Three Little Words

By armelitaptr_

254K 12.7K 427

Caca mencintai Marel, tapi Marel tidak tahu dan tidak akan pernah mengetahui hal itu. Sebab bagi Marel, Caca... More

- Prolog -
Bab 1 : Karisa alias Caca
Bab 2 : Dilan si Sepupu
Bab 3 : Kebun Stroberi dan Mas Marel
Bab 4 : Guyonan Luka
Bab 5 : Perjalanan Bus
Bab 6 : Ilon si Kucing Gembul
Bab 7 : Suddenly
Bab 8 : Ternyata Benar
Bab 9 : Kina Birthday Party
Bab 10 : Berita
Bab 11 : Harus Diapakan?
Bab 12 : Lamaran Anin Marel
Bab 13 : Nggak Dulu
Bab 14 : Persiapan
Bab 15 : Tidur Lagi
Bab 16 : Zafran
Bab 17 : Perkemahan
Bab 18 : Balasan Caca
Bab 19 : Next Game
Bab 20 : Ada Apa?
Bab 21 : Langit Penuh Bintang
Bab 22 : Gak Sengaja
Bab 23 : Bulutangkis
Bab 24 : Jurit Malam
Bab 25 : Dinamika Rasa
Bab 26 : Keseleo
Bab 27 : Salah Paham
Bab 28 : Tebak Kata
Bab 29 : Hana dan El
Bab 30 : Titipan Caca
Bab 31 : Pulang ke Rumah
Bab 32 : Penyusup
Bab 33 : Kukis Caca
Bab 34 : Lari Pagi
Bab 35 : Dilan si Kompor
Bab 36 : Semestinya
Bab 37 : Aku Ada Dipihakmu
Bab 38 : Deja Vu
Bab 39 : Janji El
Bab 40 : Perbaiki Yang Lebur
Bab 42 : Cinta Yang Salah
Bab 43 : Mimpi Caca
Bab 44 : Menikah
Bab 45 : Malam Mencekam
Bab 46 : Pahlawan Caca
Bab 47 : Antara Zafran dan Tirta
Bab 48 : Melepaskan

Bab 41 : Tanggung Jawab Untuk Ketentraman Diri

5.2K 330 36
By armelitaptr_

41. Tanggung Jawab Untuk Ketentraman Diri

Keheningan tercipta diantara Marel dan Anin. Setelah fakta adiknya menyukai calon suaminya terbongkar, Anin mati-matian menghindari Marel. Anin tau sikapnya ini kekanakan karena memilih menghindar daripada menghadapinya dengan dewasa. Marel adalah orang luar yang seharusnya Anin beri pengertian terhadap apa yang terjadi dalam keluarganya.

Kepulangan Caca memang melegakan hati Anin, namun ketenangan itu tidak sepenuhnya Anin rasakan. Sebab ada Marel yang menuntut penjelasan dan ada perang antara hati dan logikanya terhadap keputusan apa yang akan dia ambil terhadap dilema besar ini.

"Kamu kayak kurang sehat, Nin? Are you okey?"

Anin mengangguk, "Aku baik-baik aja, Mas."

"Okey. Jadi, kita mau bicarakan apa? Oh iya, kemarin vendor telpon aku perihal tenda yang sudah dipasang dan-,"

"Aku mau mundur, Mas."

"Ya? Mundur dari apa?"

"Maaf, Mas. Aku nggak bisa lanjutin hubungan kita."

Marel membeku di tempatnya. Seperti petir disiang bolong, keputusan Anin ini membuat Marel terguncang bukan main.

"Nin, kalau aku ada salah bisa kita bicarain aja. Atau ada yang kurang sesuai sama kamu? Gaun atau seserahan? Aku bakalan penuhin sesuai yang kamu mau, jadi kita bicarain dulu ya?"

Anin mengigit pipi dalamnya, menahan air matanya agar tak mengalir. "Bukan, bukan karena itu. Semuanya sudah sempurna, semuanya sudah sesuai impian aku. Hanya saja..."

"Hanya apa, Nin?"

Netra yang mati-matian menahan bendungan cairan kristal itu menatap tepat di netra coklat Marel yang menuntut lebih banyak penjelasan. "Aku nggak mau nyakitin adikku dengan menikahi pria yang dia cintai."

Marel lemas mendengar perkataan Anin yang baginya tidak masuk akal. Alasan yang bahkan tidak pernah Marel bayangkan akan dia dengar dari mulut Anin yang menurutnya memiliki pemikiran rasional. Jika ini hanya perkara kedekatannya dengan Caca yang lebih awal dibanding kedekatannya dengan Anin, Marel tidak bisa menerima dugaan buruk yang membawa kata cinta atas nama Caca untuknya.

Mengetahui calon suaminya terdiam dengan wajah kaget bukan main, Anin menyeka air matanya. Dia menegapkan bahunya, berusaha menegarkan diri untuk memulai cerita panjangnya.

"Mungkin Mas anggap aku mengada-ada, tapi ini faktanya Mas. Fakta yang juga membuat aku terguncang sama halnya dengan kamu sekarang. Fakta yang seharusnya aku sadari sejak awal, kenyataannya aku malah terlambat tahu kebenaran itu dan aku nggak tau seberapa jauh luka yang aku toreh tanpa sengaja ke Caca. Entah itu sejak pinangan kamu ke Ayahku, atau bahkan jauh sebelum itu? Aku bener-bener ngerasa jahat Mas dan aku nggak mau terus-terusan jadi orang jahat buat adikku."

Marel syok berat. Dirinya tidak bisa mengatakan apapun lagi karena semuanya nampak abu-abu dikepalanya. Namun dia berkeyakinan apapun kebenarannya, keputusan Anin menyerah dari hubungan mereka harus Marel beri pengertian.

"Aku nggak tau gimana ceritanya Caca dan kamu jadi salah paham gini, sebagai orang dewasa harusnya kamu gegabah dalam mengambil keputusan. Apalagi ini menyangkut banyak hal, Nin. Pernikahan itu bukan main-main, aku udah lama merencanakan pernikahan ini dan kalau kamu memang mementingkan perasaan Caca yang katanya hancur karenamu. Terus bagaimana dengan perasaan aku yang udah berjuang untuk kita?"

Anin tertegun, hatinya mendadak sakit melihat wajah frustasi Marel yang harus terjebak diantara dirinya dengan sang adik. Helaan napas panjang adalah cara laki-laki menetralkan amarah dan kecewanya agar menguap ke udara.

"Kita bicarakan lagi besok, aku rasa kamu butuh waktu untuk berpikir ulang dengan keputusanmu. Dan aku berharap besok aku nggak mendengar kata pisah darimu, Nin."

***

A

ngin sore dipinggir pantai adalah yang terbaik untuk merilekskan diri. Terpaan halus yang menyapa kulit telanjang Caca yang duduk diatas batang pohon kelapa. Alih-alih menggigil, dirinya malah nyaman dengan dinginnya terpaan angin sore itu.

Pundaknya menghangat, tanpa sadar sehelai jaket tersampir dikedua pundaknya. Terasa tubuh yang lebih besar darinya mengisi sisi kirinya yang kosong. Senyuman yang akhir-akhir menjadi favorit Caca kembali tersampaikan dengan indah melalui netranya.

"Angin sore tidak bagus untuk tubuh, kamu bisa flu nanti."

Kekhawatiran terhadap hal kecil mengenai dirinya membuat hati Caca menghangat. Dirinya baru bisa tersenyum setelah dua hari kemarin termakan oleh rasa sedih. Meskipun Ayahnya sudah menunjukkan rasa bersalahnya atas tamparan yang menyakiti hati Caca malam itu, nyatanya hati Caca belum sepenuhnya sembuh. Sikapnya berubah total, si bungsu yang banyak bicara kini bungkam di dalam rumahnya yang hangat. Dan anehnya, Caca malah merasa hangat oleh orang yang bahkan belum lama dia kenal. Ini seperti insting yang mengacu pada rasa terlindungi. Dan sialnya, orang itu adalah Zafran. Pria yang dia kenal sebagai panitia pelaksana acara tahunan kampusnya sekaligus tetangga sebelah rumahnya yang sebenarnya baru-baru ini dia ketahui mereka bertetangga.

"Bagaimana rasanya setelah disini?" tanya Zafran pada gadis yang tidak berhenti tersenyum padanya.

"Sedikit lebih baik walaupun harus merasa sedikit haus karena orang yang membawaku ke sini tidak membelikanku minum," goda Caca atas sikap kaku Zafran. Memang benar Zafran sekaku itu sampai tidak tahu manner dasar sebagai pria yang sedang melakukan pendekatan dengan wanita.

"Kamu mau minum? Disini cuma ada wedang jahe sama kopi starling, memangnya kamu suka?"

"Loh kamu remehin seleraku?"

"Loh bukannya remehin, cuma nggak yakin aja kamu suka minuman tanpa brand gitu."

Caca berdecak, dia bersedekap dada. Wajahnya tidak terima dengan penilaian Zafran kepadanya terlihat jelas. "Oh jadi kamu udah sok nilai aku sembarangan gitu? For your information, aku nggak suka cowok yang suka kritik orang lain seenaknya!"

Wajah bingung sekaligus panik tercetak jelas di wajah rupawan itu. Mendapati kemarahan Caca yang berhasil menurunkan egonya yang tinggi itu menjadikan Zafran lebih sabar menghadapi gadis yang dia sukai ini.

"Aku salah, aku minta maaf." Zafran mendadak bersimpuh di depan Caca, sikapnya saat ini seperti seorang ksatria yang baru saja ketahuan melakukan pengkhianatan. Caca sedikit terhibur oleh sikap Zafran yang selalu tidak terduga itu. Rupanya cara Zafran mencintai sangat mengagumkan dan merubah sosok pria kasar itu menjadi pria gentlemen.

"Oke, aku maafin. Tapi dengan satu syarat!"

"Aku siap nerima syarat sesulit apapun itu," ujar Zafran yang terkesan menghiperbolakan kalimatnya.

Caca terkekeh kecil sebelum kembali dengan ekspresi marah yang dibuat-buat itu, "Syaratnya.. aku mau jalan-jalan nyusurin pantai sambil digendong!"

"Hah? Gendong? Siapa?"

"Gendong aku lah, emang siapa lagi?"

Terdengar helaan napas Zafran. Caca seketika tersinggung atas helaan itu. "Kamu keberatan?!" tanya Caca dengan tegas.

Hal itu membuat tubuh yang semulanya melemah kini kembali pada posisi siap. "Siap, tidak Bu!"

***

Desiran ombak pantai, kehangatan yang memeluknya, langkah kaki diatas pasir pantai yang halus. Sepasang manusia yang mencoba menikmati ketenangan dibawah langit jingga nan indah. Debaran yang beradu jadi satu, gadis yang berada di punggungnya memeluk lehernya dengan erat. Tanpa dia tahu, wajah memerahnya nampak tersipu atas momen manis yang tidak bisa dia beli dimanapun.

Oleh pria kaku itu, dia menemukan makna cinta keduanya setelah patah oleh yang pertama. Rasanya sangat mengagumkan, karena dengannya dia tidak perlu menahan seluruh ekspresi kasihnya. Yang lebih hebatnya lagi, cinta itu berbalas.

Apakah ini rasanya menjadi seorang yang diinginkan.

Caca ingin egois, ingin dirinya menghentikan waktu sehingga perjuangan Zafran untuknya tidak akan pernah usai. Caca menyukai setiap usaha Zafran untuk meyakinkannya. Caca menyukai hatinya diinginkan orang lain.

"Aku berat ya?" tanya Caca.

"Nggak, kamu ringan kok. Cuma nanti malam jangan nyemil yah."

Caca cemberut, dia mencubit pipi Zafran yang terus menggodanya. "Nyebelin!"

Keduanya terdiam, Caca menaruh daunnya di atas pundak lebar Zafran. Menatap sisi samping wajah Zafran dari dekat.

"Kamu nggak capek?"

"Selama kamu nggak nyuruh aku lari, aku nggak capek."

"Kalo aku nyuruh kamu lari sambil gendong aku, kamu bakalan marah nggak?"

"Kalau kamu emang mau jahatin aku, aku akan jadi orang bodoh yang bisa kamu jahatin."

Guratan merah yang semula menghilang kini kembali mewarnai pipi Caca. Itu semua karena perkataan Zafran yang membuat Caca dibanjiri kupu-kupu berterbangan di dadanya.

"Ca.."

"Hm?"

"Jangan pernah kabur dari masalah, aku nggak minta kamu jadi dewasa dalam segala hal. Hanya saja, menghadapi masalah untuk ketentraman jiwa adalah bentuk tanggungjawab dirimu. Menjadi orang yang bertanggungjawab tidak harus menjadi dewasa kan?"

Caca tahu itu. Seberapa jauh Caca menghindar dari masalah, dirinya hanya akan menemukan lelah. Tidak ada ketenangan, sebab apa yang dia hindari akan selalu menahan dirinya meskipun dirinya sudah berada di depan pintu rumah.

"Aku yakin kamu tahu caranya bertanggungjawab, hanya saja kamu ragu untuk mencobanya."

Ya, aku ragu jika diriku akan baik-baik saja setelah bertanggungjawab atas hal itu. Karna aku yakin, aku hanya menemukan rasa letih yang jauh lebih besar daripada aku yang berlari menghindarinya.

"Tidak apa-apa, aku selalu disini. Jadikan aku tumpuanmu, aku selalu siap memelukmu lebih erat jika itu diperlukan."

Bersambung...

***

Hallow, aku berusaha untuk update malam ini karena ngeliat kalian yang excited nunggu cerita ini berlanjut>0<  jujur itu bikin aku semangat BANGET buat nulis bahkan nyelipin waktu buat nulis cerita ini~

Anw, aku mau kasih tahu kalo kalian bisa main ke akun Instagramku khusus untuk tulisanku, disana mungkin akan ada konten-konten cerita tambahan yang memuat side story dari cerita-cerita ku di Wattpad ini.

Jangan lupa kepoin akun instagramnya nya di @ceritalita_

Thank you dan nantikan next chapternya yah!

Continue Reading

You'll Also Like

6.6M 339K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
1.5M 102K 39
Hanya sebuah cerita pesakitan dari dua entitas berwujud manusia. Mereka adalah Arshadara Bilqis dan Khalifah Fil Ardhi, dua insan yang bersatu dalam...
1.6M 70.4K 27
Hidupku terombang ambing seperti layang layang yang putus dari benangnya, tidak tahu arah dan tujuan. Namun semuanya berubah saat kakak ku Helena mem...
242K 8.2K 106
[COMPLETE] [Romanization] λ°μ΄μ‹μŠ€ 으으으으 ✨ Welcome to this book, yang berisi Kumpulan lirik lagu dan biodata serta fakta dari para member DAY6✨