Suddenly

anjar_lembayung द्वारा

269K 43.3K 5.1K

[21+] Marisa benci dengan segala sesuatu yang mendadak. Perempuan yang baru saja menginjak usia 30 tahun kema... अधिक

-Prolog-
[1]. Sakit dan Masa Lalu
[2]. Jangan Kabur!
[3]. Kesalahan Pertama
[4]. Penawar Luka
[5]. Yang Bimbang dan Menimbang
[6]. Hari Pertama
[7]. Yang Terlupakan
[8]. Di Bahunya Ia Bersandar
[9]. Sesuatu yang Disebut Kangen
[10]. Membuang Resah
[11]. Badai yang Mulai Bergolak
[12]. Calon Mantu
[13]. Ketakutan
[14]. Menurunkan Penumpang Gelap
[15]. Yang Tak Punya Apa-Apa
[16]. Calon Mertua
[17]. Menyematkan Cincin di Jari Manis
[18]. Fakta yang Terungkap Perlahan
Hidden Part #18
[19]. Marry Me Soon!
[20]. Malam Akad
[21]. Pengganggu
[22]. Yang Memaksa Menggoda
Hidden Part #22
[23]. Menunda
[24]. Kenangan yang Menjerat Langkah
[25]. Harta, Tahta ....
Hidden Part #25
[26]. Tamu Tak Diundang
[27]. Nyonya Sanjaya dan Putra Tunggalnya
Intermezo-Salah Grup
[28]. Mengorek Masa Lalu Mengundang Cemburu
[29]. Bertukar Cerita
[30]. Menghadapinya Bersama
31. Yang Masih Berusaha Mengusik
32. Menguji Kesabaran
33. Alasan Masih Menunggu
34. Kabar Buruk dan Penyesalan
35. Merenungkan Masa Lalu
36. Pisah Ranjang
37. Perempuan dan Bola Lampu
38. Yang Terjadi Sebenarnya
40. Jangan Pergi Lagi
-Epilog-
Extra Part #1. Hush, Pengganggu!
Extra Part #2. Trauma dan Perubahan
Extra Part #3. Pertengkaran

39. Keributan yang Membuatnya Ingin Segera Kembali

4.2K 821 72
anjar_lembayung द्वारा

Hai, part 39! Artinya satu part lagi cerita ini ending, ya. 😍

Dududu, aku nggak sabar mau nulis cerita baru! 🤭

Eh, aku minta vote dulu boleh? Komentar juga boleh?

Terima kasih. Happy reading! 🥳

====🏖🏖🏖====

Dia yang merindukan si Mas yang tak pulang-pulang. 🤭


====🏖🏖🏖====

Tina sudah berlalu. Ia harus pergi dengan Mamat untuk mengambil pesanan kaus rombongan wisata melalui konveksi. Sementara perempuan itu masih saja duduk menyendiri di pojok kantin, entah menunggu apa mengingat teh hangat yang disuguhkan Mamat pun tinggal seperempat dan mendingin.

Risa baru saja menelepon Tama. Meluruskan segala hal yang memang seharusnya ia luruskan agar kesalahpahaman tak berlarut-larut. Perempuan berkemeja biru tua itu rindu, tapi bagaimana caranya mengutarakan kalau selama bertelepon tadi, Tama hanya menanggapi, "Nggak papa, aku ngerti. Mungkin aku yang terlalu cemburuan dan posesif."

Laki-laki itu tertawa kecil setelahnya dan hening.

"Mas mau kembali ke Jogja kapan? Atau aku yang harus nyusul ke Jakarta bareng Siska besok?" tanya Risa memecah keheningan.

"Aku ke Jogja setelah pekerjaan di sini selesai. Mungkin kamu butuh waktu juga untuk menyelesaikan masalah masa lalumu. Take your time, Sa. Aku … masih bisa menunggu."

Saat penjelasan itu terdengar, senyum tipis di bibir Risa tampak. Maunya berkata, "Semua sudah selesai. Aku cuma mau kamu."

Sayang, perkataan itu hanya berhenti di ujung lidah. Sampai akhirnya, telepon itu berakhir tanpa penjelasan apa pun lagi. Lalu Risa mengambil kesimpulan, mungkin laki-laki itu masih kesal padanya. Dan ia bisa terima karena sudah mulai terbiasa. Terbiasa dengan cara Tama yang kerap menjaga jarak sebelum mengambil keputusan. Sampai akhirnya terkadang Risa sendiri yang kalah karena nyatanya, merindukan laki-laki itu tak kuat ia tanggung sendirian seperti yang sudah-sudah.

Seperti saat pertama Risa melarikan diri dan Tama mengejarnya. Seperti saat Risa tak kunjung memberi kepastian atas segala usaha Tama untuk melamarnya. Seperti saat Risa tak kunjung mengizinkan Tama membantunya menyelesaikan masalah atau sama-sama menghadapinya. Pada akhirnya perempuan itu kerepotan sendiri dengan sikap malu tapi mau atau lebih tepat dibilang gengsi yang teramat kebesaran.

Perempuan itu mengembuskan napas panjang, berniat menyandang tas ke bahu kiri kalau saja suara serupa sindiran itu tak terdengar.

"Banyak siasatnya kamu, ya, Cha. Udahlah godain anakku sampai tergila-gila sama kamu. Nuduh dia hamilin adik kamu. Sekarang, suami kamu pula ikut-ikutan intervensi jabatan di kantor. Bawa keluarga segala buat mengambil alih jabatan di biro Agus. Mau kaya pakai cara yang benar, dong.”

Kelopak Risa mengerjap heran. Ia menoleh ke jajaran bangku di belakangnya. Ada Nyonya Sanjaya, Mbak Nunung, dan Desi dengan sepiring nasi uduknya masing-masing. Dilihat dari uap hangat tiga gelas teh, Risa bisa menebak mereka belum lama mengambil duduk di sana.

Sejak kapan Risa mau kaya dengan mendekati putra tunggal Nyonya Sanjaya? Sejak kapan perkara management dan tim di kantor biro ini menarik hati Nyonya Sanjaya dan Mbak Nunung? Dulu mereka terkesan tak peduli. Setelah semua tertata rapi dan mulai ramai klien, kenapa pula mereka ribut dan memaksakan diri memangku jabatan?

Namun, demi kesopanan pada perempuan yang usianya jauh lebih tua, Risa hanya mengangguk berhias senyum tipis. Berniat pergi begitu saja tanpa menanggapi segala ocehan yang mungkin memantik keributan. Otak dan energinya sudah terlalu lelah memikirkan banyak hal. Toh perkara Riana dan Rama, ia sudah meminta maaf dan Riana bersedia menerima gugatan cerai dari putranya.

"Adikmu hamil sama siapa, to? Jangan-jangan jual diri biar cepet kaya. Atau kamu juga sama, ikutan jual diri ke direktur? Biar gampang jadi kaya?" Nyonya Sanjaya berkata tanpa memandang lawan bicara. Ia sibuk menelisik kuku-kuku panjang bercat merahnya, meneliti kerapian rambut serta blus merah tuanya. Kemudian mengusap tas bermerek di atas kursi kosong sisinya. Sombong.

Risa batal melangkah pergi. Ia berbalik dan menatap lekat pada perempuan bertubuh subur yang kemudian meniup pelan permukaan gelas teh.

“Teh opo, sih, iki? Kok, baunya nggak enak gini, nggak kayak punyaku di rumah,” protes Nyonya Sanjaya mencibir.

"Maksud Nyonya? Jangan mentang-mentang saya dari kaum tidak berada, lantas Anda merasa berhak menghina saya." Dua tangan di sisi badan ramping Risa mengepal erat.

"Heleh, aku tahu, kok! Kamu sering godain Pak Tama di aula lantai dua, to? Ada orang kantor yang liat, lho. Mbok pikir orang sekantor ki buta semua, ya, Ca?" Mbak Nunung memantik bensin. Perempuan bertubuh jangkung dan kurus kering itu sepertinya masih punya banyak dendam pada Marisa.

"Yaah, pantesan aku kalah, Buk!" Desi semakin banyak menyiramkan bahan bakar berikutnya.

Dada Risa bergemuruh panas.

"Katanya perempuan baik-baik, nggak tahunya sama kayak … jual dir–" Desi terperanjat. Dua tangannya terangkat tinggi seraya menatapi bajunya yang basah.

"Duh, kemeja kamu basah, Cah Ayu!" Mbak Nunung mengelap pakaian basah anak gadisnya sembari bergumam gusar, sementara Desi merengek karena kepanasan.

"Kalian nggak tahu bagaimana kejadiannya. Jadi jangan pernah menghakimi saya serendah itu dan jangan bawa-bawa nama baik suami saya hanya karena kalian berdua nggak suka saya di tempat kerja dulu," gertaknya. Risa mengembalikan gelas teh yang telah kosong karena ia siramkan ke arah anak gadis Mbak Nunung.

"Dan Anda, Nyonya Sanjaya." Risa menginterupsi dengan nada tegas. "Putra Anda, Rama Agung Sanjaya juga tidak sesuci yang Anda kira! Tanyakan padanya bagaimana dia menyelinap masuk ke kamar dan hampir menodai saya setelah akad dengan Riana! Jadi jangan selalu memojokkan saya dan menyebut saya sebagai wanita penggoda demi harta yang Anda miliki! Saya nggak butuh!"

Nyonya Sanjaya tersentak mendengar bentakan mantan kekasih putranya. Ia terdiam seribu bahasa. Bibir berpulas lipstik merahnya ternganga, mengatup, lalu menganga lagi saking kagetnya.

“Maaf, ada apa ini?” Suara Siska terdengar mengurai ketegangan sesaat. Ada Randi dan Diyah yang berdiri mengapitnya.

Lalu, ada ibu dan bapak Mamat yang entah sejak kapan keluar dari dapur kantin. Risa melirik ke arah sekitar. Pun tak kalah dengan para driver dan kondektur di parkiran yang mulai berdatangan dan diam-diam menonton di depan kantin. Detik itu Risa sadar bahwa keributan yang mereka buat menarik perhatian dan aib yang ia simpan dalam-dalam terkuak karena teriakannya tadi.

“Mbak?” Siska mendekat, berniat mengulurkan tangan, dan meraih perempuan yang masih terengah sehabis setengah berteriak itu dalam rengkuhan.

Menyedihkan dan memalukan sekali.

Risa buru-buru menghapus titik bening di sudut mata yang siap tumpah. “Nggak papa,” sahutnya sambil berbalik lalu berlarian meninggalkan kantor tempat bekerjanya dahulu. Ia tak memedulikan panggilan sepupu suaminya dan memilih mengencangkan laju lari.

**

Laki-laki itu duduk termenung di halaman belakang. Sesekali melempar kali ke arah kolam butiran pur ikan ke arah ikan yang timbul tenggelam saat berenang mencari makan. Hari sudah terlalu sore untuk mengurus apa-apa bersama perusahaan yang baru berkembang milik Raga.

Matahari bahkan sudah mengintip malu-malu melalui celah pucuk merah yang berjajar di dekat pagar dinding halaman belakang. Ada jajaran bonsai dalam pot dengan daun-daun basah sisa disiram ibunya usai membereskan persiapan makan malam di dapur bersama asistennya.

"Ngalamun mulu kerjaannya kamu, Mas. Kayak nggak ada kerjaan lain aja akhir- akhir ini. Udah kelar berantem sama Pita?" Laki-laki paruh baya itu tertawa kecil sembari mengambil duduk di sisi putra sulungnya.

Tama tersenyum tipis seraya melempar lagi makanan ikan ke dalam kolam. "Udah," sahutnya, "setelah aku cemplungin Christian Louboutin punya Pita ke kolam ikan Papa."

Baskoro menengok ke arah jemuran di dekat laundry room tepat di sisi dapur. Ada sepatu bersol merah basah milik putri bungsunya. Laki-laki tua itu hanya menggeleng terheran. "Entar rusak, dia ngoceh minta hadiah sepatu lagi, kamu juga bakalan beliin lagi." Baskoro mengedikkan kedua bahu.

"Kantor lagi kacau kata Siska, Mas. Dia udah ada hubungin kamu?"

Tama menggeleng. "Paling Nyonya Sanjaya sama Mbak Nunung masih ricuh soal siapa yang berhak jadi direktur."

Alis yang mulai ditumbuhi rambut putih itu berkerut. "Ribut sama Risa tadi pagi katanya, Mas," lanjut Baskoro menerangkan.

Mendengar nama perempuan itu disebut, Tama gegas bangkit. "Aku pamit balik Jogja sekarang aja, deh, Pa."

"Lho, memang usaha perang dingin dalam rangka membangun rumah tangga lebih damai kamu udah rampung, Mas?" sindir Baskoro.

Tama hanya bergumam tak jelas sambil mengutak-atik ponsel, mencari jadwal tiket penerbangan untuk malam ini segera. "Ada yang lebih penting daripada perang dingin itu sendiri, Pa. Aku mandi sama berkemas dulu."

Baskoro terkikik geli. Tubuhnya bergoyang tak kuat menahan tawa. "Papa bilang juga apa! Dibicarakan baik-baik lebih enak, Mas!"

Tama tak lagi mau dengar. Ia hanya melambai-lambaikan tangan seraya berlari kecil dengan sebelah tangan masih sibuk mengecek tiket pesawat.

**

Pratama Baskoro:
Thanks. Berkat lo, gue ngerti gimana cara mempertahankan perempuan.

Raga Prasetya:
Maksudnya?

Pratama Baskoro:
Bola lampu

Raga Prasetya:
Ooh

Pratama Baskoro:
Lain kali biarin gue yang traktir lo minum kopi. Deal?

Raga Prasetya:
Oke.

**

(01-09-2023)

====🏖🏖🏖====


Mengenai kejadian Mbak Cha dilecehkan mantan kekasihnya udah pernah aku kasih clue, kan, ya? Aku lupa-lupa inget. 😂

Kalau nggak salah pas malam habis akad dan nginep di rumah Bude Sri, deh.

Buat yang nggak sabar pake banget mau baca part 40, silakan ke KaryaKarsa. Enggak ada pemaksaan, ya. Kalau mau nunggu di sini juga tidak apa-apa. Buat yang mau dukung aku selalu di KK, terima kasih sekali. 🥰🤗

Dududu, aku nggak sabar mau nulis cerita baru. Mau spin off apa karakter yang baru aja biar fresh? 😁

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa vote. 🤗🥰

====🏖🏖🏖====

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

338K 1.7K 15
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
433K 27.2K 55
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
Love Hate C I C I द्वारा

किशोर उपन्यास

2.9M 205K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.8M 299K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...