Hot and Cold

By Defanny18

73.2K 5K 757

18+ He's so cold and i'm burning. He's ice and i'm fire. ****** Florine Salim (called: Rine) Ashraf Danujaya... More

0.0
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11-
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Epilog

Chapter 24

1.1K 120 11
By Defanny18

Perubahan suasana hati Ashraf dalam waktu yang singkat membuat Rine tidak berani bertanya apapun. Usai makan, Ashraf lantas mengajaknya pulang. Lelaki itu menyetir dengan kecepatan tinggi, Sorot tajamnya hanya fokus tertuju pada jalan, sikap diamnya seolah ia tidak ingin diganggu dan hanya ingin berkonsentrasi menyetir.

Sampai di rumah, Rine melepas sabuk pengamannya. Ia yang baru membuka pintu pun beralih menatap Ashraf yang masih bergeming di kursinya.

"Aku pergi dulu sebentar, ada urusan lain."

"Nggak bisa besok pagi?"

Ashraf langsung menggeleng.

"Tapi sekarang udah malem." Melihat Ashraf yang hanya terdiam akhirnya Rine mengalah. "Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabarin aku."

Ashraf hanya mengangguk. Begitu Rine sudah turun, ia pun menancap gasnya meninggalkan rumah. Sementara itu, di depan pintu Rine masih berdiri menatap kepergian Ashraf. Entah urusan apa yang begitu penting sampai-sampai ia harus pergi semalam ini.

***

"Pak Ashraf, kondisi Ibu bapak melemah, saat ini beliau sedang dalam penanganan dokter."

Saat menerima kabar tersebut beberapa saat lalu, Ashraf langsung memutuskan pergi ke Bogor untuk melihat kondisi ibunya secara langsung. Ia benar-benar kalut sekaligus takut, dalam pikirannya hanya ada ibunya, ia tidak bisa memikirkan hal lain lagi.

Berdasarkan penjelasan dokter yang memeriksa ibunya, kondisi ibunya yang semakin menurun membuat ia harus tetap berada di ranjangnya. Meski kesadarannya masih penuh, namun tidak banyak yang dapat dilakukan oleh dokter.

Ashraf yang mendengar hal tersebut hanya bisa terduduk lemas. Tatapannya kosong ke arah lantai, ia tidak mampu lagi menopang bahunya agar tetap tegar. Meski benci dan tidak terima, namun kenyataannya kini ia seolah hanya tinggal menunggu waktu saja. Hatinya terasa sesak membayangkan skenario buruk yang berputar di kepalanya. Ashraf pun mengusap wajahnya, ia lantas masuk ke ruang rawat ibunya. Masih ada satu suster yang sedang mengecek keadaannya.

Terlihat wanita yang terbaring lemah di ranjang dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya itu sedang terlelap.

"Oh iya Pak, tadi siang ada yang datang mengunjungi ibu ke sini," ucap suster yang selama ini menjaga ibunya selama di panti rehabilitasi.

"Siapa?"

Suster itu berpikir sejenak. "Pak Setyo ... ya, Pak Setyo namanya."

Ashraf menghela napas panjang. Perasaannya langsung kesal namun ia berusaha menahannya.

"Kalau begitu, saya permisi dulu Pak."

"Baik Sus, terima kasih."

Ashraf menarik kursi untuk duduk di samping ranjang ibunya. Ia mematap lekat wajah sayu itu, tidak ingin melewatkan hal sekecil apapun. Ashraf lalu menggenggam satu tangan ibunya. Ukurannya lebih kecil dari Ashraf, dan terasa lembut serta lemas. Ashraf mencium punggung tangan itu. Matanya pun memanas merasakan hatinya yang amat perih.

"Mah ... jujur ... saya belum siap kalau harus kehilangan Mamah lagi ...."

***

Esok pagi, Rine terbangun dalam keadaan ranjang di sebelahnya masih kosong. Ia pun memeriksa ruang ganti, kamar mandi, namun tak melihat Ashraf di sana. Saat melihat ponselnya, tak ada satu pun balasan pesan dari Ashraf. Rine berusaha menghubunginya lagi, namun panggilannya tetap tak terjawab. Di tepi ranjang Rine duduk, ia menghembuskan napas, batinnya benar-benar tidak tenang sejak semalam memikirkan keberadaan Ashraf saat ini.

"Ashraf belum pulang ya, Bu?" Rine duduk di kursi bar.

"Belum, Mbak." Ucap Bu Eka yang sedang menyiapkan menu sarapan.

Rine pun berdecak. Ia akan mencoba bertanya pada Frans nanti.

***

"Emang dia ada urusan apa sih, Frans?! Sepenting itu kah sampai-sampai dia nggak pulang?!" Pagi ini Rine benar-benar sangat kesal. Bahkan di ruangan kerjanya Ashraf tidak ada.

"Soal itu ... saya ... kurang tau, Bu." Frans menunduk, meski pun dirinya kini tahu dimana keberadaan Ashraf, tapi Frans sadar itu bukan kapasitas dirinya untuk memberitahu hal tersebut kepada Rine.

"Kamu 'kan sekretarisnya! Masa iya dia nggak ngasih tau kamu apa-apa!"

"Tadi pagi saya cuma ditelfon Pak Ashraf untuk handle kerjaan dan pospone beberapa meeting aja, Bu."

Rine mendesah frustasi. "Yaudah. Langsung kasih tau saya kalau dia hubungin kamu lagi."

Frans mengangguk patuh. "Baik Bu ...." ia pun keluar dari ruangan Ashraf.

Sementara itu, Rine yang masih belum menyerah kembali berusaha menghubungi Ashraf lagi. Lelaki itu bahkan tidak membaca pesannya, panggilan Rine juga tidak dijawab. Tapi pagi ini dia malah menghubungi Frans alih-alih memberi kabar kepada Rine. Sungguh, Rine sangat dongkol.

Apa jangan-jangan dia sedang bersama Jessica?

***

Ashraf sampai di rumahnya ketika hari sudah malam. Pakaiannya masih sama seperti kemarin. Ia berjalan dengan langkah lelah. Ketika di lorong rumah, langkahnya terhenti saat melihat Rine yang tiba-tiba muncul. Ia terdiam sejenak lalu perlahan menghela napas. Melihat ekspresi marah Rine, sepertinya Ashraf tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.

"Kamu dari mana aja sih? Emang sesusah itu ya balas chat aku? Kamu nggak ada waktu kah untuk angkat telfon aku?"

Rine yang sudah sangat emosi setengah mati masih berusaha menahan agar tidak meledak-ledak. Melihat Ashraf yang tidak merasa bersalah sama sekali membuatnya makin memanas hingga matanya berkaca-kaca. Ia merasa, sepertinya hanya dirinya saja yang merasa kelimpungan tiap kali sikap Ashraf berubah. Ashraf bahkan tidak akan pernah mengerti, betapa frustasinya Rine sepanjang hari ini memikirkan Ashraf dengan segala prasangkanya.

"Aku seharian ini mikirin kamu loh. Bukannya kemarin aku udah bilang buat kabarin aku? Tapi apa? Kamu malah ngilang gitu aja, bahkan nggak pulang ke rumah!" Kedua tangan Rine mengepal, ia semakin kesal melihat Ashraf yang tak bereaksi apapun, ia seperti tidak ada niat untuk membela diri atau sekedar menenangkan Rine.

"Kasih aku waktu sebentar. Nanti aku jelasin semuanya." Ashraf melanjutkan langkah melewati Rine yang masih bergeming.

"Kamu anggap aku apa sih sebenarnya?" Suara Rine mulai bergetar. "Cuma pelampiasan nafsu doang? Iya?!"

Ashraf kembali terhenti. Ia memejamkan mata sebelum akhirnya menoleh menatap Rine yang kini sudah berbalik menghadapnya. Mata Ashraf melirik Rine tajam, ia tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh Rine.

"Jaga bicara kamu, Rine."

"Memang begitu 'kan kenyataannya?"

Ashraf pun berbalik menghadap Rine. Rahangnya mengetat, bibirnya membentuk garis tegas. Ia tidak bisa menahannya lagi, terlebih dengan kondisi emosi Rine dan dirinya saat ini.

"Kemarin malam aku pergi ke Bogor. Kondisi mamah tiba-tiba menurun. Aku terlalu kalut sampai lupa untuk kabarin kamu." Ashraf melangkah maju. "Dan alasan aku nggak membalas semua pesan dan panggilan kamu, itu karena aku mau jelasin semuanya secara langsung."

Rine langsung terdiam mendengarnya.

"Aku minta maaf karena membuat kamu gelisah. Tapi, Rine. Nggak semudah itu, untuk bisa langsung menceritakan semua masalah yang aku alami."

Rine menggigit bibir dalamnya. Tak terasa air matanya menetesi pipinya.

Ashraf menelan salivanya, ia memalingkan tatapannya dari Rine. "Besok pagi, kita ke Bogor. Aku akan ajak kamu ketemu mamah," ucapnya dan dengan cepat melangkah pergi meninggalkan Rine menuju kamarnya.

Bersamaan dengan Ashraf pergi, Rine menundukkan pandangannya. Lagi-lagi dirinya menjadi orang jahat di mata Ashraf.

***

Sesuai perkataan Ashraf, esok harinya Ashraf mengajak Rine ke Bogor. Selama perjalanan Rine dan Ashraf masih saling diam. Mereka duduk bersebelahan di bangku penumpang belakang, sementara Frans yang menyetir mobil. Rine menatap bingkisin di pangkuannya. Ia sempat bingung harus membawa apa, Rine tidak tahu apapun soal ibu kandung Ashraf, akhirnya Rine memutuskan untuk membeli silky puding dari toko kue kesukaannya.

"Kedua orang tua aku udah bercerai, sejak aku masih kecil."

Perkataan Ashraf membuyarkan lamunan Rine. Ia pun beralih menatapnya.

"Mamah ingin mempertahankan karirnya, sementara papah ingin mamah berhenti dan fokus dengan keluarganya." Ashraf membalas tatapan Rine. "Bertahun-tahun aku nggak bisa ketemu mamah. Papah menutup semua akses antara aku dan mamah. Bahkan ketika mamah muncul di televisi, aku dilarang buat melihatnya."

Rine bisa merasakan bagaimana kesedihan yang Ashraf alami. Pasti sangat sulit untuknya melewati masa-masa itu.

"Setelah aku dewasa dan hidup mandiri, aku mulai mencari keberadaan mamah. Sampai akhirnya, sembilan tahun yang lalu aku bisa bertemu dengan mamah secara langsung, dan itu berkat Pak Anthony." Pandangan Ashraf beralih ke depan. "Lima tahun yang lalu, mamah divonis menderita kanker payudara. Karena penyakitnya yang semakin parah dan kondisi kesehatannya menurun, mamah memutuskan untuk tinggal di panti rehabilitasi."

Ashraf menatap Rine dengan mata nanar. "Mamah adalah anak tunggal. Begitu kedua orang tuanya meninggal, dia nggak punya siapa-siapa lagi selain aku." Ashraf menelan salivanya. "Saat ini kondisi mamah semakin menurun. Dokter bilang, tidak banyak yang bisa dilakukan. Sekarang, semuanya bergantung kepada mamah, sampai kapan dia bisa bertahan." Perkataan itu mengakhiri ceritanya, Ashraf pun terdiam seraya menatap kosong ke depan.

Rine menghirup napas dalam dan perlahan menghembuskannya. Selama mendengar cerita Ashraf, dadanya terasa sesak. Ia pun lantas menggenggam tangan lelaki itu. Rine mantapnya dalam-dalam.

"Terima kasih ... udah mau cerita sama aku," lirihnya, dan tak terasa mereka pun akhirnya sampai di tujuan.

***

Di kamar rawat ibunya, Ashraf melihat wanita itu sedang berbaring menatap kedatangannya bersama Rine. Senyum tipis pun langsung menghiasi wajahnya. Selama ini, ia hanya mengetahui sosok Rine melalui foto yang Ashraf atau pun Anthony tunjukkan kepadanya.

"Hai, Mah." Sapa Ashraf, ia merangkul Rine di sampingnya. "Lihat, Ashraf bawa siapa ...."

Sorot mata wanita itu terlihat redup, senyumnya makin lebar ketika ia bisa melihat wajah Rine dengan dekat dan jelas. "Rine ...?" Suaranya terdengar pelan dan lemah.

Rine sekuat tenaga untuk terlihat tegar, ia tersenyum seraya meraih tangan lemah wanita itu dan mengelusnya. "Iya mah ... ini aku Rine, istri Ashraf ...."

Ashraf pun menarik dua kursi dan mereka duduk di samping ranjang.

"Akhirnya ... mamah bisa lihat wajah cantik kamu secara langsung ...."

Tawa Rine bercampur haru.

"Maaf ya, Nak ... mamah tidak bisa datang ... di pernikahan kamu dan Ashraf ...."

Rine pun menggeleng dengan cepat. "Nggak apa-apa Mah ... yang terpenting adalah kondisi mamah ...."

"Oh iya, Rine bawa sesuatu untuk mamah. Mamah mau coba?" Rine menunjukkan bingkisan yang ia bawa. "Ini teksturnya lembut banget. Aku pilih rasa yang nggak begitu manis, soalnya Ashraf bilang mamah nggak begitu suka makanan manis."

"Wah ... terima kasih banyak Rine ...."

"Sebentar." Rine menyiapkan puding tersebut sementara Ashraf membantu mengatur ranjang menjadi mode duduk.

Melihat Rine dan ibunya yang kembali berbincang-bincang, Ashraf pun memilih keluar untuk memberikan waktu kepada mereka. Melalui jendela kaca yang terdapat di pintu, Ashraf menengok ke dalam, hanya butuh waktu singkat keduanya bisa begitu akrab. Dari cara Rine menyuapi ibunya, Ashraf merasakan ketulusan pada diri Rine. Bagaimana dia mengusap bibir ibunya dengan lembut, serta sentuhan dan elusan lembut yang Rine berikan kepada ibunya. Hal itu membuat Ashraf yang memperhatikan dari luar tersenyum tipis.

Atensi Ashraf teralih saat satu panggilan masuk ke ponselnya. Ternyata itu adalah Frans, ia mengedarkan pandangannya mencari-cari keberadaan lelaki tersebut.

"Ya, Frans? Ada apa?"

"Maaf, Pak. Mengganggu waktunya. Bisa bicara sebentar? Ada hal penting yang perlu saya beritahu."

"Kamu dimana?"

"Di taman, Pak."

"Sebentar, saya ke sana."

***

"Kenapa, Frans?" Ashraf langsung bertanya begitu ia sudah di hadapan Frans, wajah sekretarisnya itu terlihat panik.

"Ini, Pak. Ada berita tentang Ibu Rine. Baru rilis sekitar satu jam yang lalu." Frans menunjukkan layar tabletnya kepada Ashraf, menampilkan artikel berita dengan headline Foto Perselingkungan Calvin Jeremy dengan Istri Produser Ashraf Danujaya Bocor ke Publik, lalu di bawah headline tersebut ditampilkan foto Calvin yang sedang mencium Rine.

Mata Ashraf mengilat tajam usai melihat berita tersebut. Ia kembali menatap Frans. "Selidiki, dari mana berita itu berasal." Ashraf mengembalikan tablet tersebut kepada Frans.

"Baik, Pak. Tapi ... masalahnya ... sudah banyak artikel serupa yang muncul dan ... di media sosial juga lagi ramai dibicarakan."

Ashraf mendengus seraya mengalihkan pandangannya. Ia menyisir surai hitamnya ke belakang seraya berpikir. Lalu Ashraf menggeleng dan kembali menatap Frans.

"Itu pasti foto lama mereka. Sebelum menikah dengan saya, Rine memang sempat berpacaran dengan Calvin. Coba kamu cari tau dari mana berita itu pertama kali rilis, dari situ kita akan tau siapa yang sudah membocorkan foto tersebut."

"Baik Pak."

To be continued ...

Continue Reading

You'll Also Like

14.3K 947 21
Menceritakan tentang empat wanita yang bersahabat, namun saling memperebutkan hati CEO muda keluarga Miller. Siapakah yang akan memenangkan hati CEO...
211K 5.9K 12
21+ Laras mencintai kekasihnya Evan, namun sembilan tahun bersama tak lantas membuatnya memahami sosok kekasihnya. Untuk saat ini uang adalah salah s...
211K 15.5K 98
Sebuah lanjutan perjalanan cinta dari Ales, Captain Pilot penerbangan pesawat komersial ternama dan Oceana, artis kelas dunia mempertahankan cinta me...
127K 1.3K 11
Anay berharap Tuhan tidak mengambil Maminya, Anay berharap Papinya bisa menjadi penguat bukan malah menghilang bersama dukanya, Anay berharap tidak p...