaden datang menghampirinya sembari membawa segelas air putih lantas menyodorkannya kepada Justin. Justin segera mengambil gelas itu dan meminum isinya hingga tandas.

"Kau bilang padanya?"

"Tidak. Dia curiga kau pulang lebih cepat di pesta tadi." Balas Jaden sedikit sinis. "Aku masih ingin menggoda para gadis! Dan ini masih tengah malam!" Renggutnya kesal seraya bangkit dari ranjang Justin. Ia berjalan gontai menuju televisi dan mulai menyalakan Playstation yang terletak disekitar sana.

Justin memilih untuk acuh dan beralih untuk mengecek ponselnya. Jaden dipaksa Justin untuk pulang lebih awal karena rasa sakit di kemaluannya membuatnya lemas dan ingin berbaring di kamarnya. Beberapa menit kemudian pintu kamar Justin terbuka. Muncul sosok pria tampan berambut emas yang dirancung indah. Pria itu mengernyit heran melihat Justin dan Jaden yang tengah bersantai di kamar. Seakan menjadi pemandangan yang asing baginya.

"Yo! Mari bertarung?" Seru Jaden antusias seraya bangkit dari tempatnya untuk menghampiri pria itu. Mereka melakukan gerakan Tos ala lelaki lalu tertawa bersamaan setelahnya.

"Well, aku masih penasaran. Apa yang terjadi dengan kau dan kau yang pulang lebih cepat malam ini. Itu rekor! Aku sampai harus pergi dari pestaku sendiri untuk memastikan." Balas lelaki itu sembari menunjuk Justin dengan dagunya.

Jaden memutar matanya jengah. Ia sudah malas membahas soal Justin. Gara-gara dia, Jaden harus merasakan bosannya begadang di rumah. Jaden berbalik malas kearah televisi, duduk dilantai lalu melanjutkan permainan di Playstation yang sempat ter pause.

Pria itu terkekeh kecil melihat tingkah konyol Jaden. Ia bergegas menghampiri Justin yang tengah memainkan ponselnya sembari tetap terduduk di tepi ranjang. Bertelanjang dada. Wajah Justin tampak sedikit pucat dan permukaan bibirnya begitu kering.

"Kau sakit?" lirih pria itu khawatir.

"Jangan bilang bahwa kau menjadi gay sekarang. Melankolis sekali!" balas Justin sarkastik. Pria itu hanya memutar matanya lantas tertawa kecil.

"Aku tak percaya ini, sejak kapan seorang Justin Bieber Perkins berdiam diri dirumah?"

"Sejak hari ini." balas Justin asal dan kembali menunduk untuk fokus pada ponselnya.

Pria itu menautkan kedua alisnya dengan tajam. Kepalanya sempat bergerak melihat Jaden yang kini tengah serius bermain Playstation dengan semangat. Ada apa dengan orang-orang ini? Pikirnya. Lalu ia teringat akan tujuan utama untuk datang kesini. Pria itu tersenyum sumringah sembari menghampiri Justin, duduk di pinggir kasurnya lantas menepuk-nepuk kedua paha Justin yang tertutup selimut dengan gemas. Sontak saja Justin terkejut dan mengerang kesakitan. Tepukan Pria itu cukup keras dan berefek juga pada kemaluannya yang sakit.

"Aw! Hen..hentikan Luke!" Justin mengerang kesakitan dan rasa ngilu itu kini mulai menjalar kembali. Membuat perutnya terasa mulas luar biasa.


"Kau kenapa?"


"Ada insiden me--"


"Diam! Tutup mulutmu!" Sergah Justin sarkastik sembari meringis kesakitan. pada Jaden yang masih saja ikut-ikutan walaupun tengah asik bermain.


"Ups! Sorry. Apa aku melewatkan sesuatu? Ayolah man! Katakan. Apa?" Ucap pria bernama Luke itu penuh penasaran.


"Duduk. Disampingku."


Luke mengangguk cepat dan mulai merangkak naik keatas ranjang untuk duduk disamping Justin. Setelah duduk dengan nyaman, pria itu melipat tangannya di depan dada. Menatap Justin penuh mengisyaratkan bahwa ia butuh penjelasan. Justin menarik napas kemudian menghembuskannya dengan kasar. Kedutan di kemaluannya masih terasa. Obat yang ia minum kurang mujarab sepertinya.


"Apa yang akan kau lakukan jika menghadapi seorang gadis yang..galak?"


Luke terkekeh geli. "Pengalamanmu terhadap wanita masih dangkal ternyata?"


"Tentu saja tidak. Gadis ini gila! Maksudku..gadis ini berbeda. Ia bisa saja melakukan sesuatu yang tidak diduga seperti..memukulmu? Jika begitu? Apa yang akan kau lakukan?"


"Pukulan wanita Justin. Aku bisa mengatasinya."

"Bagaimana jika wanita itu pandai beladiri?"

"Cium saja dia. Kau ini bodoh sekali."

Justin tertegun beberapa saat. Menciumnya? Okay. Menciumnya. Tapi? Mencium gadis gila?! Oh astaga Justin benar-benar frustasi sekarang!

"Aku sudah lama tidak taruhan."

Perkataan Luke membuat Justin tersadar akan dunia nyata. Ia menatap Luke terheran-heran dengan alis yang terangkat.

"Soal wanita? Kita sudah melakukan banyak hal. Gadis hitam, putih, seksi, culun, wanita jalang, seorang janda. Apalagi?"

"Kau akan dapat mobilku jika kau bisa."

"Aku sudah dapat mobilmu beberapa bulan lalu." Cercah Justin acuh.

"Lalu apa yang kau mau?"

"Melihatmu menari telanjang di pesta ulang tahunku. Kau berani?"

"Siapa takut? Jika kau kalah, kau yang menari!"

Justin mengangguk dengan berani. Ia sudah berkali-kali melakukan taruhan bersama Luke. Dan Justin lebih dominan memenangkan taruhannya. Dan ia yakin kali ini akan menang lagi. Sudah di duga, Luke datang untuk memaparkan misi taruhannya.

"Okay, kalau begitu kau harus menemukan gadis dengan berbokong-"

"Besar? Itu mudah." sergah Justin cepat dan sedikit menggerakan tubuhya untuk berbaring. Ia sempat meringis kecil merasakan sakit untuk bergerak.

"Tidak. Lebih tepatnya bokong yang indah. Tidak harus besar. Intinya harus indah sangat menungging."

"Butuh ketelitian." Justin mengangguk-ngangguk. "Aku terima tantanganmu. Pergilah. Aku ingin tidur. Bawa Jaden bersamamu. Dia masih ingin berpesta. Dan well, selamat datang di Calfornia Luke Hemmings. Senang melihatmu kembali."





***




Continue Reading

You'll Also Like

77K 8.3K 86
Sang rival yang selama ini ia kejar, untuk ia bawa pulang ke desa, kini benar-benar kembali.. Tapi dengan keadaan yang menyedihkan. Terkena kegagalan...
48.4K 6.6K 30
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...
140K 13.8K 25
Xiao Zhan, seorang single parent yang baru saja kehilangan putra tercinta karena penyakit bawaan dari sang istri, bertemu dengan anak kecil yang dise...
YES, DADDY! By

Fanfiction

307K 1.8K 9
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar