Romeo Almahera

By Yn1712

1.8M 107K 34.3K

• Obsession series • [ SELAMAT MEMBACA ] Romeo akan menghalalkan segala cara demi mendapati Evelyn, termasuk... More

Prolog
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
42
43
44
45

41

26.8K 1.5K 1K
By Yn1712

ROMEO UPDATE🦋
HAPPY READING!

•1k vote - 1k komen for the next chapter•

"Evelyn?"

"Evelyn sayang...."

"Evelyn kau dimana?"

Ditempat yang Romeo tak tahu dimana. Dia terus berteriak memanggil istrinya. Mencari Evelyn untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Tidak meninggalkannya seperti ketakutannya.

"Evelyn?"

Kaki Romeo terus berjalan menyusuri rerumputan itu tanpa alas kaki. Bibir pucatnya menyeru tanpa henti nama Evelyn, berharap mendapatkan jawaban dari perempuan yang dicarinya.

"Meo!"

"Evelyn?"

Romeo memutar tubuhnya saat mendengar seruan Evelyn ikut memanggilnya. Dan seutas senyum lega muncul di bibirnya saat mendapati istri cantiknya tengah melambai ke arahnya.

"Sini, Meo!" Perempuan itu memintanya untuk mendekat. Dan tanpa diminta dua kali, Romeo langsung berlari ke arah Evelyn dan memeluknya.

"Evelyn.." Romeo menghela nafas lega, ia menghirup udara sebanyak-banyaknya saat oksigennya telah kembali. "Kupikir kau akan meninggalkanku," lirihnya.

Evelyn tersenyum, dia mengusap surai Romeo lembut. "Aku tidak akan meninggalkanmu, Meo."

Romeo mengangguk, dia kian mengeratkan pelukannya pada Evelyn. Menikmati kelegaan dihatinya saat kini bisa memeluk lagi Evelynnya.

Setelah lama mendekap, Romeo melepas pelukan itu saat merasa ada yang berbeda. Dia meneliti wajah Evelyn, hingga pandangannya jatuh ke arah perut istrinya yang tak lagi membesar.

"Evelyn. Anak kita mana?" Tanya Romeo, dia menaikkan pandangannya menatap Evelyn penuh tanya. Namun, Evelyn hanya diam tak memberikan  jawaban membuat Romeo merasa gelisah.

"Sayang? Kenapa? Apa yang terjadi?" Tuntut Romeo.

"Maaf," tutur Evelyn. "Aku gagal melindunginya. Aku ibu yang buruk."

Sorot mata Evelyn memancarkan keputusasaan yang begitu kentara. Tangannya merambat memegang rahang Romeo dan berkata, "Meo, kau tidak marah padaku, kan?"

Romeo mengedip pelan seiring saliva yang ia telan. Dia tersenyum tipis dan menangkup tangan Evelyn dirahangnya. Menggelengkan kepala menenangkan istrinya. "Tidak. Aku tidak marah. Selagi kau baik-baik saja, aku akan tenang," sahutnya.

Evelyn tersenyum. Lantas dia bawa Romeo dalam dekapan erat-erat, dibalas dekap tak kalah erat oleh pria itu. "Terima kasih telah memberikanku cinta sebaik ini, Meo," ucapnya.

Romeo tersenyum dalam pelukan. Dia mengecup pucuk kepala istrinya.

"Kau bisa hidup tanpaku, kan?"

Pertanyaan Evelyn membuat senyum Romeo meluntur sempurna, dia melepaskan pelukan itu dan memegang pundak Evelyn dengan sorot mata penuh ketidaksukaan di sana. "Apa yang kau katakan? Kau akan meninggalkanku? Kau akan meninggalkanku setelah semua hal yang kuberikan untukmu?"

"Maaf," tutur Evelyn. "Tapi anakku, dia tidak boleh sendirian, Meo. Dia duniaku, dia alasanku bertahan hidup selama ini. Jika dia pergi, untuk apa aku di sini? Ujung-ujungnya aku akan tetap mati dengan rasa bersalah ini, Meo."

Romeo menggeleng. "Tidak Evelyn. Kau harus terus bersamaku. Dan jika ingin pergi menyusul anak kita, aku ikut, aku akan ikut kemana pun kau pergi."

Evelyn tersenyum. Dia mengusap pipi Romeo yang kini basah dengan air matanya. "Aku mencintaimu."

Sosok Evelyn perlahan mengabur di udara, dimana hal itu membuat mata Romeo melotot panik takut kehilangannya. "Tidak. Tidak. Evelyn!" Jerit Romeo saat Evelyn tak lagi bisa disentuhnya.

"Evelyn jangan tinggalkan aku sendiri. Evelyn!"

"Evelyn!"

Romeo membuka matanya dengan nafas terengah-engah, dia menatap sekeliling mencari keberadaan Evelynnya. Namun, dia tak menemukannya membuat pria itu memaksakan diri untuk turun dari bangsal rumah sakit mencari Evelyn. Mengabaikan rasa sakit yang menyerang kepala saat ia memaksa menggerakkan tubuhnya.

Pria itu turun dari kasur dan mencabut paksa jarum infus yang ada di tangannya membuat tangannya sedikit mengeluarkan darah. Ia berjalan sempoyongan menuju pintu, namun baru beberapa langkah berjalan, dia sudah jatuh mengenaskan.

"Astaga, Tuan!"

Seorang perawat yang baru saja memasuki ruang inapnya terkejut mendapati keadaannya.

Perawat itu berlari ke arah Romeo, dia meletakkan semua barang bawaannya di lantai dan membantu Romeo berdiri. "Tuan, apa yang anda lakukan? Anda harus beristirahat sebab keadaan anda belum pul--,"

"Dimana istriku?" Tanya Romeo saat ia sudah berhasil berdiri dibantu oleh perawat itu. Dia tak memperdulikan ocehan perawat itu tentang dirinya. Baginya Evelyn lebih penting.

"Dimana Evelyn? Bawa aku ke sana sekarang. Aku harus menemuinya."

Perawat itu terdiam kebingungan. Dia tidak punya kuasa untuk itu. "Maaf, Tuan. Tapi anda tidak bisa menemui Nyonya sekarang, anda har----akhhhh!"

Romeo mencekik perawat itu dan menatapnya bengis penuh amarah. "Punya hak apa kau melarangku bertemu Evelyn, heuh?" Dia mendesis seraya menguatkan cekikan. Menahan rasa sakit di kepalanya yang membuat pandangannya sedikit kabur tak biasa.

"T-tuan sakh.. Sakhit Tuanh!" Perawat itu memegang lengan Romeo berusaha meloloskan diri, namun semakin kuat upayanya melepaskan tangan Romeo, semakin kuat pula cekikan yang di lehernya.

"Antarkan aku ke istriku sekarang, atau kau dan keluargamu akan kubunuh tanpa tersisa!" Ancam Romeo dengan mendesis rendah. Dimana kalimatnya tentu saja membuat perempuan muda itu ketakutan.

"S-saya tidak tahu, d-dimana istri anda, Tuanh.." ungkapnya jujur. Dia kian terengah saat pasokan udara kian menipis di rongga paru-nya. "Saya hanya.. Hanya di-ditugaskan m-menjaga anda."

Romeo memiringkan kepalanya dengan tatapan kian tajam menghunus perempuan di hadapannya. "Kau pikir aku mudah dibohongi, heuh?"

"TUAN?!"

Bondan yang baru memasuki ruang inap Romeo  langsung berlari ke arah pria itu saat mendapati Tuan-nya itu tengah mencekik seorang perawat tak bersalah.

"Tuan, tenanglah." Bondan berusaha untuk menarik Romeo dari perawat itu. Dimana akhirnya Romeo melepaskan tangannya membuat perawat malang itu jatuh dan terengah mengambil pasokan udara.

Pandangan Romeo masih menghunus tajam ke arahnya membuat perawat itu tak berani mengangkat wajahnya. Dia memegang dada sambil  mengambil udara sebanyak-banyaknya dengan kepala menunduk takut.

"Bondan, aku tidak mau melihat dia lagi," ucap Romeo. Meminta Bondan untuk lekas menghabisi orang yang sangat menyebalkan itu dimatanya.

Sebab perawat sialan itu berani-beraninya menahannya untuk menemui Evelynnya.

"Baik, Tuan." Bondan mengangguk saja, dia lalu mengambil kursi roda dan meletakkannya di samping Romeo. "Mari saya antarkan anda ke ruangan Nyonya Evelyn."

"Evelyn?" Mendengar nama Evelyn, Romeo langsung mengalihkan pandangannya ke arah Bondan dengan sorot mata berbinar. Dia memegang pundak Bondan. "Kau tahu Evelynku dimana, kan? Ayo, antarkan aku sekarang ke sana. Aku ingin melihat Evelynku, Bondan."

Bondan menatap Romeo sejenak sebelum menganggukkan kepalanya, lalu dia melirik ke arah perawat tadi dan mengkodenya untuk keluar lewat gerakan matanya. Kontan sang perawat mengikuti, sebab ia pun takut dengan pasien yang mengamuk tadi.

"Bondan."

"Iya, Tuan. Saya akan mengantarkan anda, tapi--,"

"Tapi apa?" Romeo langsung menyela tak sabar. Dia menatap Bondan kian serius. "Evelyn dan bayiku  tidak apa-apa kan? Dia selamatkan Bondan?" Tuntut Romeo.

"Nyonya ada di ruang operasi sekarang, Tuan."

Detak jantung Romeo terasa berhenti detik itu juga. Pegangannya pada pundak Bondan terlepas, dia mundur beberapa langkah dengan lemas. Ruang operasi? Apakah Evelynnya separah itu?

***

Mendapati kabar bahwa putra kesayangannya mengalami kecelakaan, Aron yang semula berada di Italia dalam perjalanan bisnisnya, tak pikir panjang untuk langsung pulang ke Amerika detik itu juga.

"Bagaimana keadaan Romeo?" Tanya Aron lagi-lagi memastikan.

"Tuan Romeo mengalami luka yang cukup serius di bagian kepala dan kakinya, tapi saat baru sadar, beliau langsung mengamuk saat dan mencari keadaan Nyonya Evelyn. Perawat yang anda tugaskan untuk menjaganya pun hampir di bunuh karena menghalangi Tuan untuk pergi, beruntung Bondan segera menyelamatkannya," lapor orang yang menjadi bawahan Aron itu.

Mendengarnya, Aron menghela nafasnya. "Dasar anak itu," gerutunya. Dia di sini cemas buka main akan keadaannya, tapi Romeo sendiri malah mencemaskan istrinya di tengah keadaannya yang tidak baik-baik saja itu.

"Tiffany, putramu benar-benar mirip sepertimu," gumam Aron menatap ke arah jendela pesawat membayangkan wajah mendiang sang istri yang masih lekat dalam ingatan. "Kau jangan khawatir, aku akan memberikan apapun yang dimintanya sesuai keinginan terakhirmu."

Andai istrinya itu masih di sini, mungkin dia bisa bersandar dalam pelukan sang istri guna melepas lelah. Dia bisa bermanja setiap hari seperti dulu kala. Namun, mengingat kebodohannya dulu membuat Aron menertawakan dirinya.

Bagaimanapun, dia adalah penyebab hilangnya Tiffany di muka bumi ini.

"Tuan," panggil pria yang berstatus sebagai asisten Aron itu, membuatnya tersadar dari lamunan. Dia menoleh dan menjawab lewat gerakan matanya. Lantas, pria itu langsung memberikan beberapa lembar foto kepadanya.

"Berdasarkan hasil penyelidikkan, ada yang menyabotase mobil Tuan Romeo, Tuan. Dan dilihat dari seberapa rapi orang itu bekerja, sepertinya dia tidak sendiri," jelas pria itu.

Alis Aron mengkerut dalam. "Jadi maksudmu, ada pekerja Romeo yang berkhianat begitu?"

Pria itu mengangguk. "Benar, Tuan."

Aron tertawa kecut dan menjilat bibirnya kasar menderu nafas kemarahan. Dasar orang-orang bodoh itu. Berani sekali dia mencelakai putranya!

"Cari siapapun yang terlibat dalam kasus ini. Amankan setiap orang yang mencurigakan," titah Aron.

"Baik, Tuan."

Aron mengangkat satu foto itu dan menelitinya. Sebuah foto yang di dapat dari rekaman cctv di luar restoran tempat Romeo makan malam bersama Evelyn. Dimana terlihat Romeo yang baru keluar pintu resto bersama Evelyn, dan dua orang pria memakai topi terlihat berada di sekitar mobil putranya.

"Jika orang-orang ini beraksi dibantu oleh bodyguard Romeo, harusnya orang yang berada di balik mereka adalah orang yang kukenali dan memiliki kekuasaan. Sebab tidak mungkin pekerja Romeo yang biasanya patuh bisa berkhianat begitu mudah." Aron mencoba menguliknya, mengungkap siapa orang dibalik kecelakaan Romeo dengan analisanya.

Dia yakin, orang yang melakukan ini adalah orang terdekat. Sebab jika orang luar yang melakukannya, jalannya tidak mungkin semulus ini. Aron tahu betul bahwa Romeo tidak akan pernah lengah, terlebih saat ia membawa Evelyn ikut serta. Pasti pria itu membawa banyak bodyguard untuk mengawalnya walau harus dari jauh.

Namun sekarang Romeo kecolongan. Dimana sudah pasti kejadian ini direncakan begitu rapi. Dan yang pasti, Aron tidak akan tinggal diam. Ia akan terus menyelidiki sampai mendapati siapa dalang di balik ini.

Sampai akhirnya satu nama muncul dikepalanya. Satu nama yang mendekati paling mungkin jika dia yang melakukannya. Namun, Aron masih ragu. Sebab jika benar, dia mempertanyakan 'apa tujuannya?' Apakah hanya sekedar ingin menghancurkan Romeo atau membalas semua rasa sakit yang dialaminya?

Aron memejamkan matanya sejenak sambil menghela nafas lelah. Tak dia sangka, dialah yang menciptakan musuh untuk putranya sendiri.

***

Berbeda dengan Aron yang setengah mati mengkhawatirkannya. Romeo sendiri justru tak memperdulikan keadaannya, dibandingkan dengan dirinya, dia malah mengkhawatirkan istrinya.

Dan kini, pria itu tengah berada di depan ruang operasi menunggu Evelynnya ditangani. Tak sedikit pun Romeo beranjak dari posisinya. Dia masih betah berada di pintu sambil mengintip Evelyn dari celah jendela yang ada.

"Bondan, kenapa para dokter itu lama sekali? Jika dia tidak becus menolong Evelyn, dia akan kubunuh satu-satu."

Bondan yang berada di belakang kursi roda Romeo hanya bisa diam. Sedari tadi Tuannya itu terus mengoceh dan menanyakan banyak hal padanya. Pertanyaan yang mana dia sendiri tidak tahu jawahannya.

Ancaman dan makian yang Romeo serukan pada para dokter yang menangani Evelyn pun tak henti-henti keluar sebab pria itu merasa mereka terlalu lama menangani istrinya.

Sampai akhirnya, seorang dokter membuka pintu ruang operasi itu dengan masker yang masih menutupi sebagian wajahnya. "Keluarga pasien?" Tanyanya saat mendapati Romeo berada di sana.

Romeo segera bangkit dari kursi rodanya. Dia mengangguk berkali-kali. "Aku suaminya. Bagaimana keadaan istri dan anakku? Dia selamatkan?" Tuntut Romeo.

"Istri anda selamat Tuan, pendarahan berhasil dihentikan," ucap sang dokter membuat Romeo menghela nafas lega. Dia tersenyum sumringah.

"Tapi kami mohon maaf, karena putra anda tidak bisa diselamatkan."

"Apa?" Lirih Romeo dengan senyum yang kini telah meluntur sempurna. Bagai sebuah hantaman besar memukul tepat di dada. Seloroh kalimat itu seakan mematikan sepersekian detik fungsi jantungnya. Dia tidak salah dengar kan?

"Maksudmu, anakku mati? Dia mati?"

"Benar, Tuan. Putra anda tidak bisa diselamatkan," sahut sang dokter.

Kaki Romeo mundur selangkah nyaris menabrak kursi roda jika saja Bondan tidak gesit menariknya. Dia tertawa dengan pandangan kosongnya. Pria itu tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Anaknya. Anaknya yang bahkan belum ditemuinya kini sudah pergi meninggalkannya? Lelucon macam apa ini?

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin Tuan, namun, kami hanya bisa menyelamatkan salah satunya. Dan Tuan Aron, Ayah anda, telah  menandatangani perizinan untuk kita menyelamatkan istri anda."

Mendengar itu, Romeo menaikkan pandangannya. "Mereka adalah anak dan istriku! Kenapa kau malah meminta izin pada ayahku hah?!" Sentak Romeo tak terima.

"Maaf, Tuan, tapi saat itu anda---,"

"Jangan bertingkah seperti orang bodoh, Romeo!" Aron datang memecah perdebatan, dia datang bersama dua bodyguard yang mengiringinya.

Mendapati kehadiran sang Ayah, kontan Romeo langsung menoleh ke arahnya. Dia menatap pria paruh baya itu tajam. Namun Aron membalasnya dengan tenang.

"Kau mendahuluiku?" Tanya Romeo mendesis, dia mendekat ke arah sang Ayah dengan mata penuh pertanyaan. "Kau mengambil keputusan tanpa seizinku?"

"Kau pun sekarat saat itu, Romeo. Dan aku hanya mewakilkanmu, itu saja," sahutnya santai.

"Tapi kau mengorbankan anakku!"

"Memangnya kau mau mengorbankan istrimu?" Tanya Aron berhasil membuat Romeo terbungkam. Dia tertawa mendapati itu. "Tidak kan?"

"Sebenarnya aku ingin memilih cucu-ku, sebab dialah yang nantinya akan meneruskan kekayaan Almahera." Aron memasukan kedua tangannya di saku celana dan melanjutkan kalimatnya, "Tapi, kau dan obsesimu itu pasti tidak akan terima jika istri tercintamu itu mati. Yang ada kau akan membenci anakmu sendiri atau bahkan membunuhnya."

"Aku benar, kan?"

Tangan Romeo mengepal. Namun dia tak mengatakan apapun sebagai jawaban. Sebab apa yang dikatakan Aron semuanya adalah benar. Dia tidak akan terima jika Evelynnya mati walau itu dengan alasan mempertahankan anaknya sendiri.

Tapi... Bagaimana jika nanti Evelynnya tahu jika anak mereka tiada? Tidak. Dia tidak bisa membayangkannya.

Hospital bed berisikan Evelyn di atasnya keluar dari ruang operasi hendak dipindahkan ke ruang ICU. Romeo yang mendapati itu kontan menoleh dan beranjak begitu saja meninggalkan Aron  mengikuti istrinya.

Aron hanya bisa tersenyum melihatnya. "Jadwalkan pertemuanku dengan orang itu. Aku harus memastikannya segera."

"Baik, Tuan."

***

Romeo terus mengecupi punggung tangan Evelyn seraya menatap wajahnya. Menunggu dengan tak  sabar agar mata cantik itu segera terbuka. Walau mulutnya diam, tapi pikirannya bercabang. Pria itu memikirkan banyak hal; utamanya adalah perkara Evelyn dan anaknya.

Ingatan mengantarkannya pada sebilah mimpi yang dialaminya barusan. Mimpi yang ternyata adalah sebuah tanda akan kenyataan yang kini dialaminya.

"Anakku, dia tidak boleh sendirian, Meo. Dia duniaku, dia alasanku bertahan hidup selama ini. Jika dia pergi, untuk apa aku di sini? Ujung-ujungnya aku akan tetap mati dengan rasa bersalah ini, Meo."

Romeo memejamkan matanya sambil menjilat bibirnya. Dia harus memikirkan cara untuk mengatasi ini. Dia tidak boleh membiarkan Evelyn ikut pergi.

"Meo..."

Suara lirih itu membuat mata Romeo kembali terbuka, dia tersenyum kala mendapati Evelynnya kini telah membuka mata.

"Meo.."

"Aku di sini, sayang." Romeo menempelkan tangan Evelyn di pipinya seraya mengusap pelan rahang istrinya. Hal itu kontan membuat Evelyn menoleh ke arahnya. "Ada yang sakit?" Tanya Romeo.

Evelyn tak menjawab apa-apa, dia hanya menatap Romeo dalam dan sedikit berkaca. Kontan hal itu membuat Romeo kian cemas dibuatnya. "Kenapa sayang, hm? Ada yang sakit?"

"Evelyn jawab sayang," pinta Romeo mengusap Evelyn pelan.

"Aku takut, Meo," adu Romeo. Dia menatap pria yang berstatus sebagai suaminya itu lekat. "Ada yang jahat sama kita."

Romeo mengecup punggung tangan Evelyn lama guna menenangkan. "Semua akan baik-baik saja, percaya padaku, ya? Kejadian ini tidak akan terulang lagi," ucap Romeo, sambil bersumpah dalam hatinya.

"Aku akan urus semuanya sayang, aku akan cari siapa orang yang berniat mencelakai kita. Aku berjanji. Jadi, jangan takut lagi ya? Aku di sini. Aku akan lindungin kamu."

Mendengar itu, ketakutan Evelyn memudar. Romeo akan melindunginya. Ya, dia percaya kalimat itu. Romeo tidak pernah berbohong tentang itu. Dan kecelakaan tadi adalah buktinya. Pria itu rela terluka dan memeluknya. Walau ia tak ingat apa-apa lagi setelahnya.

"Jangan pergi." Evelyn menatap Romeo memohon, meminta pria itu untuk terus di sisinya.

Mendengar itu, tentu saja Romeo mengulum senyumnya. Dia mengangguk tanpa perlu pikir panjang. "Tentu sayang. Aku tidak akan meninggalkanmu." Dia mengecup pucuk kepala Evelyn membuat mata perempuan itu memejam spontan.

Setelah itu, Romeo kembali duduk di kursi. Tangannya tak lepas menggenggam tangan Evelyn. Keduanya kompak saling memandang, hingga akhirnya Evelyn melontarkan satu pertanyaan.

"Kau baik-baik saja kan, Meo? Kau terlihat sangat pucat." Tangan Evelyn yang semula hanya ditempelkan di pipi Romeo, kini beralih mengusap pipi pria itu.

"Kau seperti pasien yang kabur dari ruang inap," celetuk Evelyn, berhasil membuat Romeo tertawa karena tebakkannya benar.

"Iya, sayang. Aku kabur dan mencarimu," balas Romeo mengaku.

"Meo." Tegur Evelyn. Dia tidak suka jika Romeo terus begini. Sebab yang dilakukannya hanya akan merugikan dirinya sendiri.

"Kau tidak boleh seperti itu. Kau harus sayang dengan dirimu sendiri."

"Aku harus seperti ini, Evelyn. Sebab percuma aku sembuh jika aku tidak tahu keadaanmu," sahut Romeo.

"Dan tadi apa katamu? Aku harus sayang dengan diriku sendiri?" Romeo tertawa, dia mengusap pipi Evelyn dengan ibu jarinya. "Cintaku habis untukmu Evelyn, bahkan tidak tersisa untuk diriku sendiri. Jadi, aku tidak peduli apapun selain kamu."

Keadaan hening dibuatnya. Evelyn terdiam mendengar penuturan Romeo terhadapnya. Segitunya Romeo menempatkan cinta untuknya. Seakan dia adalah satu-satunya perempuan di atas muka bumi ini.

"Makan ya sayang? Biar cepat sembuh." Romeo mengambil mangkok berisikan bubur yang baru saja diantarkan oleh perawat untuk Evelyn. Dia meniup pelan bubur itu sebelum mengarahkan sendok itu ke arah istrinya.

"Buka mulutnya."

Evelyn menatap bubur itu dan menggeleng pelan. Dia menolaknya.

"Mau cepat sembuh kan? Kalau mau cepat sembuh, kau harus makan." Romeo berusaha membujuk.

"Kau juga harus makan," balas Evelyn.

Romeo tersenyum. Dia mengangguk. "Iya, sayang," sahut Romeo, mengarahkan lagi sendok itu ke mulut Evelyn. Namun, istrinya itu lagi-lagi menolak membuat Romeo menghela nafasnya.

"Sayang..."

"Tidak mau itu," ucap Evelyn.

"Terus mau apa?"

"Pizza."

"Iya, nanti boleh makan itu. Sekarang ini dulu ya?" Romeo mengunjukkan mangkok bubur itu kepada Evelyn.

Evelyn menggeleng. "Mau pizza sekarang."

"Kau baru saja selesai operasi sayang, mana boleh makan pizza?" ucap Romeo berusaha sabar.

Mendengar kata operasi. Evelyn mengedip pelan dan langsung menatap ke arah perutnya. Dan seketika dia terkejut mendapati perutnya tak lagi buncit. Perutnya terlihat sedikit mengempes membuatnya panik seketika.

"Meo bayiku mana?" Evelyn memegang perutnya membuat Romeo kontan menahannya dengan satu tangannya.

"Evelyn jangan ditekan kau baru saja selesai operasi." Romeo memperingati.

"Anakku mana, Meo? Dia sudah lahir? Kenapa perutku hilang?" Panik Evelyn.

Mendapati kepanikan istrinya itu kontan Romeo meletakkan mangkok yang dipegangnya di atas nakas. Setelah itu, dia kembali menggenggam tangan istrinya. "Tenang ya?"

Evelyn menggeleng. "Tidak, Meo. Aku tidak bisa tenang! Anakku mana? Aku bertanya anakku mana!" Tuntut Evelyn, membuat Romeo menjilat bibirnya.

"Anakku selamat kan, Meo? Dia selamat seperti kita kan?" Evelyn menatap Romeo menuntut jawaban dengan mata memanas menahan tangisnya. Dia menggenggam lengan Romeo dengan tangannya yang terpasang infus itu.

"Meo jawab..." rengek Evelyn.

"Iya sayang," sahut Romeo. Dia mengusap rambut Evelyn menenangkan. "Anak kita selamat. Tenang, ya?"

Pegangan Evelyn pada lengan pria itu akhirnya mengendur. "Benarkah?" Romeo mengangguk, membuat Evelyn kembali menarik tangannya dan tersenyum lega. Dia percaya.

"Syukurlah," ucapnya menghela nafas lega. Kecemasannya hilang dibuatnya. "Lalu sekarang dimana bayi kita, Meo? Aku ingin melihatnya!" Seru Evelyn nampak begitu semangat. Tak sabar perempuan itu melihat anaknya.

"Ada," sahut Romeo.

"Dimana? Kau sudah melihatnya duluan ya? Ih curang!" Bibir Evelyn nampak mencebik merajuk.

Melihat itu, Romeo hanya bisa mengulum senyum  sambil menahan air mata. Dalam hati pria itu menggumamkan ribuan kata maaf untuk istrinya. Dia mengecup dahi Evelyn lama, dan ditangkap oleh Evelyn bahwa itu adalah upaya Romeo untuk merayunya agar tidak marah.

"Makan dulu ya? Habis itu baru boleh ketemu anak kita," ucap Romeo. Dia mengambil mangkok itu lagi dan mengarahkan sendok ke arah Evelyn. "Kalau tidak makan, tidak boleh bertem--,"

Evelyn langsung menyambar sendok itu membuat kalimat Romeo terhenti. Evelyn menelannya cepat dan kembali membuka mulutnya dengan maksud agar bubur itu cepat dihabiskannya dan ia bisa segera bertemu dengan anaknya.

''Cepat, Meo!" ucap Evelyn saat Romeo hanya diam saja tak lagi menyuapinya.

Romeo hanya tersenyum menimpalinya, lalu dia menuruti permintaan istri cantiknya dan kembali menyuapinya. Sedikit demi sedikit, sampai bubur dalam mangkok itu habis tak tersisa.

Romeo mengarahkan gelas yang diberi sedotan ke arah Evelyn. Perempuan itu menyedot airnya lalu menjauhkan sedotan itu saat ia sudah selesai. Dan Romeo kembali meletakkan gelas itu ke atas nakas.

"Meo, ayo kita lihat anak kita," ucap Evelyn menggoyangkan lengan Romeo dengan matanya yang sedikit meredup sayup. Entah kenapa, seusai menghabiskan makanan itu Evelyn jadi mengantuk sekali. Ia bahkan harus menguap berkali-kali.

Romeo mengusap pucuk kepala Evelyn. "Tidur, sayang. Kau sangat mengantuk, kan?" ucap Romeo.

"Tapi..."

"Nanti aku akan membawamu menemui anak kita setelah kau bangun. Sekarang istirahat saja dulu. Okay? Kau harus banyak istirahat, sayang."

"Janji ya?" Dengan mata yang kian meredup, Evelyn mengulurkan jari kelingkingnya ke arah Romeo untuk perjanjian. Dan Romeo langsung menerima kelingking itu dengan menautkan kelingkingnya.

"Janji, sayang."

Evelyn tersenyum. Dia kini memejamkan matanya. "Di sini ya? Jangan tinggalkan aku," ucap Evelyn sebelum benar-benar lelap dalam tidurnya.

Romeo tersenyum menatap Evelyn yang kini telah terlelap sempurna. Efek obat tidur yang ada dalam bubur itu kini telah benar-benar bekerja. Sengaja dia menaruhnya sebab ia sudah memprediksi hal ini akan terjadi.

"Kau harus tahu Evelyn. Semua yang aku lakukan, adalah demi kita, demi kebahagiaan kita, demi pernikahan kita," ucap Romeo. Setelah ini dia berharap, semoga Evelyn tidak membencinya.

***

"Bondan."

Bondan yang sedang berjaga di depan ruang ICU menoleh mendapati Romeo memanggilnya. Dia lantas menghampiri sang majikan dan bertanya, "Iya, Tuan? Ada yang bisa saya bantu?"

Romeo mengangguk. "Aku ingin bicara."

Bondan menatap Romeo sejenak. Dia menebak sepertinya hal ini cukup serius. "Bicara dimana, Tuan?" Tanya Bondan.

Romeo menoleh ke arah pintu menatap Evelyn dari balik jendela itu. "Di rooftop," sahutnya. Sebab dia tak mau mengganggu istirahat Evelynnya.

"Baik, Tuan." Bondan menarik kursi roda dan menempatkannya di sisi Romeo. "Pakai kursi roda ya, Tuan? Saya khawatir jika kaki anda terus dipaksa berjalan," ucap Bondan saat ia tahu Romeo akan menolaknya.

Bondan benar-benar khawatir melihat keadaan majikannya sekarang. Dia sudah menganggap Romeo seperti adiknya sendiri. Dan Bondan tahu betul tabiat pria itu, Romeo tidak akan peduli pada dirinya sendiri. Dia akan mengabaikan rasa sakit di tubuhnya agar tidak terlihat lemah di hadapan orang lain.

Romeo menurut tanpa menjawab apa-apa. Dia duduk di kursi roda itu dan langsung di dorong oleh Bondan menuju rooftop untuk melakukan perbincangan.

Dan tak lama, sampailah mereka di rooftop rumah sakit. Dari ketinggian ini, baik Romeo maupun Bondan dapat melihat pemandangan kota dari jauh. Lalu lalang kendaran yang melintas cepat di jalanan kota. Serta gerakan awan yang seperti dekat dengan mereka.

"Apa yang ingin anda bicarakan, Tuan?" Tanya Bondan membuka pembicaraan.

Romeo mengedip pelan dengan pandangan yang masih menatap ke arah pemandangan kota itu. Dia menumpukan kedua tangannya di atas paha dengan telunjuknya yang bergerak mengetuk-ngetuk pelan penuh pertimbangan.

Dalam diam, Romeo memikirkan semua konsekuensi yang akan dihadapinya.

"Bondan," panggil Romeo.

"Iya, Tuan?"

"Bagaimana dengan cutimu?" Tanya Romeo. "Kau sudah berhasil melupakan mantan istrimu itu?"

Bondan terdiam sejenak. Dia menarik nafas panjang sebelum menjawab, "Saya tidak akan pernah bisa melupakannya, Tuan. Sebab saya memang tidak berniat melupakannya," ungkap Bondan.

"Tapi sepertinya berdiam diri di appartement hanya akan membuat saya terus teringat Naomi.  Jadi, saya putuskan untuk kembali bekerja saja. Terlebih sekarang Tuan sedang sakit dan pastinya  membutuhkan saya untuk meng-handle pekerjaan di perusahaan."

Mendengar itu Romeo tersenyum tipis. "Kesetiaanmu tidak pernah diragukan, Bondan," pujinya mengakui. Mendengarnya, Bondan menggumamkan terima kasih.

"Lalu anakmu bagaimana? Siapa yang mengurusnya jika kau meninggalkannya bekerja?" Tanya Romeo lagi. Membuat Bondan terdiam cukup lama. Dia pun sedang memikirkan hal itu.

"Saya akan mencari baby sitter dalam waktu dekat ini untuk mengurus Jeegar, Tuan."

"Kau menamainya Jeegar?"

"Benar, Tuan. Saya menamainya Jeegar Zenandra."

Romeo menganggukan kepalanya. "Nama yang bagus."

"Terima kasih, Tuan."

"Tapi akan lebih bagus jika Jeegar dirawat ditempat yang lebih baik," lanjut Romeo, membuat Bondan mengerutkan keningnya tak mengerti.

"Maksudnya, Tuan?"

"Meninggalkan Jeegar dengan baby sitter akan sangat beresiko. Bagaimana jika orang itu mencelakai anakmu? Kau tidak takut?"

"Bayi berusia seminggu seperti Jeegar harus benar-benar mendapatkan kasih sayang yang tulus dan utuh. Dan seorang baby sitter tidak akan bisa memberikan itu. Jika pun ada, kau hanya bisa mendapatkannya satu dari seribu orang, Bondan."

Bondan terdiam membenarkan. Sebetulnya dia pun khawatir akan hal itu. Namun, dia sendiri tak cukup baik merawat Jeegar. Melihat anak itu membuatnya selalu teringat mendiang sang istri.

"Saya tidak punya pilihan, Tuan," jawab Bondan.

"Tidak. Kau punya pilihan yang lebih baik jika kau mau," ucap Romeo.

Bondan menaikkan pandangan menatap pria itu. "Pilihan lain?"

Romeo menganggukan kepalanya dan menoleh ke arah Bondan. "Benar, pilihan yang jauh lebih baik untuk anakmu," ucap Romeo.

"Apa itu?"

Romeo tersenyum dan berkata, "Serahkan anakmu padaku. Biarkan Evelynku yang mengurusnya."

•Bersambung•

Note : Jeegar dibaca 'Zigar'

Sampai jumpa di chapter selanjutnya🔥💋


***

SPAM NEXT DI SINI!🔥

SPAM ROMEO DI SINI!🥵

SPAM EVELYN DI SINI!💜

Penutup





Continue Reading

You'll Also Like

6.9M 47.3K 60
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
4.3M 129K 88
WARNING ⚠ (21+) 🔞 𝑩𝒆𝒓𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 �...
392K 43.3K 26
Yg gk sabar jangan baca. Slow up !!! Bagaimana jika laki-laki setenang Ndoro Karso harus menghadapi tingkah istrinya yang kadang bikin sakit kepala. ...
3.4M 249K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...