Hello Shitty

By liaraaudrina

444K 51.3K 5.1K

Di antara banyaknya teman setongkrongan Kakaknya, kenapa harus Brian yang naksir Alit? Masalahnya, selain waj... More

2. Si Punya Banyak Muka
3. Tentang Perasaan yang Menggantung
4. Perusak Suasana
5. Sebuah Komitmen
6. Sebuah Janji
7. Cinta yang-tidak terlalu-kuat
8. Hati yang patah
9. Good Luck
10. Keajaiban Dunia yang Kesepuluh
POV Brian 1 - Someone From The Past
11. Gloomy Days
12: Zona Nyaman
POV Brian 2 - Sakit Jiwa
13. Homesick
14. Late Night Talking
15. What's Your Favorite Song?
16. Kejujuran
17. A Hug
18. Sparks
19. Mengikis Keraguan
20. Take Your Time
21. Tahap Pertama
22. Tentang Rasa Takut
23. Alice in Wonderland
24. Pertemuan Tak Terduga
25. Yang Tersimpan di Masa Lalu
26. Kilau berlian yang menyilaukan
27. Munafik
28. Kebohongan Mana Lagi yang Harus Kupercaya?
29. Mixed Feeling
30. Rencana Brian
31. Explanation
32. Menggenggam Restu
33. Mengorek Informasi
34. You're On The Right Hand
35. Apa Itu Cemburu?
36. Adventure of A Lifetime
37. Birthday Gift
38. Hujan Dan Keras Kepalanya
39. Tumpukan Rasa
40. Desakan Rindu
41. Pilu Membiru
42. Sisa-Sisa Harapan
43. People Change
44. Chicken Karage
45. Keteguhan Hati
46. End of Beginning
47. Runtuhnya Mimpi-Mimpi
48. Brengsek
49. Karma

1. Cinta Pertama Alit

34.5K 1.9K 153
By liaraaudrina

Mungkin bagi sebagian besar orang, Ayah menjadi cinta pertama anak perempuan. Namun, buat Alit, cinta pertamanya adalah Bintang, Kakaknya. Bukan karena Ayahnya enggak keren, sampai Alit tidak jatuh cinta pada Ayahnya. Justru karena Ayahnya keren banget, bisa mendidik anak laki-lakinya dengan luar biasa, sehingga Bintang tumbuh menjadi sosok yang sangat mirip dengan Ayahnya dalam versi lebih sempurna.

Sejak SMP, ketika pertama kalinya dia mengenal pacar-pacaran, Alit langsung menjadikan Bintang sebagai tolok ukur dalam mencari pacar. Semua laki-laki yang dia kenal selalu dibandingkan dengan Bintang, dan sejauh ini Alit belum menemukan yang ... setidaknya 50% mirip dengan Bintang.

Dari luar, hubungan Alit dan Bintang memang enggak terlalu manis. Mereka lebih sering bertengkar, saling meledek, dan menertawakan satu sama lain. Namun, jauh di dalam hatinya, Alit sangat menyayangi Bintang—atau yang lebih akrab dipanggil dengan nama Uca.

Ya, seperti kebanyakan kakak-adik pada umumnya, mereka terlalu gengsi untuk mengungkapkan perasaan sayang satu sama lain dengan kata-kata. Tapi yakinlah, seharian melihat interaksi mereka berdua, kalian akan sadar betapa keduanya saling menyayangi satu sama lain dengan begitu hangat.

Itu sebabnya, semakin mendekati hari pernikahan Bintang, Alit jadi uring-uringan sendiri. Bukan karena Alanda—calon istri Bintang—enggak baik. Tentu bagi Alit, pernikahan Bintang dan Alanda merupakan kabar baik yang sudah ditunggunya sejak lama. Alanda merupakan sosok Kakak perempuan yang selama ini Alit idamkan dalam imajinasinya.

Namun, tetap saja, menyadari Bintang akan menikah dan memiliki tanggung jawab baru, membuat Alit jadi gloomy.

Alit tidak siap melihat Bintang memiliki keluarga baru, tanggung jawab baru, dan kesibukan baru. Bintang pasti akan berubah, bukan lagi sosok yang bisa dia jahili sesukanya, atau tempat mendengarkan curhatan enggak pentingnya. Karena mau bagaimana pun, pernikahan pasti akan mengubah semuanya.

Padahal semenjak Bintang lulus kuliah dan mulai bekerja empat tahun terakhir, Alit sudah sering merasa kangen dan mulai kehilangan momen-momen menyenangkan bersama Bintang. Dan sekarang, dia benar-benar akan kehilangan Bintang sebagai Kakak terbaiknya.

"Kenapa?" Bintang menghampirinya sambil memindai penampilannya dari atas sampai bawah. "Enggak suka modelnya?"

Alit turut mengalihkan pandangannya ke cermin, memeriksa kebaya yang dipakainya sambil menggeleng. "Suka kok."

Kebaya ini memang bagus banget. Alanda memilih desainer terbaik di Jakarta untuk merancang semua pakaian keluarganya, termasuk gaun pengantinnya. Itu sebabnya, mereka sekeluarga datang Jakarta secara khusus untuk fitting baju. Harga memang enggak bisa bohong. Padahal Alit cuma berperan sebagai bridesmaid, tapi kebaya yang dipakainya tampak lebih cocok untuk acara lamaran—saking bagusnya.

"Terus kenapa?" Bintang masih menatapnya penuh selidik.

"Apanya yang kenapa?" Alit membalasnya dengan jutek.

"Kenapa cemberut?" selidik Bintang. "Berantem sama pacarmu?"

Sebenarnya bukan itu alasan Alit bete sejak tadi. Seperti yang dia katakan di awal, mood Alit hari ini berantakan sekali, karena sadar kalau sebentar lagi—dalam waktu beberapa minggu—Bintang akan menjadi suami orang. Dan kenyataan itu sangat mengganggunya.

"Enggak," jawab Alit ogah-ogahan.

"Siapa kemarin namanya? Rafa?"

"Rafly." Alit meralat.

"Dia enggak mau jadi groomsman?" tanya Bintang lagi. Hubungan kakak beradik mereka memang sangat dekat, sehingga tidak sulit bagi Bintang untuk menebak isi pikiran adiknya.

Meski kali ini tebakannya meleset. Rafly mau. Dengan senang hati pria itu mengiakan. Hanya saja, pria itu enggak bisa ikut ke Jakarta untuk fitting baju. Karena baju pria lebih sederhana dibanding kebaya, jadi Alit pun setuju kalau Rafly memang enggak perlu ikut fitting.

Yang jadi masalah adalah, fakta bahwa hubungan mereka masih tanpa status. Sudah dua tahun ia dekat dengan Rafly. Tepatnya sejak Alit masih kuliah semester tujuh. Mereka beda fakultas, tapi saling mengenal semenjak satu kelompok KKN. Ya, seperti banyak mitos yang beredar, KKN itu ladang cinlok. Dan Alit salah satu korbannya.

Ketika Alit meminta Rafly sebagai groomsman yang bakal berpasangan dengannya pun, pria itu kelihatan antusias. Alit pikir, setelahnya Rafly bakal menegaskan hubungan mereka dengan menyatakan perasaannya. Tapi nyatanya, sampai satu bulan kemudian Rafly enggak juga mengatakan apa-apa.

Kalau sampai hari H pernikahan Bintang, dia enggak ditembak juga, Alit harus mengenalkan Rafly pada keluarga besarnya sebagai apa?

"Kalau enggak mau, ya sudah enggak papa. Ntar kamu berpasangan sama adeknya Alan aja, Lit. Enggak usah dipaksa," tutur Bintang dengan nada tidak suka.

Ya, seperti kebanyakan kakak overprotektif pada umumnya, Bintang enggak pernah suka dengan laki-laki mana pun yang dekat dengannya. Bahkan tanpa berniat mengenal lebih dekat, Bintang sudah langsung menampilkan gestur tidak suka. Termasuk Rafly yang tidak pernah Bintang sukai, meski Alit sudah mengungkapkan seribu satu kebaikan Rafly padanya.

"Mau. Dia mau kok. Aku cuma lagi bete aja, PMS kali. Enggak ada masalah kok, Ca."

Bintang cuma manggut-manggut, kemudian perhatiannya tertuju pada calon istrinya yang sedang memakai gaun pengantin.

"Cantik banget, Sayang!"

Sumpah, Alit iri sekali melihat bagaimana cara Bintang menatap Alanda. Demi Tuhan, baru kali ini Alit melihat sorot mata Bintang selembut dan seintens itu. Rasanya Alit ingin bertanya pada Alanda, bagaimana caranya bisa mendapatkan laki-laki yang memujanya sebegitu besarnya seperti ini?

Jujur saja Alit enggak pernah dipuja sebegitunya. Termasuk Rafly pun, tatapannya selalu santai saja seperti ... mengobrol dengan temannya yang lain. Namun, di lain waktu, Rafly tidak segan-segan merangkulnya erat, menggandengnya, tersenyum lebar sambil mengacak-acak rambutnya, dan memberikan gestur ringan lain yang membuat Alit berbunga-bunga dan enggak mungkin dilakukan oleh seorang teman tanpa perasaan.

Sepertinya setelah ini Alit harus mulai mempertimbangkan untuk menegaskan semuanya pada Rafly agar tidak digantung terus-terusan seperti ini. Lebih baik dia galau karena ditolak, daripada kepalanya pecah untuk terus mengira-ngira apakah Rafly menyukainya atau tidak.

"Alit juga cantik banget! Bagus, Lit. Warna kebayanya cocok banget sama kulitmu yang terang!" Alanda berjalan mendekat, memperhatikan tubuh Alit dengan senyum lebar.

"Emang ini enggak terlalu ketat ya, Mbak?" tanya Alit pelan.

"Iya, menurutku ini terlalu ketat," sambung Bintang yang selalu menjadi polisi pakaian yang Alit pakai.

"Kamu ngerasa sesak gitu enggak?" tanya Alanda yang disahuti oleh gelengan Alit. "Ya udah, kalau enggak, berarti ini udah oke. Badanmu bagus kok. Enggak papa, harus percaya diri dong! Kebaya memang bagusnya fit body kayak gini."

"Makasih, Mbak." Alit betulan senang sekali mendengar pujian lembut dari calon kakak iparnya ini, yang kecantikannya sering bikin Alit insecure.

"Coba kamu jalan! Kainnya sempit banget enggak?"

Alit berjalan sesuai intruksi Alanda. "Iya, Mbak, ini sempit banget. Kalau pakai high heels makin susah lagi jalannya."

"Enggak usah pakai heels," ujar Bintang.

"Jelek dong, Ca, kalau pakai kebaya enggak pakai heels," gerutu Alit.

"Bentar aku panggilin Mbak Juni, biar belahan bagian belakangnya dinaikin sedikit lagi ya? Jadi enggak terlalu sempit." Lalu Alanda beralih pada Bintang dengan suara lebih lembut. "Emang kalo pakai kebaya itu bagusnya pakai heels, Ca."

"Kamu enggak usah pakai heels, ya? Kan enggak kelihatan juga nih, ketutupan gaun." Bintang menarik gaun Alanda sedikit, sampai kaki telanjangnya terlihat. "Kamu pakai sandal jepit aja, Lan. Kan enggak kelihatan."

Alanda memelotot. "Dih, ngaco! Enggak mungkin lah aku pakai sandal jepit di hari pernikahanku!"

"Lah kenapa? Kan enggak kelihatan. Enggak ada yang tahu juga, selain aku. Ini gaunmu udah berat, Sayang. Kalau tambah pakai heels, nanti capek banget pasti." Kini Bintang memeluk Alanda dari belakang, lalu mencuri kecupan-kecupan singkat di pelipis. "Aduh, cantiknya ... calon istrikuu."

Alit hanya menghela napas berat. Sengaja berdeham agar mereka memisahkan diri. Tapi Bintang malah semakin gencar mengumbar kemesraan. "Kenapa sih? Sirik aja lo!"

"Ca, ini bagusan begini atau begini sih?"

"Bagus gini. Perfect. Cantik banget, Sayang. Foto yuk!"

Sungguh Alit iri sekali dengan seluruh kemesraan yang terpampang jelas di depannya. Mungkin, Alanda enggak menyadari bagaimana Bintang menatapnya sekarang. Tapi Alit bersumpah kalau Kakaknya itu betulan sudah tergila-gila setengah mati pada Alanda. Dan ... kapan Alit bertemu laki-laki yang bisa mencintainya sebegitu besarnya?





***





Alit bangun kesiangan. Seharusnya mereka pulang ke Yogyakarta pagi ini, naik kereta eksekutif yang dipesankan Bintang. Namun, karena semalam dia lembur, Alit jadi kesiangan. Bunda dan Ayah enggak bisa menerobos masuk ke kamar yang ditempatinya, karena Alit mengunci pintunya.

Lalu dengan jahatnya Bunda, Ayah dan Bintang pulang duluan ke Yogyakarta karena enggak mau ketinggalan kereta. Alit ditinggal sendirian di rumah Alanda begitu saja. Saat keluar kamar dan menyadari keretanya sudah lewat tiga jam lalu, Alit serasa ingin menangis.

"Enggak papa, Lit. Kamu mau aku pesenin kereta buat nanti sore? Tadi malem kamu lembur sampai jam berapa?" Alanda menghampirinya dengan senyum lebar.

Sementara Alit makin kesal setengah mati, melihat ponselnya penuh dengan missed call dari Bunda, Ayah dan Bintang. Mereka bahkan sempat menyindir Alit di grup chat, mengatai Alit tidur seperti batu, dan sebagainya.

"Sumpah, aku sama sekali enggak sadar kalau dibangunin. Aku baru tidur jam dua, Mbak." Alit duduk di meja makan dengan lunglai.

Alit bekerja sebagai corporate designer identity di salah satu perusahaan skincare yang kantor pusatnya berada di Surabaya. Selama ini ia bekerja secara remote, hanya kalau ada acara tahunan saja dia ke Surabaya. Enaknya dari bekerja secara remote begini, dia enggak perlu berpatokan pada jam kerja kalau mau pergi-pergi. Pekerjaannya fleksibel, bisa dikerjakan kapan saja dari mana saja.

Dan kelemahannya, atasan Alit sering minta revisi design tidak kenal waktu. Enggak jarang, malam-malam dia dihubungi minta revisi. Mulai dari revisi minor, sampai rombak besar-besaran pernah Alit terima. Memang enggak harus langsung dikerjakan saat itu juga. Tapi, Alit tipe orang yang enggak bisa tidur nyenyak kalau masih ada tanggungan revisi yang ditunggu-tunggu oleh bosnya. Jadilah setiap kali ada permintaan revisi, Alit langsung mengerjakannya saat itu juga, seperti yang dia lakukan tadi malam. Supaya setelahnya bisa santai-santai.

"Ya ampun, Lit. Pasti capek banget ya? Ya sudah sarapan aja dulu, terus tidur lagi. Balik ke Jogja besok juga enggak papa, kan?" Alanda membuka tudung saji dan mempersilakan Alit memilih menu sarapannya. "Jujur aku selalu salut banget sama dedikasimu ke kantor. Emangnya kantormu ngasih deadline-nya beneran semepet itu ya? Sampai kamu harus banget begadang terus gini? Emang enggak bisa dikerjain pas paginya? Kayaknya aku sering banget lihat kamu begadang. Ini ada uang lemburnya, kan?"

Alit hanya tersenyum tipis. Ia pun juga bertanya-tanya, kenapa sebegininya dengan pekerjaannya?

Padahal kantornya enggak pernah memberinya uang lembur. Pekerjaannya yang fleksibel, membuat bisa bekerja kapan saja, sehingga tidak ada istilah lembur, kecuali jika ada proyek besar akhir tahun. Mau Alit begadang tiap hari sampai tipes, kantornya enggak peduli, dan gajinya sama saja seperti biasa. Atau paling ditambah bonus yang enggak seberapa dengan GERD yang dideritanya.

Dan kenapa masih bertahan?

Karena Alit sudah merasa cukup dengan gajinya. Meski enggak besar-besar amat, tapi gajinya sudah lebih besar dibanding gaji dari perusahaan di Yogyakarta dengan posisi yang sama. Alit sudah pernah riset ketika ia sudah muak dengan kantornya. Dan memang gaji dari kantornya sekarang, yang paling besar, karena mengikuti UMR Surabaya. Untuk ukuran karyawan yang baru tiga tahun bekerja, gaji dua kali UMR Surabaya itu sudah cukup menurutnya. Yang mana, nominal itu adalah empat atau lima kali UMR Yogyakarta.

Ditambah lagi, Alit suka dengan sistem work from anywhere ini. Dia enggak suka dengan rutinitas monoton yang harus ke kantor setiap hari. Berhubung sejauh ini dia belum menemukan better offer, jadi mau enggak mau dia menjalaninya, meski sambil sambat setiap hari.

"Ya, gimana lagi, Mbak. Enggak ada pilihan lain." Alit tersenyum tipis, sebelum menyuapkan nasi yang baru saja diambilkan Alanda.

"Makasih ya, Mbak."

"Tapi lingkungan kerjamu aman, kan, Lit?" Alanda mengajak ngobrol, selagi Alit menikmati sarapannya. "Maksudnya, selain kerjaan yang deadline-nya mepet, enggak ada kendala lain, kan?"

Alit menggeleng. Mood-nya belum sepenuhnya membaik, sehingga ia menjawabnya dengan singkat. "Sejauh ini aman sih, Mbak. Yaa ... yang namanya orang, ada yang rese dikit wajar lah, ya. Enggak yang gimana-gimana banget kok!"

"Terus jadinya Rafly udah nembak kamu?"

Alit memang sempat cerita pada Alanda soal kegundahannya ini. Seperti yang dia harapkan, Alanda cukup menyenangkan menjadi tempat curhat. Wanita itu tahu yang Alit butuhkan. Bukan solusi yang menggurui, Alit hanya ingin perasaannya divalidasi, dan Alanda selalu melakukan itu tanpa diminta.

"Belum."

"Wah, payah banget! Masa sudah dua tahun enggak nembak-nembak? Kamu enggak curiga? Jangan-jangan dia selama ini punya pacar atau gimana gitu?"

Alit mengendikkan bahunya. "Enggak tau deh, Mbak, aku clueless banget. Enggak ngerti isi pikirannya sama sekali."

Barangkali satu-satunya hal yang membuat hidup Alit enggak sempurna adalah bab asmara ini. Sejak dulu kisah asmara Alit enggak pernah berhasil. Selalu ada saja hal-hal yang membuat Alit galau. Cowok-cowok yang mendekatinya enggak pernah beres. Entahlah. Sepertinya Alit memang memiliki aura negatif yang membuatnya terlihat menarik di mata cowok-cowok brengsek, sementara cowok baik-baik yang Alit harapkan sudah mundur duluan.

"Kalau Brian? Aku beneran penasaran, hubunganmu sama Brian itu gimana?"

Nama yang disebutkan Alanda membuat Alit menghela napas kasar. Sungguh, mendengar namanya saja sudah membuat Alit badmood. Tapi dia tidak enak kalau pertanyaan Alanda dibiarkan menggantung tanpa jawaban. Bagaimanapun, calon kakak iparnya ini baik dan pengertian sekali.

Jadi, mau tidak mau Alit pun menjawabnya. "Aku enggak suka sama dia. Seujung kukunya pun enggak suka. Dan sampai detik ini aku masih yakin, kalau dia tuh ngedeketin aku cuma main-main aja, Mbak. Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya coba?"

Alanda manggut-manggut, tapi sorot matanya tampak merasa bersalah. "Iya sih, aku juga kalau jadi kamu, enggak akan mau ngeladenin Brian. Cuman aku heran aja sama dia, kayaknya ngotot banget ya, ngejar kamu? Padahal udah sering diomelin Uca juga. Enggak ada kapok-kapoknya. Tadi dia nge-chat aku. Nanyain kamu."

Alit masih menyuapkan makanannya dengan santai. "Nanyain gimana? Lain kali, kalau dia bahas aku, langsung blokir aja nomornya, Mbak."

"Dia tanya, kok di story Instagram Uca, kursi sebelahnya kosong? Emang Alit ke mana? Ya udah aku jawab, Alit masih di sini, belum pulang," tutur Alanda.

"HAH?! Ya ampun, Mbak Alan! Ngapain dijawab?!" Alit langsung meletakkan sendoknya begitu saja, berdenting dengan piringnya. "Ah, dia pasti bakal ke sini bentar lagi!"

"Sori, Lit. Tadi aku asal jawab aja sih. Masa bakal ke sini sih? Emang segitunya ya? Dia tahu di mana rumahku?"

"Tahu, Mbak! Kan waktu kapan itu, Mas Brian pernah jemput Uca di sini! Pas Uca mau balik ke Jogja bareng Mas Brian itu lho!" Mood Alit semakin berantakan. Sudahlah kepalanya pusing karena kurang tidur, setelah ini, dia masih harus berhadapan dengan laki-laki menyebalkan itu lagi.

Sumpah, Alit berani bertaruh kalau pria itu pasti bakal muncul di sini enggak lama lagi. Ini bukan pertama kalinya terjadi, dan Alit sudah lelah menghadapi sikap pria itu yang suka seenaknya.

"Aduh, Lit, sori banget ya! Ya udah kamu cepet-cepet mandi gih! Siap-siap! Langsung aku anter ke stasiun, sekalian aku mau ketemuan sama temenku buat bagi-bagi undangan."

Namun, terlambat. Alit belum sempat beranjak, bel di depan rumah megah Alanda berdering. Alit dan Alanda hanya saling menatap satu sama lain, tanpa mengatakan apa-apa.

Rumah Alanda sepi sekali pagi ini. Mamanya Alanda menemani Papanya main golf. Sedangkan adik-adik Alanda sibuk main dengan teman-temannya sendiri. Jadi, bisa dipastikan kalau tamu yang baru saja datang, pasti mencari Alanda ... atau Alit.

Tak lama kemudian, asisten rumah tangga Alanda menghampiri mereka yang masih terduduk kaku di meja makan. "Mbak Alanda, itu ada yang nyariin Mbak Alit."

"Siapa, Bi?"

"Saya enggak tanya namanya, Mbak. Mas-mas ganteng!"

Penjelasan tersebut sudah cukup membuat Alit yakin kalau itu betulan Brian. Alit hanya menarik napas panjang-panjang, terlebih setelah mendengar suara pria itu mengucap salam, dan melangkah masuk.

"Sori ya, Lit. Kalau kamu beneran enggak mau ketemu dia, aku—" Suara Alanda yang pelan, langsung terjeda dengan suara renyah pria yang baru saja masuk dengan santainya.

"Ketinggalan kereta, Lit? Balik Jogja sama aku aja yuk! Aku setirin!"

"Dia enggak mau, Yan," Alanda yang menjawab. "Dia udah aku pesenin tiket kereta buat nanti sore."

"Ya udah, aku aja yang anter ke stasiun," Brian menarik satu kursi di meja makan dengan santai. Menatap Alit dengan senyum lebar.

"Biar dianter supirku aja nanti, Yan. Dia lagi bete. Mending enggak usah diajak ngomong, daripada nanti kamu kena semprot terus." Lagi-lagi Alanda mewakili Alit sebagai jubir.

Alit sudah enggak nafsu melanjutkan makan. Dia meneguk air di gelasnya sampai tandas, lalu menatap Alanda dengan penuh selidik. "Mbak beneran udah mesenin tiket lagi buat aku?"

"Belum sih, mau aku pesenin sekarang?"

"Enggak usah deh, Mbak. Aku pulang sama dia aja, nggak papa." Alit mengatakannya tanpa melirik ke orang yang dimaksud sama sekali.

Keterkejutan langsung terpampang jelas di wajah Alanda. "Beneran?"

Tentu saja Brian langsung cengar-cengir penuh kemenangan.

Alit mengangguk kecil. "Kamu bawa mobil apa?"

"Yang biasa," jawab Brian dengan jumawa.

"Mercy G65?" tanya Alit malas.

"Iya, kenapa?"

"Aku enggak suka mobil itu."

"Terus maunya mobil apa, Lit?" tanya Brian dengan lembut.

"Pajero."

Brian mengangguk santai. "Ya udah, aku tuker mobil dulu. Kamu mandi dulu gih!"

Lalu tanpa menunggu respon Alit, Brian mengacak-acak rambut Alit enteng, sebelum beranjak dari sana sambil bersiul.

"Beneran mau balik sama dia?" tanya Alanda pelan, setelah Brian menghilang dari pandangan.

"Enggak lah. Ayo Mbak, cepet anterin aku ke stasiun, sebelum dia balik ke sini lagi. Aku enggak usah mandi enggak papa, kan?" Alit mengambil ponsel, menyalakan kamera depan untuk bercermin, memastikan bahwa penampilannya enggak seberantakan itu.

"Enggak papa, Lit. Tetep cantik kok!" Alanda bergerak sama cepatnya. Segera berlari ke kamar untuk siap-siap. Begitu juga dengan Alit yang belum mengemasi barang-barangnya di kamar.







***










Hai, akhirnya aku kembali lagi dengan cerita baruuuu~

Seperti yang udah aku tulis di sinopsis dan di Instagram, ini tentang Alit dari cerita Take Me Back to The Start. Ini spin off ya. Ceritanya berdiri sendiri. Kalian enggak harus baca cerita itu dulu, tapi ada baiknya kalau baca duluu hihi. Take Me Back to The Start masih lengkap di Wattpad kok. Bisa dibaca marathon dalam waktu semalam wkwkwk.

Ini original fiction ya, aku enggak akan kasih cast-nya. Jadi, kalian bebas mau bayangin siapa yang jadi Brian atau Alit. Mau idol Korea kek, China kek, Jepang kek, atau bayangin Brian kayak tukang cilok langganan kalian pun boleh hehe.

Dan sebenarnya ide cerita ini lumayan panjang. Semoga kalian enggak bosen ngikutin ceritanya yaaa! Bakal aku post di Wattpad sampai tamat kok, tenanggg.

Besok Sabtu dan Minggu, aku bakal update lagi untuk bab 2 dan bab 3. Setelah itu, aku masih belum tahu bakal update cerita ini setiap hari apa wkwkwkw. Karena draft ceritaku belum banyaakk wkwkwk. Coba dong, kalian vote:

a. lebih suka cerita update random, tidak terjadwal, bisa hari apa aja, jadi berasa surprise.

b. lebih suka cerita update rutin seminggu dua atau tiga kali sesuai jadwal, biar pasti ada yang ditunggu-tunggu tiap hari?

Follow Instagram: liaraudrina

Terima kasih atas dukungannyaaa! Minta vote dan komen yang banyakkk donggg!

Continue Reading

You'll Also Like

197K 14.5K 41
(SUDAH TAMAT DAN LENGKAP) Asia ─ aktris ternama, tidak percaya kisah cinta. Benua ─ pewaris utama, percaya banyak perasaan baiknya disimpan saja. Bag...
4.9K 445 8
Dark Side Series WARNING! Rating 24+ Rape, Mature, Angst 🚫Not Children *** 10 tahun sudah berlalu sejak hari di mana dirinya menjadi korban pemerkos...
93.6K 310 1
📚COMPLETE BOOK 📚 ____________________________________________________ 🇬🇧 This is an authorized novel translation from the original author, and t...
62.7K 9.2K 37
[Completed] Bagi Gian, tidak ada yang lebih spesial daripada Musik dan mungkin sedikit Adhisti.