Re-Define

By Amaranteya

1.4K 291 214

Definismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu se... More

Salam Pembuka
Prolog: Izrail
1. Berdalil Bukan Berilmu
2. Memuji Gadis Perawan
3. Apel Merah Justinian
4. Perempuan Berperilaku Baik Jarang Menciptakan Sejarah
5. Etika
6. Iblis dalam Wujud Gati
7. Wanita--Wani Ditata
8. Tantangan Terbuka
9. Kenapa Dimarginalkan?
10. Mau Berdamai?
11. Polarisasi
13. Lorong Rumah Sakit
14. Nrimo ing Pandum
15. Baik-Buruk di Mata Cinta
16. Kebohongan
17. Cari Mati
18. Tak Selamat
19. Bertambah
20. Pilihan(?)
21. Perceptual Distortion

12. Seseorang untuk Berkompromi

63 13 8
By Amaranteya

"Jaket siapa?"

Akhirnya, tanya yang dipendam Janggan begitu Gati kembali terwakilkan oleh Gale. Lelaki itu segan, terlebih tahu suasana hati Gati tak terlalu baik tadi. 

Tak menjawab, Gati justru balik mencecar, "Mas kenapa nggak pernah berubah, sih? Selalu berusaha nyakitin diri sendiri kalau ngerasa bersalah, yang bahkan bukan salah Mas. Apa dengan kayak gitu, Mas pikir semuanya bisa membaik? Mas pikir Ibuk bakal berubah pikiran?"

Gale bungkam, meneliti wajah sang adik yang berdiri kaku di depan brankarnya. Ada emosi dan kekhawatiran yang dapat ia tangkap dari sorot mata Gati.

"Mas, aku bukan anak kecil yang apa pun masalahnya harus Mas yang tanggung jawab. Aku bisa nanggung itu semua, jadi please ... tolong jangan selalu coba ambil alih rasa sakit yang harusnya milik aku." Tak ada tanggapan, membuat Gati melanjutkan, "Dengan aku ngerasain sakit, bukan berarti Mas juga harus ngerasain hal yang sama. Stop, ini terakhir kalinya Mas lakuin hal stupid karena aku."

"Maaf." Hanya itu yang mampu diucapkan Gale seraya tertunduk dalam. Bukan atas tindakannya, tetapi penyesalan sebab tak mampu melindungi sang adik. Ia merasa gagal menjadi kakak.

Diembuskannya napas panjang seraya memejamkan mata, mencoba mendinginkan isi kepala yang sempat kembali mendidih saat mendapati tampang Gale. "Gara-gara Mas, aku jadi keluar rumah kayak gembel begini, untung masih pake sendal jepit. Asem tenan!"

Mendengar umpatan kecil Gati, senyum Gale jua Janggan terbit. Itu tandanya, gadis itu sudah kembali seperti semula. 

"Untung dapet jaket." Janggan berusaha menyinggung, kali saja Gati mau menjelaskan asal-muasal jaket kebesaran itu. 

"Tenang aja, sih. Aku nggak nyolong," balas Gati tajam, "dipinjemin temen."

"Temen kamu di sini? Kenapa nggak diajak masuk dulu?" tanya Gale. 

"Udah pulang, lagian nggak sengaja ketemu tadi. Dia ada urusan di sini."

Rasa penasaran Janggan belum usai, terbukti dengan bertemunya pangkal alis lelaki itu. "Temen yang mana?"

Gati memutar bola mata malas. "Kamu nggak kenal, percuma aku kasih tahu."

Kali ini bukan hanya Janggan yang menatap gadis itu sangsi, melainkan Gale juga. Kepalanya mulai menyusun banyak asumsi, bagaimana tidak? Sepengetahuannya, semua teman sang adik diketahui Janggan, jikapun tidak, perempuan itu akan dengan gamblang mengatakan siapa. Cukup aneh.

Tak ingin suasana menjadi lebih kaku, Gale kembali angkat bicara, "Semalem saka ngendi, Gat? Kamu pulang larut malam, tho?"

"Iya?" sambar Janggan, "sendirian?"

Gati menyeret langkah ke sofa dekat jendela, menghempaskan tubuh di sana sebelum sekali lagi menghela napas panjang. "Ke tempat Ben, ngopi."

Mata Gale melotot lebar, bukannya ingin mengungkit, tetapi ingat pakaian seperti apa yang Gati kenakan semalam membuatnya meradang. Namun, coba ditahannya nada suara agar tak meninggi saat berujar, "Lain kali jangan ke sana sendiri, apalagi baju kamu semalam ... at least ajak Janggan, Gati. Di sana banyak cowok pada nongkrong."

Gati mengedikkan bahu. "Ya terus kenapa kalau banyak cowok pada nongkrong? Santai aja sih, Mas. Kalau aku ajak Janggan, yang ada bukan nenangin diri, tapi nambah emosi karena diomelin. Lagian, temen aku yang tadi juga di sana, kok. Aman. Ada Ben juga, kan."

Merebahkan tubuh lebih nyaman, Gati menutup mata dengan lengan kanannya, menghalangi sorot mentari yang masuk lewat jendela. 

Janggan jadi makin penasaran dengan teman yang dimaksud Gati, terlebih gadis itu terkesan menutupinya.  Namun ... sudahlah, selama orang itu orang baik-baik, tidak akan ada masalah, bukan?

"Tadi aku nelpon Mbak Dree pake HP Mas buat titip absen, otomatis doi tau kalau Mas masuk RS. Jadi, nanti mau ke sini. Kalau dia sampai, aku mau pulang dulu buat bersih-bersih. Nggak apa-apa, kan?"

Gale menggeleng sambil mengembuskan napas pasrah. "Tapi kamu nggak bilang Romo sama Ibuk kan, Dek?"

Gelengan kepala Gati sudah mampu membuatnya menghela napas lega. Akan runyam urusannya jika orang tua mereka tahu, apalagi jika tahu alasan Gale mendekam di rumah sakit. Bisa berdampak buruk pada Gati.

-o0o-

"Keluargaku kenapa kolot banget begini ya, Dree? Ditambah ada Gati yang rebel parah, tambah lagi aku yang iya-iya aja sama semua keputusan Ibuk. Kayak nggak ada gunanya banget aku buat adik aku."

Sudah sejak lima menit lalu Gati dan Janggan pulang, membiarkan Dree ganti menunggui lelaki itu. Pintu ruang pun dibiarkan terbuka untuk menghindari kemungkinan buruk.

"Perbedaan pendapat hal yang wajar, Gal. Apalagi dalam keluarga. Nyatuin isi kepala dua orang tua kamu aja susah, apalagi ditambah anak-anaknya yang bahkan hidup sebagai generasi berbeda."

Pandangan mata Gale menerawang ke sudut atas kamar inap, meneliti lekat cecak yang menunggu mangsa di sana. Sambil duduk bersila di atas brankar setelah lelah berbaring, setidaknya Gale masih harus sedikit menahan pusing. "Gati kayak gitu normal kan ya, Dree? Maksudku, jiwa-jiwa pemberontaknya kadang bikin aku nggak habis pikir, kok bisa dia berani? Itu wajar karena dia—maksudku kita masih muda, kan?"

Dree mengulas senyum. Dalam balutan gamis maroon serta jilbab pashmina hitamnya, gadis itu mengubah posisi. Kedua tangan yang semula di pangkuan bertumpu pada sofa—di samping tubuh. Kakinya pun mulai diselonjorkan, digoyangkan pelan. "Nggak ada kaitannya sama umur. Kayak kata aku, Gati itu orang yang sangat bisa bertindak sesuai situasi, tepat pada tempatnya. Dia memberontak karena dia menemukan ketidakadilan terjadi, sebab-akibat, Gal."

"Aku paham, tapi kan biasanya usia muda itu lebih berapi-api."

Pikiran Dree melayang pada percakapnnya dengan Chiza beberapa waktu lalu. Masa muda, ya? Tanpa sadar, sudut kiri bibirnya membentuk lengkungan.

"Kamu mikir apa?" Mata Gale memicing, memperhatikan Dree dengan kepala tertoleh ke kiri. Sedikit tangannya bergerak di atas selimut yang teronggok begitu saja di atas pangkuan Gale yang duduk bersila—tak digunakan semestinya.

"Pemberontakannya Mehmet, putra dari Murat—salah satu Sultan Istana Topkapi pada masanya." Dree menenggelamkan tubuhnya dalam pelukan sofa, bersandar sepenuhnya setelah kembali mengubah posisi tangan ke pangkuan.

"Apa hubungannya sama Gati?" tanya Gale.

"Mau dengar sedikit cerita?" Binar terpancar dari mata Dree, menembus pertahanan Gale, lagi dan lagi.

Anggukan diberikan pada akhirnya. "Silakan, Pendongeng Andal."

Tawa kecil lolos dari bibir ranum Dree, membuatnya sedikit bergetar. Sama sekali tak tersinggung dengan julukan yang diberikan Gale.

Namun, persetujuan Gale tentu saja harus diimbangi dengan mengubah posisinya. Pemuda itu tak lagi mampu duduk, kepalanya memberat. Ia memutuskan merebahkan diri kembali. "Sebelumnya, boleh minta tolong naikkan sandaran kepalaku?"

Tak banyak kata, Dree bangkit dan melakukan yang diminta. Diputarnya pengunci tuas sisi kiri brankar, membuat ranjang Gale membentuk sudut 150 derajat sebelum kembali mengunci tuas. "Cukup?"

Gale mengangguk. "Terima kasih. Sekarang aku siap mendengar ceritamu."

Sekali lagi senyum lebar Dree tersungging.

Tantangan memimpin sebuah monarki adalah perebutan kuasa antarsaudara, atau juga ancaman pembunuhan yang dilakukan para bangsawan kelas atas untuk mengambil alih pemerintahan, lebih banyak cara kotor bertebaran. Hal itu pula yang menjadi alasan utama Murat untuk mengirim anak-anaknya yang masih belia ke provinsi-provinsi berbeda guna dijadikan pemimpin di sana. Mereka dilatih memimpin sebuah wilayah di bawah pengawasan ketat para tutor pilihan. Tujuannya tentu saja melindungi mereka dari pembunuhan dan mempersiapkan mereka menjadi penguasa sesungguhnya.

Setelah merasakan tahun pertama tumbuh di Edirne, Mehmet dikirim ke Amasya-Anatolia, sebuah kota yang di waktu bersamaan dipimpin oleh kakak tiri tertuanya yang bernama Ahmet. Usia Ahmet waktu itu 12 tahun: sangat muda untuk ukuran seorang gubernur wilayah.

Murat semakin dibuat kepayahan dekade sesudahnya. Pada 1437, pemberontakan mulai dijalankan diam-diam, persekongkolan rahasia mulai melahirkan gerakan pembunuhan para pewaris takhta. Ahmet tewas di Amasya, disusul anak Murat yang lain—Ali—enam tahun kemudian. Ali dibunuh oleh salah seorang kalangan atas bernama Kara Hizir Pasha, dikirim oleh seseorang tak dikenal. Seluruh anggota keluarga Ali dibantai pada malam yang sama. Hanya Mehmet, penerus Murat yang tersisa.

"Aku masih belum menemukan kemiripan Mehmet dengan Gati, Dree," protes Gale.

Dree berdecak kecil. "Sabar, dengarkan dulu! Sembilan tahun kemudian, permainan kotor macam ini masih terus berlanjut. Kamu tahu, Gal, Ali itu putra kesayangan Murat. Kematian Ali merupakan pukulan telak untuk Sultan Murat. Karena itu juga, mau nggak mau, Murat harus menarik kembali Mehmet ke Edirne untuk diawasi langsung perihal pendidikannya."

Usia sebelas tahun, sebab sebelumnya tak terlalu terkontrol, Mehmet tumbuh menjadi anak yang keras kepala, seenaknya, bahkan hampir tidak bisa dididik. Tentu ini menjadi kekecewaan besar bagi Murat. Putranya adalah seorang pembangkang yang tidak mau mempelajari al-Qur'an, tidak mau dihukum.

"Sudah tahu kenapa aku ingat pada Mehmet saat kamu membahas Gati?" Dree sudah duduk di kursi samping ranjang Gale. Tangannya terlipat di depan dada dengan punggung bersandar pada sandaran kursi berlapis busa tersebut.

Gale bungkam, agaknya ini memang relate. Namun, usia Gati saat ini tentu tidak bisa diperbandingkan dengan Mehmet yang saat itu baru sebelas tahun, kan?

"Pada dasarnya Gati cuma perlu bertemu seseorang yang bisa mengendalikan dia. Bukan mengendalikan dalam konotasi negatif, lebih ke menasihati. Selama ini kan, kamu atau orang tua kamu aku lihat-lihat kesusahan buat approach dia.

"Sama kayak Mehmet yang dipertemukan dengan mullah bernama Ahmet Gurani. Hanya beliau yang berhasil mendidik Mehmet, membuatnya mau mempelajari al-Qur'an. Kemauan berhasil yang ditunjukkan Mehmet juga kecerdasannya luar biasa di bawah didikan gurunya ini. Dia fasih berbahasa Turki, Persia, Arab, Yunani, dialek Slavia juga beberapa Latin. Penguasaan ilmunya juga meliputi Sejarah, Geografi, Sains, Teknik, serta Sastra."

Lekat Gale menatap Gati. "Maksudnya, Gati butuh guru yang sefrekuensi sama dia, gitu?"

Dree mengangguk. "Bisa dibilang begitu. Alih-alih seperti Mehmet yang punya guru otoriter nggak bisa dibantah, aku rasa Gati bisa lebih berkembang jika bertemu seseorang yang memahami pola pikirnya, mengikuti alurnya Gati. Kamu pasti pernah dengar, sengaja mengikuti arus itu berbeda dengan terbawa arus."

"Janggan?" tanya Gale asal, "maksudku, selama ini aku pikir Janggan cukup bisa berkompromi dengan Gati."

"Kurang!" sambar Dree cepat, "di mataku Janggan nggak bisa seberkompromi itu dengan Gati. Mereka berdua sama-sama keras, Gal."

"Terus siapa? Problem Gati sama Ibuk kali ini udah bener-bener di ujung tanduk masalahnya, Dree. Gati berontak terang-terangan."

Dree mengedikkan bahu. "Who knows? Aku malah nggak tahu kan, siapa saja yang dekat atau berteman dengan Gati. Kamu kakaknya."

Desahan panjang lolos dari bibir Gale, lemas seketika. 

-o0o-

Aku baru sempet. Telat 10 menitan masih oke, lah.

Wish you enjoy

Amaranteya

29 Maret 2024

Continue Reading

You'll Also Like

621 134 7
Daily Writing Challenge NPC 2024 ________________________________ Kita berupaya, kita berdoa. Semoga kelak harapan terkabul bersama amin paling seriu...
49.5K 8.9K 35
Edisi BeckFreen...
412K 36K 56
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
41.5K 652 3
Baim dan Rosa hanyalah dua manusia yang tidak bisa disatukan dalam satu tempat. Kedua orang yang tidak saling mengenal dalam waktu lama itulah selal...