Ebulisi

By Amaranteya

2K 596 120

Rui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan... More

Prakata
Prolog: Makhluk Menyeramkan
Babak Pertama
1. Allah Itu Kejam?
2. Bibit Rasisme
3. Teguran Kecil
4. Teman Sebangku
5. Pamer Kebaikan
6. Tuhan Semesta Alam
7. Berkiblat pada Semesta
Babak Kedua
8. Lebih Baik Bodoh
9. Tidak Cukup Muda
10. Bando Pink Pari
11. Kosong yang Penuh
12. Anak Ajaib
13. Drama
14. Kritisi
15. Seperti Mau Mati
Babak Ketiga
16. Proses yang (Sedikit) Gila
17. Keramaian
18. Langgam Rahayu
19. Jangan Terlalu Jenius
20. Bagus, Begitu?
22. Asma' Wa Shifat

21. Surat dari Konstantine

82 10 8
By Amaranteya

Illiya Naira,

Pernahkah kamu mendengar kisah penaklukan Konstantinopel? Tempat di mana bangunan megah Hagia Sophia dibangun oleh Kaisar Justinian. Tempat yang kini lebih  dikenal dengan sebutan Kota Istanbul, Turki.

Illiya, dari balik jeruji gahari, akan kuceritakan sedikit tentang itu. Kuharap, kamu bisa mengambil ibrah dari sana.

Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah gugur secara syahid dalam perang Mu’tah. Ja’far bin Abi Thalib sampai putus kedua tangannya, hingga panji Islam digigit dengan giginya agar tetap berkibar.

Belum, Illiya. Itu hanya awal peperangan dengan Bangsa Romawi. Kisah sebenarnya belum dimulai hingga Mu’awiyah menjabat sebagai khalifah.

Pengetahuanku terbatas, Illiya. Aku hanya bisa menyampaikan lewat ingatan-ingatan dangkalku dari balik jeruji gahari. Jadi, kuharap kamu tidak protes.

Banyak sahabat yang gugur dalam penaklukan Konstantinopel, baik generasi Dinasti Umayyah hingga Abbasiyyah. Salah satunya Abu Ayyub al-Anshari. Beliau dimakamkan diam-diam tepat di sisi tembok benteng Konstantinopel di wilayah Golden Horn.

Ah … aku tak ingat semuanya, Illiya. Aku hanya ingat bahwa sampai Dinasti Abbasiyyah dihancurkan oleh tentara Mongolia, Konstantinopel masih belum dapat ditaklukan.

Sampai tampuk kekuasaan beralih pada Dinasti Utsmaniyyah, Konstantinopel berhasil takluk di bawah pimpinan tokoh idolaku, Muhammad al-Fatih.

Illiya, sudah dulu. Waktuku menulis surat ini terbatas. Jika kita diizinkan bertemu nanti, akan aku ceritakan lagi. Biar aku menggali ingatanku dulu, ya? Aku janji akan belajar lagi. Tolong, jangan mencari tahu siapa aku, Illiya Naira. Aku hanya lelaki pendosa yang mengagumimu lewat cerita.

Salam,
Jeruji Gahari.

Sra tak henti mengerjap setelah membaca surat pertama. Ia baru benar-benar memperhatikan isi surat itu. Rupanya, itu memang surat-surat yang dimaksud Kandi. Setelah sibuk di gudang dan menemukannya, ia diizinkan Illiya untuk memiliki kotak tersebut beserta isinya. Ia juga diizinkan menunjukkan itu kepada Srikandi, asal dijaga dengan baik. Pasalnya, surat-surat itu memilih sejarah panjang untuk Illiya.

“Ternyata Papa juga pandai menulis seperti Mama,” gumam pemuda itu.

Tak berhenti di sana, Sra membuka dan membaca surat selanjutnya.

Illiya Naira,

Dari balik jeruji, panji-panji masih bisa berdiri tegak dan tersebar ke seluruh penjuru negeri. Lewat bungkus rokok, lewat bungkus korek api, lewat kertas bekas para sipir. Panji tetap berkobar nyata melalui Risalah Nur.

Bingung, Illiya? Maaf, aku tak sabar menyampaikannya padamu. Mungkin ini surat terakhir yang akan sampai padamu karena kita harus berpisah. Sekali lagi, maaf, ya.

Begini, Illiya. Ingat Nuriye? Aku yakin kamu ingat. Kali ini aku akan membahas tentang Said Nursi, putranya. Beliau adalah keajaiban zaman sesuai julukan yang diterimanya, Badiuzzaman.

Beliau adalah penulis kitab Risalah Nur. Kitab tersebut ditulis dari penjara ke penjara. Mulai dari penjara Eskişehir, Kastamonu, sampai penjara Denizli.

Kamu tahu, Illiya? Risalah-risalah itu ditulis secara diam-diam dan disebarkan secara diam-diam pula. Ditulis dalam bungkus rokok, kertas bekas, lantas dimasukkan ke dalam kotak korek api dan dilempar ke luar jendela penjara. Di luar, murid beliau sudah siap mengumpulkan dan menyebarkannya ke seluruh pelosok negeri.

Kasusnya hampir sama denganku. Dari balik jeruji gahari, aku bisa melihatmu, lewat cerita, lewat kata-kata. Aku lelaki pendosa, Illiya. Belum bisa dan tidak akan bisa seperti Badiuzzaman Said Nursi, yang aku bisa baru menuliskanmu kata-kata tak berarti. Semoga kamu paham.

Seperti yang kutulis tadi, ini surat terakhirku untukmu. Tak akan ada versi lengkap cerita tentang Nuriye, Said Nursi, atau penaklukan Konstantinopel lewat surat. Tak akan ada, Illiya.

Sampai jumpa lagi … dalam versi yang berbeda.

Salam,
Jeruji Gahari.

“Ini surat terakhir. Aku salah membaca urutannya.” Sra beralih pada amplop yang lain, membukanya.

Illiya Naira,

Kali ini aku membawa kisah Nuriye, perempuan luar biasa berdarah Kurdi dari Desa Balkan di Tanah Kurdistan. Beliau adalah ibu dari Said Nursi, seorang mutakallim yang dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam di Turki. Illiya, dari Nuriye yang selalu menjaga wudunya, menyembunyikan aurat hingga ke muka, yang selalu menghabiskan malam guna bermunajat, yang selalu tenggelam dalam hafalan Qur’an hingga subuh menjelang, lahir tujuh anak luar biasa pula.

Illiya, bersama Mirza suaminya, Nuriye mendidik anak-anak mereka dalam ketaatan yang teguh di jalan Allah SWT. Hingga Said, salah satunya, menjadi seorang ulama besar di seantero Turki. Badiuzzaman Said Nursi.

Aku sangat mengagumi beliau, Illiya. Kuharap, kamu juga.

Sudah dulu, ya. Nanti kuceritakan lebih lanjut tentang beliau di lain kesempatan. Wassalamu’alaikum.

Salam,
Jeruji Gahari.

Sra tak tahu harus merespons seperti apa. Yang jelas, ini luar biasa. Bagaimana mungkin mamanya tak jatuh cinta dengan papa mereka? Sra saja sampai senyum-senyum sendiri membaca surat-surat itu.

Melihat ada secarik kertas lebih kecil, Sra kembali mengambilnya. Tulisan tangan yang ada di sana berbeda dari surat-surat sebelumnya. Sra tahu ini tulisan mamanya sendiri meski ada sedikit perubahan.

Kuanggap ucapanmu waktu itu sebagai surat selanjutnya.

“Tanganmu tak perlu putus seperti Ja’far bin Abi Thalib. Kamu tidak harus menggigit panji Islam agar tetap berkibar dengan gigi-gigimu. Cukup Abu Ayyub al-Anshari dan para sahabat terdahulu yang syahid karena penaklukan Konstantinopel. Berjuanglah sebagaimana Nuriye mendidik anak-anaknya, Nona,” katamu malam itu, Jeruji Gahari.

Illiya Naira.

“Ngapain kamu? Fokus banget kayaknya.”

Sra langsung menoleh ke arah pintu, menemukan sosok Rui di sana. “Baca surat-surat Papa buat Mama.”

Ikut penasaran, Rui mendekat dan meraih salah satu kertas, membacanya. “Oh, ini yang waktu awal-awal Mama kenal sama Papa, kan?”

Sra mengangguk.
“Ntar kalau aku deketin cewek, mau pakai cara kayak Papa, ah. Keren kayaknya, misterius ala-ala penggemar rahasia gitu.”

Sra menyambar cepat, “Nggak pantes kalau kamu yang kayak gitu. Kenalan cewek kamu di mana-mana, suka tebar-tebar pesona.”

Setelah meletakkan surat itu kembali ke tempatnya, Rui kembali angkat bicara. “Loh, jangan salah, gini-gini sikapku bakal beda ke orang yang beneran aku suka.”

Sra hanya berakhir memutar bola mata malas.

-o0o-

“Pantas Lakara Jeruji Gahari Tante Illiya banyak menyinggung tentang Turki, ternyata isi surat-surat Om Haidar memang sedikit banyak tentang peradaban Islam di Turki.” Kandi menatap Sra lekat, di pangkuannya masih terdapat kotak berisi surat-surat yang baru saja dibacanya.

Sengaja memilih duduk di tribun lapangan outdoor, di bawah pohon akasia yang rimbun, Sra dan Kandi bertemu sesaat setelah belpulang berbunyi. Sambil menunggui Rui yang lagi-lagi latihan basket katanya. Kandi sudah meminta izin untuk pulang lebih telat dari biasanya saat mendapati pesan Sra bahwa hari ini surat-surat itu akan dibawa. Sebuah keberuntungan.

“Tadi pagi Mama juga bilang, kalau tekadnya untuk bercadar menguat setelah membaca kisah-kisah yang Papa kirim. Terutama tentang Nuriye itu.” Sra menyelonjorkan kaki, menumpu kedua tangan di belakang.

Untuk sejenak Kandi tampak terkejut, membulatkan mata. “Wah, jadi surat-surat ini pengaruhnya sangat besar pada Tante Illiya, ya? Bahkan sampai menggunakan nama pena Om Haidar sebagai judul bukunya.”

Sra mengangguk, matanya lurus menatap ke depan, ke arah Rui yang tengah men-dribble bola dan mengelabuhi beberapa lawan.

“Pantas juga kamu sama saudara-saudara kamu begini.”

Mendengar itu, Sra langsung menoleh ke arah Kandi, menaikkan alis tinggi. “Begini gimana maksud kamu?”

“Tante Illiya adalah perempuan luar biasa, Om Haidar juga nggak kalah amazing. Jadi, lihat kamu, Rui, sama Kla yang juga luar biasa kayaknya nggak mengejutkan, karena orang tua kalian hebat,” jelas gadis itu.

“Semua orang tua hebat dalam versinya masing-masing.” Kembali Sra menatap Rui yang baru saja berhasil mencetak poin.

Sambil mengedikkan bahu tak acuh, Kandi menutup kembali kotak dan berujar santai, “Mungkin, meskipun aku nggak yakin. Soalnya banyak juga orang tua yang malah menyiksa anaknya.”

Sejenak Sra bergumam, sebelum mengangguk setuju. “Itu karena mereka nggak siap jadi orang tua.”

Setelah meletakkan kotak tersebut di antara keduanya, Kandi ikut menumpu tangan ke belakang, menyaksikan Rui dengan khidmat di lapangan sana.

Lima menit penuh mereka hanya diam, mendengarkan suara pantulan bola, juga ramai instruksi para pemain pada pemain lain di lapangan. Cuaca sore yang cukup berangin ini juga membuat keduanya amat santai.

“Sra?” panggil Kandi, yang hanya mendapat balas berupa gumaman. “Kenapa Tante Illiya kejam banget sama Jali?”

Sra terkekeh. “Pertanyaan kamu random.”

“Ish, aku tanya serius.” Gadis itu sudah melotot lebar ke arah Sra, masih dalam posisi yang sama. “Aku masih sedih kalau ingat tokoh Jali dibuat yatim piatu. Dua kakinya nggak normal, tinggal sendirian di rumah reyot, ditinggal oleh orang yang peduli padanya pula. Ya, untungnya ada si Lakara yang berakhir menggantikan peran Wak Usman dan istrinya.”

“Mama selalu nangis kalau bahas adegan itu,” ungkap Sra tatkala menoleh ke arah Kandi, menyunggingkan senyum lebar.

“Serius? Kenapa? Kan mama kamu sendiri yang nyiptain tokoh Jali.”

“Katanya, karena tokoh Jali terinspirasi dari tetangga Mama di kampung, dekat rumah almarhumah Nenek. Kondisinya persis seperti yang digambarkan Mama lewat tokoh Jali. Dia yatim piatu dan sebatang kara. Kata Mama, dia ditemukan meninggal di dalam rumah, aku nggak tahu pasti apa penyebabnya.”

Kandi menegakkan tubuh, menaruh atensi penuh pada Sra. “Jangan-jangan tokoh Kalani juga beneran ada orangnya,” duganya.

Mana mungkin Sra melupakan tokoh Kalani. Perempuan lulusan Ankara University yang berakhir meramu temu dengan sosok Lakara. Berada di desa yang sama membuat keduanya saling jatuh hati saat pertama jumpa. Bukan saat remaja yang pasti. Pasalnya, sejak kecil Kalani sudah melanglang buana, pindah dari satu pesantren ke pesantren lain baik di dalam maupun di luar kota. Kuliah S1 di kota tetangga pun Kalani tempuh dengan tinggal di ma’had al jaami’ah dan tak pernah pulang, ia dilarang orang tuanya. Katanya, hanya saat pendidikannya usai ia boleh kembali.

Kalani langsung mendapat beasiswa S2 di Universitas Ankara Turki sebelum benar-benar pulang ke kampung sendiri. Saat itulah mereka bertemu. Dalam kajian ba’da subuh, setelah Kalani purna menjalani studi dan Lakara utuh berbenah diri. Mereka bertemu setelah sama-sama berproses dari nol tanpa kompromi.

Bukan tanpa halangan, latar belakang pendidikan menjadi batu sandungan bagi Lakara saat mencoba meminta Kalani menjadi istri pada orang tuanya. Ditambah, track record Lakara yang terlanjur melekat dengan sentimen warga. Dari sana, dalam proses yang panjang itu, Kalani berhasil menghadirkan Turki dan daratan Eropa lainnya ke sejarah hidup Lakara.

“Aku nggak tahu sih, kalau Kalani. Kayaknya yang itu murni karangan Mama, deh.” Kla ikut menegakkan posisi duduk.

“Bukan mama kamu sendiri?”

Sra menggeleng. “Mama cuma mondok sebentar katanya, nggak kayak Kalani. Terus, S2 juga setelah menikah sama Papa, ambil kelas daring gitu. Kalau terinspirasi dari temennya Mama, ya aku nggak tahu, nggak pernah cerita.”

Kandi mengangguk paham. “Kamu kayaknya deket banget ya, sama mama kamu. Kla dan Rui juga, soalnya kan lumayan jarang anak cowok yang deket sama ibunya.”

“Mungkin karena sejak kecil Mama udah biasa ajak kami ngobrol, tukar cerita. Paling Kla yang agak susah.”

“Kandi, masih ada minum, nggak? Bagi dong, haus banget ini.” Rui tiba-tiba sudah berdiri di depan keduanya. Dengan peluh membanjiri tubuh, juga napas ngos-ngosan.

Tak banyak bicara, Kandi langsung meraih tas yang digeletakkan di samping, mencari botol minum. Menemukan benda yang isinya masih setengah itu, ia langsung memberikannya pada Rui.

“Boleh aku habisin?” tanya Rui setelah menerima botol tersebut.

“Habisin aja.”

“Udah selesai?” tanya Sra.

Tegukan terakhir, Rui mengangguk. Setelahnya ia bertanya, “Kla mana?”

“Digeret Pari buat lihat dia latihan drama,” jawab Sra singkat, membuat Rui tak bisa menyembunyikan tampang geli.

Andai tak ada Kandi, pasti Pari akan meminta Sra yang menontonnya latihan. Mengajak Sra jelas akan lebih mudah tanpa perlu diseret. Pasti gadis bongsor itu tak enak pada Kandi, makanya kali ini memilih menyeret Kla yang super ogah-ogahan.

“Kok bisa-bisanya Kla mau?” Rui masih penasaran. Bujukan apa kiranya yang Pari lancarkan kali ini untuk membuat saudaranya menurut.

Sra mengangkat tangan dengan telapak terbuka ke depan. “Lima kali latihan dapat satu George Orwell kali ini. Masih ada waktu sebulan sebelum pentas, seminggu latihan lima kali, artinya Kla bisa dapat empat bukunya Orwell, bukan versi terjemahan.”

Tawa Rui seketika pecah, bahkan Kandi di sampingnya sampai dibuat melongo. Kla semudah itu tergoda dengan iming-iming buku, ya meskipun memang menggiurkan. Di antara mereka bertiga, sepertinya Kla yang paling banyak menambah koleksi buku di mezannine. Di kamar pribadi pemuda itu pun mulai diletakkan rak besar yang setengahnya sudah terisi. Dasar maniak.

“Untung Pari kaya, coba kalau nggak, bisa bangkrut dia.” Rui masih mencoba menghentikan tawanya saat Kandi berujar demikian.

“Tenang aja, Kan. Daddy Pari juga sebenarnya selalu bawain oleh-oleh buku buat kita bertiga kalau pulang dari perjalanan bisnis. Katanya, dia suka kalau lihat anak seneng baca, soalnya Pari cuma suka baca cerita dongeng,” balas Rui, diangguki Sra.

Sra bangkit. “Ya udah, yuk pulang. Kla nanti pulang sama Pari.”

Kandi dan Rui sama-sama mengangguk, memberesi barang-barang dan meninggalkan bangunan sekolah.

-o0o-

Kayaknya cerita ini bakal lebih panjang dari target awal deh. Kata anak IPA 2, enjoy the process feel the progress aja🤣

Btw, aku jadi kepikiran buat benar-benar mewujudkan Lakara Jeruji Gahari. Epik kayaknya dengan alur sederhana yang udah ada. Tapi, entar lah ya. Setelah kelarin yang masih pada on going.

Wish you enjoy

Amaranteya

2nd of August 2023

Continue Reading

You'll Also Like

176K 9.4K 36
"Jangan menikah dengan Perempuan itu! Menikahlah dengan perempuan pilihan Umi, Gus!" Syakila Alquds, sosok gadis yang kehilangan kesucian dan berasa...
996K 31.5K 59
Kesalahan karena kabur dari Mesir saat pendidikan membuat seorang gadis terpaksa dimasukkan ke sebuah pesantren ternama di kota. namun karena hadirny...
7.2M 395K 61
(MUN 1) Fadlan dan Najwa yang sempat berpacaran saat masih duduk di bangku SMA dipertemukan kembali setelah waktu membawa mereka sangat jauh. Najwa y...
48.8K 3.8K 21
ini cerita pertama maaf kalo jelek atau ngga nyambung SELAMAT MEMBACA SAYANG(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)