Re-Define

Par Amaranteya

1.4K 286 207

Definismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu se... Plus

Salam Pembuka
Prolog: Izrail
1. Berdalil Bukan Berilmu
2. Memuji Gadis Perawan
3. Apel Merah Justinian
4. Perempuan Berperilaku Baik Jarang Menciptakan Sejarah
5. Etika
6. Iblis dalam Wujud Gati
7. Wanita--Wani Ditata
8. Tantangan Terbuka
9. Kenapa Dimarginalkan?
10. Mau Berdamai?
12. Seseorang untuk Berkompromi
13. Lorong Rumah Sakit
14. Nrimo ing Pandum
15. Baik-Buruk di Mata Cinta
16. Kebohongan
17. Cari Mati
18. Tak Selamat
19. Bertambah
20. Pilihan(?)
21. Perceptual Distortion

11. Polarisasi

56 13 1
Par Amaranteya

Sudah ada jaket yang tersampir di pundak Gati, sebuah jaket bomber berwarna cokelat muda milik lelaki yang kini duduk di sampingnya. Sementara jaketnya berpindah, hanya kaos hitam polos dan celana jeans robek di bagian lutut yang kini melekat di tubuh lelaki tersebut.

"Sorry buat yang semalem, gue emang kelewatan." Lelaki itu angkat bicara setelah sebelumnya membungkam bibir rapat.

"Semudah itu?" Gati menoleh, sedikit memiringkan kepala dengan satu alis terangkat tinggi. 

Lelaki itu balas memiringkan kepala, mengunci tatapan pada manik mata Gati lekat, menyelaminya. "Terus lo berharap gimana?"

Bersamaan dengan dikedikkannya bahu, Gati kembali mengatur tubuh ke posisi semula, mengamati gemercik air dari air mancur di depannya. "Aku pikir kamu akan memberikan ... at least sedikit pembelaan."

Decakan lolos sebagai tanggapan, lebih terdengar seperti mengejek. "Buat apa gue bela diri kalau emang salah?"

Gati terkekeh kecil. Kembali ia menoleh, melihat fitur samping wajah beralis tebal tersebut. Jika diperhatikan, Gati baru sadar bila lelaki itu memiliki bekas luka di atas alis kirinya. "Tadi adik kamu?"

Gelengan lemah diterima. "Dia pasien di sini, kanker darah, udah telat dapat penanganan karena biaya."

"Kok kamu bisa kenal? Kayaknya deket banget."

Dengusan lolos dari bibir lelaki itu, dibarengi kekehan ringan. "Gimana mungkin gue nggak kenal sedang gue yang bawa dia ke sini?"

Gati berjengit, sedikit membulatkan mata sebelum mengerjapkannya beberapa kali. "Maksudnya, kamu yang bantuin biaya pengobatan dia?"

"Nggak juga, pengobatan cancer mahal, duit dari mana gue?" Kembali kekehan lolos dari bibir lelaki itu. "Gue kenalin Aza dan ibunya sama salah satu yayasan kanker yang bisa bantu mereka. Semacam itu."

Kerjapan mata Gati semakin intensif, sangsi menyusup. Tak ada uang katanya? Gati ingat lelaki itu punya motor dengan harga yang lumayan.

"Kenapa?" Lelaki itu menatap Gati geli. Gadis itu seolah tak percaya padanya. 

"Motor kamu mahal, nggak mungkin kamu orang nggak berduit," beo Gati tanpa rasa bersalah.

Tawa lelaki itu pecah hingga tubuhnya membungkuk, sedang tangannya memegang perut. Ini sungguh menggelikan. "Emang lo pikir dengan punya sesuatu menandakan orang itu berduit?"

"Seenggaknya itu image yang bisa dibangun dengan kepemilikan suatu barang." Gati mengedikkan bahu tak acuh.

"Terlalu simpultif. Lagian, itu motor hasil nyicil empat tahun kali."

"Oh ... oke."

"BTW, kita belum kenalan secara resmi, loh." Ganti lelaki itu mengulurkan tangan, memberi kode pada Gati untuk menyambutnya dengan dagu.

Disambutnya tanpa ragu tangan tersebut, kekesalan semalam benar-benar sudah menguap. "Gati Rukma."

Lelaki itu mengangguk beberapa kali. "Panggil aja Langgeng."

Usai melepas jabat tangan, Gati bertanya hati-hati, "Oh iya, anak itu ... maksudku Aza, Dokter beneran bilang kalau umur dia nggak bakal lama?"

Langgeng mengembuskan napas panjang. "Secara nggak sengaja ... iya. Aza nggak sengaja denger waktu Dokter bahas penyakit dia sama ibunya."

"Anak sekecil itu ...," lirih Gati, kepalanya tertunduk dalam dengan dada yang terasa diremas kuat.

"Tapi dia nggak pernah takut mati, Gat." Pandangan Langgeng menerawang ke gumpalan awan di atas sana, senyum lebar terbit di bibirnya. "Dia cuma khawatir, kalau nanti dia dipanggil, nggak ada lagi yang nemenin ibunya."

Ada sengatan tak kasat mata yang menjalar dalam benak Gati, memberi efek kejut juga sentak sadar di waktu bersamaan. Mungkin hanya sesaat, tetapi itu nyata. 

"Aza hidup cuma sama ibunya, bapaknya pergi nggak tahu ke mana," lanjut Langgeng tanpa sedikit pun mengalihkan tatapan dari langit pagi. "Selama ini, ibunya Aza banting tulang sendiri, ambil cucian sana-sini buat seenggaknya biar mereka berdua bisa makan. Makanya penyakit Aza nggak tertangani sejak awal. Malah waktu pertama kali ketemu sama ibunya Aza, anak itu dalam keadaan sekarat, tubuhnya udah  pucat, bener-bener kayak mayat. Dia digendong ibunya sambil nangis ke rumah sakit dengan jalan kaki dan waktu gue ketemu di trotoar, posisinya Aza udah kesulitan napas sebelum berakhir kehilangan kesadaran."

"Dia ... pasti bisa jadi anak yang sangat bahagia tanpa penyakit itu. Dia punya ibu yang baik." Gati tersenyum getir, ingat bagaimana perlakuan ibunya saat Gati sakit.

Seketika Langgeng menoleh, menatap Gati yang tertunduk dengan dahi berkerut. Ia membasahi bibir sebelum berujar, "Dengan atau tanpa penyakit itu, gue rasa Aza akan tetap bahagia. Kayak yang gue bilang, dia nggak takut mati, Gat."

Gati menggoyangkan kakinya perlahan, membiarkan ujung jarinya sesekali bersentuhan rumput taman rumah sakit yang mulai panjang. Dua tangannya bertumpu pada bangku, di sisi-sisi tubuh. "Who knows? Aku yakin hidup Aza akan lebih sempurna tanpa penyakit itu."

Semenit penuh diam, Langgeng sengaja tak langsung menjawab, memilih memandangi wajah Gati yang tak lagi tertutup rambut panjang. Entah dari mana tadi ia menemukan karet gelang untuk diberikan kepada gadis yang penampilannya mirip gembel itu. Alhasil juga, ia memberikan jaketnya tadi.

Sadar dipandang tanpa jeda, Gati menoleh, kembali mempertemukan tatap dengan lelaki itu. "Kenapa?"

"Hidup itu bukan tentang menjadi sempurna atau mencari kesempurnaan. Lo nggak akan pernah bisa bahagia kalau begitu, Gat, karena manusia diciptain bukan sebagai makhluk sempurna. Manusia diciptain sebagai makhluk serba kurang. Lo ... tahu polarisasi?"

Gati menggeleng lemah.

"Pembagian atas dua hal yang berlawanan. Hidup itu tentang polarisasi, baik-buruk, gelap-terang, hitam-putih, senang-sedih. Lo nggak bakal tahu apa itu seneng kalau nggak pernah ngerasain sedih. Lo nggak akan tahu apa itu cahaya kalau lo nggak pernah berada dalam gelap. Lo nggak akan pernah tahu hal-hal baik kalau lo nggak punya pembanding hal buruk. Itu hidup. Itu yang harusnya lo cari, kelengkapan hidup. 

"Jangan cuma cari seneng, cari juga sedihnya. Jangan cuma cari cahaya, lo juga butuh gelap buat berkembang. That's life. Jadi, nggak jaminan hidup Aza bakal lebih bahagia tanpa penyakit itu, justru hidup dia lengkap dengan itu. Berhenti berandai-andai hal yang berada di luar kuasa lo. Tuhan nggak se-sembarangan itu kasih cobaan ke hambanya."

Gati terhantam telak, meredupkan sorot mata yang sejak tadi memang sudah redup.

"Terlepas dari Tuhan, apa yang lo yakini itu paradoks, Gati. Lo boleh merasa apa yang dijalani seseorang itu hal buruk, kehidupan yang buruk, but ... kayak kata lo, who knows? Kita nggak pernah tahu ada kebenaran atau kebaikan apa yang tersimpan di baliknya."

Tangan Langgeng spontan terangkat saat mendapati satu bulir air mata meluncur bebas dari mata kanan Gati. Namun, dibiarkannya menggantung di udara sewaktu sadar itu bukan haknya. "Harus ya, tiap lo ketemu gue berakhir nangis?" Langgeng terkekeh kecil, menarik kembali tangan.

Segera diusapnya kasar dengan punggung tangan, berusaha menerbitkan senyum. "Aku cuma kebetulan lagi di fase bad mood aja, sih. Jadi kebawa, sorry."

Langgeng tak mau ambil pusing. "Lo sendiri, ngapain di sini? Sakit?"

"Bukan aku, tapi Mas."

"I see. Kalau gitu, gue balik dulu. Lo nggak butuh temen, kan? Gue harus pergi sekarang dan nggak bisa kasih lo rokok buat pelampiasan soalnya, ini rumah sakit."

Ucapan Langgeng sukses membuat Gati terbahak. "Pertama, aku bukan perokok. Kedua, aku sama tetangga aku tadi ke sininya. Ketiga, aku nggak sefrustrasi itu juga kali, Lang. No need to worry."

"Bagus, deh. Muka-muka lo kayak orang mau bunuh diri soalnya," celetuk Langgeng santai.

"Jancuk, kon!" umpat Gati spontan, yang kali ini sukses mengundang tawa Langgeng.

"Wah, lo bisa ngumpat juga ternyata," balas Langgeng, masih dengan sisa tawa. Ia lantas bangkit dari duduk, menghadap Gati kemudian.  "Gue pergi, ya."

Gati ikut bangkit, bersiap melepas jaket milik Langgeng dari tubuhnya.

"No! No! Lo pake aja, jangan dilepas."

"Tapi kan, ini punya kam--"

"It's ok." Langgeng tersenyum canggung, meminta jaketnya saat ini? Gila. Ia tidak bisa membayangkan gadis itu berkeliaran di rumah sakit hanya dengan baju tidur yang menurutnya amat tipis itu. "Balikinnya, gampang, lah. Kalau takdir, kita pasti bakal ketemu lagi."

Tanpa sempat membalas, Gati sudah lebih dulu ditinggal oleh Langgeng. Memandangi punggung lelaki itu yang mulai menghilang di tikungan, Gati menerbitkan senyum lebar. Ia melihat dirinya sendiri yang tenggelam di balik jaket Langgeng. "Dia belajar dari kesalahan secepat itu?"

-o0o-

Part ini cukup pendek memang. But, semoga pesannya sampai. Polarisasi itu pembahasan di salah satu kajian bareng Sabrang MDP. Bahas hidup dari sudut pandang Fisika, cuma kuambil simpelnya aja. 

Wish you enjoy

Amaranteya

22 Maret 2024

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

620 134 7
Daily Writing Challenge NPC 2024 ________________________________ Kita berupaya, kita berdoa. Semoga kelak harapan terkabul bersama amin paling seriu...
3.8M 83.4K 52
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...
4.3K 330 32
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Untuk pertama kalinya ada hal yang mampu membuat Ariani berpaling dari objek yang sedang berada d...
671 105 6
Semakin hari aku semakin sadar bahwa dunia adalah tempatnya di mana segala kesusahan-kesusahan itu berada. Kehidupan adalah tempatnya semua masalah-m...