Hello Shitty

By liaraaudrina

282K 36K 4.2K

Di antara banyaknya teman setongkrongan Kakaknya, kenapa harus Brian yang naksir Alit? Masalahnya, selain waj... More

1. Cinta Pertama Alit
2. Si Punya Banyak Muka
3. Tentang Perasaan yang Menggantung
4. Perusak Suasana
5. Sebuah Komitmen
6. Sebuah Janji
7. Cinta yang-tidak terlalu-kuat
8. Hati yang patah
9. Good Luck
10. Keajaiban Dunia yang Kesepuluh
POV Brian 1 - Someone From The Past
11. Gloomy Days
12: Zona Nyaman
POV Brian 2 - Sakit Jiwa
13. Homesick
14. Late Night Talking
15. What's Your Favorite Song?
17. A Hug
18. Sparks
19. Mengikis Keraguan
20. Take Your Time
21. Tahap Pertama
22. Tentang Rasa Takut
23. Alice in Wonderland
24. Pertemuan Tak Terduga
25. Yang Tersimpan di Masa Lalu
26. Kilau berlian yang menyilaukan
27. Munafik
28. Kebohongan Mana Lagi yang Harus Kupercaya?
29. Mixed Feeling
30. Rencana Brian
31. Explanation
32. Menggenggam Restu
33. Mengorek Informasi
34. You're On The Right Hand
35. Apa Itu Cemburu?
36. Adventure of A Lifetime
37. Birthday Gift
38. Hujan Dan Keras Kepalanya

16. Kejujuran

7.4K 1.1K 203
By liaraaudrina



"Males ah!" Alit mendorong tubuh Brian menjauh dengan sekuat tenaga. Rangkulan pria itu terlepas, lalu Alit maju dua langkah, menghindari tatapannya. "Kalau nyebelin kayak gini, aku mau pulang aja!"

"Iya, iya ... enggak deh!" Brian tertawa kecil, lalu mendekati Alit lagi. Kali ini tubuh Alit bergerak lebih cepat untuk menghindari tangannya yang bergerak ingin merangkul lagi. "Tapi aku serius sayang sama kamu, Lit."

Tanpa mengatakan apa-apa, Alit langsung berjalan cepat mencari celah menerobos kerumunan, menghindar sejauh mungkin dari Brian sambil susah payah menenangkan degub jantungnya yang berantakan. Sekarang yang sedang tampil adalah band pembuka, sehingga penontonnya belum terlalu heboh. Dan ternyata di bagian samping depan masih banyak space kosong.

"Safaraz ... astagaa! Mentang-mentang badannya kecil, cepet banget jalannya kayak belut sawah!" Baru lima menit Alit menenangkan diri, suara Brian di belakangnya terdengar. Napas pria itu tampak terengah-engah.

Alit menatap lurus ke panggung, berusaha mengabaikan keberadaan pria itu.

"Jangan tiba-tiba kabur gitu ah, kalau salting!"

Emosi Alit makin mendidih. Memang benar sih, dia salting. Tapi ... dia sungguhan enggak suka kalau Brian kumat lagi dengan mengeluarkan modus menyebalkan seperti ini, lalu meledekinya dengan besar kepala seolah Alit sangat mudah untuknya.

Ketika Alit memberikan kesempatan untuk membiarkan Brian ada di dekatnya, dia menikmati sisi hangat pria itu yang lembut, pengertian, menghargai privasinya dengan enggak banyak tanya, sabar dan selalu tenang. Dan ia paling enggak suka kalau Brian kembali pada mode default-nya, suka menebar pesona dan menggombal dengan seringai jahil seperti barusan.

Ah, pokoknya Alit kesal setengah mati. Kembali lagi ia layangkan lirikan tajam pada sosok yang berusaha membujuknya itu.

"Aku beneran males banget dengerin kamu gombal atau modus-modus kayak tadi. Kalau kamu gitu lagi, aku bakal pulang sendiri naik ojek online!" Alit memasang ekspresi seserius mungkin, meski debar jantungnya belum beraturan sampai sekarang. Bagaimana pun dia kesal, tetap saja ada sensasi aneh yang bergejolak di perutnya ketika mendengarkan gombalan sampah pria itu.

Siapa pun juga tahu kalau Alit ini terlalu mudah baper. Kalau dia membiarkan Brian terus merayunya seperti tadi lebih lama, bisa-bisa dia kehilangan kendali dan malah bergerak duluan untuk mencium bibir tipis itu.

Tuh, kan. Pikirannya benar-benar sudah enggak beres sekarang.

"Iya, deh, enggak lagi ...."

"Janji?" Masih dengan tampang sengitnya, Alit menyahut.

"Janji." Brian tersenyum lebar, kemudian hendak merangkul Alit, yang langsung ditolak.

"Enggak mau!"

Brian tampak menghela napas panjang. Lalu mengangguk kecil. "Okay, tapi jangan ke mana-mana lagi. Nanti kalau kamu ilang, enggak ada gantinya."

"Masnya tinggi banget, tiba-tiba nyelonong ke depan, ngalangin nih!" Baru sebentar mereka terdiam, Mbak-Mbak di belakang Brian menegurnya.

"Oh, iya, sori ya!" Lalu Brian menarik tangan Alit lembut. "Ayo Lit, ke tempat yang tadi aja, yang enggak terlalu sesak!"

"JANGAN PEGANG-PEGANG! ENGGAK MUHRIM!" Tanpa sadar, suara Alit terlalu keras, sampai orang-orang di sekitarnya menoleh.

Alit langsung mempercepat langkahnya, menghindari tatapan penasaran orang-orang dengan wajah memerah. Malu banget!

Sementara Brian berjalan dengan tenang sambil terkekeh. Menyadari kalau orang-orang di sekitarnya masih menaruh perhatian padanya, Brian memberikan klarifikasi. "Maaf ya, semuanya, bini gue kalau lagi ngambek emang suka gitu. Silakan dilanjut lagi nontonnya!"



***





Entah sudah berapa lama Alit tidak berada di tengah keramaian yang begitu padat seperti malam ini. Teriakan penonton yang begitu riuh, berhasil membuatnya ikut terbawa suasana, membuatnya lupa atas seluruh kegalauannya. Alit memang bukan penggemar dari semua artis yang tampil. Namun, hampir semua artis menyanyikan lagu populer—yang sering diputar di mana-mana—sehingga secara nggak langsung, Alit hafal semua lagunya, dan bisa ikut nyanyi bareng.

Sepanjang acara berlangsung, Alit sama sekali tidak menghiraukan keberadaan Brian. Pria itu berdiri tegak di sebelahnya seperti satpam. Dari ekor matanya, Alit bisa melihat Brian ikut bernyanyi. Namun, karena suara penonton di sekitarnya lebih kencang, ia tidak bisa mendengar suara Brian dengan jelas.

Jantung Alit berdegub begitu kencang ketika intro lagu Pilihanku dimainkan. Seluruh tubuhnya mendadak kaku, tidak mampu bergerak sedikit pun. Hah ... kenapa reaksi tubuhnya jadi begini sih?

Padahal Alit yakin, Brian mengatakan itu hanya untuk menggodanya. Pria itu pasti enggak benar-benar menyayanginya, apalagi sampai mau menembaknya pakai lagu itu. Oh, kalau itu betulan terjadi, pasti norak banget!

Alit langsung bergidik ngeri. Sampai lagu selesai, lidah Alit enggak mampu bergerak. Dia hafal lagunya dari awal sampai akhir, tapi enggak berani ikutan bernyanyi. Dan untungnya, Brian kembali pada mode kalem, enggak lagi modus-modus menyebalkan seperti tadi.

Barulah ketika mereka ingin keluar dari venue, Brian menggenggam tangannya erat. Alit berusaha melepaskan, yang mengundang tatapan tajam Brian. "Ini rame banget, Lit. Kamu bisa keseret arus, terus kegencet orang-orang, kalau enggak dipegangin."

Berhubung suasana hatinya sedang baik, Alit pun diam saja, membiarkan tangannya terus digenggam Brian sampai parkiran. Ketika mereka sudah di mobil pun, Alit masih diam. Brian tampak konsentrasi menghadapi kemacetan ketika keluar venue, sementara pikiran Alit masih terbawa euforia festival tadi dan bagaimana ia sangat menikmatinya. Sepertinya, Alit memang butuh sering-sering berada di festival musik untuk melepas penat. Meski sebenarnya Alit kurang suka berada di keramaian, keramaian tadi sama sekali tidak membuatnya terganggu.

Kembali lagi dia lihat foto dirinya yang diambil di dekat panggung, usai acara berakhir. Dia minta Brian yang memfotokan. Dan ketika Brian mencetuskan ingin foto bareng, Alit langsung menolak dengan jutek.

"Emang kenapa sih kalau foto bareng? Ini cuma foto, Lit!"

"Nggak mau, ah."

"Janji enggak akan aku upload di mana pun. Fotonya bakal aku keep buat diri sendiri." Pria itu terus membujuk seperti anak kecil yang minta dibelikan es krim oleh ibunya. "Kenapa sih kamu seenggakmau itu? Mumpung aku lagi ganteng-gantengnya lho ini!"

"Kita belum tentu bisa nonton ginian lagi 'kan, Lit?"

Dan akhirnya, Alit mengalah. Membiarkan Brian minta tolong seseorang untuk memfotokan mereka berdua dengan background panggung. Yang paling menyebalkan, Brian tiba-tiba merangkulnya. Alit sudah ingin menghempaskan tangan itu, tapi energi Brian lebih kuat.

"Senyum dong, Lit. Gini doang, bikin kamu salting banget ya?"

Sekarang, lihat hasil foto-fotonya. Muka Alit enggak ada satu pun yang bagus. Alit jadi kesal sekali melihat bagaimana ekspresinya dalam foto itu. Bahkan rasa salah tingkahnya di dalam foto itu bisa menembus layar. Membuat wajah Alit menghangat dan kembali merasakan bagaimana perutnya melilit saat foto itu diambil.

"Mau makan apa, Lit?" Pertanyaan Brian membuat Alit sadar kalau mobil sudah berada di tengah jalan raya, terbebas dari kemacetan saat keluar venue tadi.

"Apa aja."

"Sate taichan mau?"

"Mau."

Sepertinya Brian cuma basa-basi saat menanyakan pertanyaan tersebut. Pada dasarnya, pria itu memang sudah berniat mau makan sate taichan. Nyatanya, mobil Brian langsung berhenti di dekat warung sate yang lumayan terkenal. Bahkan tengah malam begini, pengunjung yang datang masih sangat ramai.

"Kamu tunggu sini aja dulu. Kalau enggak ada tempat, kita makan di mobil aja ya?" Tanpa menunggu respon Alit, Brian lebih dulu keluar dari mobil.

Pandangan Alit terus mengikuti pergerakan punggung Brian yang menjauh. Berbagai pertanyaan terus berputar di kepalanya. Memang mau denial dengan cara apa pun lagi, Alit enggak bisa memungkiri kalau keberadaan Brian di sekitarnya berhasil membuatnya merasa aman.

Lagi-lagi kebimbangan itu menyeruak. Kembali teringat ucapan Bintang beberapa waktu lalu yang mengingatkan dengan tegas bagaimana sifat Brian yang enggak sebaik kelihatannya. Langsung terbayang bagaimana kecewanya Bintang jika mengetahui apa yang dia lakukan sekarang.

Namun, di sisi lain, dia juga tidak ingin mundur.

"Penuh banget ternyata. Kita makan di mobil aja ya?" Pintu di sisi kemudi terbuka. Brian kembali duduk di tempatnya sambil menyambung kalimatnya. "Aku udah pesen. Nanti dianter ke sini sama Masnya."

Alit masih terdiam, menatap lamat-lamat paras di sebelahnya yang tampak menawan—seperti biasanya. Sejak dulu Alit enggak pernah membantah dalam hal ini. Ia pun diam-diam mengakui kalau Brian memang seganteng itu. Kesempurnaan parasnya ini bukan lagi soal selera. Tapi itu adalah hal mutlak yang enggak bisa dibantah siapa pun. Terlihat bagaimana keberadaannya—di mana pun itu—selalu menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.

Lalu apakah rasa nyaman Alit ini hanya karena soal paras?

Jelas tidak. Kalau cuma tentang paras, Alit enggak akan susah-susah menolak Brian sejak dulu. Sudah pasti sejak pertama kali Brian menggodanya, ia akan langsung menanggapinya dengan senang hati.

Masalahnya, yang Alit cari saat ini—ketika usianya sedang memasuki masa-masa membingungkan karena quarter life crisis—adalah hubungan jangka panjang. Orang yang tidak hanya bisa menjadi pacar, tapi juga menemaninya dalam segala hal sampai waktu yang sangat lama—selamanya. Dan apakah Brian bisa memenuhi itu?

"Happy nggak hari ini?"

Alit mengerjap. Sama sekali tidak menduga pertanyaan itu akan dia dengar. Alhasil, dia cuma membuka bibirnya, "Hah?"

"Seneng nggak?" Brian kembali mengulang pertanyaannya sambil memiringkan tubuhnya untuk sepenuhnya menghadap ke arahnya.

"Seneng," ujar Alit pelan.

Kening Brian mengernyit. "Kalau happy, kenapa mukamu malah kayak mau nangis gitu sih, Lit? Terharu?"

Buru-buru Alit menggeleng, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia juga tidak tahu kenapa, tiba-tiba dadanya kembali sesak. Alit sudah bilang kan, kalau selama empat bulan terakhir dia merasakan kegalauan enggak jelas? Ya seperti ini contohnya. Alit kurang bisa memberikan respon positif pada berbagai situasi. Bawaannya pengen nangis terus.

Ada masa di mana Alit menangis enam kali sehari dengan alasan berbeda-beda. Cuma melihat kucing jalan sendirian di trotoar saja, Alit bisa menangis sesenggukan. Lalu dia akan menangis lagi karena pekerjaannya yang enggak selesai-selesai. Belum juga tangisnya reda, dia akan menangis lebih kencang saat Bundanya tidak membalas pesannya yang dikirimkan satu jam lalu. Pokoknya, perasaan Alit belakangan ini seperti ibu hamil yang sangat sensitif.

Seandainya Alit pernah melakukan hal semacam itu, mungkin dia bakal periksa ke dokter kandungan betulan untuk memeriksakan kehamilan.

Ah, bahkan saking stresnya dia belakangan ini, menstruasinya jadi tidak teratur. Sudah hampir dua bulan dia tidak menstruasi. Saat masih di Yogyakarta, dia pernah memeriksakan ini ke dokter, dan seperti dugaannya selama ini, faktor utama yang membuat menstruasinya tidak teratur adalah stres. Dan sampai sekarang, Alit masih belum tahu apa yang mendasari semua perasaan tidak beraturan ini.

Kalau mengingat dugaan Bening waktu itu—yang katanya bisa saja Alit galau karena Brian hilang kabar selama tiga bulan—maka sekarang Alit bisa membantahnya dengan tegas. Jelas masalahnya bukan cuma karena Brian. Nyatanya, sekarang Brian ada di sebelahnya, memberikan perhatian penuh padanya, tapi kegalauan itu enggak juga hilang.

Dan Alit enggak setolol itu untuk meratapi kegalauan berlarut-larut cuma karena manusia enggak jelas yang kini duduk di sebelahnya ini.

Mungkin memang dia butuh hiburan lebih banyak. Karena meski kegalauannya nggak sepenuhnya hilang, perasaannya jadi sedikit lebih baik usai menikmati festival tadi.

"Besok kalau ada event kayak gini ... ajak aku lagi ya?" pinta Alit dengan penuh permohonan.

"Kamu suka musisi siapa aja sih, selain Coldplay sama Maliq? Biar aku catet sini!" Brian langsung bersemangat mengambil ponselnya.

"Mau aku share playlist Spotify-ku?"

Brian langsung mengangguk antusias, dan menyodorkan ponselnya. Alit langsung memelotot ketika melihat wallpaper ponsel Brian. "Ini apaan sih, maksudnya?"

Sementara Brian hanya menaikkan sebelah alisnya santai. "Apanya?"

"Wallpapermu!" desis Alit sengit. "Ngapain sih kamu pake foto ini? Ganti nggak?"

"Nggak mau." Meski Alit sudah berusaha memberikan tatapan setajam mungkin, Brian sama sekali tidak terusik dan tetap menyahut dengan santai.

Alit langsung bete setengah mati dan melemparkan ponsel Brian ke pangkuan pria itu. Baru juga dia antusias karena ada orang lain yang peduli dan ingin tahu selera musiknya. Mengingat sebagian besar pria yang mendekatinya, enggak terlalu peduli dengan selera musik Alit.

Namun, sekarang moodnya turun drastis karena melihat fotonya bersama Brian saat menjadi bridesmaid dan groomsman di pernikahan Bintang, terpasang sebagai wallpaper ponsel Brian. Foto itu diambil oleh fotografer untukmendokumentasikan setiap pasangan pengiring pengantin. Alit memakai kebaya dan rambutnya disanggul rapi, lengkap dengan kain jarik yang menambah keanggunannya. Sementara Brian memakai blankon dan beskap. Keduanya berdiri bersisian dengan bahu nyaris menempel, tersenyum ke arah kamera. Salah. Maksudnya Alit yang tersenyum ke arah kamera, sedangkan Brian tersenyum ke arahnya.

Alit juga punya foto itu di ponselnya, dikirimkan oleh Alanda. Kata Alanda, usai mengirimkan fotonya ke Alit, wanita itu langsung menghapus fotonya dari file drive yang dikirimkan fotografernya, agar Bintang enggak lihat. Karena emosi Bintang pasti akan meradang lagi kalau melihat bagaimana foto-foto mesra mereka. Yang saat itu, Alit sedang melancarkan rencana untuk bersikap manis pada Brian, sehingga dia tidak masalah ketika Brian merangkulnya erat, melingkarkan tangannya di pinggang, bahkan menempelkan kedua pelipis mereka. Yang setelah dilihat-lihat lagi, kenapa jadinya seperti foto pre-wedding?!

Dan bisa-bisanya Brian menggunakan foto itu sebagai wallpapernya?

"Kenapa sih emangnya? Ini hapeku lho, Lit. Suka-suka aku dong, mau pakai wallpaper apa?"

"Kamu kira, dengan pakai foto itu buat wallpaper pas lagi jalan sama aku, aku bakal baper dan menganggap kamu betulan serius sama aku?! Enggak ya! Nggak usah ngimpi. Aku nggak akan baper semudah itu! Nggak perlu deh, kamu repot-repot ganti wallpaper setiap mau ketemu aku. Aku yakin kalau kamu mau ketemu sama cewek lain, bakal langsung ganti wallpaper, kan? Apalagi ... sekarang IOS 16 kan bisa gonta-ganti wallpaper dengan lebih mudah."

Pria itu tidak terlihat tersinggung sama sekali, malah mengulung senyum. "Nih, kamu cek sendiri. Aku enggak ada setting wallpaper macem-macem. Cuma satu ini. Lagian, aku pakai wallpaper ini juga buat diriku sendiri. Enggak ada niatan buat bikin kamu baper. Tapi kalau kamu udah terlanjur baper, ya aku bisa apa, selain tanggung jawab dan macarin kamu?"

"AKU ENGGAK BAPER!"

"Enggak baper tapi salting?"

Alit langsung memukuli Brian dengan membabi-buta, melampiaskan seluruh kekesalannya. Sampai akhirnya Brian menahan kedua tangannya ketika merasakan pukulan Alit makin kencang.

"Bisa nggak sih, kamu tuh kalo salting, tingkahnya yang normal gitu? Senyum-senyum aja kek, apa gimana lah, yang manis? Tadi kamu langsung kabur, sekarang mukul-mukul gini. Cobalah latihan mengendalikan emosi biar kayak cewek-cewek anggun gitu lho, Lit. Jangan bar-bar gini ah!"

"Apa? Kamu sukanya sama cewek yang anggun, lemah lembut dan murah senyum? Ya sana, jalan sama kasir Indomaret! Aku mau pulang aja naik ojol!"

Brian mengeratkan genggaman pada kedua tangan Alit, ketika perempuan itu memberontak. Tatapannya pun terlihat lebih lembut, pun dengan suaranya. "Enggak, enggak. Aku suka cewek yang gengsian kayak gini kok. Malah lebih gemesin. Yang penting, bisa nggak, kalau kesel nggak usah ngancem-ngancem mau pulang sendiri naik ojol?"

"Ganti dulu wallpapermu!" Alit kembali pada topik utama yang menyebabkan dia kesal.

Pada dasarnya, kekesalan Alit ini tertuju untuk dirinya sendiri, yang langsung baper saat melihat foto dirinya menjadi wallpaper ponsel pria itu. Namun, bukan Alit namanya kalau tidak denial dan gengsi.

"Kamu siapa, ngatur-ngatur aku?" tantang Brian dengan kedua tangan yang masih memegangi pergelangan tangan Alit.

"Aku Alit." Jawaban Alit membuat tawa Brian pecah.

"Iya, aku tahu kamu Alit. Tapi ... hubungan kita apa, sampai kamu ngatur-ngatur aku gini?"

Kini Alit cuma mendengkus. Malas meladeni pertanyaan Brian yang sudah jelas akan ke mana arahnya.

"Jadi mau share playlist Spotify nggak? Nama akun Spotify-mu apa? Sini biar aku follow." Brian yang menyadari kalau Alit betulan kesal, langsung mengalihkan topik. Ibu jarinya mengelusi punggung tangan Alit lembut.

Sedangkan Alit cuma menggeleng. "Aku masih mau sabar di sini—enggak pulang sendiri naik ojol—karena aku laper dan mau makan taichan. Bukan karena yang lain-lain, jadi kamu nggak usah geer."

"Okay."

"Aku beneran enggak suka kalau kamu mulai rese kayak gini. Emang enggak bisa ya, kita temenan aja bahas sesuatu yang santai, tanpa modus-modus nyebelin gitu? Kamu bisa gombalin semua cewek di dunia ini, kecuali aku."

"Enggak bisa." Wajah Brian tampak serius. "Aku enggak mau temenan. Dan aku enggak suka gombal ke siapa pun—ke orang lain atau pun ke kamu."

"Tapi dari tadi pas sebelum Maliq tampil kamu gombalin aku terus! Sampai sekarang nih ... apa coba namanya kalau bukan gombal?" omel Alit sengit.

"Ini namanya kejujuran, Lit."

"Aku enggak percaya."

"Karena kamu enggak pernah mencoba untuk percaya. Kamu langsung menolak, bahkan sebelum mendengarkan apa pun dari aku."

"Emangnya, ada orang yang bisa percaya sama kamu?"

Alit baru sadar kalau pertanyaannya sangat menyinggung, ketika melihat raut Brian yang langsung berubah keruh. Pun dengan kedua tangan pria itu yang melepaskan genggaman pada tangannya.

Ada hening cukup lama di antara mereka. Keduanya saling menghindari tatapan masing-masing, meski diam-diam Alit berusaha mencuri pandang. Perasaan bersalah kembali memenuhi dadanya. Namun, Alit enggak tahu harus bilang apa?

Karena dia memang benar, kan? Siapa yang bisa percaya dengan omongan laki-laki yang pernah selingkuh?

Dan suara hati Alit dibenarkan oleh ucapan Brian yang terdengar sangat dingin. "Iya, ya, Lit. Bener juga. Enggak mungkin ada yang bisa percaya aku, ya? You deserve better, and I don't deserve anyone."







***





Netizen ... waktu dan tempat dipersilakan ....

Continue Reading

You'll Also Like

16.9M 750K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
1.2K 96 22
Daniella Jenar sama sekali bukan tipe perempuan impian seorang Meraki Abiyyu. Rasanya tidak lagi bisa terhitung putaran bola mata tanda muak yang lel...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3M 212K 37
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
646K 69.1K 36
Shortlist Winner AIFIL - Reading list oleh @WattpadChicklitID (Mei 2023) (TELAH TERBIT) Ini tentang Janitra Winaya Priska yang selalu menjalani hidup...