Ebulisi

By Amaranteya

1.9K 596 120

Rui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan... More

Prakata
Prolog: Makhluk Menyeramkan
Babak Pertama
1. Allah Itu Kejam?
2. Bibit Rasisme
3. Teguran Kecil
4. Teman Sebangku
5. Pamer Kebaikan
6. Tuhan Semesta Alam
7. Berkiblat pada Semesta
Babak Kedua
8. Lebih Baik Bodoh
9. Tidak Cukup Muda
10. Bando Pink Pari
11. Kosong yang Penuh
12. Anak Ajaib
13. Drama
14. Kritisi
15. Seperti Mau Mati
Babak Ketiga
17. Keramaian
18. Langgam Rahayu
19. Jangan Terlalu Jenius
20. Bagus, Begitu?
21. Surat dari Konstantine
22. Asma' Wa Shifat

16. Proses yang (Sedikit) Gila

37 11 6
By Amaranteya

“Kla, can you please explain what conditional sentence type 1 is?” (Kla, bisakah kamu menjelaskan tentang apa itu conditional sentence tipe 1?)

Si empu nama yang tadinya fokus ke buku di hadapan mengangkat wajah, menatap Mom Farah lekat. Setelahnya, pemuda 16 tahun itu menghela napas panjang.

If clause which refers to possible condition and its probable result.” Tanpa repot-repot menunggu respons dari Mom Farah, Kla kembali menekuri deretan huruf dalam buku LKS Bahasa Inggris miliknya. Ia mencoba menjawab pertanyaan yang ada di sana tanpa menuliskannya. (If clause yang mengarah pada kondisi yang mungkim dan kemungkinan hasilnya)

Meski sedikit kesal dengan sikap dingin sang siswa, tetapi guru perempuan dengan rok span panjang itu tak urung tersenyum jua. Kla tak pernah tak bisa menjawab pertanyaan yang ia ajukan, dan selalu tepat.

Merasa dikuliti hidup-hidup lewat tatapan mata oleh teman-teman sekelas yang lain, sekali lagi Kla mengembuskan napas panjang. Kali ini ia memilih menutup buku LKS-nya dan fokus menatap whiteboard yang sudah terdapat garis horizontal, sebuah metode yang digunakan Mom Farah agar memudahkan muridnya memahami materi conditional sentence.

“Ok, now, can anyone give an example of it?” Kembali suara Mom Farah mengambil atensi seluruh kelas XI IPA 2. (Sekarang, dapatkah seseorang memberikan contohnya?)

Tak lama, seorang gadis berkuncir kuda di barisan paling depan mengangkat tangan tinggi. Sempat memamerkan deretan rapi gigi putihnya sebelum menjawab, “If I get the first rank in this semester, Kla will let me be his friend.” (Jika aku mendapat ranking pertama semester ini, Kla akan membiarkanku menjadi temannya)

Sorakan langsung riuh memenuhi ruang bertema retro milik XI IPA 2 itu. sedang si empu nama, berdecak seketika, rasa kesalnya berhasil tersulut oleh jawaban yang diberikan Widuri, teman sekelas yang sejak masuk sekolah tanpa tahu malu selalu merecoki chapter kehidupan barunya menjadi siswa SMA.

“Widuri,” peringat Mom Farah.

Sorry, Mom. Habis Kla sombong banget, nggak mau diajak temenan.” Sengaja gadis berambut sebahu itu menoleh sekilas ke arah Kla yang duduk di pojok kelas. Pemuda itu menatapnya lurus, tanpa ekspresi berarti. Lagipula, Widuri tulus ingin berteman dengan pemuda itu, tak ada niat lain.

Sudah siap melanjutkan pembahasan materi hari ini, Mom Farah dibuat urung oleh ucapan Kla selanjutnya. “I’ll get nothing from being your friend, but ok. Just if you can replace my position in the first rank this semester.” (Aku tidak akan mendapat apa-apa dari menjadi temanmu, tapi baiklah. Hanya jika kamu bisa menggantikan posisiku di peringkat pertama semester ini)

Sorakan makin riuh mendengar balasan Kla untuk Widuri yang kini sudah menatapnya kembali sambil menjatuhkan rahang, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Sungguh, Kla tak ada niatan sombong meski sejak kelas X selalu mendapat ranking satu di kelas mereka. Siapa pula yang sengaja mendapat posisi itu, jujur saja Kla tak peduli ada di peringkat mana dirinya. Yang ia tahu selama ini, ia hanya belajar agar tak direcoki kedua saudaranya yang makin gila belajar itu.

Omong-omong tentang Sra dan Rui, keduanya berada di kelas yang sama, XI IPA 1. Bukan masalah pintar kurang pintar sebenarnya pembagian kelas diberlakukan di sana. Sekolah tempat ketiganya menimba ilmu punya sistem di mana tiap kelas memiliki program unggulan berbeda, jadi mereka dipisahkan bukan berdasarkan prestasi, melainkan minat yang ingin diasah lebih jauh.

Jika Sra dan Rui memilih IPA 1 karena ingin mengikuti program sains lebih banyak, Kla memilih memisahkan diri karena ingin bergelut dengan bahasa Inggris. Maklum saja, di sekolah mereka belum ada jurusan bahasa. Meski begitu, sudah diterapkan metode bilingual untuk beberapa kelas dan dua kelas itu termasuk di dalamnya.

Kembali pada kehebohan yang diciptakan Kla, Widuri sudah berdiri saat ini. Gadis itu menghadapkan tubuh ke arah bangku pojok dan menatap Kla sambil menyipitkan mata. “Seriously?” Mendapati anggukan Kla, Widuri beralih pada Mom Farah yang masih dibuat tak habis pikir dengan tingkah dua muridnya itu. ia berucap sopan, “Mom Farah yang jadi saksinya, ya, kalau Kla sudah janji sama Widuri?”

“Saya sangat menunggu kejutan dari hasil belajar kalian akhir semester nanti. Bukan hanya Kla dan Widuri, tapi kalian semua. Tidak usah menjadikan angka milik teman kalian sebagai patokan prestasi, karena saya yakin, kalian semua berprestasi di bidang yang berbeda-beda, yang kalian suka dan kuasai. Yang terpenting adalah, lampaui rekor pribadi kalian dan ….”

Enjoy the process, feel the progress,” lanjut semua serentak. (Nikmati prosesnya, rasakan hasilnya)

Senyum lebar seketika tersungging di bibir Mom Farah. Menjadi wali kelas XI IPA 2 adalah hal yang patut disyukuri. Meskipun kelakuan anak didiknya kadang ajaib, tetapi mereka selalu bisa diajak kerja sama, diajak berbicara tanpa perlu menimbulkan emosi. Lagipula, mereka termasuk anak yang sangat paham apa itu menghormati.

Pembelajaran berlanjut hingga bel istirahat berbunyi.

Begitu kelas berangsur kosong ditinggal para penghuninya ke kantin, Kla baru beranjak. Membetulkan posisi kacamata lantas memasukkan sebelah tangan ke saku celana abu, sedang yang lain menenteng buku berlabel Perpustakaan Cendekia. Tentu saja tujuan Kla bukan tempat penuh buku tersebut, ia tak serajin itu hingga mengembalikan buku yang baru kemarin dipinjam.

Pemuda itu berjalan santai menyusuri lorong kelas, membuat beberapa siswa langsung menyingkir saat menyadari keberadaannya. Bukan karena galak, mereka segan dengan Kla yang tampak tak bersahabat. Selalu seperti itu.

Langkah kakinya terhenti di pintu masuk kantin, melongokkan kepala ke sana kemari mencari keberadaan Rui. Bukannya terlampau tak terpisahkan, ia memang sudah janji membantu menyelesaikan proyek sains yang sedang dikerjakan saudaranya itu. Sebuah kejadian yang amat langka mengingat biasanya meeka berdua hanya adu mulut. Meski begitu, Kla tetap kesal karena sang saudara memilih tempat seramai kantin.

Ponsel Kla yang berada di saku bergetar tepat sebelum si empu berjalan memasuki kantin. Sebuah nama terpampang di sana, Rui, hanya kata itu yang ia gunakan untuk menyimpan kontak sang saudara.

“Lapangan basket indoor.” Kla tak merespons, ditambah Rui tak mau repot-repot bicara lebih panjang di seberang sana. Pun sambungan langsung diputus.

“Dasar nggak sopan,” cibir Kla pelan. Namun tak urung, ia berbalik badan dan menuju tempat di mana Rui berada.

-o0o-

“Pindah tempat seenaknya,” cibir Kla begitu sampai di samping Rui, salah satu spot strategis tribun tiap ada pertandingan.

Rui meringis seraya berdiri, mengeluarkan seragam putihnya dari dalam celana. Penampilannya berubah seketika, layaknya anak-anak yang sering kena tegur guru BK. “Sorry, aku baru kepikiran kalau di sana bakal ramai.”

Kla hanya berdecak, lantas ikut duduk satu baris di atas tempat Rui berpijak.

Setelah kembali duduk, Rui mengangsurkan beberapa lembar kertas yang tadi tergeletak begitu saja, langsung disambut oleh Kla. “Itu proposal penelitian yang aku ajuin kemarin, udah di-acc sama Kak Faqih dan Pak Yus. Tapi aku masih bingung gimana eksekusinya, karena ya … awalnya nekat aja ambil topik itu.”

Omong-omong, seseorang yang Rui panggil Pak Yus adalah guru Fisika sedang “Kak Faqih” sendiri bukan guru di sana. Ia adalah mahasiswa semester enam yang masih aktif menjadi asisten dosen di tempatnya belajar, sekaligus seseorang yang ditugaskan menjadi mentor penelitian sains di SMA si triplet.

Sudah menjadi hal biasa bagi SMA mereka menjalin kerja sama dengan universitas terdekat terkait pembelajaran atau pengembangan bakat dan minat siswa. Kemarin saja Rui sempat melihat anak-anak XI IPS 3 sibuk dengan peralatan shooting—yang biasa dipakai dalam proses pembuatan film itu—bersama para mahasiswa penyiaran guna membuat tugas Bahasa Indonesia.

“Kenapa nggak dibahas di rumah aja?” tanya Kla setengah kesal, meski begitu tangannya sibuk membolak-balik proposal penelitian milik sang kakak, melakukan scanning.

“Nggak usah pura-pura kamu. Kalau di rumah kamu tuh nggak mau diganggu gugat, apalagi kalau udah main game. Lagian kan baru dikembaliin tadi waktu jam pelajaran proposalnya.”

Rui tak bohong, Kla seakan berubah ke mode senggol bacok kalau di rumah, tidak boleh ada yang menambah beban belajarnya. Ia sudah pusing dengan menghadapi cibiran Rui dan Sra perkara malas belajar untuk diri sendiri. Padahal, Kla penganut belajar di sekolah sudah cukup, tak perlu belajar lagi di rumah kecuali ada PR.

Mendengar kenyataan itu terlontar dari bibir Rui, Kla memutar bola mata malas. “Kenapa nggak minta bantuan Sra, kalian sekelas.”

“Duh, adik kembarku, justru karena aku sama Sra sekelas, dia pasti udah pusing sama proyeknya sendiri. Ayo dong, bantuin aku kali ini aja, Kla. Aku traktir bukunya George Orwell, deh, satu aja tapi.” Melihat tampang Kla yang tampak sama sekali tak tertarik dengan penawarannya, Rui kembali bernegosiasi. “Jonathan Black? Atau Roger Crowley? Antonio Gramsci?”

Tanpa banyak berpikir, Kla menyahut cepat, “Roger Crowley sama Gramsci, versi asli bukan terjemahan, sepakat?”

Rui lemas seketika, versi asli katanya? Yang harganya lebih mahal daripada versi terjemahan? Tampaknya ia harus berhemat selama sebulan ke depan. “Oke deh, daripada proyek aku nggak selesai. Itu bisa jadi tiket buat minta recommendation letter nanti buat lanjut soalnya.”

Kla tak terkejut sama sekali, saudaranya itu memang berambisi melanjutkan pendidikan ke Massachusetts Institute of Technology atau yang lebih dikenal dengan MIT setelah lulus SMA. Berbeda dengannya dan Sra yang mengincar kampus dalam negeri. Omong-omong masalah itu, ada yang lebih mengejutkan perihal Sra. Si anak tengah itu berniat lintas jurusan nanti, sesuatu yang sangat tak terduga: Antropologi.

Kla pernah mencibir keinginan Sra, begini kira-kira, “Ngapain repot-repot belajar Fisika sama Kimia kalau akhirnya malah melajarin manusia dan budaya?”

Namun, dengan santai Sra menjawab, “Supaya pikirannya nggak kerdil kayak kamu.” Dasar, Sra malah tumbuh jadi pemuda bermulut lebih pedas dari Rui dan Kla. Padahal pembawaannya kalem luar biasa, justru itu yang membuat omongannya makin terasa menusuk.

“Kamu ….” Kla sengaja memberi jeda ucapannya setelah lamat mengamati judul yang diajukan Rui. “Bunuh diri.”

Alis kanan Rui terangkat tinggi. “Kenapa?”

“Gimana bisa Pak Yus sama Kak Faqih acc pengajuan kamu yang gila ini?”

Mendengarnya, Rui mendengus. Ia paham, bahkan Pak Yus sempat meragukan keputusan Rui untuk ini, tetapi karena kemampuan berbicara Rui, dengan segala macam bujuk rayu agar ia tak harus ganti topik, akhirnya Pak Yus mempercayainya. Kak Faqih sih, setuju-setuju saja karena kebetulan topik yang diangkat Rui sejalan dengan skripsi yang tengah ia kerjakan. Karena itu pula Kla mengatainya gila.

“Proses adiabatis dan isovolume kuantum sistem dua partikel simetri dengan model analogi termodifikasi.” Kla sengaja membaca keras-keras salah satu judul jurnal yang Rui gunakan sebagai rujukan, tak jauh berbeda dengan topik yang diangkat sang saudara. “Kamu emang ambisius gila mau angkat topik termodinamika sekompleks ini.”

Kali ini, giliran Rui yang balas mencibir, “Saudara kamu yang satu lagi juga gila loh, Kla. Dia malah ambil topik yang nggak dibahas di materi kita, Fusi Nuklir. Eksperimen reaktor buat reaksi fusi nuklir. Bisa-bisanya kayak gitu malah mau ambil Antropologi. Lebih gila dia, kan? Pak Yus sampai mau minta mentor tambahan khusus buat Sra dari univ.”

Kla kadang tak habis pikir dengan dua saudaranya, entah apa mereka betulan pintar atau kelewat nekat. Setahunya, topik-topik itu biasa diangkat para mahasiswa dengan jurusan linear. Teman-teman sekelas Kla saja saat ada praktikum kimia paling banter membuat percobaan mengisi balon gas dengan hasil reaksi antara cuka dengan bubuk baking soda. Kla pening.

“Terus kamu mau eksekusi dari mana?”

“Nah itu dia, aku juga bingung, Kla. Tahu sendiri aku lebih oke di teori.”

Bukankah masuk akal jika Kla mengatakan bahwa Rui bunuh diri?

-o0o-

Aku berani jamin, percobaan Rui sama Sra nggak mustahil buat anak SMA. Sedikit penjelasannya ada di chapter depan.

BTW, sistem di sekolah mereka itu kuambil dari sistem yang diterapkan di sekolahku dulu.

Amaranteya

27th of July 2023

Continue Reading

You'll Also Like

336K 14.6K 70
Azizan dingin dan Alzena cuek. Azizan pintar dan Alzena lemot. Azizan ganteng dan Alzena cantik. Azizan lahir dari keluarga berada dan Alzena dari ke...
2.8M 249K 69
[า“แดสŸสŸแดแดก แด…แดœสŸแดœ sแด‡ส™แด‡สŸแดœแด ส™แด€แด„แด€!] ส€แดแดแด€ษดแด„แด‡ - sแด˜ษชส€ษชแด›แดœแด€สŸ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
208K 12.6K 41
FOLLOW TERLEBIH DAHULU!! SEBELUM BACA! ๐Ÿ“Œ Dilarang untuk plagiat karena sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat. kisah ini menceritakan...
31.7K 4.2K 70
Adeeva Humaira Laskar Khaizuran. Seorang wanita yang jauh dari kata agama dan tidak mengenal apa itu agama, selain tidak ada niat untuk berubah dia j...