Re-Define

By Amaranteya

1.3K 284 203

Definismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu se... More

Salam Pembuka
Prolog: Izrail
1. Berdalil Bukan Berilmu
2. Memuji Gadis Perawan
3. Apel Merah Justinian
4. Perempuan Berperilaku Baik Jarang Menciptakan Sejarah
5. Etika
6. Iblis dalam Wujud Gati
7. Wanita--Wani Ditata
8. Tantangan Terbuka
9. Kenapa Dimarginalkan?
10. Mau Berdamai?
11. Polarisasi
12. Seseorang untuk Berkompromi
14. Nrimo ing Pandum
15. Baik-Buruk di Mata Cinta
16. Kebohongan
17. Cari Mati
18. Tak Selamat
19. Bertambah
20. Pilihan(?)

13. Lorong Rumah Sakit

50 11 1
By Amaranteya

Berulang kali melirik kantung plastik di tangan, perempuan itu tak henti mengulas senyum, menyapa beberapa orang yang bahkan tak dikenalnya dengan bahasa non-verbal. Sling bag yang bertengger di bahu kiri pun bergoyang pelan, mengikuti langkah kaki ringannya. Mendekati pintu ruang inap Gale, langkahnya memelan, lalu henti tepat lima langkah dari sana. 

"Kowe mlebu sek tho, Yun. Aku nyusul neng mburimu. Ndadak tremor aku nek didelengi Mas Gale." Seorang perempuan mengenakan rok di bawah lutut tampak saling dorong dengan gadis bercelana kulot di sampingnya. Sambil menenteng sebuah plastik putih besar yang jelas berisi buah, si empu suara tampak begitu menghindari menyentuh kenop pintu. (Kamu masuk dulu dong, Yun. Aku nyusul di belakangmu. Mendadak tremor aku kalau dilihatin Mas Gale).

"Duh, Mbak Santi. Aku nek tiba-tiba gagap piye? Selama ini kan aku juga ndak pernah ngobrol langsung sama Mas Gale."

Dree menaikkan sebelah alis tinggi, memandangi lekat dua remaja tanggung berkuncir kuda itu.

"Masa' kita balik pulang? Apa nunggu ada Mbak Gati sek yo, Yun?" Santi kembali berujar, setelahnya menggigit bibir bawah dengan dahi berkerut.

"Kalian mau menjenguk Gale?" tanya Dree, membuat keduanya menoleh sambil mengerjap. Barangkali mereka penasaran siapa kiranya perempuan asing ini.

Sementara gadis bernama Yuyun mengangguk, Santi membalas, "Iya, Mbak."

Tanpa membalas, Dree melangkah mendekat dengan senyum yang kembali mengembang. Santai tangannya meraih kenop pintu dan memutarnya. Tak langsung masuk, ia lebih dulu melongokkan kepala, melihat kiranya penghuni kamar sedang apa. 

"Boleh aku masuk?" tannya Dree, "ada teman kamu juga di sini."

"Siapa?" Suara Gale terdengar hingga luar, membuat Yuyun dan Santi ketar-ketir sendiri. 

Dree mengedikkan bahu, menunjukkan ketidaktahuannya.

Namun pada akhirnya, Gale mengangguk, mempersilakan Dree membuka pintu lebih lebar.

Selangkah berada di dalam ruangan, Dree kembali berkata, "Mbak, ayo  masuk."

Berbeda dengan Dree yang langsung meletakkan plastik di tangannya ke atas nakas, Yuyun dan Santi berdiri kaku di depan brankar Gale, saling sikut. 

"Kalian ...." Gale berusaha mengingat. "Murid sanggar, ya?"

Meskipun selalu melihat kegiatan sanggar, bukan berarti Gale akan mengingat semua murid ibunya, kan? Ia bahkan terkesan abai.

Santi dan Yuyun mengangguk ragu, belum bersuara sedikit pun. Sepuluh detik kemudian, Yuyun menjawab, "Aku Yuyun, Mas. Ini Mbak Santi."

Gale mengangguk beberapa kali.

"Tahu dari mana aku masuk rumah sakit?" tanya Gale ramah, tetapi tak menghilangkan raut takut dari wajah keduanya. 

Melihat itu, Dree melihat Gale dan dua gadis itu bergantian. Apa yang perlu ditakuti dari Gale? Tampang temannya itu tak terlalu mengintimidasi, setidaknya lebih parah Gati.

"Itu ... tadi diminta anter makanan sama Ibuk buat Bu Rukmi karena ada acara di rumah. Tapi ndak ada orang kata Mbok Sarmi, katanya Mbak Gati nemenin Mas Gale di rumah sakit. Jadi, aku tahu." Untung saja suara pelan Santi masih bisa didengar jelas oleh Gale.

Gale berusaha bangkit dari posisi berbaring, berniat duduk. Lagipula, ia lelah seharian tidur, apalagi waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 sore.

Melihat Gale kesusahan, tanpa diminta Dree membantu dengan mengulurkan tangan, membiarkan Gale menjadikan lengannya sebagai tumpuan. Tentu Dree tak akan masalah mengingat masih ada penghalang berupa lengan gamis yang dipakainya, tak akan bersentuhan langsung.

"Terima kasih," ungkap Gale yang sukses membuat Yuyun dan Santi saling pandang, tambah penasaran apa hubungan keduanya.

"Itu ... buat aku?" Mata Gale fokus pada plastik di tangan Santi. Bukannya kelewat percaya diri, Gale hanya ingin mengurai suasana kaku itu, berharap keduanya tak lagi merasa canggung.

"Eh, iya, Mas." Buru-buru Santi melangkah maju, mengulurkan plastik di tangan yang langsung disambut Gale dengan senyum lebar.

"Makasih, ya. Repot-repot banget. Kalian udah makan?" Mendapati gelengan ragu keduanya, Gale menoleh ke arah Dree di samping brankar. "Kamu bawa makanan banyak, nggak?"

"Cukup untuk lima orang," balas Dree, "makan bareng, yuk!" lanjutnya, mengajak dua perempuan itu.

"Nggak usah, Mbak. Nanti kita makan di rumah aja."

"Ih, nggak apa-apa, beneran. Aku bawa banyak, nggak bakal bisa abisin sendiri. Lagian Gale dapat jatah makan dari rumah sakit."

Tampang Gale berubah kecut, menatap Dree tajam. "Aku suruh kamu bawa makanan kan biar aku nggak harus makan makanan rumah sakit, pinter."

Dree mengedikkan bahu tak acuh. "Ayo, Mbak. Ikut makan, mumpung belum magrib."

Meski ragu dan sedikit tak enak, akhirnya Santi dan Yuyun menyusul Dree yang lebih dulu duduk lesehan di bawah, di atas sebuah tikar yang siang tadi diantar oleh Mbok Sarmi dan Janggan. Berakhirlah Gale yang melihat ketiganya makan.

-o0o-

"Jadi kalian ini murid tari-nya Bu Rukmi?" tanya Dree di sela-sela mereka makan. Bincang itu seolah membuat Yuyun dan Santi tak lagi memikirkan ketakutan atau kegugupan mereka, santai seketika. 

"Iya, Mbak. Aku sudah belajar tiga tahun, kalau Yuyun baru setahun," jawab Santi.

"Susah nggak, Yun, belajar tari?" tanya Dree, sudah melepaskan embel-embel "mbak" mengingat ia memang lebih tua dari keduanya. 

"Awal-awal susah , Mbak. Badanku rasanya kaku banget, tapi setelah rutin latihan ya ... mulai terbiasa." Yuyun mencomot kembali tempe dari dalam wadah makanan milik Dree. 

"Kalau kamu gimana, San?" 

"Aku kebetulan suka tari dari kecil, jadi nggak ada halangan berarti, Mbak. Paling kalau belajar gerakan baru aja yang agak butuh adaptasi." Santi menyuapkan nasi ke dalam mulut kemudian.

"Mbak ini temen kuliahnya Mas Gale, tho?" Kali ini tak ada lagi nada canggung dalam suara Yuyun, seolah melupakan fakta bahwa Gale masih ada di sana. 

Seraya melirik Gale yang masih memasang wajah masam, anggukan diberi Dree sebagai balasan. 

"Nemenin Mas Gale dari pagi, Mbak?" Giliran Santi yang angkat bicara.

Gale benar-benar seperti tak terlihat di sana, ini yang sakit siapa, sih?

"Nggak, lah. Tadi siang harus ke kampus. Baru balik ini tadi bareng kalian setelah bersih-bersih dan masak."

"Kamu masak sendiri?" celetuk Gale dari atas brankar, memandangi mereka dengan alis bertaut.

"Ya masa mau beli, Gal? Aku anak kos, harus hemat," balas Dree santai.

"Padahal tadi aku suruh bawa dompet aku." Ucapan Gale sukses membuat Santi dan Yuyun kembali saling pandang dengan dahi mengernyit. Sementara itu, Dree lagi-lagi mengedikkan bahu tak acuh.

Tiba-tiba, pintu menjeplak terbuka, menampilkan sosok Gati dalam balutan dress selutut berwarna wheat. Di pundaknnya tersampir sebuah shoulder bag hitam, sedang kakinya beralas sepatu kets putih. 

"Mau ke mana kamu se-all out ini?" sembur Gale, spontan.

"Jangan mulai lagi deh, Mas." Seraya memutar bola mata malas, Gati melenggang santai tanpa menutup pintu sama sekali. "Loh, ada Yuyun sama Santi."

Dua perempuan yang disebut namanya itu menyengir. 

"Mbak Dree udah lama?" Meletakkan tas di  atas sofa, Gati lantas ikut duduk bersila di atas tikar, di samping Dree.

"Sekitar lima belas menit. Kamu ke sini sendiri?" 

Gati mengangguk. "Pesen ojol, Janggan ada jadwal latihan track."

Baik Yuyun maupun Santi bersorak dalam hati. Sepertinya, berada di antara mereka keduanya bisa mendapat informasi untuk dibagikan ke anak-anak sanggar yang lain. Anggap saja bahan gosip. 

"Kalian berdua juga udah lama?" tanya Gati lagi, melihat dua murid ibunya tersebut.

"Bareng Mbak Dree tadi, Mbak. Niat mau jenguk Mas Gale malah dikasih makan begini," jawab Yuyun dengan cengiran lebar. Memang, mereka berdua lebih akrab dengan Gati mengingat perempuan itu juga sering ikut kegiatan sanggar meski latihan secara terpisah.

Senyum tersungging di bibir Gati. "Santai aja, nggak disuruh bayar, kok."

"Baju kamu baru, Dek?" Bukan apa-apa, memakai dress seperti itu tentu bukan gaya adiknya sama sekali. Kembali Gale ingat dengan laporan Janggan kemarin.

Rasanya Gati ingin melempar sang kakak dengan wadah makan yang ada di depannya. Diembuskannya napas panjang sebelum berujar, "Udah dibilang jangan mulai lagi, Mas. Aku lagi nggak minat debat sama Mas."

Suasana cukup berubah begitu Gati menyelesaikan ucapannya. Santi dan Yuyun menelan sisa makanan di mulut susah payah. Sementara itu, Dree langsung mengambil sikap, memandangi Gale lekat dan menembakkan sorot peringatan lewat tatap mata. 

Gale pasrah, mengembuskan napas panjang begitu mendapati ujung-ujung bibir Dree terangkat. Membungkam bibir rapat.

"Mbak Dree nanti pulang, kan?" Sempurna Gati duduk menghadap Dree, matanya mengerjap berulang.

Perempuan itu mengangguk. "Nggak mungkin aku nungguin Gale di sini sampai pagi, kan? Rawan fitnah."

Tangan kanan Gati terangkat, mengacungkan jempol. "Sip, nanti aku ikut pulang ke kos, boleh?"

Belum sempat Dree menjawab, Gale lebih dulu angkat bicara, "Heh! Nggak usah repotin Dree. Lagian kalau kamu pulang, Mas di sini sama siapa?"

Di titik ini, Yuyun dan Santi benar-benar seperti pajangan, tetapi keduanya malah mengulum senyum. Sekali lagi, ini kesempatan bagus untuk mendapat informasi.

"Nggak usah manja deh, Mas. Nanti Janggan ke sini, biar dia yang nungguin. Aku masih kesel sama Mas kalau Mas lupa." Gati lagi-lagi fokus pada Dree. "Boleh, kan, Mbak? Aku lagi males pulang, beneran."

Sekali lagi, Dree menelan kalimat yang sudah di ujung lidah begitu terdengar riuh dari luar. Beberapa suster dan seorang dokter tampak berlari ke arah yang sama, yang jelas juga mengundang rasa penasaran orang-orang di ruangan Gale. Gati bahkan sampai melongok, berdiri di atas tumpuan lutut.

"Kayaknya ada pasien yang kondisinya drop," celetuk Dree.

Satu lagi langkah buru-buru terdengar, Gati masih awas menunggu siapa lagi yang kiranya akan melewati lorong. Begitu seseorang dengan penampilan lusuh lewat, meski hanya sepersekian detik melihat, Gati terbelalak, lirih berujar, "Langgeng."

Jangankan Dree yang duduk di sebelah Gati, Gale yang berada di atas brankar saja bisa mendengar jelas yang diucapkan sang adik. Hendak bertanya, tak sempat, Gati lebih dulu bangkit, meninggalkan ruangan dengan tanya menyeruak.

-o0o-

Sering terjadi, sih. Baru sekali coba style pakaian beda langsung dijejelin sama banyak komentar. Relate lagi kalau ketemu temen lama.

Selamat berpuasa Ramadan bagi yang menjalankan. Tenang yang WIB, bentar lagi buka.

Wish you enjoy

Amaranteya

05 April 2024


Continue Reading

You'll Also Like

STRANGER By yanjah

General Fiction

238K 27.1K 34
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
406K 35.7K 56
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
6.2K 1.5K 50
[Completed]✔ Tulisan adalah ungkapan hati yang tak mampu ku utarakan, dan tak mampu ku ucapkan dengan lisan. Aku cukup kenal diriku dan itu bukan soa...
1.4K 173 26
"Saat pertama kali melihat langkahmu mundur terseret luka, tatapanku mulai terkunci pada bibir yang masih mempertahankan senyum. Padahal, pertahananm...