Young Lady, Helene Morgan [EN...

Por sourbxrries

642K 59.9K 787

Ibuku bilang, selama ini kami harus hidup susah dan terus-menerus bersembunyi karena ayahku sangat membenci k... Mais

Chapter 00
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 05
Chapter 06
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Author Note (A/N)
LIMITED TIME
Extra Chapter - 01
PDF
WON'T GET DIVORCE!

Chapter 26

19.7K 1.6K 126
Por sourbxrries

Chapter 26 : Run away to get happy ending

Dengan rutinitasku yang masih sama seperti biasa, hari demi hari berlalu tanpa terasa. Kini sudah hampir satu bulan sejak insiden penculikan yang kualami.

Di luar jadwal harianku, hari ini aku dan Ayah datang ke istana kekaisaran karena menerima undangan pertemuan pribadi dengan Kaisar.

Ketika memasuki ruangan, rupanya tidak hanya sang Kaisar yang telah menunggu kedatangan kami. Ada Yang Mulia Permaisuri dan Putra Mahkota Wilhelm juga di sana.

Aku menundukkan kepala, memberi salam hormat pada mereka, sang penguasa kekaisaran. Begitu pula dengan Ayah—meski gesturnya sedikit acuh tak acuh.

"Mari duduk," ujar sang kepala negara.

"Terima kasih, Yang Mulia," balasku.

Aku dan Ayah pun akhirnya ikut duduk di kursi kosong yang tersisa.

"Jadi, kenapa anda memanggil, Yang Mulia?"

Dengan wajah agak masam, Ayah berujar setengah minat, tanpa basa-basi. Sepertinya ia masih kesal.

Karena undangan mendadak dari Kaisar, kami jadi membatalkan rencana piknik yang telah dijadwalkan sejak jauh-jauh hari.

Bagi Ayah, pergi piknik denganku jauh lebih penting daripada menemui Kaisar. Kalau bukan karena aku yang telah berusaha keras menahannya, Ayah pasti akan mengabaikan titah Kaisar dan membawaku pergi piknik saja seperti apa yang telah ia jadwalkan daripada datang ke istana seperti ini.

"Sepertinya kau sedang sibuk karena sangat terburu-buru seperti ini," kata Kaisar.

"Memang," sahut Ayah sinis.

Tentu saja aku segera menyikut pinggang Ayah, mengingatkannya dengan isyarat untuk memperbaiki sikap di hadapan Kaisar. Namun, Ayah justru bilang,

"Aku tahu apa yang kulakukan. Kau diam saja."

Aku mendengus dengan ekspresi datar juga mendelik mata, pasrah.

Alhasil, aku hanya bisa membiarkan Ayah melakukan apa pun sesukanya. Karena sifat dasar Ayah adalah keras kepala, percuma saja jika mengingatkannya lagi sebab ia tetap tidak akan mau dengar.

"Baiklah. Karena kau tidak mau berbasa-basi, aku akan langsung bicara ke inti," ujar Kaisar.

"Ya," sahut Ayah asal.

"Mari jodohkan putra-putri kita."

"... YA?!"

Bukan hanya Ayah yang terkejut, aku pun juga sama—meski tidak menyuarakannya dan hanya membelalakkan mata.

"Tidak! Apa-apaan?! Saya tidak setuju!"

"Bukankah ini keputusan yang akan sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak? Jangan langsung menolak. Setidaknya pikirkan terlebih dah—"

"Tidak. Akan. Pernah!"

Sang Kaisar menghela napas panjang karena mendapat penolakan tegas dari Ayah. Namun, sama seperti Ayah, ia pun juga kukuh pada keinginannya.

"Bukankah keterlaluan untuk menolak? Lagi pula, memangnya siapa lagi calon mempelai pria yang lebih baik daripada putraku yang merupakan seorang putra mahkota? Tidak ada, Tuan Grand Duke of Morgan. Jika kau terus bersikap seperti ini, bisa-bisa putrimu tidak akan menikah hingga tua. Atau mungkin, kau memang ingin putrimu tidak menikah juga sampai tua, seperti dirimu?"

Sepertinya terbalik. Di mataku, justru Kaisarlah yang keterlaluan. Dia lah yang telah bicara dengan sangat lancang.

Apa-apaan kata-katanya itu? Karena ditolak, kenapa ia malah menyudutkan dan menghina Ayah?

"Maaf menyela perbincangan, Yang Mulia."

Karena tidak tahan, akhirnya aku buka suara, hendak menyampaikan pendapatku.

"Untuk menikah dengan Yang Mulia Putra Mahkota ... sepertinya itu agak sulit. Untuk saat ini, saya belum memiliki keinginan untuk menikah. Karena usia saya masih cukup muda, masih ada banyak hal yang ingin saya lakukan, dan hal itu sepertinya akan sulit direalisasikan jika saya menikah."

"Kalau begitu, kalian bertunangan saja dulu."

Permaisuri yang semula hanya menjadi pendengar dialog pada akhirnya ikut bicara.

"Selagi kau mewujudkan hal-hal yang ingin kau lakukan, pada waktu yang sama, kalian bisa menghabiskan waktu bersama untuk saling mengenal," imbuh wanita itu lagi, lengkap dengan seulas senyum manisnya.

Diam-diam aku menghela napas, mulai merasa tertekan dan frustrasi dengan permintaan sepasang penguasa negara ini.

Karena merasa buntu dan tidak menemukan alibi lagi untuk menolak, aku melirik Putra Mahkota Wilhelm, berharap dia peka dan mau membantuku.

Namun, lelaki itu hanya memasang senyum simpul sebagai balasan dari kode yang kuberikan.

'Sial,' umpatku dalam hati.

Tiba-tiba aku jadi berpikir, jangan-jangan, justru dia yang meminta pada Kaisar agar dijodohkan denganku ..?

"Saya ..."

Alasan apa lagi yang harus kubuat?

"Hanya ingin menikah dengan orang yang kau cinta?"

"Ya!"

Tanpa sadar aku berseru.

"Ah, maksud saya ... iya, benar. Seperti apa yang dikatakan Yang Mulia Putra Mahkota, saya ingin menikah dengan pria yang saya cintai," ujarku lagi, meralat.

"Kalau begitu, aku tinggal membuatmu jatuh cinta kepadaku kan?"

'...?! Sialan!'

Karena kalimat sahutan Putra Mahkota Wilhelm, aku jadi mengumpat dua kali.

Aku pikir dia ingin membantuku. Rupanya malah ingin menjebakku.

"Seperti apa tipe pria yang kau sukai?"

Karena sudah terlanjur kesal kepadanya, pada akhirnya aku menjawab pertanyaan Putra Mahkota Wilhelm dengan ketus.

"Yang seperti ayah saya."

'Kau sama sekali tidak mirip, jadi tolong menyerah saja!'

***

Meski berhasil pergi dari istana kekaisaran, bukan berarti penolakanku dan Ayah diterima. Kaisar hanya mengulur waktu, meminta kami untuk memikirkannya kembali.

Hingga tiba di mansion, kami yang tengah berjalan bersisian menyusuri lorong mansion masih belum ada yang buka suara. Itu karena, baik aku maupun Ayah, kami sama-sama masih kesal dengan apa yang terjadi di istana.

Rencana piknik gagal.

Tiba-tiba disudutkan untuk menikah.

Sungguh hari yang melelahkan.

"Nona Helene!"

"Sekarang apa lagi, keparat?!"

Ayah benar-benar sudah tidak bisa menahan dirinya sendiri. Ia langsung mengumpat ketika mendengar suara orang memanggilku dari belakang.

Seraya menghela napas lelah, akhirnya aku berbalik, menatap laki-laki yang tengah berlari menghampiri kami—Ayah pun ikut berbalik dan menatapnya dengan tatapan tajam.

"Kenapa kau selalu datang ke sini setiap hari?! Apa kau tidak punya rumah?!" sungut Ayah jengkel.

Setibanya ia di hadapan kami, Pangeran Clyde hanya melirik Ayah sekilas lalu mengabaikan kata-katanya, menganggapnya hanya sebagai angin lalu. Ia justru menaruh pusat atensi kepadaku kemudian bertanya dengan menggebu-gebu.

"Kudengar Kaisar ingin menjodohkanmu dengan Putra Mahkota. Apa benar?"

"Ya. Tapi aku menolak."

'Setidaknya aku berusaha untuk itu,' imbuhku dalam hati.

Pangeran Clyde menghela napas lega.

"Syukurlah," ujarnya seraya mengelus dada.

Ayah sontak memicing tajam.

"Apa yang kau syukuri, hah?!"

"Karena itu artinya aku masih memiliki kesempatan. Kan?"

"Kesempatan apa?!" cecar Ayah kesal. "Hei, bocah sinting! Jangan pernah berpikir ingin mencuri putriku juga! Tidak akan kubiarkan!"

"Kenapa kau begitu marah, Tuan Grand Duke? Keputusan akhirnya kan ada di tangan putrimu, bukan kau. Jadi percuma kau menolak karen—akhh, aduh!"

Kalimat Pangeran Clyde terpaksa terputus karena Ayah menarik sebelah telinganya dan menyeretnya pergi.

Pangeran Clyde terus mengaduh dan protes, sedangkan Ayah masih mencak-mencak marah.

"Nona Helene, laki-laki seperti apa yang akan kau terima?"

Meski sudah diseret paksa seperti itu, ia masih sempat-sempatnya berujar lantang untuk bertanya kepadaku.

"Yang lebih dari ayahku."

Kalimat jawabanku membuat Ayah berhenti menyeret Pangeran Clyde—meski jeweran telinga yang ia beri tidak ia lepaskan—kemudian memandang laki-laki di hadapannya dengan angkuh.

"Kau dengar? Putriku bilang, harus yang lebih dari diriku."

Ayah berujar sombong sembari mengangkat dagu juga menyungging seringai remeh.

"Apa kau percaya diri bisa mengalahkanku? Jika iya, mari bertarung. Tapi yang kalah tidak akan bisa melihat hari esok. Bagaimana?" timpalnya lagi.

Pangeran Clyde hanya meringis kemudian terkekeh kaku.

Di sela tawanya yang terdengar canggung dan pura-pura, ia meraih tangan Ayah dan berusaha melepaskannya dari telinga kirinya.

"Aku pamit pulang dulu, Tuan Grand Duke."

Pangeran Clyde segera membungkukkan tubuh, pamit dengan sangat sopan kemudian buru-buru pergi dengan kedua kakinya sendiri.

Namun, ketika jarak yang tercipta sudah cukup jauh, Pangeran Clyde berhenti sejenak kemudian berujar dengan suara lantang.

"Nona Helene, hari ini aku memang lebih payah dari Tuan Grand Duke. Tapi aku akan berusaha keras dan berlatih agar bisa mengalahkan ayahmu itu dengan segera. Jadi mohon tunggu aku ya!"

Melihat Ayah yang kembali melotot kepadanya membuat Pangeran Clyde segera berlari kencang sekuat tenaga, takut dikejar dan ditangkap oleh Ayah.

Meski begitu, ia masih sempat melambaikan tangannya kepadaku. Kemudian lanjut berlari lagi seraya tertawa renyah ketika Ayah mulai mengejarnya.

***

Melakukan detoksifikasi setiap seminggu sekali menjadi rutinitas baruku selama beberapa waktu terakhir.

Karena dosis yang larut ke dalam darahku sangat banyak, efek samping dari obat terlarang terkadang masih bisa kurasakan. Meski begitu, akhir-akhir ini efeknya sudah jadi lebih ringan karena perawatan intensif yang selalu kulakukan secara teratur.

Setelah matahari mulai turun dari posisinya, dan petang mulai menyingsing, segala proses pengobatan yang harus kulakukan hari ini telah berakhir.

Dokter yang menanganiku kini sibuk merapikan peralatan medisnya.

Ayah yang juga ada di ruangan yang sama akhirnya buka suara.

"Jika pindah sementara ke wilayah selatan dan melakukan perawatan di sana, putriku akan lebih cepat sembuh kan?"

"Tidak juga," sahut sang dokter. "Proses pengobatan Nona Muda tinggal sedikit lagi.  Melakukannya di sini saja juga tidak apa-apa, hasilnya akan sama saja," imbuhnya.

Penjabaran dokter tidak membuat Ayah puas. Ia memicing mata dan menatap pria setengah baya yang menjadi lawan bicaranya dengan tatapan menuntut.

"Mengobatinya di wilayah selatan itu lebih baik. Apa menurutmu aku salah?" ujar Ayah, penuh penekanan.

Menyadari niat terselubung Ayah, sang dokter segera meralat ucapannya.

"A-ah, i-iya benar! Meski melakukan pengobatan di sini juga tidak apa-apa, jika pergi ke wilayah selatan, pasti efeknya akan lebih baik! Nona Muda bisa menghirup udara segar sekaligus menjernihkan pikiran. Dalam kondisi yang baik seperti itu, proses pengobatannya akan jadi lebih ampuh!"

"Kau paham maksudku," kata Ayah puas.

Sungguh sebuah omong kosong.

Padahal aku tahu, alasan sebenarnya Ayah ingin membawaku pergi ke wilayah lain tak lain dan tak bukan adalah untuk menjauhkanku dari Putra Mahkota Wilhelm dan Pangeran Clyde yang telah ia cap sebagai calon pencuri.

***

Karena kepindahan yang terburu-buru, semua pekerjaan yang tertunda harus segera diselesaikan setibanya kami di vila pribadi keluarga Morgan di wilayah selatan kekaisaran.

Ayah dengan tanggung jawabnya atas Grand Duchy, dan aku dengan tanggung jawabku mengikuti kelas penerus.

Setelah dua minggu berlalu, akhirnya tiba hari yang lengang setelah disibukkan oleh berbagai kegiatan di hari-hari sebelumnya sejak awal tiba di sini.

Hari ini kami mewujudkan rencana piknik yang sempat gagal.

Ayah membawaku ke sebuah danau.

Kami menggelar tikar di tepian danau dan memakan berbagai bekal yang kami bawa sembari mengobrol santai selama menunggu waktu matahari terbenam tiba.

"Ayah," panggilku.

Yang dipanggil sontak menoleh. "Ya?"

Aku yang semula tengah menatap ke arah danau di tengah perbincangan ringan kami, pada akhirnya ikut menoleh, menatap lekat lawan bicaraku.

"Terima kasih karena telah menjadi ayahku."

Kalimatku membuat Ayah mendengus geli.

"Tiba-tiba?" ujarnya.

"Aku selalu ingin mengatakan itu sejak lama."

Ayah tersenyum simpul kemudian mengusap lembut puncak kepalaku.

"Terima kasih juga karena telah menjadi putriku. Kau ... adalah hal paling berharga dan sempurna yang pernah kumiliki. Di sepanjang hidupku."

Aku bisa merasakan ketulusannya dari tiap kata yang Ayah ucapkan.

Aku tahu, Ayah sangat menyayangiku. Selalu.

Itu terbukti dari senyum manis nan hangat yang ia sunggingkan kepadaku—hanya kepadaku, aku tidak pernah melihat Ayah tersenyum polos seperti ini pada orang lain.

Aku terlambat menyadari jika kedua sudut bibirku juga ikut terangkat naik pada akhirnya.

Tanpa aba-aba, aku langsung menghamburkan pelukan pada Ayah. Aku mendekap tubuhnya dengan erat, lalu berujar ketika wajahku masuk menyusup di dadanya.

"Kau harus hidup lama, Ayah. Kau harus tetap berada di sisiku sampai aku jadi nenek-nenek."

Lagi-lagi Ayah mendengus geli dan terkekeh kecil. Ia membalas pelukanku dan mengusap punggungku dengan lembut.

"Hal semacam itu tidak perlu diminta."

"Sungguh hubungan harmonis ayah dan anak yang membuat orang lain iri."

Sebuah suara yang tiba-tiba mengudara dan mencampuri dialog kami berhasil mengacau suasana.

Karena eksistensi asing itu, aku melepas pelukanku pada Ayah lalu menoleh ke arah suara itu berasal.

Melihat siapa si pelaku, raut wajah Ayah seketika berubah menjadi masam. Ia juga mendecakkan lidah.

"Kenapa kau selalu ada dan muncul di mana-mana?" ujar Ayah jengkel.

Laki-laki yang menjadi sumber kekesalan Ayah hanya terkekeh kecil dan tersenyum polos, tidak menunjukkan tanda-tanda merasa bersalah.

"Aku sedang dalam perjalanan pulang ke kerajaan, tapi tiba-tiba ingin mampir ke sini. Keinginan itu datang begitu saja. Aku juga tidak tahu jika kalian ada di sini."

Meski Kerajaan Eanor benar hanya berjarak beberapa kilometer dari sini, tapi tetap saja Ayah tidak percaya—begitu pun aku.

"Kita bisa bertemu lagi meski tanpa disengaja, sepertinya karena memang takdir kita terhubung," ujar Pangeran Clyde. "Bukan denganmu, Tuan Grand Duke. Maksudku dengan Nona Helene," timpalnya.

Ayah mendesis. "Bocah sinting ini!"

Tanpa permisi, Pangeran Clyde mendaratkan bokongnya di atas tikar, tepat di sebelah kiriku—membuatku menjadi berada di posisi yang diapit oleh Ayah dan Pangeran Clyde. Laki-laki itu juga mengambil roti lapis dan memakannya tanpa izin.

"Siapa yang mengizinkanmu duduk di dekat putriku? Cepat bangun dan pergi! Pulang ke tempat asalmu sana, jangan mengacau waktuku dengan putriku!"

"Nona Helene saja diam saja, tidak keberatan. Iya kan, Nona Helene?"

"Tolong jangan libatkan aku dalam pertengkaran kalian."

Aku tidak ingin terlibat dengan adu mulut Ayah dan Pangeran Clyde. Meski begitu, aku juga tidak memiliki niat untuk melerai mereka.

Karena mereka berdua terus berdebat di sebelahku, aku memilih untuk merebahkan tubuhku ke atas tikar, bermaksud agar wajahku tidak menjadi penghalang keributan mereka.

Dan benar saja, perdebatan mereka jadi lebih panas.

"Putriku tidak suka padamu. Jadi menyerah saja dan jangan berharap!"

"Waktu itu Nona Helene kan bilang, dia akan menyukai laki-laki yang lebih hebat dari ayahnya. Aku tidak akan menyerah!"

"Apa kau pikir dirimu sudah lebih hebat dariku?! Mau bertarung?!"

"Ah, tidak untuk sekarang. Aku masih belum cukup kuat. Kalau kita bertarung sekarang, aku bisa mati sungguhan."

"Kalau sudah sadar, menyerah saja!"

"Tapi itu kan sekarang. Tidak ada yang tahu akan jadi seperti apa aku di masa depan. Aku tidak akan menyerah! Aku akan tetap bekerja keras!"

"Bocah sinting ini!"

Meski mataku sibuk memandang langit yang jernih, fokusku tetap saja terjatuh pada dialog yang kudengar.

Mendengar perdebatan itu membuatku mendengus geli dan terkekeh renyah.

Jika ini dulu, mungkin aku akan merasa kesal karena kebisingan. Namun, sekarang agak berbeda.

Sejak masih tinggal di mansion di ibu kota, ketika Pangeran Clyde datang berkunjung setiap hari, setiap hari pula ia akan beradu mulut dengan Ayah. Karena itu, aku jadi terbiasa.

Dan ternyata mendengar keributan kekanakan dua orang pria beda usia itu lucu dan menyenangkan.

"Helene, kau pilih aku atau bocah ini? Sudah pasti aku kan?"

"Kalau bertanyanya sekarang, jawabannya pasti kau, Tuan Grand Duke. Nanti, ketika aku sudah lebih hebat darimu, pasti—"

"Sampai kapan pun, aku tidak akan terkalahkan!"

"Tidak mungkin! Ketika kau sudah tua, kau pasti akan jadi pria payah! Lihat saja nanti!"

"Dasar kurang ajar! Mumpung aku masih hebat, akan kuhajar kau habis-habisan!"

"Tuh, kau sendiri mengakui."

"Sialan, sini kau!"

Semilir angin menerpa wajahku dengan lembut, meniup helai-helai rambutku hingga bergerak halus.

Aku menatap langit biru dengan awan yang berarak-arak seraya tersenyum simpul.

'Sungguh hari yang damai dan menyenangkan.'

.

.

~ End. ~

Published on 13-01-2024

Continuar a ler

Também vai Gostar

7.5K 650 13
JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA! Cerita Nanon dengan segala tingkah polahnya dinaungi bayangan para Phinya dalam satu atap. Tiap capter beda cerit...
20.9K 2K 150
[ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA BESTIE ] __________ Start From Part - 401 Dia adalah Ratu Es yang terkenal dari Pasukan Khusus. Saat kecelakaan dalam...
ATHENA Por Jo

Fantasia

66.7K 5.3K 28
Athena adalah kandidat tunggal untuk menjadi seorang putri mahkota dan calon ratu di negeri Azerbazan. Akan tetapi, tiba-tiba Aaron memilih Elora unt...
665K 80.6K 31
Dahulu dia dijuluki mawar putih,seseorang yang memiliki hati bersih dan lembut serta memiliki tampilan sama seperti makna bunga mawar putih. Tapi na...