Hello Shitty

By liaraaudrina

282K 36K 4.2K

Di antara banyaknya teman setongkrongan Kakaknya, kenapa harus Brian yang naksir Alit? Masalahnya, selain waj... More

1. Cinta Pertama Alit
3. Tentang Perasaan yang Menggantung
4. Perusak Suasana
5. Sebuah Komitmen
6. Sebuah Janji
7. Cinta yang-tidak terlalu-kuat
8. Hati yang patah
9. Good Luck
10. Keajaiban Dunia yang Kesepuluh
POV Brian 1 - Someone From The Past
11. Gloomy Days
12: Zona Nyaman
POV Brian 2 - Sakit Jiwa
13. Homesick
14. Late Night Talking
15. What's Your Favorite Song?
16. Kejujuran
17. A Hug
18. Sparks
19. Mengikis Keraguan
20. Take Your Time
21. Tahap Pertama
22. Tentang Rasa Takut
23. Alice in Wonderland
24. Pertemuan Tak Terduga
25. Yang Tersimpan di Masa Lalu
26. Kilau berlian yang menyilaukan
27. Munafik
28. Kebohongan Mana Lagi yang Harus Kupercaya?
29. Mixed Feeling
30. Rencana Brian
31. Explanation
32. Menggenggam Restu
33. Mengorek Informasi
34. You're On The Right Hand
35. Apa Itu Cemburu?
36. Adventure of A Lifetime
37. Birthday Gift
38. Hujan Dan Keras Kepalanya

2. Si Punya Banyak Muka

10.3K 1.2K 139
By liaraaudrina

Saat SMA, Alit pernah berdoa, agar berjodoh dengan teman satu geng Bintang. Doa itu muncul dari keputusasaannya setelah berusaha keras mencari pacar, tapi tidak ada satu pun cowok di sekitarnya yang sesuai dengan kriterianya. Alih-alih bertemu dengan gentleman dan memiliki kisah manis seperti di film-film, Alit selalu dihadapkan oleh playboy sok kecakepan yang enggak ada apa-apanya dibanding Bintang.

Alit pikir, kalau dia mencari cowok yang mirip dengan Bintang, kenapa enggak mendekati teman setongkrongan Bintang saja? Secara logika, dalam sekumpulan geng anak muda, pastilah ada satu-dua kesamaan sifat, atau visi misi yang membuat mereka bisa cocok nongkrong bareng.

Jadilah secara random, di tengah putus asanya mencari pacar, Alit berharap salah satu dari teman setongkrongan Bintang naksir dia. Atau lebih bagus lagi, kalau berjodoh dengannya.

Nyatanya, teman setongkrongan Bintang saat SMA sudah punya pacar semua. Lalu saat Bintang sudah kuliah dan Alit masih SMA, doa itu kembali Alit panjatkan diam-diam sambil mencuri pandang ke Fano dan Ben yang suka main ke rumahnya. Keduanya punya daya tarik tersendiri yang membuat Alit menyukainya. Sungguh Alit ikhlas lahir batin kalau salah satu dari mereka naksir dia.

Sekilas Ben tampak dingin, tapi setelah mengenal lebih akrab, dia hangat dan menyenangkan. Pesona utamanya adalah, Ben pintar banget. Semua pelajaran SMA masih diingatnya dengan jelas, sehingga seringkali Ben mengajarinya mengerjakan PR. Bahkan Bunda suka bercanda, agar Alit enggak usah mahal-mahal ikut bimbel, tapi les sama Ben aja.

Jelas Alit mau banget! Dengan begitu dia bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan Ben, kan?

Sayangnya, Ben terlalu sibuk. Pria itu menjadi asisten laboratorium di kampusnya, dan sering menjadi asisten dosen dalam beberapa proyek penelitian. Jadi, pria itu enggak bisa sering-sering main ke rumah Alit.

Sementara Fano, tipe cowok humoris yang pintar menghidupkan suasana. Rasanya kalau enggak ada Fano, tongkrongan mereka jadi sepi dan enggak seru. Pria itu punya seribu satu topik obrolan yang selalu menyenangkan. Jangan lupa dengan berbagai permainan atau tebak-tebakan yang selalu membuat Alit terbahak-bahak.

Sialnya, Ben dan Fano kelewat akrab dengannya, jadi sudah terlanjur menganggapnya sebagai adik kandung. Sama sekali tidak terlihat ada bibit-bibit cinta yang mereka pancarkan untuk Alit. Jadi, mau selama apa pun Alit caper dan menghabiskan waktu dengan mereka, tidak ada satu pun hal yang membuat mereka melihatnya sebagai seorang wanita.

Dan yang lebih sial lagi, justru Brian—pria yang sangat dihindari Alit—yang terang-terangan menyukai Alit. Pria itu enggak segan-segan menggodanya langsung dengan penuh percaya diri.

Alit lupa kapan pertama kali Brian menggodanya. Sepertinya saat Alit SMA kelas dua. Yang jelas, Bintang langsung marah-marah enggak setuju. Tidak terhitung berapa banyak ancaman Bintang pada Brian agar berhenti menggoda Alit. Namun, semakin dilarang, pria itu malah semakin gencar bergerak.

Puncaknya adalah beberapa bulan lalu, menjelang acara lamaran Bintang dan Alanda, dengan santainya Brian datang dan mengatakan pada orangtuanya, ingin ta'aruf dengan Alit. Gila, kan?

Untungnya, tidak ada satu pun yang menganggap itu serius. Bunda dan Ayahnya pun cuma tertawa-tawa. Sementara Bintang langsung mengucapkan sumpah serapah sambil terus mengancam agar Brian berhenti mengganggu Alit.

Masalahnya, selain tampangnya yang ganteng, dan lahir dari keluarga tajir melintir, Brian enggak punya kelebihan lain yang memenuhi kriteria Alit dalam mencari calon suami. Bintang pernah cerita, bahwa track record Brian dalam hubungan asmara sangatlah buruk. Bahkan jauh lebih buruk dari yang pernah Alit bayangkan.

Alit masih ingat bagaimana tegasnya raut Bintang malam itu, ketika mewanti-wanti Alit agar tidak goyah dengan godaan Brian sedikit pun. "Awas ya kamu, kalau sampai ngeladenin Brian! Sedikit pun, jangan pernah izinin Brian sentuh kamu! Laporin ke aku langsung, kalau dia berani! Asal kamu tahu ya, dulu dia sering selingkuh. Punya dua pacar dalam satu waktu? Udah biasa. Punya tiga pacar sekaligus pun pernah. Jadi selingkuhan pernah. Pacaran sama istri orang juga pernah. Ini aku enggak bermaksud nyebarin aib, tapi kamu harus tahu itu. Dia enggak pernah serius. Barangkali dia cuma penasaran sama kamu, atau lagi gabut aja, karena kehabisan target. Mungkin 50% populasi mahasiswi di Jogja udah pernah deket sama dia. Dan karena sekarang dia tinggal di Jakarta, aku pun enggak tahu, di sana dia punya pacar atau enggak. Pokoknya, kamu harus hati-hati. Jangan pernah percaya sama omongannya!"

Sialnya, belakangan ini Brian malah semakin gencar mendekatinya. Terutama setelah Bintang dan Alanda tunangan. Hampir setiap akhir pekan, Brian ke Yogyakarta. Iseng main ke rumah Alit meski enggak ada Bintang. Cuma ngobrol dengan Ayah atau Bundanya, lalu menggoda Alit dengan berbagai akal bulus yang enggak ada habisnya.

Bunda dan Ayah sudah sering diperingatkan oleh Bintang. Namun, keduanya tidak percaya begitu saja oleh peringatan Bintang. "Menurut Bunda, Brian kelihatan baik-baik aja tuh! Sejauh ini anaknya sopan dan enggak pernah macem-macem. Bunda enggak punya alasan buat nolak kedatangannya, apalagi kalau dia sopan dan bawa banyak oleh-oleh."

Sedangkan Ayah menanggapi enggak kalah santainya. "Ayah sih, terserah Alit. Ya kalau Alit mau sama Brian, silakan. Sejauh ini Ayah juga enggak melihat sisi buruk Brian. Masa lalu orang enggak bisa diubah lagi. Selama anaknya mau berubah dan memperbaiki diri, ya enggak papa. Kan Ayah udah pernah bilang, yang terpenting dari seorang laki-laki itu adalah tanggung jawabnya. Selagi dia bertanggung jawab dengan kata-katanya, ya enggak ada salahnya, coba buat kenal."

Memang jago banget pria itu untuk masalah cari muka dengan orangtua. Brian betulan bisa ngobrol panjang lebar berjam-jam meladeni Bunda dan Ayahnya tanpa mengenal lelah. Pria itu tahu betul, bahwa semakin tua seseorang, yang dibutuhkan hanyalah didengarkan. Dan Brian selalu mendengarkan semua omongan orangtuanya, menggantikan posisi Bintang yang belakangan ini sibuk di Kaliurang dan jarang pulang. Sementara Alit sudah terlalu pusing dengan kerjaannya, sehingga tidak punya banyak tenaga untuk mendengarkan ocehan Bunda dan Ayahnya.

Alhasil usaha Alit untuk menghindari Brian jadi lebih susah, selama orangtuanya menerima Brian dengan sangat welcome.

"Udah? Enggak ada yang ketinggalan?" Alanda membantu Alit membawa koper menuruni anak tangga di depan rumah mewah berlapis marmer ini. Sungguh, Alit takut sekali roda koper murahannya menggores marmer mahal ini. Meski sebenarnya Alanda terlihat santai saja, Alit tetap enggak enak.

"Harusnya sih, udah semua, Mbak. Nanti kalau ada yang ketinggalan kan, tinggal Mbak bawain pas ke Jogja ya?" sahut Alit sambil membantu Alanda membuka pagar, sementara Alanda langsung berjalan memasuki mobilnya di carport.

"Oke, Lit. Yuk!"

Baru setengah pagar terbuka, langkah Alit otomatis berhenti. Sialan. Dadanya refleks menghela napas panjang, ketika mendapati mobil Mercedez Benz G65 yang tidak Alit sukai berada persis di depan rumah sebelah. Sementara pemiliknya, berdiri santai bersandar di belakang mobil dengan senyum lebar.

Jadi, pria itu cuma memajukan mobilnya sampai ke depan rumah tetangga Alanda, tidak benar-benar pergi sesuai harapannya.

"Kenapa, Lit?" Alanda yang sudah berada di dalam mobil melongokkan kepalanya dari jendela, ketika sadar kalau Alit terpaku di tempatnya.

"Brian masih di sini ternyata." Alit menjawab dengan ogah-ogahan.

Kenapa juga Alit bisa berpikir kalau Brian semudah itu dikerjai?

Apalagi ini bukan pertama kalinya Alit mengerjai Brian. Selama tiga bulan terakhir, ada banyak sekali hal ekstrim yang Alit lakukan untuk menghindari Brian. Seperti keluar dari mobil secara tiba-tiba di tengah lampu merah. Memutuskan senar gitar mahal Brian. Menyembunyikan kabel charger-nya sampai akhirnya Brian terpaksa membeli Magsafe baterai packs. Memasukkan banyak wasabi ke mangkuk ramennya. Dan masih banyak lagi hal-hal kekanakan yang Alit lakukan untuk membuat Brian marah dan menjauhinya. Tapi, pria itu enggak pernah benar-benar marah. Dan tetap bersikeras bergentayangan di sekitarnya.

"Ngapain masih di sini, sih?" gerutu Alit ketika langkah Brian mendekatinya.

"Kalau mau ganti mobil, kamu harus ikut juga ke rumahku. Sekalian kamu kenalan sama Mamaku." Pria itu tersenyum lebar, memamerkan sebelah lesung pipinya.

"Ngapain?" tanya Alit ketus.

"Ya kamu 'kan mau minjem Pajero Mamaku, harus kenalan dulu dong, biar dibolehin minjem. Kalau enggak mau, ya ... terpaksa kita pulang naik ini. Mobilku."

Padahal saat tadi Alit bilang minta ganti mobil itu, dia betulan cuma asal ceplos merek mobil yang ada di kepalanya. Sialnya, Alit lupa kalau keluarga Brian yang tajir melintir itu punya showroom mobil di rumahnya.

Alit mendesah panjang, menoleh ke arah Alanda dengan putus asa.

"Gue telepon Uca nih, ya, Yan? Udah gue bilang berapa kali sih? Jangan gangguin Alit! Nyesel banget gue, tadi ngasih tau lo kalau Alit masih di sini!" ancam Alanda sambil merogoh tasnya.

"Enggak usah capek-capek ngadu ke cowok lo. Nanti gue anter Alit sampai rumahnya juga bakal ketemu sama dia dan sungkem ke orangtuanya dulu. Mana mungkin gue nganter Alit sampai depan doang, enggak masuk?" Brian membalasya dengan santai, lalu menyerobot koper Alit dengan mudahnya untuk dimasukkan ke bagasi mobilnya.

"Ya udah lah, Mbak. Aku beneran lagi pusing banget, males debat." Alit menghela napas panjang, kemudian memeluk Alanda. "Makasih ya, Mbak. Nanti aku kabarin kalau udah sampai rumah."

"Aku minta maaf ya, Lit? Pokoknya kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat langsung telepon aku ya?"

"Iya, Mbak."

Kemudian dengan langkah gontai, Alit mengikuti Brian mendekati mobilnya. Pria itu membukakan pintu penumpang untuknya, memasangkan sabuk pengaman, seperti sedang memastikan Alit enggak akan kabur tiba-tiba, baru menutup pintu dan berlari kecil ke sisi pengemudi.

"Lagi enggak enak badan, Lit?" tanya Brian sambil sesekali menatapnya khawatir ketika Alit tidak kunjung bicara setelah mobil berjalan cukup jauh.

"Enggak." Perkataan Alit mencegah tangan Brian yang sudah terulur ingin menyentuh keningnya. "Aku cuma ngantuk. Semalem begadang."

"Mau mampir Starbucks dulu buat beli kopi?" tawar Brian pelan.

"Enggak." Setelahnya, Alit memundurkan sadaran kursinya agar bisa rebahan lebih nyaman. "Aku mau tidur aja."

Alit tahu persis kalau Bintang sangat kesal jika sedang menyetir, tapi penumpangnya tidur semua. Setidaknya harus ada satu orang yang masih terjaga untuk menjadi teman ngobrolnya. Jadi, Alit sengaja bakal tidur sepanjang perjalanan, agar Brian kesal. Pokoknya, dia harus memutar otak untuk melakukan semua hal yang bisa menguji kesabaran Brian.

Namun, baru sebentar mata Alit memejam, tubuhnya ditepuk lembut. "Lit, ini ada bantal leher, biar kepalamu enggak pegel."

Mata Alit mengerjap-ngerjap. Ia sadar mobilnya barusan berhenti. Tapi enggak peduli berhenti di mana, karena matanya sudah berat sekali, jadi ia lanjut tidur saja, tanpa berniat mengecek sekelilingnya.

Dan sekarang, ia baru sadar kalau mobil Brian berhenti di depan ruko. Ada logo Istana Boneka tepat di depannya. Lalu di pangkuan Alit terdapat sebuah boneka pinguin yang lembut dan satu bantal leher berwarna merah dengan motif buah cherry.

"AC-nya terlalu dingin enggak? Mau pakai selimut? Di kursi belakang ada kain pantai, bisa buat selimutan."

"Kamu enggak kesel, kalau aku tidur terus sepanjang perjalanan?" tanya Alit pelan.

"Enggak. Tidur aja, nggak papa. Nanti kalau udah waktunya makan siang, aku bangunin."

Alit menggeram pelan. Apa sih, sebenarnya yang membuat Brian marah dan ilfeel padanya?!





***



Alit tidak menghitung dengan jelas berapa jam perjalanan yang ia habiskan untuk sampai ke Yogyakarta. Yang jelas, begitu mobil berhenti di depan rumahnya, langit sudah gelap. Brian turun lebih dulu, tapi tidak langsung membangunkan Alit.

Sayup-sayup terdengar suara Ayahnya di luar, sedang menyambut kedatangan Brian. Sementara Alit masih mengerjap-ngerjap, sambil mengumpulkan nyawa. Tadi mereka sempat berhenti di Cirebon dan di Semarang untuk makan. Alit betulan sedang enggak enak badan, sehingga dia malas mengerjai Brian, dan nurut saja makan semua makanan yang Brian pilihkan. Dalam hati, dia berjanji bakal mengerjai Brian dengan lebih parah nanti. Hari ini saja dia melunak.

Pintu mobil di sebelahnya dibuka. Alit terkejut ketika mendapati Ayahnya yang membuka pintu. "Bangun, Lit! Langsung pindah tidur di kasur yuk! Makanya kalau kerja jangan berlebihan. Begadang terus enggak baik buat kesehatan, Sayang." Ayahnya mengusap rambutnya yang berantakan menutupi separuh wajahnya.

"Ayah ... gendong! Badanku lemes banget rasanya. Kepalaku pusing. Kayaknya ini gara-gara kelamaan tidur!" Alit merengek manja. Sebagai anak bungsu di rumah, Ayahnya adalah tempat paling favoritnya untuk bermanja-manja. Bahkan di umurnya yang sudah 24 ini, Ayahnya masih sering menganggapnya seperti bayi.

"Badan Ayah juga lagi pegel-pegel nih, tadi pas di kereta, Bunda sandaran ke Ayah terus, jadinya posisi Ayah pas tidur di kereta juga kurang pas." Ayanhnya memutar kepala sambil menggerak-gerakkan badannya untuk stretching.

Alit hanya mendengus. "Aku udah lama banget enggak digendong Ayah! Beratku udah turun lho, Yah!"

"Ya gimana enggak turun, kerjaanmu begadang terus! Kalau besok-besok kamu masih begadang terus, Ayah bisa protes ke atasanmu nih! Tega banget ngasih banyak kerjaan ke anak kesayangan Ayah, sampai sering lembur gini!" Ayah masih merapikan untaian rambut Alit yang berantakan, lalu menarik tangannya lembut. "Ayo, jalan sendiri, Ayah gandeng!"

"Ahhh, maunya digendong, Ayahhhh ...." Tangan Alit sudah melingkari leher Ayahnya.

Jangan khawatir, Ayahnya masih sangat kuat untuk menggendong Alit yang beratnya cuma 45 kg ini. Terlebih Ayahnya berperawakan tinggi 182 cm dan sedikit berisi, dengan perut buncit khas bapak-bapak pada umumnya. Sampai bulan lalu, Ayahnya masih suka menggendong Alit di punggungnya kalau ia sedang malas jalan karena terlalu ngantuk.

"Sori, Om, kalau enggak keberatan, aku bisa gantiin buat gendong Alit, Om." Tiba-tiba suara renyah itu menjeda interaksi manis Ayah dan putri kesayangannya ini.

Bola mata Alit yang semula masih agak lengket, langsung terbuka lebar. Secepat kilat, wajah manis Alit langsung berganti dengan lirikan sinis. "Enggak sudi! Aku bisa jalan sendiri!"

Tanpa menunggu respon Brian, Alit langsung turun dari mobil, berjalan memasuki rumah dengan bantal leher yang masih melingkari lehernya.

Ia masih bisa mendengar tawa ringan Brian, sementara Ayahnya menegur. "Lit, enggak boleh kasar gitu ah, ngomongnya!"

Begitu bertemu Bunda di dalam, Alit langsung mendapatkan omelan panjang. Bundanya sudah sempat mengirimi pesan panjang yang berisi omelan, dan masih diulang lagi secara live. Alit enggak menanggapinya, memilih langsung naik ke lantai dua untuk mandi. Rasa kantuknya sudah sepenuhnya hilang, dan sekarang badannya lengket sekali karena tadi pagi enggak sempat mandi.

"Uca mana, Nda?" tanya Alit usai mandi dan berganti baju. Dia segera turun ke meja makan, karena sudah lapar lagi. Mengingat terakhir kali dia makan adalah saat sampai Semarang, empat jam lalu.

"Uca ke mana sih, Nda?" Alit mengulangi pertanyaannya, sambil duduk di salah satu kursi meja makan. Ia sudah bersiap mengadu ke Kakaknya, agar Brian kena omel. Atau minimal kena tonjok satu kali.

Sayangnya, saat mengecek kamar Bintang tidak ada orang, membuat harapan Alit untuk melihat Brian ditonjok Kakaknya, langsung pupus.

"Tadi sore langsung ke Tombak. Dia kan besok Senin kerja," jawab Bunda. "Mau tambah lagi nasinya, Brian?"

Ucapan Bunda membuat Alit sadar kalau di meja makan sudah ada Brian yang sedang makan dengan lahap. Seharusnya Alit enggak kaget sih. Bunda dan Ayahnya pasti menyuruh pria itu makan dulu. Namun, tetap saja melihatnya seakrab ini dengan keluarganya membuat Alit kesal sekali.

"Nanti aku ambil sendiri aja, Tante."

"Ya udah, Tante lanjut nonton sinetron di rumah tengah ya! Nanti kalau butuh apa-apa minta ke Alit aja," pamit Bunda sambil beranjak. Ini memang sudah terlalu malam untuk makan, jadi Bunda enggak menemani makan. Dan tentu saja karena enggak mau melewatkan sinetron favoritnya.

Sementara Ayah yang semula duduk di meja makan juga, ikut beranjak. "Terima kasih ya, Brian, sudah jauh-jauh mengantar Alit. Makan yang banyak, pasti capek banget ya, nyetir tujuh jam?"

"Makasih, Om. Enggak terlalu capek kok, udah biasa ini." Brian menjawab singkat, karena mulutnya penuh dengan nasi.

Pria itu tahu betul bagaimana caranya menyenangkan orangtua. Salah satunya ya dengan ini; makan sangat lahap. Orangtua mana sih, yang enggak bahagia melihat anak muda makan masakannya dengan lahap seolah itu adalah masakan paling enak sedunia?

"Ayam kecapnya enak banget, Tante!"

Tuh kan! Memang kalau ada lomba cari muka di depan orangtua, sudah pasti Brian yang menang.

Selanjutnya Alit makan dalam diam. Malas membuka suara atau melirik ke sosok di seberangnya. Dia mengambil nasi satu centong, sehingga makannya lebih cepat selesai.

"Lho, Tante, ini lampu dapurnya ada yang mati ya?"

"Iya, udah dari minggu lalu sebenarnya. Tante udah beli lampu baru, tapi kemarin mau nyuruh Uca buat gantiin, malah kelupaan terus. Eh, keburu anaknya udah pergi lagi. Ayah juga udah diingetin ganti lampu dapur, entar-entar terus!" Bunda menjawabnya dengan berteriak, tidak menggeser pandangannya dari televisi sedikitpun.

"Sini biar aku aja yang gantiin lampunya, Tante!"

Sesuai dugaan, Brian langsung memanfaatkan ini untuk cari muka. Gila kan, akal bulusnya manusia ini enggak habis-habis. Dengan muka seganteng itu, masihhhh aja sibuk cari muka sana-sini, buat apa coba?

Alit cuma geleng-geleng kepala enggak habis pikir. Hal kayak gini mungkin bisa menambah poin plus di mata orangtuanya, tapi buat Alit ini enggak mempan sama sekali.

"Beneran mau, Yan? Kamu enggak capek apa, habis nyetir berjam-jam, malah mau naik-naik ganti lampu." Barulah Bunda mendekat dengan bola mata berbinar-binar.

"Enggak papa, Tante. Lagian cuma ganti lampu ini, bukan bikin candi." Brian tersenyum sok kegantengan.

"Makasih ya, Yan! Itu tangganya ada di halaman belakang. Tante ambilin dulu lampu barunya!" Bunda langsung bersemangat, sambil terus mencerocos. "Sebenarnya ini tuh enggak urgent, Yan. Lampu tanam di dapur kan ada empat, nah mati satu aja enggak terlalu berpengaruh. Jadi, enggak harus diganti sekarang banget. Makanya Ayah pas Bunda mintain tolong ganti lampu, entar-entar terus, nunggu anak sulungnya pulang aja."

"Enggak papa, Tante. Aku aja yang gantiin. Nungguin Uca, bisa sampai bulan depan enggak diganti juga nih, lampunya."

Gila kan, demi cari muka, temannya sendiri pun direndahin begitu. Alit benar-benar enggak habis pikir mendengarnya.

Dan di sisi lain, dia jadi kasihan dengan Uca—alias Bintang, kakaknya. Sebagai anak sulung, pria itu diberikan tanggung jawab yang luar biasa besar. Bintang dituntut harus bisa melakukan segala hal. Mencari tikus yang berkeliaran di rumah, menyalakan genset kalau listrik mati, mencuci mobil, memperpanjang STNK semua kendaraan di rumah, dan masih banyak lagi. Apalagi soal urusan ganti lampu, ganti keran rusak, beli galon, semuanya kerjaan Bintang.

Makanya semenjak Bintang bekerja di villa di Kaliurang—namanya Tombak—rumah ini jadi lebih sepi dan kehilangan tukang yang merawatnya. Sedikit-sedikit, "Wah, Uca enggak di rumah, jadi enggak ada yang ini dan itu ...." Ssetiap kali Bintang pulang, Bunda langsung menyuruhnya melakukan macam-macam. Sampai Alit yakin, kalau salah satu alasan Bintang jarang pulang—padahal jarak dari rumah dan tempat kerjanya cuma satu jam lebih sedikit—adalah karena ia lelah disuruh-suruh.

Ya, bagus deh, sekarang tanggung jawab Bintang jadi sedikit berkurang karena dibantu Brian. Tapi tetap saja, ini enggak berarti apa-apa untuk Alit.

"Aku ambil tangganya dulu ya, Tante! Di belakang sini, kan?" Brian menunjuk pintu menuju halaman belakang, dekat tempat jemuran.

"Iya, di sana."

Brian pun melangkah ke halaman belakang dengan santainya. Di halaman belakang memang ada lampu yang menerangi, tapi tetap enggak seterang itu karena lampunya cuma satu. Alit ikut ke luar, berniat ingin mengageti Brian. Pasti lucu, kalau tiba-tiba dia muncul dari tengah jemuran.

Senyum Alit mengembang lebar, ketika membayangkan reaksi kaget Brian. Mengingat pria itu sangat mudah kaget. Alit pernah lihat Brian marah besar pada Bintang yang mengagetinya, bahkan bilang kalau ia hampir kena gagal jantung.

Namun, niat Alit terjeda ketika mendengar ponsel bergetar. Alit sedang tidak membawa ponsel. Sudah pasti itu ponsel Brian. Dia pun bersembunyi di dekat jemuran, menunggu waktu yang tepat untuk mengageti Brian.

"Hoy. Gimana?"

"...."

"Lahh, anak setan! Kapan?"

"...."

"Anying, kenapa enggak ngomong dari tadi siang kalau lo di Jogja juga? Gue udah terlanjur pesen hotel buat malem ini."

"...."

"Bangsat, ya jangan sekarang bangetlah!"

"...."

"Ya udah, lo sama anak-anak duluan aja. Nanti gue susul."

"...."

"Safira? Terus? Ada siapa lagi?"

"...."

"Oke, oke. Nanti gue susul. Ya ... paling satu jam lagi lah. Ini ... gue lagi di ... rumah temen."

"...."

"Temen. Beneran. Udah ah, enggak usah bacot. Lo open table duluan aja enggak papa. Ya di tempat biasa. VIP boleh."

"...."

"Anjing, iyeee! Pake nama gue. Bawel banget lo, tai."

"...."

"Yoi."

Sepertinya sambungan telepon sudah terputus. Brian kini terlihat mengantongi ponselnya lagi. Tapi Alit sudah kehilangan selera untuk mengerjai. Lihat sendiri kan, betapa brengseknya pria ini?

Alit pun mengendap-endap masuk, segera mencuci piring, lalu akan langsung ke kamarnya. Tidak sudi melihat wajah menyebalkan itu lagi.

Selama mencuci piring di dapur, Brian memintanya membantu memegangkan lampu, tapi Alit enggak menggubrisnya sama sekali. Dia malah sengaja memperlambat gerak tangannya membilas piring, tidak berniat membantu meski sudah diminta tiga kali dengan serius.

"Lit, astagaa ...." Brian mendengkus panjang.

Lalu entah bagaimana caranya, pria itu berhasil mengganti lampunya dengan baik, tanpa bantuan siapa pun. Dia turun dari tangga, menyalakan lampunya dengan bangga.

"Udah, Tante."

Bunda yang sedang fokus menonton sinetron langsung mendekat lagi. "Wah, makasih banyak ya, Brian."

"Sama-sama, Tante."

"Kalau gitu aku pamit dulu ya, Tante?" ujar Brian sekembalinya dari mengembalikan tangga di halaman belakang.

"Lho? Enggak nginep sini aja? Tidur di kamar Uca sana! Enggak papa. Udah malem gini, kamu mau tidur di mana?"

Brian cengengesan. "Di tempat temen, Tante. Dia ... sendirian di apartemen gitu, Tan. Enggak enak kalau di sini nanti ngerepotin Tante."

"Ngerepotin dari mananya? Enggak lahhh! Udah nginep sini aja!" Bunda masih bersikeras.

"Apartemen temenmu di mana, Brian?"

"Di Babarsari, Tante."

Lalu suara Ayah ikut terdengar. "Nginep sini aja, Brian! Main sama temenmu besok aja. Kamu udah jauh-jauh nganter Alit ke sini, itu lebih ngerepotin. Enggak usah sungkan lah! Kayak sama siapa aja."

Dan Brian tetap bersikeras mau pamit. Dia menyalami Bunda dengan senyum lebar. Lalu ketika menyalami Ayah di ruang tengah, pria itu bilang, "Nanti aku nginep di sini pas udah sah sama Alit aja, Om. Mohon doanya ya, Om, semoga dimudahkan jalannya dan dipercepat."

Alit cuma memelotot di tempat ketika Bunda dan Ayahnya kompak mengamini. Lidahnya gatal sekali ingin membongkar kebohongan Brian yang sebenarnya mau clubbing. Tapi dia terlalu malas berurusan dengan pria itu.

Jadi ... biarlah pria itu pergi secepatnya. Alit sudah muak menghadapi tingkahnya yang punya banyak muka itu!



***


Brian, emang boleh seugal-ugalan iniii???????

Plsss butuh banget vote dan komen kalian biar ak makin semangat nulisnyaaaaa~

dari hasil vote kemaren, pada mau update terjadwal yaa? baiklah, bakal aku usahain, tapiii aku belum tahu hari apanya, karena skrg ak lagi fokus nulis extra part Let Me In. nanti kalo extra part Let Me In udah kelar ditulis (semoga aja akhir minggu ini udh kelar), aku baru bisa update cerita ini dengan rutin yaaa!

Terima kasih banyak atas dukungannyaaa! have a good night😘😘😘😘😘😘😘

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 42.8K 30
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
29.3K 3.1K 43
[Update setiap hari, sedang diperbarui] ✨[2] Golden Spoon Series.✨ "To living this life, we need something more. Of course money, people, connection...
623K 62.8K 58
The Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"
7.9K 1.3K 7
(ON HOLD) Bagaimana jika ketua BEM yang friendly abis, anak band yang pedenya selangit, dan pengusaha muda yang celelekan hidup pada satu masa dan t...