Hello Shitty

By liaraaudrina

280K 35.9K 4.2K

Di antara banyaknya teman setongkrongan Kakaknya, kenapa harus Brian yang naksir Alit? Masalahnya, selain waj... More

1. Cinta Pertama Alit
2. Si Punya Banyak Muka
3. Tentang Perasaan yang Menggantung
4. Perusak Suasana
5. Sebuah Komitmen
6. Sebuah Janji
7. Cinta yang-tidak terlalu-kuat
8. Hati yang patah
9. Good Luck
10. Keajaiban Dunia yang Kesepuluh
POV Brian 1 - Someone From The Past
11. Gloomy Days
12: Zona Nyaman
POV Brian 2 - Sakit Jiwa
13. Homesick
14. Late Night Talking
15. What's Your Favorite Song?
16. Kejujuran
17. A Hug
19. Mengikis Keraguan
20. Take Your Time
21. Tahap Pertama
22. Tentang Rasa Takut
23. Alice in Wonderland
24. Pertemuan Tak Terduga
25. Yang Tersimpan di Masa Lalu
26. Kilau berlian yang menyilaukan
27. Munafik
28. Kebohongan Mana Lagi yang Harus Kupercaya?
29. Mixed Feeling
30. Rencana Brian
31. Explanation
32. Menggenggam Restu
33. Mengorek Informasi
34. You're On The Right Hand
35. Apa Itu Cemburu?
36. Adventure of A Lifetime
37. Birthday Gift
38. Hujan Dan Keras Kepalanya

18. Sparks

7.7K 1K 127
By liaraaudrina



"Bunda, Lit, Bunda ...." Alit merasakan tubuhnya digoyang-goyang, bersamaan dengan suara itu terdengar.

Matanya mengerjap beberapa kali, dan langsung mendapati ponselnya diacungkan ke arahnya. Selama beberapa saat, dia mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Interior kamar yang begitu mewah dan menguarkan wangi maskulin, membuatnya butuh waktu lebih banyak untuk mengingat-ingat apa yang terjadi semalam.

"Ini Bunda telepon. Diangkat dulu!" Suara renyah itu kembali terdengar. Ia baru sadar kalau Brian duduk di bibir kasur, masih setia menodongkan ponsel padanya.

Ah, benar juga. Semalam dia menginap di apartemen Brian, jadi rasanya enggak masuk akal kalau Alit bertanya kenapa Brian ada di sini. Harusnya Alit bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dia bisa ada di sini—bergelung di dalam selimut tebal di kamar Brian?

Setelah Alit menerima ponselnya, Brian langsung beranjak keluar kamar.

"Halo, Nda?" Usai berdeham beberapa kali agar suaranya enggak terlalu serak, Alit pun mengangkat teleponnya.

"Baru bangun, kamu?"

"Iya."

"Semalem kenapa? Bunda sama Ayah lagi kondangan ke tempat temen Ayah. Hape ketinggalan di mobil. Kamu kenapa nelpon Bunda sama Ayah berkali-kali? Kamu enggak lagi sakit, kan?"

Sebenarnya, sepulang dari kantor kemarin, Alit berniat menceritakan semua masalahnya pada Bunda atau Ayah. Dia perlu meredakan sesak di hatinya dengan menceritakan masalahnya pada orang lain. Namun, karena semalam dia sudah menceritakan semuanya pada Brian, dia malas mengungkit itu lagi, yang hanya akan membuat emosinya kembali meradang.

"Ya gitu deh, ada masalah sedikit di kantor. Terus ... aku capek banget, Nda." Baru mengatakan itu saja, air mata Alit kembali menggenang.

"Ya udah, balik ke rumah aja sini. Bantuin Bunda ngurus cathering." Itu bukan kali pertama Bunda menawarkannya. Yang tentu saja selalu Alit tolak. Bagaimana dia bisa membantu mengurus cathering, kalau dia bahkan enggak bisa memasak apa pun. Kerjaannya di rumah cuma makan, karena di rumahnya selalu penuh dengan makanan, tanpa ia perlu repot-repot memasak sendiri.

Mungkin itu salah satu alasan kenapa saat merantau begini, Alit sulit sekali beradaptasi. Selama ini dia bisa langsung makan semua makanan yang terhidang di meja makan tanpa perlu menunggu lama. Sedangkan sekarang, ia harus menyiapkan semuanya sendiri. Harus berpikir dulu mau makan apa hari ini? Kemudian ia masih harus turun ke lobi untuk mengambil GoFoodnya. Meski kedengaran sepele, ternyata itu sangat menguras energi.

"Nda, selama ini tuh aku selalu berusaha buat profesional dan bersikap sebaik mungkin sama semua orang di kantor. Tapi, kenapa aku enggak pernah dihargai ya, Nda?" Pada akhirnya, cerita tentang kekesalannya kemarin mengalir begitu saja.

Sejak kecil dia sudah terbiasa menceritakan semua masalahnya pada Bunda dan Ayah. Sulit sekali baginya untuk menahan diri atau menyembunyikan sesuatu. Ini membuat emosinya kembali bergejolak, sehingga air matanya luruh semakin deras.

"Proses pendewasaan diri itu sulit, Lit. Memang butuh waktu untuk beradptasi. Nanti di masa depan, kamu akan bertemu dengan lebih banyak orang semacam itu. Bahkan yang lebih jahat pun banyak. Semua itu enggak usah dimasukin ke hati dan pikiran. Ikhlaskan aja. Anggap aja, itu cara Allah menambah pahalamu. Hatimu itu kecil banget. Kalau semuanya kamu masukin ke hati, enggak akan cukup. Yang ada kamu bakal capek sendiri."

"Yang penting, kamu di sana lakukan tanggung jawabmu sebagaimana mestinya. Berteman sama orang kantor secukupnya. Enggak usah terlalu benci apalagi sampai menarik diri. Bagaimana pun, mereka semua tetap kamu butuhkan untuk bekerjasama setiap hari, kan? Pokoknya kamu harus belajar legowo, jangan semuanya diambil pusing. Makan yang banyak, jaga kesehatan. Itu yang paling penting."

Jujur saja selama di rumah, Bunda enggak pernah menasihati dengan nada hangat seperti ini. Bunda lebih sering mengomel, yang kadang diselipi candaan. Baru kali ini Alit mendengar Bunda begitu serius, dengan suaranya yang lembut, membuat ia jadi terharu.

Selama ini Bunda memang agak gengsi mengungkapkan rasa sayangnya pada Alit, karena Bunda cenderung lebih dekat dengan Bintang. Sedangkan Alit lebih dekat dengan Ayah. Ayahlah yang selalu menuturkan kalimat lembut penuh kasih sayang pada Alit. Sementara yang ada di ingatan Alit tentang Bunda, hanya omelan. Dan nasihat Bunda barusan membuat Alit merasa sangat disayangi.

"Iya, Nda."

"Lho, kamu nangis lagi?" Nada suara Bunda meninggi. "Kamu nih apa nggak capek tho, Lit, nangis terus? Apa nggak eman, air matamu, hah? Udah 24 tahun, masa setiap hari nangis?!"

Nah, beginilah omelan Bunda yang biasa dia dengar selama ini. Alit sama sekali enggak tersinggung. Justru dia lebih suka mendengar omelan Bunda yang biasanya begini, dibanding omongan lembut Bunda tadi, yang malah membuatnya ingin menangis makin kencang.

"Enggak nangisss! Kan aku bilang, aku baru bangun tidur, Nda!" Omelan Bunda tadi berhasil membuat tangis Alit berhenti. Dia beringsut duduk, menarik dua lembar tisu untuk mengelap air matanya.

"Mumpung hari Sabtu, kamu olahraga sana! Terus beresin apartemen! Bunda yakin itu sampai sekarang apartemen kamu belum diberesin, kan?"

"Iya, iyaaaa ...."

"Iya, iya tuh bangun! Cepet sarapan, habis itu balik ke apartemenmu sendiri!"

Lalu sambungan telepon dimatikan sepihak oleh Bunda. Sementara Alit masih terpaku di bibir kasur. Eh, barusan itu, maksudnya apa?

Kupingnya enggak salah dengar, kan?

Seketika tubuh Alit menegang. Dia mengecek ponselnya lagi, dan memastikan kalau yang barusan itu adalah panggilan telepon, bukan panggilan video. Namun, kenapa Bunda bisa tahu kalau saat ini dia sedang tidak berada di apartemennya sendiri?

"Udah teleponnya? Ayo sarapan!" Dari pintu kamar yang enggak ditutup, Alit bisa melihat Brian berdiri di dekat pintu, kemudian langsung meninggalkanya begitu saja.

"Kamu ngasih tahu Bunda kalau aku tidur di sini?" Entah mendapat kekuatan dari mana, Alit langsung berjalan cepat keluar dari kamar, memilih duduk di pantry. Sementara Brian masih melanjutkan masakannya.

"Iya."

"IH NGAPAIN NGASIH TAHU BUNDA?!"

"Itu Bundamu neleponin terus dari setengah jam yang lalu. Kamu udah aku bangunin berkali-kali, enggak bangun juga. Ya udah, teleponnya kuangkat," jawab Brian santai sambil menaruh sepiring nasi goreng di depannya. "Nasi goreng lagi nggak papa ya, Lit?"

Alit mengabaikan nasi goreng yang menguarkan wangi luar biasa itu, memilih memukuli lengan Brian untuk melampiaskan kekesalannya. "Kamu tuh lancang banget tau, nggak? Harusnya sebelum kamu bilang-bilang, kamu tanya dulu ke aku! Kenapa kamu tiba-tiba malah kasih tau Bunda duluan?!"

Seiring dengan pukulan Alit yang makin membabi-buta, Brian pun akhirnya bergerak memegangi kedua tangan Alit untuk menghentikannya. Tidak sulit bagi pria itu melakukannya, karena kedua pergelangan tangan Alit yang mungil bisa dipegang sekaligus dengan satu tangan besar pria itu.

Alit pikir, Brian hanya akan memegangi tangannya. Alit sudah ingin meluapkan amarahnya lagi, tapi tiba-tiba saja tubuh pria itu bergerak mengikis jarak di antara mereka. Serta merta tubuh Alit membeku.

Hanya dalam sekian detik, Alit merasakan sesuatu yang kenyal dan hangat mendarat di keningnya. Memang enggak lama sih, tapi itu berhasil membekukan seluruh tubuh Alit, juga membuat lidahnya tidak mampu berkata-kata.

"Oh, jadi gini caranya, biar kamu jadi kalem?" Brian tersenyum menggoda. Pria itu duduk di kursi sebelah Alit. Tangannya masih memegangi kedua tangan Alit, tapi kali ini ia menautkan jemari mereka, memberikan genggaman hangat.

"Gini lho, Lit, semalem kita udah sepakat, kan? Kamu udah setuju buat kasih aku kesempatan, kan? Jadi, sekarang aku berusaha membuktikan kalau aku layak untuk dipercaya. Sori ya, mungkin aku memang lancang. Tapi aku enggak menyesal udah angkat telepon dari Bunda. Karena tadi tuh Bunda khawatir banget, anaknya enggak angkat telepon dari tadi. Bunda bilang, dari semalem dia nelepon kamu, tapi hapemu enggak aktif. Untung aku sempat charge hapemu bentar, dan langsung dapet banyak missed call dari Bundamu. Tadi tuh Bunda ngira kamu sakit, atau kenapa-napa. Makanya aku jelasin ke Bunda ... tentang semuanya. Kamu aman sama aku, enggak ada satu pun yang kurang. Jadi, mulai sekarang Bunda dan Ayah enggak perlu khawatir anak perempuan kesayangannya merantau sendirian di Jakarta. Ada aku yang jagain, dan bisa selalu memastikan anaknya makan tepat waktu tiga kali sehari."

Alit masih diam. Padahal Brian sudah berpikir bakal menerima pukulan bertubi-tubi lagi—yang biasa Alit keluarkan saat sedang salting. Kini tatap nanar Alit malah membuat Brian khawatir.

"Kamu tuh ...." Kata-kata Alit terhenti. Lalu gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Apa?" tanya Brian. "Kamu mau tanya aku serius apa enggak? Aku udah bertindak sejauh ini, kamu masih enggak percaya aku serius atau enggak?"

Alit yang enggak langsung menyahut, membuat Brian terus mencerocos. "Kamu sendiri yang semalem mau kasih aku kesempatan. Masa baru semalem, kamu langsung mempertanyakan itu lagi? Bahkan belum ada sehari setelah obrolan kita semalam. Kalau sejak awal kamu emang enggak bisa mempercayai aku sama sekali, ngapain kamu kasih aku kesempatan?"

"Harusnya, waktu kamu setuju buat kasih aku kesempatan, ya kamu lepasin diri kamu. Jangan menahan diri lagi. Kita sama-sama berusaha supaya ini berhasil. Mungkin aku emang harus usaha lebih keras, tapi bukan berarti kamu diam aja kayak gini, dan enggak mau diajak melangkah bareng. Kalau kamu terus-terusan meragukan semua usahaku, untuk apa kita susah payah mencoba—"

"NGGAK USAH SOTOY! SIAPA JUGA YANG MAU TANYA GITU? ORANG AKU MAU TANYA, KAMU TUH KAPAN MAU CIUM AKU?!"

Kini gantian Brian yang mematung. Sama sekali tidak menyangka Alit akan mengatakan itu dengan lantang, berani, bahkan tatapannya .... Astaga! Siapa yang ngajarin sih, Lit?

Brian hanya bisa geleng-geleng kepala. Kadang, isi kepala Alit memang agak sulit ditebak. "Barusan udah, kan?"

Sementara Alit mendengus. Ia tahu persis bahwa Brian hanya sedang menggodanya. Mana mungkin pria dewasa yang punya julukan buaya rawa itu enggak bisa membedakan mana yang disebut kecupan dan ciuman?

Alih-alih langsung menuruti kemauan Alit—yang juga menjadi keinginannya sejak lama, Brian malah menggeleng dengan raut serius. "Enggak sekarang."

"Kenapa?"

Susah payah Brian menahan tawa bahagianya. Lihat, siapa yang semalam marah-marah enggak suka dimodusin? Sekarang, justru dia duluan yang memancing Brian untuk melakukan hal yang iya-iya.

"Soalnya kamu belum sikat gigi." Brian langsung beranjak dari sana, kabur duluan sebelum Alit memukulnya.

Benar saja, gadis itu langsung mengejarnya sambil mengomel. "ENAK AJA! AKU UDAH SIKAT GIGI YA! TADI AKU NGUBEK-NGUBEK LACI DI KAMAR MANDIMU NYOLONG SIKAT GIGI BARU! JANGAN ASAL NGOMONG YA, JADI ORANG! BELUM DIRASAIN UDAH SOTOY AJA!"





***





Alit sudah bilang belum sih, kalau dia slow eater?

Sebenarnya Alit merasa kalau dia mengunyah biasa saja, enggak sengaja dihitung 33 kali sampai makanan di dalam mulutnya benar-benar lembut baru ditelan—seperti yang biasa Bintang ucapkan padanya. Namun, entah kenapa dia selalu selesai makan paling akhir dibanding semua orang yang pernah makan bersamanya.

Termasuk dengan Brian. Sebenarnya ini bukan kali pertama Alit makan bareng Brian. Sebelumnya Brian sudah sering numpang makan di rumahnya. Namun, entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Mungkin karena ini pertama kalinya Alit makan di apartemen Brian?

Dengan jantung berdegub tidak karuan begini, kemampuan mulutnya dalam memproses makanan jadi lebih lambat. Sampai piring Brian sudah kosong, Alit baru makan sepertiganya.

Sialnya, sekarang Brian masih duduk di depannya, memperhatikan setiap gerak-gerik Alit dengan pandangan yang sulit diartikan. Saking hangatnya pandangan itu, Alit jadi bingung harus salting dengan gaya apa lagi nih?

"Bisa biasa aja nggak liatnya?!" sungut Alit sok galak. Padahal seluruh aliran darahnya sedang mengalir begitu deras sekarang, yang membuat tubuhnya menghangat.

"Lagian suruh siapa gemes banget? Makannya cimit-cimit, kayak bayi." Brian terkekeh, tapi tetap enggak memutus pandangannya dari Alit. 

Alit sudah akan mengancam Brian pakai garpunya, tapi dering ponsel yang terdengar membuat perhatian keduanya teralih. Brian langsung beranjak untuk mengecek ponselnya yang terletak di ruang tengah.

"Kenapa, Riq?" Selanjutnya Brian duduk di ruang tengah sambil mengangkat telepon. Kini Alit bisa menatap keseluruhan paras Brian dengan berani, mengingat sejak tadi—saat pria itu berkeliaran di sekitarnya—Alit cuma bisa curi-curi pandang.

"Bangsat, gue kan udah bilang, lo gue kasih nomer pribadi gue, dengan syarat, lo nggak boleh ngehubungin gue ke nomer ini buat bahas kerjaan. Bisa-bisanya lo telpon gue ke nomor ini, buat bahas kerjaan di hari Sabtu?!"

Kini Brian melanjutkan umpatannya dengan membabi buta, yang entah kenapa di mata Alit terlihat sangat keren. Mungkin dia salah satu korban film-film yang sering menampilkan tokoh badboy di dalamnya. Dan memang enggak bisa dipungkiri bahwa tokoh badboy di film-film terlihat lebih menawan dan menantang dibanding tokoh baik-baik yang kalem.

Padahal dulu Alit termasuk ke dalam jajaran orang yang heran dengan cewek-cewek yang suka dengan badboy. Dia enggak habis pikir, kenapa ada orang yang menganggap sisi buruk manusia menjadi poin plus? Bukannya menghindari cowok brengsek, tapi malah dipuja-puja?

Dan sekarang ... apakah ini yang dinamakan karma? Sial. Alit baru saja mengagumi seorang badboy yang dia benci mati-matian selama beberapa tahun terakhir!

"Data mana yang dia bilang enggak relevan? Itu semuanya udah gue cek satu per satu. Semuanya valid. Penjelasan di setiap datanya juga udah gue terangin pas meeting minggu lalu. Kenapa bisa ditolak proposalnya? .... Nggak bisa gitu dong! Perjanjiannya dari awal enggak kayak gitu!"

Alit enggak menyangka di antara banyaknya ekspresi ganteng Brian, melihatnya membahas pekerjaan dengan raut serius begini adalah juara umum ekspresi paling seksi dan gateng yang pernah Alit lihat.

"Ini proyeknya udah mundur lebih dari tiga minggu dari rencana cuma gara-gara Pak Ismail. Padahal semuanya udah sesuai sama prosedur, dan udah di-approve Pak Rocky. Harusnya lo tuh jangan iya-iya doang. Bisa-bisanya lo disuruh ubah data sebanyak itu tapi langsung ngeiyain? Lo tuh paham nggak sebenarnya isi proposal yang kita siapin kemarin apa?"

"Ya kalau paham, lo enggak akan asal iya-iya aja dong! Harusnya lo tahu kalau semua data yang kita siapin itu valid dan bisa dibuktikan kebenarannya. Kenapa lo enggak ngebantah?"

Melihat bagaimana urat di sekitar leher Brian yang menegang, tampaknya masalahnya sangat serius. Kemudian pria itu berjalan ke sebuah ruangan yang terletak tidak jauh dari ruang tengah, masih dengan tangan kanan memegangi ponsel di telinga, sementara tangan kiri dimasukkan ke kantong celana pendeknya.

"Ya karena lo selalu enggak enakan gitu, makanya Pak Ismail protesnya ke elo. Enggak ke gue. Coba aja kalau ngomongnya ke gue, enggak akan berani dia nyuruh-nyuruh ganti data. Mau sampai pagi juga bakal gue ladenin debat sama dia."

Brian enggak menutup rapat pintu ruangan itu, sehingga Alit masih bisa mendengar suaranya, yang makin lama makin meninggi.

Sampai makanan di piring Alit habis, masih terdengar suara Brian mengomel. Sambil menunggu Brian selesai telepon, Alit mencuci semua piring—termasuk piring bekas makan Brian.

Sekarang Alit harus pulang. Dia baru sadar kalau saat ini masih pakai piyama dengan rambut acak-acakan. Sangat berbeda dengan penampilan Brian yang meski masih menggunakan baju rumahan, tampak sudah segar dan berganti baju.

Dengan langkah takut-takut, Alit mendekati ruangan tempat di mana Brian berada. Dari luar masih terdengar pria itu mengomel panjang. Dan sepertinya enggak akan selesai dalam beberapa menit ke depan. Alit sudah menunggu satu jam sejak tadi selesai makan, tapi tidak ada tanda-tanda bakal selesai. Jadi, enggak papa kan, kalau Alit menyela sebentar untuk pamitan?

Meski dia masih suka gengsi untuk menghadapi Brian, dia masih punya basic manner untuk berpamitan dulu sebelum pulang dari rumah orang.

Alit mengetuk pintunya beberapa kali, yang langsung menjeda omelan panjang Brian.

"Masuk, Lit." Suara itu terdengar lebih ramah ketimbang omelan Brian sebelumnya.

Ia pun menguak pintu lebih lebar dan langsung menemukan sebuah ruang kerja yang cukup luas, sepertinya ukurannya sama dengan ukuran kamar utama. Di bagian sisi kanan terdapat meja kerja besar yang sedang ditempati Brian. Hampir di semua dinding ditutupi oleh rak dan lemari besar yang berisi beaneka ragam pajangan, lego, dan buku-buku.

Dan yang membuat Alit memekik tertahan, ketika ia mendapati sebuah grand piano hitam bermodel classic yang sepertinya keluaran tahun 90-an.

"Sebentar ya, Lit," ucap Brian dengan gerak tangan mempersilakan Alit masuk. Lalu melanjutkan omelannya. "Ya menurut lo aja? Lo udah ganggu quality time gue sama cewek gue! Gue enggak mau tau, lo yang kelarin semuanya, sesuai yang dimau Pak Ismail. Besok Senin, proposal barunya harus udah kelar direvisi, biar proyeknya enggak molor makin lama."

Langkah Alit yang sedang mendekati grand piano tersebut dengan penuh kekaguman, langsung terhenti ketika mendengar kata 'cewek gue' keluar dari mulut Brian dengan begitu lancar.

Meski Alit sudah setuju akan memberikan kesempatan pada Brian, rasanya tetap saja aneh ketika menyebut hubungan mereka sebagai pacaran. Alit menggeleng sendiri. Enggak, enggak. Dia enggak mau melabeli hubungan ini sebagai pacaran dalam waktu secepat ini. Ia harus tetap membatasi dirinya, dan enggak boleh secepat itu luluh.

Ah, sial. Sepertinya sudah terlambat untuk denial, karena ... sekarang seluruh tubuh Alit sudah terlanjur salah tingkah cuma karena dua kata itu.

Cewek. Gue.

Astaga .... Kenapa sih, Alit harus punya hati serapuh ini?

Untungnya Brian masih asyik dengan pembicaraannya di telepon, sehingga Alit enggak perlu menutupi wajahnya yang pasti sudah semerah tomat. Ia pun melanjutkan langkahnya untuk semakin dekat dengan grand piano tersebut.

Sungguh di antara banyaknya kelebihan yang bisa dimiliki oleh seorang pria, Alit enggak menyangka bermain piano juga menjadi kelebihan Brian. Enggak butuh waktu lama untuk membuat taman bunga di hatinya bermekaran.

"Kamu bisa main piano?" tanya Brian ketika Alit sudah duduk di piano bench.

"Kamu bisa?" Alit malah balik bertanya. Pandangannya sempat melirik ke kedua tangan Brian yang kini berkacak pinggang di dekatnya. Jadi, teleponnya sudah selesai?

Brian mendengkus. "Menurutmu, ada piano di sini cuma buat pajangan?!"

Alit tertawa kecil, lalu membuka penutupnya dengan sangat perlahan. Melalui sorot matanya dia minta izin pada Brian untuk menggunakannya. Sebuah izin yang terlambat, karena Alit bahkan sudah lebih dulu menekan tuts-nya satu per satu sebelum Brian memberikan respon.

"Dulu tuh waktu SMP aku punya temen, namanya Shania. Dia tajir banget dan punya piano di rumahnya. Setiap sore Mama sama Papanya datengin guru les piano buat ngajarin dia. Dan sebenarnya dia tuh nggak minat sama musik sama sekali. Terus ngajak aku buat ikutan les juga, biar dia enggak gampang bosen. Akhirnya malah aku yang lebih banyak belajar sama guru lesnya, sedangkan Shania asyik baca novel di ruang tengah." Cerita Alit mulai mengalir sembari jarinya bergerak memainkan sebuah lagu yang sudah dia hafal di luar kepala.

"River Flows in You?" Brian tersenyum lebar sambil memaksakan duduk di piano bench, membuat tubuh Alit sedikit bergeser.

"Ini lagu pertama yang aku hafalin. Dari kecil aku tuh terobsesi sama Disney Princess. Terus setiap kali ngeliat orang main piano tuh anggun banget gitu keliatannya. Bikin aku ngebayangin jadi putri kerajaan terus bisa main piano di tengah istana. Sayangnya itu cuman mimpi anak SD yang enggak mungkin bisa terwujud, setelah aku tahu kalau les piano tuh mahal banget. Aku nggak mau ngerepotin Bunda. Makanya pas Shania ngasih aku kesempatan buat les piano gratis, aku happy banget. Aku beneran belajar sungguh-sungguh selama tiga bulan penuh."

"Emang di sekolah enggak ada eskul musik?"

"Ada. Tapi di SMP-ku waktu itu enggak ada piano sebagus yang ada di rumah Shania. Makanya dulu aku belajar mati-matian biar pas SMA bisa masuk sekolah favorit yang ada eskul musik dan punya grand piano."

"Terus?"

"Ya keterima dong. Mana dapet beasiswa juga. Soalnya aku baru tahu kalau sekolahnya mahal banget, aku enggak tega ngerepotin Bunda. Jadinya aku cari-cari beasiswa. Itu beasiswanya bukan yang gratis gitu sih, cuman potongan SPP berapa persen gitu. Tapi lumayan lah ya, sedikit ngeringanin beban Bunda sama Ayah. Dan aku jadi makin semangat sekolah kalau lagi ada jadwal eskul, karena bisa main piano."

"Keren banget!" Tangan Brian terulur untuk mengusap rambut Alit. Pria itu tersenyum sangat lebar yang kembali membuat Alit salting habis-habisan.

"Tapi sayangnya, setelah lulus SMA aku enggak bisa main piano lagi. Soalnya UKM musik di kampusku tuh lebih fokus ke band akustik gitu. Dan enggak punya grand piano. Entah udah berapa lama ya, aku enggak main piano?"

Brian semakin merapatkan tubuhnya pada Alit. Awalnya Alit masih bisa bergeser ke kiri agar tubuhnya enggak terlalu menempel dengan pria itu. Namun, kini tubuhnya sudah berada di paling pinggir bench, tidak bisa bergeser lagi. Tangan Alit mana mungkin bisa bergerak lagi kalau begini caranya. Yang ada dia sibuk menenangkan degub jantungnya yang norak.

Sungguh, dia heran sekali. Padahal semalaman sudah tidur bersama Brian, tapi kenapa reaksi jantungnya masih begini?!

"Selain lagunya Yiruma, bisa lagu apa lagi?" tanya Brian.

"Coldplay," jawab Alit dengan mantap. Meski sudah lama enggak memainkannya, dia yakin masih ingat, tanpa membaca partitur.

"Coba!"

"Kamu minggir dulu! Tanganku nggak bisa gerak kalau gini caranya!" keluh Alit sambil menyikut perut Brian.

Pria itu tertawa sambil beranjak dari bench, memberikan Alit ruang lebih leluasa untuk bergerak—dan bernapas. Karena jujur saja sejak Brian duduk di dekatnya, dia enggak bisa bernapas dengan leluasa.

Setelah mengambil jeda beberapa detik untuk menenangkan degub jantungnya, perlahan Alit menarikan jemarinya di atas tuts piano, memainkan lagu yang menjadi favoritnya sejak bertahun-tahun—bahkan sampai sekarang.

"My heart is yours.... It's you that I hold on to.... Yeah that's what I do.... And I know I was wrong ...."

Alit sempat terkejut beberapa detik ketika Brian berhasil mengenali alunan lagu yang Alit mainkan. Bahkan pria itu langsung bernyanyi mengikuti nada yang mengalun lembut.

Ya ampun .... Ini gimana caranya aku bisa tahan untuk enggak jatuh cinta, kalau Brian semanis ini?

"Kok berhenti?" Brian mengerutkan keningnya, ketika Alit tidak lagi melanjutkan permainannya.

"Kamu jangan ikutan nyanyi ah!" gerutu Alit tanpa berani melirik ke arah Brian.

Tentu saja bukan karena suaranya jelek.

"Kenapa? Takut makin naksir?"

Memang bukan Brian namanya kalau tidak narsis. Tapi enggak salah juga sih. Dengan suara sebagus itu, wajar kalau dia bangga.

"Tau ah, aku mau pulang!" Alit langsung buru-buru beranjak dari sana, melangkah secepatnya ke arah pintu.

Sialnya, Brian bisa bergerak lebih cepat mengejarnya dan meraih satu tangannya.

"Ya ampun ... gemesnyaaa kalau salting!"

"Males ahhhhh...." Alit menghempaskan tangannya dari cekalan Brian, pura-pura kesal.

"Udah dibilangin, kalau salting tuh, jangan langsung kabur gini bisa nggak?"

"Siapa yang kabur? Dari tadi tuh aku emang mau pamit pulang!" Alit memberanikan diri mendongakkan kepala untuk menatap Brian, yang langsung bertautan dengan binar matanya pria itu.

"Kenapa udah mau pulang aja sih? Kan belum ciuman?" Kali ini Brian memegangi kedua lengan Alit dengan erat, mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan tubuh Alit agar tetap berdiri di depannya.

"Istighfarrrrrr!" Alit mengangkat tangannya untuk meraup wajah Brian dan mendorongnya mundur. Ya, dia memang selabil itu. Tadinya ia penasaran, bagaimana rasanya ciuman dengan Brian?

Namun, semuanya mendadak berubah usai mendengar Brian bernyanyi tadi. Dengan kondisi hati yang semakin jatuh pada pesona Brian, ia khawatir saat pertama kali merasakan ciuman itu, membuatnya langsung ketagihan. Tentu itu sangat berbahaya. Jadi, Alit harus memperkuat pertahanan dirinya, dan enggak boleh penasaran lebih jauh agar tidak terperosok semakin dalam.

Brian terbahak. "Tadi siapa yang tanya, kapan mau ciuman? Ayooo sekarang!"

"Ini ruang kerjamu jarang dibersihin ya? Pantesan, banyak setannya!" Untung saja Alit sudah makan, sehingga dia punya lebih banyak tenaga untuk melepaskan diri dari pegangan Brian. Tubuhnya bergerak lebih cepat mencapai pintu. Dengan napas berantakan, Alit keluar dari ruang kerja dan berseru singkat, "Balik dulu ya, makasih!"

Alit menoleh ke belakang dan mendapati Brian tetap berdiri di tempatnya. Membuat ia sedikit lega, dan memelankan langkahnya.

Di saat Alit sudah membuka pintu utama apartemen Brian, pria itu menyusul sampai ke foyer dengan senyum lebar. "Safaraz!"

Separuh badan Alit sudah berada di luar. Tapi ia tetap menoleh. "Apa?"

"My heart is yours ...."

"NGGAK USAH NORAK!"



***



Pokoknya passwordnya Alit kalau lagi salting tuh ada dua, "Malesss ahhhhh!" "Nggak usah norakkkkk!"

Eh, ada lagi tambahan, "Aku tuh nggak suka yaaa kalau kamu ...."

WKWKWKW yaaa begitulah love language bocil yang sedang memasuki quarter life crisis. Mungkin juga pada dasarnya Alit itu udah nyaman sama Brian, karena Brian udah lama dekat sama keluarganya. Jadi, dia bersikap dengan blak-blakan gitu ke Brian, kayak gimana sikapnya yang rese banget di depan keluarganya.

Soalnya kalau dia berhadapan sama temen atau orang luar gitu, pasti tetep ada rasa enggak enak, berusaha sopan, dan kalem. Pokoknya, Alit nih jago kandang, yang kalau di luar rumah, enggak bisa protes pas dia didholimi. tapi giliran di rumah atau di dalam zona nyamannya (dalam hal ini mencakup Brian), dia jadi orang yang mendholimi alias nyebelin banget WKWKWKW.

Yang penasaran kesepakatan apa di antara mereka dan apa aja yang terjadi semalam, bisa baca Additional Part 17 ini yaa!

Btw kemarin tuh ada insiden Wattpad error, jadi aku update dari tanggal 15 gak ada notifnya sama sekali. Aku baru sadar 3 hari kemudian, kalau ternyata pada gak dapet notifnya, pantesan sepi amat. Dan pada gak tau kalau udah update🥲

Supaya hal ini gak terjadi lagi, mungkin kalian bisa follow Instagramku: liaraudrina. aku selalu kasih info update di sana, juga bagi-bagi voucher Karyakarsa.

Habis baca bab ini, bisa langsung baca POV Brian 3 yaa di sini. Yang mau kode vouchernya bisa cek Instagramku sekarang.


Terima kasih atas dukungannya.

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 200K 67
Highest Rank : # 3 on General Fiction base on rank # 1 on Prinsip 2018 base on tag # 4 on Romantic-comedy 19-3-19 base on tag "Jadi lo masih perawan...
47.7K 2.8K 27
Distance means nothing if you can handle your feelings
384 62 5
"Dai, lu punya uang satu koma dua miliar?" "Untuk apa uang sebanyak itu?" "Itu harga gue." "Hah?!" Arunika Isvara, seorang anak haram yang harus meng...
29.3K 3.1K 43
[Update setiap hari, sedang diperbarui] ✨[2] Golden Spoon Series.✨ "To living this life, we need something more. Of course money, people, connection...