Petrichor

By SylicateGrazie

449K 43K 9.1K

Di seberang sana ada seorang pemuda. Pemuda buta dengan bekas luka sayatan di telapak tangannya. Ia selalu mu... More

-Prologue-
-First Rain-
-Second Rain-
-Third Rain-
-Fourth Rain-
-Fifth Rain-
-Sixth Rain-
-There's No Rain-
-Seventh Rain-
-Eighth Rain-
-First Storm-
-Pluviophiles-
Eh, ada update nih, Petrichor
-Ninth Rain-
-First Kill-
-Too Dry To Rain-
-Tenth Rain-
-Eleventh Rain-
-Twelfth Rain-
-Thirtieth Rain-
-Second Kill-
-Electrocuted-
-Fortieth Rain-
-Third Storm-
-It's Raining Cats and Dogs-
-Fiftieth Rain-
-Epilogue-
-Extra Part(s)-
-A Message From Gash-

-Second Storm-

10.2K 980 230
By SylicateGrazie

"Nah, coba kau lihat yang ini." Dash mengacungkan sebuah belati yang mengkilap di bawah naungan matahari. "Stiletto,  belati. Kau pertama kali membunuh korbanmu dengan benda seperti ini, kan?"

Aku mengangguk lesu. Kuremas rerumputan panjang di halaman belakang rumah ini. Melihat mata belati itu yang tajam, seakan-akan dapat mengoyak isi mataku membuatku ingin muntah dan lari dari tempat. Aku yakin Dash sangat bersemangat... bersemangat untuk menakutiku.

"Ada banyak yang kupunya di sini! Lihat, ini yang normal, this one is a trailing-point, curved blade, Cup-point, Drop-point...."

Aku memalingkan wajahku. Akhir-akhir ini Dash senang sekali mengoceh dalam bahasa asing. Kelihatannya sangat mengerikan melihatnya bicara dalam bahasa yang tak kumengerti seraya mengacung-acungkan pisau dari kotak mainannya. Di belakangku terdapat Lymm yang memperhatikan Dash dengan malas. Aku masih ingat ucapannya beberapa saat yang lalu. "Orang berkemauan bodoh sepertinya jangan dituruti. Pada akhirnya pasti kau yang merugi.

Baiklah, kuakui dia benar.

"... spear-point, needle-point—favorite!  Sampai sekarang aku penasaran seperti apa rasa sakitnya ditusuk yang ini. Mungkin seperti ditusuk jarum raksasa? Haha! Baiklah, this one is called, Spey Blade, Kamasu Kissaki...."

"Oh, lihat itu," ujar Lymm setengah berbisik. Aku menoleh ke arahnya, kemudian mengikuti pandangannya. Di sana berdiri Tom dan Gash. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang agak mengagetkan hanyalah... Tom membawa senapan di tangannya.

"... and there's sheepsfoot, wharncliffe... dan, ini!" Dash mendadak melempar sebuah pisau, melewati kedua mataku. "Kau... dari tadi tidak memperhatikan ya?"

Aku menoleh ke arahnya, menggeleng pelan.

Dash menghela napas panjang. "Ya Tuhan, aku benar-benar ingin membunuhmu jadinya," keluhnya. "Sini, kemarikan pisau kerenku itu."

Aku menatap sebelah kiriku, tempat pisau lemparan Dash tertancap ke tanah. Kucabut benda itu dengan tangan gemetar. Pisau hitam itu tidak terlalu panjang, tetapi bisa saja seseorang menikamku dengan ini. Tepat ke jantung, dan menggores tulang rusukku.

Sial, sekarang jantungku berdetak tidak keruan hanya karena benda tajam ini.

Aku menyerahkan benda itu kembali ke pemiliknya. "Kau suka sekali ya bermain dengan benda-benda ini?" tanyaku heran. Dash berjongkok di sebelahku, lalu menyeringai.

"Ini, yang baru saja kau berikan," ucapnya pelan. "Aku pertama kali membunuh korbanku dengan ini."

Aku menggigit bagian bawah bibirku. Ternyata benda yang kusentuh itu sudah pernah bertemu dengan darah ya? Dash ini....

"Kau mau tahu bagian mana saja yang kutusuk dengan benda ini?"

Aku menutup kedua telingaku. "Tidak. Aku tidak mau tahu."

"Yah, baiklah. Pertama, aku menusuk lubang hidungnya. Kemudian, aku beralih ke telinga...."

"Itu saja sudah cukup, Dash," selaku. "Itu. Sudah. Cukup."

Dash tersenyum mengerikan. Belum sempat ia bicara, Lymm menghampirinya.

"Bukannya yang ini lebih cocok denganmu, Dash," tanyanya seraya memainkan salah satu pisau yang diambilnya.

"Tidak," jawabnya cepat. "Aku tidak suka motifnya. Membuatku ingin membakarnya saja. Kalau kau mau, ambil saja!"

"Kalau begitu, kenapa kau dulu memintaku untuk membelinya?! Dasar perempuan sialan!"

Dash melototi pemuda di hadapannya. "Apa kau bilang?! Mati saja kau di rawa-rawa!"

Aku mengalihkan pandanganku lagi. Siang ini sangat terik, aku bahkan perlu menyipitkan kedua mataku untuk mencari dua sosok yang tadinya berdiri tak jauh dari sini. Namun mereka sudah tidak ada di tempat.

Kembali ke Dash dan Lymm, sekarang mereka memaki satu sama lain dengan teriakan.

"Err, aku permisi dulu," ujarku lirih. Syukurlah mereka tidak mendengarku. Dengan mudah aku meninggalkan mereka yang berbincang panas tentang benda di dalam kotak terkutuk Dash.

Dengan langkah ringan aku memasuki rumah. Hening, jauh lebih hening dari pada di luar sana. Mendadak suara air mengalir terdengar. Aku bersegera ke dapur, menghampiri asal suara itu. Kulihat Gash mencuci tangannya di keran, dan Tom tengah mengotak-atik sesuatu di meja makan.

"Hai, Erlyn," kata Gash tiba-tiba. Ia kini mengeringkan kedua tangannya dengan sebuah handuk kecil yang tergantung tak jauh darinya. "Langkahmu sangat terdengar tadi. Ada apa?"

Aku dapat merasakan Tom menoleh ke belakangnya, ke arahku tepatnya. Tom saja tidak menyadari kehadiranku, kenapa Gash bisa?

"Aku haus," jawabku secepat mungkin. Gash mengangkat kedua alisnya.

"Baiklah, aku pergi dulu kalau begitu," ujarnya. Ia berjalan pelan menuju pintu keluar.

"Sendirian?" tanyaku lagi. Aku dapat mendengar Gash sedikit tergelak.

Pemuda buta itu berbalik arah menghadapku. Seraya tersenyum riang, ia berkata, "Kau khawatir? Tenang saja, aku selalu keluar sendirian... manisku." Kemudian ia membuka pintu dan menutupnya secepat kilat. Aku terdiam.

"Menggelikan," ujar Tom tiba-tiba.

"Iya ya?" tanyaku lirih. Gash berkata manisku kepadaku.... Itu menggelikan ya? Yang ada, aku hanya tidak bisa memaksakan bibirku tersenyum. "Sangat menggelikan, ya?"

Tom mengedikkan kedua bahunya. "Menurutmu?"

"Menurutku...." Aku terkikik. Entah kenapa, aku jadi bahagia sekali mengingat Gash memanggilku manis tadi. "Menurutku itu... manis."

"Gash akan berada di luar hingga besok pagi," ucap Tom. Uh, kenapa dia mengalihkan pembicaraannya sih? "Aku juga akan keluar dengan Silva nanti malam. Tolong jaga dua anak tolol di belakang, baik?"

Aku menggelengkan kepalaku, gusar. "Iya, iya, aku paham...." Aku mengambil sebuah gelas kosong dari rak piring, kemudian mengisinya dengan air dari keran.

"Hei."

Aku menoleh ke arah Tom, mendapatkan tatapan tajam dari orang itu. Aku meneguk ludahku.

Tom menatapku dingin. "Kau mengerti maksudku?"

"I... iya, tentunya." Tanganku terasa basah. Aku segera mematikan keran, mendapati gelasku sudah dipenuhi air.

"Apa... apa kaitannya manis denganmu?"

Aku mengerutkan dahi. "Apa?"

Tom menggelengkan kepalanya pelan. "Kalau kau mau tahu... semua hal yang kau lalui itu terasa seperti kopi pahit," ujarnya lirih. "Kau akan melihatnya nanti malam...."

"Dari mana kau tahu?" tanyaku. Tom hanya tersenyum sedikit, senyum terdingin kedua setelah senyum ayahku.

"Kau... tahu apa pekerjaanku."

Pemuda itu beranjak dari kursi, meninggalkan sebuah senapan di atas meja. Aku tahu ia sudah pergi, tetapi sakit rasanya menarik napas lega. Belum lagi senapan itu, mengganggu pemandangan. Kenapa aku malah terikat dengan urusan pembunuh-pembunuh ini?

Aku meminum air yang kuambil. Riak demi riak timbul permukaan air. Tanganku bergetar, dan aku lepas kepalan tangan yang sedari tadi kutahan.

Aku mulai tidak suka dengan semua ini.

---

"Tidakkah itu berisiko?"


Dash menatapku bingung. Yah, wajar dia bingung. Aku meminjam hoodie hitam tak bersletingnya, dan ini hoodie pertama yang pernah kukenakan. Baik, bukan itu yang membuatnya bingung. Yang membuatnya bingung adalah... keputusanku untuk mengekori Tom malam ini.

"Aku... hanya ingin mencoba," sanggahku. Mungkin aku terlihat seperti gadis mungil yang akan keluar dengan tampang sok jagoan, tetapi sebenarnya... aku tidak punya nyali yang besar untuk melakukan ini. Namun, Tom bilang....

Aku takut.

Ruangan ini seketika terasa lembab. Ah, tipikal kamar tidur Dash yang membuat orang ingin pingsan di tempat. Dash menyenderkan dirinya ke pintu, menghalangku keluar.

"Kalau malah kau yang mati malam ini bagaimana?" tanyanya. Aku dapat melihat dari kerutan wajahnya, rasa khawatir yang jarang sekali orang tampilkan kepadaku. Ah, aku merasa bersalah lagi....

"Tidak mengapa," jawabku enteng. "Doakan saja."

Dash tersenyum kecut. "Jangan sia-siakan pisau yang kuberikan itu." Ia tertawa, kemudian menyeringai. "Setelah makan malam, Tom pasti pergi. Kau harus bergegas untuk memperingatkan ayahmu."

Aku mengangguk mantap. Ya, pada akhirnya aku peduli juga dengan pria yang selalu ada di sampingku untuk menyiksaku. Ironis? Ayolah, dia ayahku. Orang-orang selalu berkata hormatilah kedua orangtuamu walaupun mereka tidak benar-benar baik. Yah, itu kata... Valt, dulu.

"Aku pergi sekarang?" tanyaku. Aku menggenggam erat pisau pemberian Dash. Kedua kalinya aku menggenggam erat sebuah benda tajam. Namun yang pertama untuk suatu hal yang buruk, yang sekarang hanya untuk membela diri. Pisau ini lebih terlihat seperti hiasan dengan desain agak futuristiknya anehnya.

"Setidaknya minum air putih dahulu. Kau akan kehausan... mungkin." Dash terkekeh. "Masukkan saja benda itu ke kantong hoodie itu. Lumayan besar bukan kantungnya?"

Aku meraba-raba bagian perut hoodie, tempat di mana sebuah kantung. "Sepertinya cukup."

Dash menghembuskan napas berat. "Kau tahu apa?" ujarnya pelan. Aku mendongak menatapnya.

"Erlyn, kau berubah."

Aku mengedipkan mataku berkali-kali. "Apa maksudmu?"

"Kau berubah," ulangnya lagi. "Benar-benar berubah. Bukan lagi seorang gadis aneh yang pemalu dan penakut. Apa yang terjadi?"

Aku terdiam sebentar, berusaha untuk memasuki kata-kata itu ke dalam otak. "Aku hanya... ingin menyelamatkan ayahku."

"Kau ingin sekali menyelamatkannya ya?"

Aku tersenyum tipis. "Entah kenapa... ya. Aku ingin ayahku tidak bernasib sama dengan ibuku."

"Bagaimana kalau kau menjadi target selanjutnya?"

Aku menggelengkan kepala pelan. "Tidak," jawabku singkat.

"Kau tidak pernah tahu siapa yang mau menghabisi keluargamu itu."

Aku menggelengkan kepala keras-keras. "Aku harus pergi sekarang."

Dash menggeserkan tubuhnya. "As you wish," ujarnya. "Good luck.

Aku tersenyum tipis. "Terima kasih."

Tanpa suara aku berjalan menyusuri lorong. Kuhampiri sebentar dapur, mengikuti apa kata Dash. Aku melakukan segalanya dengan terburu-buru, sampai-sampai aku nyaris tersedak. Gila, kenapa malah aku yang merasa tidak aman? Seandainya ayah tahu apa yang akan dialaminya malam ini.

Aku memasang hoodie, menutupi sebagian besar wajah mungilku. Semoga Tom menikmati makan malamnya, karena aku menaiki bus ke rumah.

Bus tidak terlalu ramai. Aku merindukan keramaian. Aku perlu melihat manusia yang bergerak, bernapas.... Aku perlu mereka yang dapat menenangkan diriku. Dash sudah membantuku, bagaimana dengan yang lain? Sudahlah, Erlyn. Terima saja tidak banyak orang menghiraukan dirimu.

Pikiranku terus mengalir seraya menatap awan kelabu yang menghalangi cahaya bintang. Langit terlihat buram, membuat kepalaku terasa berat. Di mana Gash ketika aku membutuhkannya?

Bus berhenti. Aku menurunkan diriku ke trotoar. Hawa dingin menusuk kulitku. Aku segera berjalan cepat menuju rumah. Aku tidak memperhatikan sekelilingku lagi, aku ingin pulang. Aku ingin mengetuk pintu rumah, mendapati ayahku di dalam dalam kondisi selamat, lalu diusir kembali. Hanya itu yang kuinginkan, tidak lebih.

Segalanya terasa sangat singkat. Aku menatap rumahku dengan senyum pahit. Aku tidak bisa bilang aku merindukannya, tetapi aku tidak bisa bilang aku menyayanginya pula. Rasanya seperti berada di tempat asing. Aku mengetuk pelan pintu rumah. Tak ada jawaban, sesuai ekspetasiku. Aku mengetuknya lebih keras. Lagi-lagi, tidak ada.

Baru aku ingin meneriaki ayahku, aku melihat sebuah mobil melaju dari seberang jalan. Mobil sedan hitam yang serasi dengan warna langit... dan siluet seorang gadis dengan rambut diikat dua.

Tidak salah lagi.

"Tu-tunggu!" Aku berlari mengikuti mobil itu. Tindakan yang konyol, tetapi hanya ini yang ada di pikiranku. Mobil itu melaju kencang, aku tidak punya kesempatan untuk mengejarnya. Semoga mobil itu tidak pergi jauh....

Mobil itu berbelok beberapa kali. Perutku terasa sakit karena terus-terusan mengejarnya. Aku dapat mendengar detak jantungku yang memekakkan telinga. Tubuhku terasa panas. Aku mulai kehabisan napas... hingga mobil itu berhenti.

Aku melarikan diri ke semak belukar di sebelah trotoar. Aku bersyukur si pemilik rumah menanamnya. Mereka tidak akan dapat melihatku. Tempat ini sangat gelap, nyaris tidak ada lampu menerangi jalanan. Firasatku tidak enak. Aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya.

Muncul siluet tinggi dari pintu depan mobil, kemudian perempuan pendek di sebelahnya. Terdengar gemuruh petir, diikuti sambaran kilat.

Aku dapat melihat mereka dengan jelas. Tom dan Silva.

Tom membuka pintu belakang, menarik sesuatu yang besar... sesuatu yang diikat. Ia menggendongnya ke atas bahu. Silva berjalan cepat ke arah rumah. Semuanya terjadi dengan cepat.

Aku dapat mendengar Silva membuka pintu dengan kunci, diikuti dengan gumaman ketus dari Tom. Lalu terdengar suara pintu berdebam. Aku segera keluar dari tempat persembunyian. Dengan napas pendek-pendek aku berlari ke pintu, kemudian membukanya perlahan. Tak terkunci, ceroboh juga ternyata.

Aku dapat merasakan bulu kudukku berdiri. Rasanya seperti rumah hantu... tak satu pun lampu dari rumah ini dinyalakan.

Setelah mataku telah membiasakan diri dengan kegelapan, aku menemukan sebuah sofa, meja, karpet... sebuah ruang tamu. Aku memasuki satu-satunya lorong yang ada, aku yakin ini mengarah ke ruang tengah. Tersengar suara langkah-langkah lembut tak jauh dariku. Aku menyandarkan diri ke dinding, berusaha untuk menguping.

"Ke sini?"

"Ya, ke bawah tanah. Kemarikan kuncinya!"

"Gue yang buka!"

Suara gemerincing kunci terdengar lagi, setelahnya suara sesuatu yang berderit.

"Cepat!"

"Kau tak lihat aku membawa calon mayat di sini?!"

"Lempar saja dia ke bawah! Apa susahnya...."

Aku meneguk ludah. Suara debuman terdengar, diikuti erangan keras. Suara ayahku.

Aku terduduk lemas. Aku mulai memikirkan ulang apa yang sedang kulakukan di sini. Setelah melihat keadaan, kemungkinan besar aku tidak dapat mengeluarkan ayah. Mustahil, sebenarnya. Malah bisa jadi nyawaku terancam. Aku mengusap wajahku perlahan. Aku bodoh, sungguh bodoh....

Dan aku akan menjadi orang paling bodoh di dunia malam ini.

Suara hujan lamat-lamat terdengar, memenuhi telingaku yang seharusnya mencuri dengar percakapan dua orang di bawah. Namun nihil. Sepertinya tempat itu sangat dalam.

Tanpa suara, aku mendekati asal suara tadi. Gelap, aku nyaris tidak bisa melihat apa-apa. Nyaris aku terjatuh ke sebuah lubang besar yang menganga di lantai kayu rumah ini. Saat kuperhatikan baik-baik, terdapat dua daun pintu yang terbuka. Baiklah, ini lubangnya ya?

Aku memasukkan tanganku ke dalam, merasakan sebuah benda dingin di bawah. Pipa-pipa raksasa yang keras, sebuah tangga besi.

Baiklah Erlyn, kuatkan dirimu. Kau bisa!

Setelah menarik napas dalam-dalam, aku memasukkan kaki kananku ke dalam. Kupijak tangga itu. Kemudian aku menurunkan kaki kiriku. Ya, ini sangat mudah, Erlyn. Lanjutkan!

Aku menuruni tangga perlahan. Makin aku turun, makin dingin udara di sekelilingku. Aku menggigit bagian bawa bibirku. Aku menghentikan gerak tubuhku. Kupandang kegelapan di bawah sana. Aku menggeram pelan.

Ayolah, aku bisa! Aku bisa!

Aku melanjutkan kembali perjalananku. Rasanya seperti latihan mental saja. Tubuhku dibasahi keringat dingin sekarang. Belum pernah aku mengalami yang separah ini.

Tak lama kemudian, aku dapat melihat cahaya di bawah sana. Aku memperlambat gerakku, berusaha untuk tidak membuat suara sedikit pun.

Sesampainya di bawah, aku... agak terkesima, sejujurnya. Lantai bersih yang mengkilap, dinding semen putih, lampu-lampu yang berjejer....

Tempat apa ini?

Aku mulai melangkah mengikuti lorong. Kubuka hoodie yang menutupi pandanganku. Tempat ini sangat bersih. Ada beberapa laci kayu yang berisikan entah apa, kemudian beberapa lemari yang agak menyempitkan ruangan, beberapa pot dan tanaman hias.

Lorong misterius ini berbelok ke arah kanan, dan di situlah aku melihatnya.

Silva, perempuan yang terlihat menjijikkan ketika berdekatan dengan Gash, tengah meniup permen karet. Ia menyenderkan diri ke dinding. Belum sempat aku menyembunyikan diri, Silva menatapku.

Sial.

"Hei, Erlyn."

Badanku mendadak kaku. Gadis itu, dengan senyum terukir di wajahnya, mendekatiku dengan langkah-langkah kecilnya.

"Tahu dari mana tempat ini?" tanyanya, dua tangan ditaruh ke pinggangnya.

"Aku... kebetulan lewat saja." Aku tertawa canggung. Gadis itu menaikkan sebelah alisnya.

"Yah, baiklah kalau begitu," ujarnya, kemudian meniupkan lagi permen karetnya. Ia berjalan kembali ke tempat asalnya. Saat balon karet itu meledak, ditatapnya tubuhku dengan tatapan yang ramah. Yah, kelihatannya ia berniat untuk memberikanku tatapan ramah. "Erlyn, kita berada di satu pihak, kan?"

Aku mengangguk pelan. Kuhampiri ia. Tak kusangka, ternyata gadis itu bersender ke sebuah pintu besi yang tertanam di dinding. Aku mengerutkan dahi.

"Ini..."

"Ruang Penyiksaan," terangnya. "Tempat khusus milik Tom."

Tiba-tiba sebuah dentuman keras terdengar dari dalam. Aku meringis mendengarnya.

"Wow, satu pukulan lagi tepat di kepala!" Silva terkikik.

"Siapa yang ada di dalam?" tanyaku lirih.

"Aku tidak kenal dengan orangnya," jawab Silva. "Pokoknya nama panggilannya Lucio."

Mendengarnya, aku langsung menempelkan telingaku ke pintu.

"Katakan kepadaku, kenapa kau melakukannya?"

Suara dingin serak khas Tom terdengar dari dalam.

"Apa manfaatnya kalau aku bilang, hah?"

Aku yakin sekali itu suara ayahku.

"Ayolah, Tuan Tolol. Klienku akan membenciku jika kau tidak ingin memberikanku informasi itu."

"Benda itu milikku. Mau apa dia dengan kehidupanku?!"

Suara dentuman lagi. Aku meneguk ludah.

"Itu tidak pantas!"

"Pantas kalau kau pernah merasakannya!"

Dua dentuman. "Dasar pria gila!"

Suara batuk mulai terdengar. "Ka-kau yang gila!"

Dentuman lagi.

"Kau harus memberitahuku, atau kau akan mati perlahan."

"Aku tidak percaya."

Hening sejenak.

"Si-silva," panggilku dengan suara bergetar. "Berapa lama ini akan berlangsung?"

"Err, mungkin sebentar lagi."

Kemudian aku mendengar suara dentuman lagi.

"Beri tahu aku!"

Dentuman, dentuman. Dentuman, lalu dentuman lagi. Kapan ini akan berakhir?!

Brak!

Baik, itu bukan dentuman lagi. Aku mundur beberapa langkah dari pintu itu, kemudian tersungkur.

"Erlyn, wajahmu pucat," komentar Silva. Namun sepertinya itu bukan karena ia khawatir. Senyumnya mengatakan seperti itu.

"Be-benarkah?" Mataku mukai berkaca-kaca.

"Ya," jawabnya singkat. "Sebaiknya kau pergi, Tom akan keluar beberapa saat la—"

"Dia mempermainkan semuanya!"

Pintu mendadak terbuka, mendorong Silva menabrak dinding. Terlihat Tom, dengan tubuh bernodakan darah. Dari kepala hingga sepatunya. Wajah dinginnya kini terlihat merah.

Wajah itu makin merah ketika ia melihatku terduduk di hadapannya.

"Er...lyn?"

"Bodoh!" teriakku tiba-tiba. Aku segera menutup mulutku, menyesali apa yang baru saja kulakukan. Perlahan aku beranjak, kemudian menatap dalam-dalam kedua mata Tom. "Ma-maaf, aku... aku permisi dulu," ujarku pelan. Ingin rasanya aku meneriakkan kata munafik tepat di depan wajahnya, tetapi... aku bukan jenis orang yang seperti itu.

Sekarang aku benar-benar kehilangan seluruh keluargaku. Seluruhnya.

Dengan langkah gontai aku menjauhi mereka. Air mataku menetes perlahan, menelusuri pipiku yang sudah sering mencicipi air mata.

Tiba-tiba sesuatu menggapai pergelangan tangan kananku. Aku menoleh, melihat Tom mencengkeram tanganku. Aku melihat benda yang ia gunakan untuk membunuh ayahku di tangan kirinya. Sebuah pemukul baseball dari besi, hebat.

"Kau... ada perlu bicara denganku?" tanyaku lemas. Kutampilkan senyum terbaikku ke arahnya. "Aku sudah tahu apa yang kau lakukan di dalam tadi."

Tom membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Namun teriakan Silva mendahuluinya.

"Wow, Tom, kau gila!" Silva terkekeh. "Kau memecahkan kepalanya!"

Entah bagaimana, mendadak kepalaku terasa ikut pecah. Aku melihat Tom mendecak.

"Hei, Tom," panggilku pelan. "Boleh tolong lepaskan tanganmu? Aku ingin pulang."

"Tidak, pulang saja bersama kami," pintanya. Walau ia sudah membunuh ayahku, tetap saja ia mengucapkan segalanya dengan nada dingin. Benar-benar....

"Aku ingin pulang sendiri," ulangku. Tom menggelengkan kepalanya.

"Tidak, lebih baik kau—"

"Berhenti." Aku tersenyum ke arahnya. Tom menatapku dengan tatapan penuh dosa, rasa bersalah yang mendalam. Yah, memang begitu seharusnya. "Aku pulang sendiri saja."

"Tidak, aku—"

"STOP!" teriakku tiba-tiba. Aku benar-benar muak dengannya. Kukeluarkan pisau Dash, mengacungkannya ke tangan Tom. "Lepaskan tanganku!"

Perlahan Tom melepaskan cengkeramannya. Aku segera berlari dari tempat itu. Menaiki tangga, kemudian keluar dari ruang tamu secepat mungkin.

Hujan telah datang rupanya. Aku mengenakan kembali hoodieku.

Bagaimana kalau kau menjadi target selanjutnya?

Aku menggelengkan kepalaku. Aku berteriak sekencang-kencangnya seraya menutup wajahku. Tanpa memikirkan apa-apa, aku berlari di bawah hujan. Petir dan halilintar menyambar layaknya menyorakiku.

Aku terus berlari entah ke mana. Aku tidak peduli. Rasa aneh di dadaku tidak dapat hilang. Seharusnya aku bahagia karena seseorang telah menghancurkan salah satu monster di kehidupanku. Namun...

... rasanya, ini semua salah. Seharusnya semuanya tidak berjalan seperti ini.

Aku memeluk diriku sendiri di bawah hujan. Kusenderkan tubuh ke lampu jalanan. Di sini aku bisa menangis sepuasnya, dan aku akan melakukannya.

Aku melakukannya.

---

Err, anehkah? :/
Update cepet, yeay?
Aku yakin ada banyak typo, haha. Yah... semoga kalian enjoy bacanya. Toling beri tahu aku kalau ada typo '-'
Daaan, terima kasih banyak kepada kalian yang menjawab pertanyaan-pertanyaanku di update-an terakhir! Aku sayang kalian semua :3
Tapi... anu... bagian ini aneh gak sih? Seaneh adegan ibu erlyn meninggal gak? ._.
Aku takutnya aneh ;-;
Tolong beritahukan pendapat kalian kepadaku! Btw, ini satu bagian lumayan panjang loh, gak sepanjang yang lain~

Oke, keknya sekian dulu... aku harus tidur. Capek. Yosh, semoga harimu menyenangkan~

Btw, pisonya bagus gak? ._.

Continue Reading

You'll Also Like

Bad Reputation By h

Teen Fiction

37.8K 4.1K 19
Desas-desus perihal Gamaliel Angkasa selalu berseliweran dan memantul di setiap dinding sekolah. Tidak pernah tidak. Bahkan hantu penunggu pun sepert...
572K 5.9K 10
Cecilia tak pernah menyangka jika pernikahannya akan hancur setelah 2 tahun menjalin ikatan pernikahan dengan Derek. Cecilia juga tak pernah menyangk...
124K 8.7K 28
Buanglah mantan pada tempatnya, tutup rapat-rapat agar bau busuknya menghilang. Selalu saja kalimat itu terngiang di pikiran Lily semenjak pertemuann...
28.6K 2.7K 7
{OCEAN SERIES 4} Stefano de Luciano Oćean, pria berkuasa yang memiliki segalanya. Darah seorang Oćean yang mengalir dalam tubuhnya, membuatnya tumbuh...