Ebulisi

By Amaranteya

2K 596 120

Rui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan... More

Prakata
Prolog: Makhluk Menyeramkan
Babak Pertama
1. Allah Itu Kejam?
2. Bibit Rasisme
3. Teguran Kecil
4. Teman Sebangku
5. Pamer Kebaikan
6. Tuhan Semesta Alam
7. Berkiblat pada Semesta
Babak Kedua
8. Lebih Baik Bodoh
9. Tidak Cukup Muda
10. Bando Pink Pari
11. Kosong yang Penuh
12. Anak Ajaib
13. Drama
14. Kritisi
15. Seperti Mau Mati
Babak Ketiga
16. Proses yang (Sedikit) Gila
17. Keramaian
18. Langgam Rahayu
19. Jangan Terlalu Jenius
21. Surat dari Konstantine
22. Asma' Wa Shifat

20. Bagus, Begitu?

41 10 7
By Amaranteya

“Kak Kandi kok bisa pindah ke sini, sih?” Pari ikut mendudukkan diri di bangku kosong sebelah Kandi, meletakkan sepiring siomay yang baru dipesan. 

Di seberang keduanya, Sra dan Rui duduk, sedang Kla duduk di sisi meja yang lain.

Setelah menelan bakso yang dikunyahnya, Kandi menjawab, “Aku yang mohon-mohon ke Ayah. Aku beneran nggak betah di sana. Satu setengah tahun di sana aja aku kesusahan adaptasi, nggak punya temen.”

“Kamu terlalu asik baca novel. Orang yang mau temenan sama kamu juga pasti segan karena kalau udah baca, kamu itu fokus banget,” balas Sra.

Rui mengangguk menyetujui  ucapan saudaranya. “Mode senggol bacok pokonya.”

Kandi meringis, mau tak mau membenarkan pendapat Sra da Rui. Habis bagaimana lagi, saat membaca, ia seakan diajak berpetualang ke belahan bumi lain, melintasi dimensi, bahkan menjajaki banyak emosi yang mungkin belum pernah dirasakannya dalam hidup. Orang yang melihat mereka yang tengah membaca buku mungkin hanya akan berpikir bahwa seorang pecandu buku cuma anak introvert, culun, dan terkesan pintar. Padahal, tidak begitu. Mereka yang suka membaca, rata-rata menemukan rumah dalam buku, mendapati banyak hal yang mau diusahakan bagaimana pun tak akan didapatkan di dunia nyata. Bukan melarikan diri, hanya membahagiakan diri sendiri. Bukankah kebahagiaan tak bisa digantungkan pada orang lain? Kandi percaya itu.

“Memang kamu mau diganggu orang lain kalau sedang ngelakuin hobi kamu?” tanya Kandi. Tatapan matanya terarah lurus pada Rui, lalu beralih pada Sra.

Tangan Rui terangkat, menggaruk tengkuk. “Nggak, sih.”

“Nah, kan.” Kandi beralih pada Pari, melanjutkan penjelasannya yang memang belum usai. “Sebenarnya rencana aku pindah sekalian waktu sudah kenaikan kelas nanti, tapi aku takut nggak kekejar launching buku barunya Tante Illiya. Jadi, ya sudah.”

Kla memicingkan mata. “Kamu sesuka itu ya, sama karya-karyanya Mama?”

Anggukan bersemangat diberikan Kandi sebagai respons. Mata gadis berambut keriting itu langsung berbinar penuh. “Aku nggak sabar buat baca karya selanjutnya. Apalagi sudah ada kutipan-kutipan yang diposting di akun penerbitnya buat tes ombak dan itu keren banget menurut aku. Makanya aku nggak sabar.”

Satu hal yang membuat Kla dan Sra agaknya bisa berteman dengan perempuan itu, ia tulus menyukai karya-karya sang mama. Bukan yang sekadar suka membaca, tetapi sampai paham apa isinya, hafal tiap adegannya, bahkan sampai betul-betul mengamalkan hal baik yang ia dapat dari dalam buku. Implementasi yang cukup langka dilakukan oleh pembaca. Kalau Rui tidak usah ditanya, dia kan memang gampang akrab dengan siapa pun.

“Spoiler dikit, dong. Kalian bertiga pasti udah baca naskah Tante Illiya duluan, kan?” Kandi mendorong mangkuk baksonya yang sudah kosong agak ke tengah. Bertopang dagu dan memandang ketiganya penuh harap.

“Nggak surprise, dong, nanti,” sambar Kla.

“Bener, tuh,” imbuh Pari.

Seketika Kandi menoleh ke arah Pari. “Memang kamu udah baca juga?”

Pari mengangguk, tampak ragu untuk sejenak, lalu menggeleng. Ibu jari dan telunjuk para membentuk simbol sedikit tepat di depan muka. “Cuma segini.”

“Halo, boleh gabung, nggak?” Tiba-tiba, Widuri sudah berdiri di samping meja kelimanya sambil menyunggingkan senyum lebar.

“Hoi, Wid,” sapa Rui, lalu melirik sekilas ke arah Kla sebelum melanjutkan, “Duduk aja. Lebih ramai, lebih bagus.”

Binar senang tak bisa disembunyikan Widuri. Langsung saja ia mengambil tempat duduk di seberang Kla, berhadapan dengan lelaki yang kini mengembuskan napas panjang itu.

“Kalian lagi bahas apa?” tanya Widuri, memandang mereka bergantian.

“Bahas bukunya Tante Illiya, mamanya mereka.” Kandi menunjuk si triplet dengan bangga.

Untuk sesaat Widuri tampak terkejut. “Mama mereka penulis?”

“Karyanya yang terbit udah banyak,” sahut Pari.

Mata Widuri membulat. “Wah … kok aku nggak tahu?”

“Ngapain juga kamu harus tahu?” sambar Kla cepat.

Desisan lolos dari bibir Widuri. “Kalau tahu dari awal kan aku bisa ikut baca, biar ada alasan buat ngobrol sama kamu.”

Kla menajamkan tatapan, menghunuskannya ke arah Widuri. “Go ahead and you’ll lose my respect,” ucapnya datar, “Mama nggak butuh pembaca nggak tulus kayak gitu.”

Ujung-ujung bibir Widuri turun, ia ciut seketika ditatap Kla sedemikian tajam. Langsung ia mendapat tatapan iba dari yang lain, Widuri sendiri yang salah bicara. Sudah tahu Kla orangnya amat sensitif jika berkaitan dengan sang mama, malah dipancing begitu.

“Aku nggak bermaksud begitu, Kla. Maaf,” cicit Widuri.

Tanpa aba Pari melempar Chocolatos miliknya yang memang belum dibuka ke arah Kla, jatuh di pangkuan pemuda itu. “Jangan galak-galak kenapa, sih? Kak Widuri takut, Kla. Dia kan cuma bercanda. Jahat banget jadi cowok.”

Tatapan tajam Kla beralih pada Pari, meletakkan jajanan cokelat itu ke atas meja. “Bagus lempar-lempar makanan kayak gitu?”

Aish, salah lagi. Semua saja yang dilakukan Pari salah di mata Kla. Dari kecil memang begitu. Pari mencebikkan bibir, menatap Kla sengit.

Kacau, Sra dan Rui hanya bisa meringis menyaksikannya. Terlampau hafal dengan tabiat Kla yang tak pandang buluh, siapa pun pasti akan kena semprot jika bersikap tak sesuai dengan manner yang sudah dipelajarinya.

Kla menunjuk jajanan itu dengan tatapan mata. “Ambil balik, habisin!”

“Kla!” rengek Pari, “aku udah nggak mood makan gara-gara kamu.”

“Jangan minta aku datang nonton kamu pentas kalau gitu,” ancam pemuda itu.

Serampangan Pari mengambil kembali Chocolatos miliknya, memakannya seketika sampai habis. “Tuh, udah. Puas kamu?”

Kla mengangguk, lalu bangkit. Sebelum meninggalkan mereka, ia melirik ke arah Widuri, dibalas tatapan memohon perempuan itu. Kla mengembuskan napas panjang. “Jangan diulangi lagi, aku nggak suka. Bukan begitu caranya kalau mau berteman dengan aku.”

Kepergian Kla mendapat tatapan bangga dari dua saudaranya, juga Srikandi. Mereka paham betul bahwa Kla tak akan sepenuhnya marah, hanya ingin memberi sedikit pelajaran. Sedang, Pari menatap lelaki itu kesal, dan Widuri sudah mengembangkan senyum. Untung Kla pemaaf, memang ia saja yang keterlaluan tadi.

Kandi menatap Widuri dengan sorot geli. “Widuri suka ya, sama Kla?”

“Hah? Nggak, kok,” jawab Widuri sambil menggeleng. “Aku beneran cuma pengen berteman. Kamu kali, yang suka sama Sra. Kelihatan banget soalnya.”

Sra langsung menepuk jidat, sedang Kandi langsung menunduk, menutupi semburat merah yang menjalari pipi.
Rui dan Pari saling memandang, lalu sama-sama melayangkan tatapan penuh arti.

-o0o-

“Jadi, selain bahas perbedaan aliran, Tante Illiya juga menyisipkan sedikit studi gender di buku barunya?” Mata Kandi tak beralih fokus dari Sra.

Setelah bel pulang berbunyi tadi, Sra menawarkan diri menemani Kandi menunggu jemputan di depan halte sekolah. Setali dua uang, Kandi jadi bisa mengorek tentang buku baru Illiya sebelum dirilis. Baginya, ini bukan spoiler karena Kandi tak bertanya mengenai alur cerita di dalamnya, hanya review singkat dari orang yang sudah membacanya lebih dulu.

Sra mengangguk. “Pokoknya, buku Mama kali ini beda banget dari buku-buku sebelumnya yang fokus ke sejarah. Lebih variatif isinya.”

“Jadi tambah nggak sabar baca.” Kandi menggoyangkan pelan kaki, melihat ke arah jalanan yang belum menunjukkan tanda-tanda supir pribadi keluarganya tiba. “Oh iya, Sra. Aku udah penasaran ini dari lama. Tentang buku pertama mama kamu.”

Sra memicingkan mata, juga berusaha mengingat buku pertama sang mama. Lakara Jeruji Gahari, Sra ingat mamanya menulis buku yang satu itu jauh sebelum ia ada. Maksudnya, Illiya menulis itu sebelum menikah.

“Kenapa?” tanya Sra.

“Bukan isinya sih, aku ingat Tante Illiya pernah bahas awal mula buku itu ada, cerita di balik mama kamu nulis itu. Sayangnya, cuma sedikit banget. Katanya, Jeruji Gahari itu justru nama pena papa kalian dan buku itu terinspirasi dari surat-surat yang dikirim Om Haidar.”

“Terus, apa yang buat kamu penasaran?” tanya Sra dengan alis tertaut.

“Isi surat-surat Om Haidar. Mama kamu nggak pernah nyinggung isinya di tiap ada event bedah buku atau perilisannya. Jadi aku penasaran.”

Sejenak Sra tampak berpikir. Surat-surat, mana mungkin ia tahu isinya. Seingatnya, Illiya hanya pernah bercerita tentang pertemuan dengan Haidar dan tak pernah membicarakan apa isi sur—tunggu! Ia ingat, bersama Rui dan Kla, dirinya pernah menemukan kotak milik sang mama dalam gudang di rumah mereka.

Kotak itu tak terlalu besar, berwarna navy dengan pita putih. Saat membukanya, Sra memang menemukan beberapa amplop berisi surat. Dengan dua saudaranya, mereka membaca asal satu per satu surat yang ada. Tertanda pula di sana nama pengirimnya, Jeruji Gahari. Tidak salah lagi, pasti itu yang dimaksud.

“Aku ingat,” kata Sra cepat dengan mata berbinar. “Nanti sampai rumah, aku izin Mama buat bawa surat-surat itu besok, gimana? Kalau diizinin.”

Mata Kandi ikut berbinar cerah. “Serius?”

Sra mengangguk mantap. “Iya, masih ada di gudang, tapi itu tadi, kalau diizinin.”

“Siap. Aku tunggu pokonya.”

Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti di depan halte. Itu supir keluarga Kandi.

“Aku pulang dulu kalau gitu, kamu nggak mau bareng sekalian?” ujar Kandi.

Sra menggeleng. “Terima kasih, tapi aku pulang sama Rui hari ini. Dia masih latihan basket.”

“Oke, deh. Sampai ketemu besok, Sra.” Kandi melambaikan tangan, lalu masuk ke dalam mobil.

Saat mobil itu tak lagi terlihat, Sra bangkit dan kembali ke dalam bangunan sekolah. Ia mau menunggu Rui di tribun saja sambil melihat saudaranya berlatih.

-o0o-

Masih inget kan, aku pernah bilang kalau orang tua si triplet itu tokoh salah satu cerpenku yang sudah terbit?

Part depan ku-spill lebih banyak gimana kisah mereka.

Wish you enjoy

Amaranteya

1st of August 2023

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 200K 44
[า“แดสŸสŸแดแดก แด…แดœสŸแดœ sแด‡ส™แด‡สŸแดœแด ส™แด€แด„แด€!] ส€แดแดแด€ษดแด„แด‡ - sแด˜ษชส€ษชแด›แดœแด€สŸ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
257K 15.4K 43
FOLLOW TERLEBIH DAHULU!! SEBELUM BACA! ๐Ÿ“Œ Dilarang untuk plagiat karena sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat. kisah ini menceritakan...
429K 30.4K 63
โš ๏ธFOLLOW SEBELUM BACA Bermula dari tekat Yumna menguping pembicaraan rahasia antara Gus dan Ustadznya di pesantren. Membuat hijabnya tersingkap ditar...
4.7M 286K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...