Hello Shitty

By liaraaudrina

277K 35.6K 4.2K

Di antara banyaknya teman setongkrongan Kakaknya, kenapa harus Brian yang naksir Alit? Masalahnya, selain waj... More

1. Cinta Pertama Alit
2. Si Punya Banyak Muka
3. Tentang Perasaan yang Menggantung
4. Perusak Suasana
5. Sebuah Komitmen
6. Sebuah Janji
7. Cinta yang-tidak terlalu-kuat
8. Hati yang patah
9. Good Luck
10. Keajaiban Dunia yang Kesepuluh
POV Brian 1 - Someone From The Past
11. Gloomy Days
12: Zona Nyaman
POV Brian 2 - Sakit Jiwa
14. Late Night Talking
15. What's Your Favorite Song?
16. Kejujuran
17. A Hug
18. Sparks
19. Mengikis Keraguan
20. Take Your Time
21. Tahap Pertama
22. Tentang Rasa Takut
23. Alice in Wonderland
24. Pertemuan Tak Terduga
25. Yang Tersimpan di Masa Lalu
26. Kilau berlian yang menyilaukan
27. Munafik
28. Kebohongan Mana Lagi yang Harus Kupercaya?
29. Mixed Feeling
30. Rencana Brian
31. Explanation
32. Menggenggam Restu
33. Mengorek Informasi
34. You're On The Right Hand
35. Apa Itu Cemburu?
36. Adventure of A Lifetime
37. Birthday Gift
38. Hujan Dan Keras Kepalanya

13. Homesick

6.9K 1.1K 214
By liaraaudrina

Seharusnya Alit enggak mengeluh. Ini pilihannya sendiri. Sejak awal dia juga sudah tahu bagaimana loadpekerjaannya sekarang yang jauh lebih banyak dibanding pekerjaannya di kantor lama. Namun, ternyata semuanya jauh lebih sulit dibanding dugaannya.

Sudah dua minggu dia bekerja di kantor baru. Kantornya itu baru saja mendapatkan kontrak kerjasama dengan klien besar, sehingga membutuhkan banyak karyawan tambahan. Jadi, di hari pertama Alit masuk, dia langsung diberikan banyak pekerjaan. Dan langsung mengikuti beberapa meeting dengan klien.

Saking sibuknya, sebagian barang di apartemennya ada yang belum dibongkar. Bahkan sebagian besar baju-bajunya masih ada di koper, belum sempat ditata di lemari. Masuk minggu kedua bekerja, atasannya sudah memintanya untuk lembur usai memberikan banyak revisi desain yang membuat kepala Alit serasa mau pecah.

Lagi-lagi dugaan Alit salah. Keluar dari zona nyaman bukannya membuat dia mendapatkan suasana baru dan semangat baru, tapi malah membuat kepalanya makin stres.

Selama dua minggu terakhir, dia seperti zombie yang jiwanya mati. Kehidupannya cuma berkutat di apartemen dan kantor. Begitu pulang dari kantor—yang seringnya sudah di atas pukul delapan malam, dia langsung pulang ke apartemen. Kalau sempat dia akan mampir membeli nasi goreng di dekat apartemennya. Tapi seringnya sih, dia melewatkan makan malam. Langsung mandi, rebahan di kasur sambil menangis tersedu-sedu, sampai kelelahan dan ketiduran.

Pagi harinya, ia akan terbangun dengan mata bengkak. Dia butuh waktu dua puluh menit untuk mengompres matanya dengan sendok dingin. Stok makanan di kulkasnya mulai menipis, karena belum sempat belanja. Makanan yang tersisa sekarang adalah hasil belanjaan dengan Bunda dan Ayahnya dua minggu lalu saat membantunya pindahan. Di samping botol air mineral dingin, ada banyak sendok yang Alit letakkan untuk mengompres matanya setiap hari.

Untungnya, cara itu lumayan efektif, sehingga Alit bisa bekerja dengan penampilan yang fresh. Kemampuan makeupnya meningkat secara alami, berkat dia sering melatih skill makeupnya di tempat darurat, seperti makeup di dalam taksi, di toilet kantor, bahkan dia pernah memakai blush on dan lipstik di atas ojek online, saking buru-burunya.

Dalam waktu dua minggu, kehidupan nyaman Alit berubah drastis. Dan itu malah membuat kegalauannya makin menjadi-jadi. Belum lagi homesick yang dia alami. Rasanya setiap hari dia kangen Bunda dan Ayah. Dia betulan hampir setiap hari mengirim pesan pada Bunda dan Ayah, mengabarkan apa saja yang dia lalui setiap hari. Namun, tetap saja rasanya berbeda, karena Bunda dan Ayah enggak bisa membalas dengan cepat, mengingat mereka juga punya kesibukan sendiri-sendiri.

Saat weekend, Alit menghabiskan waktunya dengan rebahan seharian, sambil teleponan dengan Bunda dan Ayahnya. Itu pun, enggak tentu. Kadang Bunda dan Ayah ada acara di luar, sehingga tidak bisa menerima telepon Alit. Kalau sedang begitu, kesedihan Alit makin berlipat-lipat rasanya. Dia benar-benar kesepian, karena enggak punya temansatu pun yang bisa diajak ngobrol.

Alit belum terlalu akrab dengan teman kantornya. Mereka semua lebih tua dari Alit, dan obrolannya kurang nyambung. Kebanyakan mereka penyuka Kpop yang mana Alit enggak tahu apa pun soal itu. Satu-satunya artist koreayang dia tahu cuma Lee Min Ho. Itu pun, dia enggak tahu orangnya yang mana.

Jadilah hidup Alit makin mengenaskan sekarang. Entah sudah berapa kali dia menyesali keputusannya yang sok-sokan mau keluar dari zona nyaman. Nyatanya, hidupnya malah makin berantakan. Dia sungguh tidak berhasil menemukan satu pun alasan—sesederhana apa pun—untuk bersemangat dalam menjalani hidup. Bahkan uang pun terasa tidak terlalu berharga buat Alit. Makanan seenak apa pun yang berseliweran di sekitarnya juga enggak berhasil meningkatkan selera makannya.

Alit sungguh tidak tahu apa yang dia inginkan sekarang.

"Hari ini kamu agendanya mau ngapain, Sayang?" tanya Ayah melalui telepon, yang Alit nyalakan mode load speaker, sehingga dia meletakkan ponselnya di kasur, dan ia masih rebahan sambil memeluk guling.

Beruntung, pagi ini Ayahnya bisa menerima telepon Alit, yang sedikit mengobati homesick Alit sejak kemarin.

"Beresin lemari."

Lalu terdengar omelan Bunda. "Ya ampun, udah berapa minggu coba, kamu masih belum ngerapihin lemari? Tuh kan, apa Bunda bilang? Selama ini kamu ngelipet selimut aja suka enggak rapi. Gimana mau ngerapihin lemari sendiri? Selalu Bunda lho, yang selama ini ngeberesin lemari kamu. Ya ampun, Alit.... Kamu tuh...."

Selanjutnya Alit enggak terlalu menyimak omelan Bundanya karena dia kembali menangis. Kegalauannya semakin parah seiring berjalannya waktu. Dan omelan Bunda hanya membuat dia ingin pulang sekarang juga. Lalu kembali menyesali pilihan yang membawanya pada situasi sesulit ini.

Sepanjang hidupnya selama 24 tahun, ini pertama kalinya Alit tinggal berjauhan dari Ayah dan Bunda. Tadinya, ia pikir rasanya enggak akan menyedihkan ini. Namun, ternyata rasanya berat sekali bagi Alit yang sejak kecil sudah terbiasa dijadikan sebagai pusat perhatian oleh orangtua dan Kakaknya.

Air matanya kembali meleleh, ketika kepalanya memutar ulang satu per satu momen menyenangkan saat dia di rumah. Biasanya mau seberat apa pun hari yang Alit jalani, ia bisa menghibur diri dengan cepat saat bercerita pada Ayah dan Bundanya. Ayahnya punya seribu satu cara untuk memanjakan Alit, yang membuatnya tidak pernah merasa sendirian.

Tidak tahan menangis dalam diam, Alit pun menyudahi panggilan dengan alasan ingin segera beres-beres. Begitu memastikan telepon sudah terputus, ia langsung membiarkan tangisnya pecah agar sesak di dadanya segera reda.

Entah sudah berapa lama Alit menangis, karena dia malah ketiduran lagi. Ketika mengerjapkan matanya yang berat, langit sudah kemerahan. Dan ia baru sadar kalau belum makan seharian. Bahkan sejak semalam dia belum makan. Hari Jum'at kemarin, pekerjaannya lumayan banyak yang perlu direvisi, sehingga ia lembur sampai pukul sembilan. Atasannya cuma mentraktir segelas kopi, tidak sempat membelikan makanan. Dan begitu sampai di apartemen, dia sudah tidak punya tenaga untuk makan.

Satu-satunya kelebihan dari kantornya sekarang, setiap jam lemburnya dibayar. Sehingga kerja keras Alit enggak sia-sia. Jam kerjanya juga jelas. Meski ya ... tetap saja ada beberapa klien menyebalkan yang minta hasil desainnya di akhir pekan, tanpa tahu waktu. Contohnya seperti sekarang.

Sungguh, mendapatkan pesan dari klien yang membahas pekerjaan adalah hal terakhir yang ingin ia dapatkan di hari Sabtunya yang membosankan ini. Tapi, mau bagaimana lagi, Alit masih karyawan baru yang belum punya nyali untuk mengabaikan klien di akhir pekan. Ditambah lagi, dia tidak sengaja membuka pesannya sehingga tandanya berubah menjadi terbaca. Mau enggak mau ia harus membalas pesan tersebut.

Dengan sisa-sisa energinya, Alit bangkit dari kasur. Kepalanya berputar cepat menyusun kalimat untuk membalas pesan kliennya. Setelah menghabiskan waktu setengah jam untuk berpikir, dia pun memutuskan untuk keluar saja. Mencari makan—entah apa saja yang ia temui nanti, lalu mampir ke coffee shop untuk melanjutkan pekerjaannya yang semalam belum selesai.

Berhubung enggak akan bertemu dengan siapa-siapa, Alit malas menghabiskan waktu untuk mengompres matanya yang sembab. Dia juga tidak memakai makeup, hanya lipbalm tanpa warna agar bibirnya enggak kering. Bisa mandi dan keramas saja sudah bagus. Kali ini dia enggak mau menghabiskan energinya untuk hal-hal yang enggak terlalu penting.

Ketika melihat pantulan wajahnya di cermin yang ada di lift, dia baru sadar kalau wajahnya sangat sembab dan pucat. Tapi tidak masalah. Orang-orang juga tidak akan sepeduli itu padanya.

"Mau ke mana?" Alit bisa mendengar dengan jelas pertanyaan itu dari balik tubuhnya. Namun, karena di dalam lift ini ada beberapa orang, Alit rasa pertanyaan itu tidak diajukan untuknya. Dia melirik tombol lobi yang sudah menyala, sehingga ia tidak perlu menekan apa-apa lagi.

Ada sebuah mal di kawasan apartemennya, yang belum pernah Alit kunjungi selama dua minggu di sini. Alit pikir enggak ada salahnya coba ke sana. Siapa tahu setelah melihat banyak pilihan makanan, selera makannya kembali pulih. Dia juga bisa sekalian groceries shopping sebelum pulang nanti.

"Alit, kamu mau ke mana?"

Ia keasyikan melamun, sehingga tidak sadar kalau lift sudah terbuka. Langkahnya pun keluar dari lift, sebelum kemudian menoleh, untuk mencari tahu siapa yang memanggil namanya tadi. Apa ia salah dengar? Atau sedang berhalusinasi?

Tubuhnya langsung menegang ketika mendepati Brian berdiri di belakangnya dengan memiringkan kepala, menatapnya penuh selidik.

Selain enggak suka dengan pesan klien, bertemu dengan Brian di tengah kondisi terpuruknya ini adalah hal yang sangat Alit hindari. Dia hanya menggeleng, berharap dengan itu, Brian langsung paham, kalau ia sedang tidak ingin diajak ngomong. Kemudian ia mempercepat langkahnya keluar dari lobi, berusaha memperlebar jarak di antara mereka, meski itu enggak signifikan, mengingat kaki Brian jauh lebih panjang dari kakinya.

Usai Bintang mengingatkan Bunda dengan lebih serius hari itu, Bunda langsung minta maaf pada Kakaknya, dan berjanji akan bilang ke Brian agar tidak mengganggu Alit selama di Jakarta, meski apartemen mereka dekat.

Entah bagaimana cara Bunda memperingatkan Brian, yang jelas itu manjur sekali. Selama dua minggu dia tinggal di sini, tidak pernah sekalipun ia bertemu dengan Brian. Ia pun sibuk dengan pekerjaannya jadi enggak sempat memikirkan pria itu.

Lalu secara tiba-tiba, pria itu ada di hadapannya sekarang. Meski cuma sebentar, Alit masih ingat bagaimana Brian memindai penampilannya tadi, yang hanya memakai kaos fit body dengan balutan cardigan hitam, dan celana pendek setengah lutut. Juga sandal jepit pink yang selama tiga bulan terakhir selalu dia pakai ke mana-mana.

Jangan lupakan wajah Alit yang sembab dan pucat karena enggak memakai makeup. Pasti kerutan di kening Brian muncul karena Alit lebih terlihat seperti zombie ketimbang manusia yang masih bisa bernapas.

"Kamu lagi sakit, Lit?" Pertanyaan itu terdengar sangat khawatir, bersamaan dengan derap langkah mengikutinya. Tidak ada kesan menyebalkan atau nada meledek yang biasanya pria itu keluarkan.

Lagi-lagi Alit cuma menggeleng, tanpa berniat menoleh atau menghentikan langkah sama sekali.

Agar tidak terlalu tegang, Alit berjalan sambil mengecek ponselnya, berusaha mendistraksi kepalanya yang sejak tadi mengagumi penampilan Brian. Mungkin karena sudah lama sekali mereka tidak bertemu. Apakah sudah lebih dari empat bulan?

Ah, sialan sekali ya, pria itu. Padahal cuma empat bulan, tapi kenapa penampilannya bisa berubah menjadi semenawan itu? Padahal pria itu hanya memakai pakaian kasual yang biasa dia pakai saat bertemu dengannya di Yogyakarta. Namun, kenapa terlihat sangat berbeda?

Oke, persetan dengan penampilan Brian. Ada yang lebih penting untuk dipikirkan sekarang. Alit menemukan beberapa chat dari kliennya, yang tiba-tiba memberikan ide lain yang sangat berbeda dari kesepakatan awal. Padahal Alit sudah mengerjakan desainnya 70%. Tapi kliennya malah meminta desain baru yang sangat berbeda. Kepalanya makin terasa pusing ketika membaca detail perubahan yang dituliskan kliennya.

Harus banget ngirimnya pas malam minggu begini?

Ia menghela napas panjang. Kalau begini, pekerjaannya jadi makin banyak. Berarti nanti malam dia harus begadang lagi untuk membuat desain baru yang diminta kliennya. Kapan Alit bisa istirahat kalau begini caranya?

Pikirannya yang bertumpukan, membuat matanya tidak bisa fokus. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, ketika merasakan pandangannya mulai berkunang-kunang. Alit masih memaksakan kakinya melangkah, melewati trotoar yang lumayan ramai, untuk mencapai mal yang cuma 300 meter dari gedung apartemennya.

Namun, semakin lama tubuhnya terasa makin lemas. Kakinya tidak bisa melangkah lagi. Bahkan untuk menopang tubuhnya saja tidak mampu. Satu-satunya yang ia lakukan sekarang adalah mencengkeram totebag-nya dengan lebih erat, karena seluruh harta bendanya ada di dalam sini. Kalau totebag ini jatuh, lalu laptop dan iPad-nya rusak, maka dunianya akan benar-benar kiamat.

"Alit!" Sebuah tangan meraih tubuhnya yang hampir oleng. "Hey, kamu kenapa?"

Selanjutnya Alit tidak bisa lagi mendengar apa pun. Pandangannya sudah gelap. Terakhir yang ia rasakan, tubuhnya mendarat pada sesuatu yang hangat. Seperti ... pelukan seseorang yang sangat ia rindukan?





***





"Kapan terakhir kali kamu makan?"

Pertanyaan itu langsung terdengar ketika Alit mengerjapkan matanya, mengumpulkan kesadaran. Dari gorden biru yang mengelilingi ranjangnya, sepertinya sekarang ia berada di UGD rumah sakit. Pandangannya langsung mendapati sosok yang terakhir kali dia temui sebelum pingsan, tengah duduk di kursi menghadapnya. Namun, dia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain, enggan menatap pria itu lebih dari lima detik.

"Lit?" Suara pria itu terdengar mendesak. "Bisa-bisanya udah jam segini, tapi kamu belum makan seharian?"

Alit cuma terdiam. Ia merasakan tangannya di infus. Namun, kepalanya sudah tidak sepusing tadi. Menyadari sekarang ia berada di tempat yang tepat, membuatnya sedikit lega. Entah apa yang akan terjadi semisal dia terkapar di trotoar, lalu yang menolongnya adalah orang asing yang bisa saja melakukan hal buruk padanya. Seperti merampok laptop dan iPad-nya?

Hah, dia baru ingat kalau belum sempat mengirimkan revisi desain yang diminta kliennya. Belum juga membalas pesan dari klien lain yang tiba-tiba memberikan ide lain.

"Hapeku mana?" tanya Alit dengan suara serak.

"Mau ngabarin Bunda?"

"ENGGAK, JANGAN KASIH TAU BUNDA SAMA AYAH!" Alit mengerahkan seluruh energinya yang tersisa untuk berseru. Mata Alit mengerjap penuh khawatir. "Kamu belum kasih tau Bunda sama Ayah, kan?"

Ketika Brian menggeleng, Alit langsung menghela napas lega.

"Terus, kamu mau ngapain nyariin hape?"

"Mau bales chat klien yang tadi belum sempet kubalas."

"Enggak ada." Wajah Brian langsung berubah galak dengan pelototan tajam. "Sekarang duduk, terus makan. Apa mau disuapin?"

"Kata dokter aku sakit apa?" Alit malah menanyakan hal lain, ketika baru sadar kalau infus yang terpasang di tangan kanannya berwarna pink.

"Kekurangan gula darah. Kapan terakhir kali kamu makan?" Pertanyaan itu membuat kepala Alit langsung mengingat-ingat.

Dia baru ingat kalau terakhir kali dia makan adalah sebuah croissant dan segelas kopi kemarin siang. Rencananya dia bakal makan sore, ketika pekerjaannya sudah selesai. Namun, ada beberapa klien yang minta revisi terus menerus sampai malam, membuatnya enggak ingat untuk makan sama sekali.

Tahu kalau jawabannya akan membuat pria di depannya makin kesal, Alit pun hanya mengendikkan bahu. "Kamu kenapa bisa ada di lift apartemenku?"

"Apartemen itu bukan punyamu."

Alit cuma mendengkus. Bukan Brian namanya kalau enggak menyebalkan.

"Aku tinggal di situ juga. Dua lantai di atas unitmu."

Bunda memang pernah bilang kalau apartemen Brian dekat dengan apartemen yang ditempatinya sekarang. Tapi dia tidak menyangka akan sedekat ini. Seharusnya Alit kesal, kan? Karena dengan begitu, artinya Brian akan terus berkeliaran di sekitarnya. Meski belum tentu bakal bertemu setiap hari, dengan tinggal di gedung yang sama—dan cuma terpisah dua lantai—membuatnya punya kemungkinan lebih besar untuk bertemu dengan pria ini terus menerus, dibanding saat tinggal di kota yang berbeda.

Namun, kenapa ada setitik rasa lega ketika tahu kalau Brian ada di dekatnya?

Alit buru-buru menggeleng. Mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba muncul itu. Kembali ia ingat lagi betapa seriusnya Bintang saat memperingatkannya untuk tidak dekat-dekat dengan Brian. Juga bagaimana pria itu yang menghilang begitu saja selama tiga bulan terakhir. Bisa saja, Brian sudah punya pacar sekarang. Alit enggak boleh terlena sedikit pun.

"Mana hapeku?" tanya Alit dengan nada lebih tajam.

"Buat apa?"

Bola mata Alit memutar. "Itu hapeku. Ya aku bisa pakai buat apa pun yang aku mau."

"Makan dulu!" Brian mengendikkan kepalanya pada kotak bento di meja nakas. "Mau disuapin?"

"Habis makan, kamu kasih hapeku ya?"

"Habis makan, istirahat sebentar sampai infusnya habis. Terus pulang. Istirahat lagi di apartemen. Nggak ada main hape."

"Nggak usah sok ngatur-ngatur!"

"Kamu tahu nggak, betapa malunya aku, setelah dokter selesai periksa kamu tadi? Hah? Dokter bilang kamu dehidrasi, kekurangan gula darah! Dokter ngira aku enggak pernah ngasih kamu makan, sampai kamu kekurangan nutrisi kayak gini! Bisa-bisanya kamu buat makan aja enggak sempet? Makan buat kebaikanmu sendiri loh! Bukan buat orang lain. Apa sih yang ada di pikiranmu sekarang?"

Selama bertahun-tahun mengenal Brian, baru kali ini Alit melihat wajah pria itu mengeras sebegini tajamnya, dengan intonasi suara tegas yang berhasil membuat Alit menciut.

"Mau makan sendiri apa disuapin?"

"Sendiri," jawab Alit pelan dengan suara mencicit.

"Tangan kananmu diinfus." Brian mengingatkan, masih dengan tampang galaknya.

"Bisa pake tangan kiri."

Kemudian Alit beranjak duduk dengan perlahan. Brian membantu memindahkan bantal untuk menyangga punggungnya. Meski enggak pusing lagi, tubuhnya masih terasa agak lemas.

Karena ini ranjang ruang UGD, tidak ada meja lipat yang bisa dipakai untuk meletakkan makanannya. Alhasil, Brian menaruhnya di pangkuan Alit. Pria itu sempat memisahkan sumpit kayunya, juga membukakan kotaknya dan memberikan tisu di sekitar kotak, agar jika ada makanan yang tumpah, enggak mengotori baju Alit.

Pria itu membelikan Hokben dengan lauk beef teriyaki dan beberapa chicken egg roll. Baru saja Alit mencoba saladnya, kedua matanya langsung memanas. Sudah lama sekali rasanya, dia tidak makan ini. Biasanya, kalau dia sedang tidak nafsu makan, Ayahnya suka membelikannya Hokben. "Kamu suka Hokben, kan? Mau Ayah beliin Hokben aja?"

Seringkali Alit merasa direpotkan, dan meminta Ayahnya membelikan lewat aplikasi pesan antar saja. Namun, Ayah menolak dengan alasan, "Kaki Ayah masih sehat buat jalan. Jadi Ayah beli sendiri aja, Biar lebih cepet. Jadi anak Ayah bisa langsung makan. Kalau orang lain yang belikan, pasti lama."

Sekarang—selama tinggal di Jakarta, tidak ada Ayahnya yang selalu menanyakan mau makan apa hari ini? Mau jajan apa hari ini?

Kenapa ya, belakangan ini—ketika sedang galau-galaunya, tidak pernah terbesit di kepalanya untuk makan Hokben? Semua makanan yang ada di sekitarnya tidak berhasil membuatnya tertarik. Jadi, selama dua minggu di Jakarta, dia memakan apa saja yang paling dekat dia temukan. Meski seringnya cuma makan lima suap, lalu tidak dihabiskan lagi karena rasanya kurang enak.

Dan sekarang, menemukan Hokben di depannya setelah sekian lama, membuat perasaan Alit menghangat.

Pertanyaannya, Brian tahu dari mana, kalau Hokben termasuk comfort food-nya yang enggak akan pernah dia tolak dalam kondisi apa pun?

"Sulit, ya?" tanya Brian pelan.

Iya, sulit banget.

Seluruh hidup Alit saat ini terasa seperti mimpi buruk yang menekannya begitu keras, sampai ia berada di titik terendahnya. Semuanya terasa begitu sulit dan menyesakkan. Padahal saat Alit masih bisa hidup nyaman di rumah, dia sudah mengalami berbagai macam kesulitan dan kegalauan yang menyesakkan. Sekarang semuanya makin buruk karena dia harus menghadapi dunia barunya sendirian.

Satu butir air mata Alit menetes.

"Mau dibantu?"

"Mau," jawab Alit pelan, diikuti tetes-tetes air matanya yang menyusul keluar.

Kemudian Brian menarik kotak bento di pangkuannya, lantas merebut sumpit di tangan kiri Alit. Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu mulai memotong-motong chicken egg roll-nya dengan sendok. Lalu menyuapkan nasi lengkap dengan lauk dan saladnya pada Alit.

Hah? Jadi konteks dari pertanyaan Brian itu ... tentang Alit yang kesulitan memakai sumpit dengan tangan kirinya?

Alit menerima suapan dari Brian dengan rasa dongkol memenuhi dadanya. Bodoh sekali dia sempat berpikir bahwa tawaran Brian tadi itu, maksudnya ... untuk membantu Alit dalam menghadapi seluruh kesulitan hidup yang sedang dia lalui sekarang. Karena jujur saja, harinya terasa makin berat setiap harinya, dan ia butuh seseorang untuk membantunya menghadapi seluruh kesulitan ini.

Kening Alit mengerut bingung saat Brian menyodorkan tisu.

"Jangan makan sambil nangis! Nanti nasinya jadi asin."



***









Deleted Scene:

"Kenapa lama banget habisnya?" Alit menggerutu menatap infusnya yang sejak dua jam usai makan, baru berkurang separuh.

Tadinya UGD rumah sakit enggak terlalu ramai, sehingga dia bisa istirahat dengan santai. Namun, beberapa menit lalu ada beberapa anak kecil baru datang yang sepertinya terluka dan butuh dijahit. Anak itu berteriak dan menangis meraung-raung, yang sangat mengganggunya, mengingat setiap ranjang UGD hanya dipisahkan oleh tirai.

Ini sudah lebih dari dua puluh menit, ketentramannya terganggu oleh berisiknya pasien di sekitarnya. Kepalanya jadi makin pusing mendengar banyaknya suara yang bersahut-sahutan tanpa henti itu. Satu-satunya hal yang dia butuhkan sekarang adalah ketenangan.

"Ya gimana? Mau pindah ke kamar rawat inap? Biar lebih enak tidurnya? Besok pagi baru pulang." Ini kesekian kalinya Brian menawarkan, dan Alit langsung menggeleng keras.

Pasalnya Brian yang membayarkan semuanya. Alit sudah bilang kalau dia punya BPJS. Namun, dengan santainya Brian bilang, "Udah terlanjur aku bayar yang reguler. Udah lah, nggak papa, daripada ribet kalo pake BPJS."

Lalu ketika ditanya berapa nominal yang sudah Brian bayar, pria itu tidak menjawabnya. Pura-pura tuli dan asyik bermain game di ponsel. Alit paling enggak suka berhutang. Apalagi dengan Brian. Jadi, dia enggak mau menambah hutangnya dengan pindah ke kamar rawat inap.

"Ini infus apa sih? Infus vitamin doang kan? Kalau infus vitamin, enggak habis juga enggak papa. Kan bukan obat yang harus habis sesuai dosis. Aku juga udah mendingan banget nih! Ayo pulang sekarang aja!" Alit merengek sambil menggoyang-goyangkan tangan Brian yang sedang memegang ponselnya dalam posisi landscape.

"Sabar, tunggu sampai infusnya habis sesuai saran susternya tadi. Lagian aku udah bayar full, masa mau dipake setengah doang. Rugilah!" Brian tetap melanjutkan game-nya, sama sekali tidak terganggu saat tangannya digoyang-goyangkan.

"Emang ini infus vitamin apaan sih?"

"Kamu tuh kekurangan nutrisi sadar nggak? Coba bayangin gimana sedihnya Ayahmu kalau anaknya yang baru merantau dua minggu di Jakarta, langsung pingsan di trotoar karena kekurangan nutrisi?" Brian mengangkat pandangannya dari ponsel, memasang ekspresi dramatis. "Kalo kamu berisik terus minta pulang, aku bisa video call Ayahmu sekarang juga, biar tahu gimana kondisi anak kesayangannya di sini."

"Ih, aku cuma tanya, ini infus vitamin apa, kenapa warnanya pink?! Nggak usah ngancem-ngancem!" gerutu Alit sambil memukul lengan Brian dengan tangan kirinya.

"Mentang-mentang udah makan Hokben, pamer kekuatan ya sekarang? Tadi aja ... klemar-klemer kayak pensil inul!" ledek Brian sambil terkekeh, yang membuat Alit kembali memukulnya berkali-kali.

"Ini infus vitamin B, bagus buat meningkatkan daya tahan tubuh." Satu tangannya menahan tangan Alit, kemudian menjawab dengan wajah serius. "Kalau mau vitamin C, enggak usah repot-repot diinfus."

'Iya, tinggal makan jeruk, kan?' Alit menyahut dalam hati. Sejak TK, dia juga sudah tahu informasi itu.

"Nanti bisa aku kasih. Gratis. Vitamin C tuh ... C-nya cinta, kan? Aku punya banyak cinta. Boleh buat kamu semua. Enggak akan kubagi ke siapa-siapa. Tenang aja."

Bibir Alit menganga. Sekujur tubuhnya langsung merinding usai mendengar gombalan dangdut barusan. "Ini ada tiang infus, bisa aku pukulin ke kepalamu loh!"



***



Gila, bab ini manisss banget gak sihh??? gak berhenti cengar-cengir sepanjang ngedit wkwkkwkwkwkw.

Jujur aja, tadinya Brian mau bilang, "Kalau mau vitamin C, enggak usah diinfus, tinggal aku cium aja sini." tapi setelah sadar kalau kekuatan Alit sudah pulih sepenuhnya setelah makan Hokben, dia mengurungkannya. Karena kalo beneran diomongin, takut Alit bertingkah, dan bikin heboh se-UGD wkwkwkwkw.

Ini kalo komen dan votenya banyak, aku update lebih cepet dehhhh~

Continue Reading

You'll Also Like

7.9K 1.3K 7
(ON HOLD) Bagaimana jika ketua BEM yang friendly abis, anak band yang pedenya selangit, dan pengusaha muda yang celelekan hidup pada satu masa dan t...
29.3K 3.1K 43
[Update setiap hari, sedang diperbarui] ✨[2] Golden Spoon Series.✨ "To living this life, we need something more. Of course money, people, connection...
2.4M 228K 73
Kaniss sudah move on. Nama Ezra sudah tidak ada lagi di dalam kamusnya. Semua sudah baik-baik saja. Kaniss baik-baik saja. Tapi rupanya, kisah mereka...
645K 69.1K 36
Shortlist Winner AIFIL - Reading list oleh @WattpadChicklitID (Mei 2023) (TELAH TERBIT) Ini tentang Janitra Winaya Priska yang selalu menjalani hidup...