Re-Define

By Amaranteya

1.3K 284 205

Definismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu se... More

Salam Pembuka
Prolog: Izrail
2. Memuji Gadis Perawan
3. Apel Merah Justinian
4. Perempuan Berperilaku Baik Jarang Menciptakan Sejarah
5. Etika
6. Iblis dalam Wujud Gati
7. Wanita--Wani Ditata
8. Tantangan Terbuka
9. Kenapa Dimarginalkan?
10. Mau Berdamai?
11. Polarisasi
12. Seseorang untuk Berkompromi
13. Lorong Rumah Sakit
14. Nrimo ing Pandum
15. Baik-Buruk di Mata Cinta
16. Kebohongan
17. Cari Mati
18. Tak Selamat
19. Bertambah
20. Pilihan(?)

1. Berdalil Bukan Berilmu

92 20 18
By Amaranteya

Bisik-bisik memenuhi aula dengan kapasitas 200 orang itu, tak terkecuali para panitia yang berdiri di bagian belakang. Beberapa orang lagi sibuk mengamati pemuda yang berdiri tegap tanpa gentar di tengah-tengah bangku audiens. Sedang sisanya, melemparkan sorot takjub tanpa kedip.

Lima detik lalu, statement penuh istilah sulit usai dilontarkan pemuda yang duduk di semester 6 Ilmu Politik tersebut sebagai tanggapan. Seminar semacam ini tentu menjadi ajang unjuk gigi para aktivis kampus sepertinya, mungkin. Kesempatan berbicara langsung di depan narasumber kondang tentu tak mungkin disia-siakan, apalagi salah satunya adalah rektor sendiri. Syukur-syukur, mahasiswa sepertinya bisa dilirik untuk ikut project kampus, bagus lagi kalau dilirik beasiswa jenjang selanjutnya.

"Kenal dia?" bisik pemuda berkemeja flanel di barisan kedua dari depan. Sedikit-sedikit ia menoleh pada si pemberi tanggapan yang berdiri beberapa baris di belakangnya.

"Shaka, Sekjen HMJ," jawab perempuan berjilbab pashmina di samping pemuda itu. "Dia emang lumayan vokal di banyak forum. Lebih mencolok dia malah ketimbang ketua HMJ. But ...."

"But ... kenapa?"

"He's too ideal, Gal. Idealisme mahasiswa, you know ... sering nggak realistis. Belum masuk dunia kerja aja dia."

Kali ini, Gale mengangguk setuju. Memang, dari rentetan panjang yang dilontarkan pemuda bernama Shaka itu, ia tak menemukan realitas sama sekali, terkesan hanya beretorika. Terbantu hafalannya terkait istilah-istilah ilmiah yang hanya dipahami kalangan akademika.

Namun, Gale terkekeh juga, menatap perempuan di sampingnya geli. "Tapi, kita juga mahasiswa btw, Dree."

"Seenggaknya aku realistis, nggak banyak omong kayak dia. Pinter ngomong doang, aksinya nggak ada." Dree kembali fokus ke depan saat moderator kembali memimpin berjalannya seminar sore ini.

Di akhir acara, keduanya tak langsung keluar dari aula, melainkan membiarkan yang lain keluar lebih dulu agar tak berdesakan.

"What do you think it was?" Dree mulai merapikan tas, memasukkan buku catatan yang sejak tadi ia gunakan untuk menulis poin-poin penting yang disampaikan narasumber.

"Not bad, pertama kali ikut seminar kayak gini nggak terlalu buruk lah, ya." Gale masih duduk santai, bahkan ranselnya masih tergeletak di bawah, sebelah kaki. "Tapi tetap lebih gampang belajar dari buku menurutku. Listening to others' opinion sounds like ... lil bit boring for me. Subjektif, apalagi kalau nemu kayak Shaka tadi, cara dia menyampaikan sesuatu nggak efektif, susah dipahami. Terkesan cuma pengen kelihatan kayak kaum intelek." (Mendengar opini orang lain terdengar sedikit membosankan bagiku)

Kali ini kekehan lolos dari bibir Dree. Menyampirkan ujung jilbab yang jatuh menjuntai ke depan, perempuan itu mencondongkan posisi duduk. "Justru itu, orang-orang kayak Shaka tadi kebanyakan lahir dari orang suka baca kayak kamu. Mereka kedoktrin sama bahasa-bahasa ilmiah dalam buku yang nggak semua orang awam paham. Mereka terpaku sama fenomena yang disajikan penulis, yang ada di sekitar penulis. In the end, mereka skeptis cenderung apatis sama fenomena yang terjadi di sekelilingnya sendiri. Masalah subjektivitas, bukannya kalau kamu baca buku sama aja dengan kamu lagi menyelami opini penulisnya, ya?"

Sekakmat! Gale kalah lagi kali ini. Ia akui, menang argumen melawan Dree sama saja dengan menasihati adiknya yang keras kepala, mustahil.

Gale menghela napas panjang. "Baiklah, Tuan Puteri. Lain kali hamba akan lebih sering ikut seminar biar nggak kebanyakan baca buku dan berakhir seperti Shaka sebagaimana yang Tuan Puteri bilang."

"Halah lebay!" Totebag Dree terayun ringan ke arah lengan atas Gale, menabraknya pelan.

Bukannya kesakitan, pemuda 21 tahun itu justru terbahak seraya menyambar tasnya, ikut bangkit dan mengikuti Dree yang sudah melangkah keluar.

"Kok bisa kamu nggak suka sama cowok pinter macam Shaka, Dree? Biasanya cewek suka sama cowok pinter, apalagi public speaking-nya bagus gitu." Gale kembali membuka obrolan saat keduanya berada di dalam lift. Tidak mungkin mereka menggunakan tangga sedang aula tempat acara tadi berada di lantai 4 gedung.

"Jangankan Shaka, sama cowok-cowok HMI atau PMII yang suka buat forum Bahtsul Masail sendiri aja aku males." Dree mendengus. Bisa dikatakan, ia memang cukup anti dengan mahasiswa-mahasiswa yang katanya aktivis itu, karena suatu alasan.

Satu alis Gale menukik tajam. Jelas ia tak paham, seingatnya, Dree pernah begitu aktif di HMI zaman-zaman semester awal dulu. "Kenapa? Nggak ada yang ganteng?" tanya Gale setengah bercanda.

Dree memutar bola matanya malas.

Begitu pintu lift terbuka, keduanya langsung berjalan keluar gedung dan mendapati langit menggelap. Bukan sebab sudah petang, ada rintik yang menyertai.

"Mereka suka bawa-bawa dalil buat berdebat. Kutip sana-sini, penggal sesuka hati, belum lagi yang asal comot hadits atau ayat Qur'an buat mendiskredit sesuatu tanpa melihat asbabun nuzul sama asbabul wurudnya." Dree sengaja menjeda, mengembuskan napas panjang seraya menatap langit. "Orang yang berdalil belum tentu berilmu."

Mau tak mau, Gale mengangguk, meski sedikit banyak ikut merasa tersindir.

"Bukan berarti baca buku itu hobi negatif loh, Gal." Dree memutar tubuh 90 derajat, menghadap Gale. "Aku mengakui juga kalau orang yang suka baca itu punya kelebihan dalam hal wawasan. Mereka jadi punya banyak sumber yang bisa dijadikan pertimbangan tentang sesuatu. Buat yang bisa, semoga ... kamu juga. Biar nggak gampang judge orang lain."

Seulas senyum tipis terbit di bibir Gale. Pemuda itu sudah menduga, meski wataknya cukup keras, Dree adalah perempuan yang begitu menghargai perasaan orang lain. Begitu berhati-hati agar tindakan dan ucapannya tak menyakiti lawan bicara.

"Kamu pulang naik apa?" tanya Gale, begitu Dree kembali menghadap depan. Tangan lelaki itu mulai menjulur, merasakan tetes air yang semakin deras.

"Bus trans, nanti tunggu hujan agak reda."

Beberapa kali Gale mengangguk, sebelum melirik Dree yang mulai melakukan hal yang sama. Tangan gadis tersebut ikut merasakan air langit yang turun sore ini.

"Lalu, menurut kamu, orang berilmu itu yang kayak gimana, Dree?" Gale kembali membuka suara. "Yang kayak Johan? Bolak-balik jadi langganan dosen diminta ikut penelitian."

"Nggak juga," balas Dree singkat, "maksudku, bukan berarti dia nggak berilmu. Aku punya preferensi pribadi terkait itu."

"Seperti apa?"

Sejenak Dree menoleh dan menyungging senyum sebelum kembali menikmati tetes hujan yang bersentuhan dengan telapak tangannya. "Bagiku, mereka yang berilmu adalah yang punya keunggulan jiwa atas kemuliaannya. Mereka yang bisa menerangi orang-orang sekitar, membawa kedamaian, menebar cinta, mengikat persaudaraan dengan kasih sayang. Sederhananya, berilmu adalah bercahayanya hati."

Kerjapan mata tak bisa disembunyikan Gale, antara terkejut juga bingung di saat bersamaan. Lebih terkejut lagi, saat mendapati Dree kembali menoleh dengan senyum lebih lebar kali ini, menatapnya dengan mata menyipit.

"Orang berilmu itu orang yang mampu dan mau menyadari kelemahan, kekurangan, dan kebodohannya. Orang yang mau terus introspeksi diri."

Gale balas tersenyum saat perempuan itu mengakhiri kalimat. Tak dipedulikannya percikan air hujan yang mulai meraih sepatu juga celana panjangnya, sama seperti ujung rok Dree yang berubah warna lebih pekat sebab basah.

"Kayaknya hujan bakal awet, nggak mungkin kamu nunggu. Bareng aku aja, Dree," tawar Gale.

Dree menautkan dua pangkal alis.

"Hari ini aku bawa mobil, bukan motor." Seolah tahu isi kepala Dree, Gale melanjutkan, "Tenang, nggak berdua doang. Sama adik aku juga, dia ditinggal Janggan ke sirkuit soalnya. Tapi ya, nyamper ke fakultas Gati dulu, dia nunggu di lobi. Nggak apa-apa, kan?"

"Oke."

Usai mengambil mobil di parkiran, dengan sedikit hujan-hujanan tentu, Gale langsung menuju ke gedung fakultas Gati. Seperti biasa, Dree akan lebih memilih duduk di bangku belakang. Sebisa mungkin, ia ingin menghindari fitnah. Gale pun tak masalah dengan itu, menghargai keputusan Dree adalah harga mati baginya.

"Lama amat sih, Mas," omel Gati begitu masuk ke dalam mobil.

"Seminarnya baru selesai," jawab Gale.

Perempuan itu menatap Gale tajam, seolah apa yang baru dikatakan sang kakak adalah alasan semata. Ekor mata Gati yang baru menangkap sosok lain lewat spion, langsung menoleh penuh binar ke bangku belakang. "Loh, ada Mbak Dree."

Dree tersenyum lebar.

"Kita nganter Dree ke kosnya dulu."

Gati tak peduli pada ucapan sang kakak. Mengetahui fakta bahwa ia bertemu dengan Dree setelah sekian lama membuatnya antusias. Terlebih, Dree adalah satu-satunya teman Gale yag akrab dengannya.

"Mbak kok udah lama nggak nongkrong lagi di kantin fakultasku? Sibuk banget, ya? Perasaan dulu sering banget ikut Mas Gale waktu semester ganjil." Gati asyik menatap Dree, dengan sedikit memutar tubuh.

"Sibuk mikir judul skripsi, Gat." Bukan Dree yang menjawab, melainkan Gale.

"Beneran, Mbak?"

Dree malah menggeleng jail, membuat adik kakak itu melotot untuk alasan yang berbeda. Jika Gati merasa dibohongi sang kakak, Gale justru melotot sebab melihat Dree menggeleng dari spion.

"Nggak diajak Gale main ke kantin fakultasmu lagi," jawab Dree kelewat santai, yang membuat Gale semakin melotot.

"Iya toh, Mas iki jan pelit kok. Mbak Dree pengen kok kekepi dewe tah, Mas?" (Iya kah, Mas ini kebangetan pelitnya. Mbak Dree mau disimpen sendiri kah, Mas?)

Dree tertawa kecil.

"Dasar licik!" cibir Gale, pasrah.

Namun beberapa detik kemudian, senyum miring tersungging di bibir Gale. "Gimana kalau sekalian kita ajak Dree main ke rumah, Gat?"

Giliran Dree yang melotot.

"Wah, boleh tuh," balas Gati heboh.

"Nggak ya, Gal. Aku mau langsung pulang ke kos. Kalau kamu nggak mau nganter biar aku turun di sini aja."

Gale berdecak. "Panik banget kayaknya tiap mau aku ajak main ke rumah."

Mendengar itu pun, Gati ikut memberengut. "Arek-arekku wae sering dolan nang ngomah, Mbak. Kanjeng Ibu santai, kok." (Temen-temenku aja sering main ke rumah, Mbak)

Terkenal masih keturunan bangsawan keraton, Gati dan Gale memang lumayan diperhitungkan di mata teman-teman mereka. Akibatnya pula, sebagian besar teman Gati ikut memanggil ibu keduanya dengan sebutan "Kanjeng Ibu".

Bukannya menjawab, Dree justru mengalihkan pembicaraan. "Kamu makin mirip anak Jawa Timur-an, Gat. Cara ngomong, bahasamu juga."

"Maklum, Mbak. Temen sekelasku banyak anak Banyuwangi, Surabaya, sama Malang. Bergaul sama mereka kelamaan jadi gini deh."

Seraya memutar kemudi ke gang tempat kos Dree berada, Gale menambahi, "Parah lagi dia makin kasar kalau ngomong, Dree. Belum aja Ibu denger, bisa langsung kena hukuman dia."

Mengingat itu Gati kesal sendiri. Dasar Janggan tukang mengadu, memang pemuda itu tersangkanya. Teman kecil yang sudah akrab dengan keluarga mereka itu bahkan pernah membuat Gati kehilangan uang saku selama sebulan penuh. Sejujurnya, ini kesalahan Gati, sih. Ia nekat ikut ke Magelang dengan teman-teman sekelas tanpa izin. Lebih tepatnya, menggunakan nama Janggan sebagai alasan. Gati bilang, dia pergi bersama Janggan, sedang pemuda itu tengah sibuk dengan event trail-nya. Gale ikut kena getahnya hari itu, terpaksa menjemput sang adik langsung ke lokasi saat hujan lebat.

"Ya jangan mancing emosi aku makanya kalau di rumah. Kalau aku keceplosan ngumpat kan bahaya, Mas."

Gale menghentikan mobil tepat di depan gerbang kos Dree.

"Honestly, bukan masalah selama kamu paham situasi, Gat. Kamu harus paham di mana kamu sedang berada, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Tahu porsinya, apa pun alasannya, attitude tetap yang utama." Dree mengakhiri kalimat dengan senyum sebelum mengucap terima kasih dan keluar mobil.

Begitu perempuan bergamis blue-denim itu menghilang di balik pintu, Gati berujar, "Mas yakin nggak suka sama Mbak Dree? Emang ada sohiban murni cewek sama cowok?"

"Kamu sama Janggan gimana? Ada perasaan?" tantang Gale balik.

"Kok jadi aku?"

"Karena dibanding aku sama Dree, kamu yang lebih lama sahabatan sama Janggan. Dari bayi malah." Gale kembali memacu kemudi dengan kecepatan sedang. Suasana jalanan Yogyakarta saat hujan terlalu sayang dilewatkan dengan buru-buru pulang.

"Udahlah, mending Mas fokus nyetir." Gati berakhir melipat tangan di depan tubuh, kesal sendiri mendengar pertanyaan Gale.

"Sendirinya iseng, diisengin balik ngambek."

-o0o-

Aku keinget waktu ikut seminar di UGM yang sempet kuceritain di "Arundaya Kaia". Sosok Shaka terinspirasi dari beberapa orang yang ikut buka suara waktu itu. Cara mereka beretorika bener-bener yang membius, pake istilah sulit, kelihatan intelek banget pokoknya. Kebetulan, samping temenku, duduk Mbak-Mbak yang emang udah kerja kayaknya. Sepanjang dengerin para mahasiswa mengemukakan statement, si Mbak ini nggak berhenti ngedumel yang intinya, "Halah, mereka ini cuma pinter ngomong, pinter teori, disuruh terjun ke dunia kerja juga pasti mlempem mereka. Idealis boleh, tapi ya yang realistis dikit, lah."

Di segmen terakhir, Mbak itu dapat kesempatan ngomong dan bener-bener yang ... boom! Omongannya tuh yang real menusuk karena bener-bener berdasarkan dari pengalaman di lapangan. Aku yakin sih, para mahasiswa yang sebelumnya ngomong juga pasti kesindir. Keren.

Btw, emang banyak loh orang yang suka bawa-bawa dalil padahal nggak ngerti asbabun nuzul sama asbabul wurudnya. Cuma ngerti sepenggal itu doang, disebarin, dan malah menimbulkan kesalahpahaman berjamaah.

26 Januari 2024

Amaranteya


Continue Reading

You'll Also Like

977K 103K 19
Menikah muda? Siapkah kamu untuk menikah muda? Atau kamu lebih siap untuk menjalin kasih saja sebab belum siap untuk menikah muda tetapi sudah terla...
1.2M 3.7K 15
Ingin cerita lebih lengkapnya lagi, Silahkan klik Link di profil saya... 🙏🙏😊
41.5K 652 3
Baim dan Rosa hanyalah dua manusia yang tidak bisa disatukan dalam satu tempat. Kedua orang yang tidak saling mengenal dalam waktu lama itulah selal...
21.4K 454 1
Sejak kecil ketika melihat teman-temannya diantar ke sekolah oleh orang tua, memakan masakan Ibu ketika di rumah. Atau ketika temannya dimarahi saat...