31. Pulang Ke Rumah
Beberapa hari setelah berakhirnya kemah, kampus memberikan waktu libur untuk mahasiswanya berisitirahat. Saat ini Caca hanya duduk di sofa sembari menonton televisi dengan memangku kaleng biskuit. Nampak enjoy di tengah kesibukan orang rumah yang menyiapkan ritual sebelum akad Anin dan Marel.
"Ca, kamu nggak sibuk kan? kasihin kue ini ke rumah sebelah dong. Bunda lagi sibuk ngurus saudara yang lain nih."
Walaupun agak malas, Caca tidak bisa menolak. Jadilah dia bergerak ditengah rasa malasnya, membawa sepiring kue-kue-an buatan Bundanya.
"Ini sebelah mana deh, Bunda kalau nyuruh suka nggak detail nih. Kanan apa kiri ya?" Caca menimbang-nimbang tetangga mana yang Bunda maksud.
"Kanan kayaknya, soalnya sebelah Kanan adalah kebaikan berarti kebenaran juga."
Caca memasuki perkarangan tetangganya, sebenarnya Caca nggak ingat kalau dia punya tetangga baru. Soalnya seingat dia, rumah sebelah kanan ini kosong. Ya begitulah kalau kalian kurang bersosialisasi.
Bel rumah sudah Caca pencet, tak lama pintu terbuka menampakkan sosok wanita paruh baya yang tersenyum padanya.
"Assalamualaikum, Bu. Maaf ini ada titipan dari Bunda."
"Oh, Bunda lagi masak-masak ya? Makasih ya."
"Iya, Bu."
"Ini.."
"Oh, saya anak bungsunya. Karisa, panggil aja Caca."
"Astaga, ibu baru tau kalau Bunda punya anak manis gini. Piringnya mau ditunggu aja atau gimana cantik?"
"Ditinggal aja deh, Bu."
"Oh gitu, yaudah nanti malam Ibu ke rumah deh buat balikin."
"Ah, nggak usah buru-buru juga, Bu. Kalau gitu Caca pulang ya."
"Iya cantik, makasih ya!"
"Iya, Bu."
Caca berbalik pergi meninggalkan rumah tetangganya itu, rupanya ibu tetangga itu masih senantiasa menatapnya dari ambang pintu dengan senyumannya.
"Kenapa dia liatin gue terus sih? Horror banget."
***
Baru saja Caca merebahkan tubuhnya ke ranjang, tiba-tiba saja muncul pengganggu ketentraman hidupnya. Hana itu tengah berdiri di depan pintu kamarnya dengan senyum tengilnya.
"Ca, gue punya mainan baru!"
"Sumpah, Lan. Gue baru banget cium kasur loh ini, main sendiri sana ah!"
"Dih gitu banget Lo sama sepupu sendiri, kan gue mau quality time sama Lo. Kita udah lama nggak ketemu tau!"
"Alah, quality time quality time, bilang aja disini nggak ada mau diajak ngereog sama Lo."
"Nah tuh Lo tau, disini pada serius banget. Heran gue mah, hidup sekali ngapain dibawa serius coba?"
Caca menoyong kepala Dilan, "Karena sekali makanya harus serius!"
"Yaudah kali ini gue serius ngajak Lo main."
Caca menghela napas, dengan setengah hati dia mengalah. "Oke, main apa anak gembel?"
"Tadaa!" Dilan menunjukkan sebuah bola yang diikat dalam satu tali yang sama.
"Apaan itu njir!"
"This is lato-lato sayang!"
"Oalah mainan bocah toh."
"Eh, ini lebih dari sekedar mainan bocah! Lato-lato is an addiction at all ages!"
"Eleh, segalaan bahasa inggris Lo. Nilai matkul English lu aja jeblok."
"Jangan buka kartu dong, sayang. Ayo atuh main!" Dilan menarik Caca ke taman belakang rumah.
"Nih gue contohin dulu, soalnya Lo agak sedikit purba gue liat-liat."
"Anak setan, bisa-bisanya dia ngatain gue purba!"
"Gini, Ca. Bisa nggak?"
"Itu mah gampang elah, sini gue praktekin."
Caca merebut lato-lato dari Dilan. Dengan skill amatir, Caca mengadu dua bola itu dengan kekuatan maksimum. Alhasil, salah satu bola terpental melompat dinding pemisah taman tetangga sebelah.
"CACA ANJING! LO NGERUSAK MAINAN GUE!" teriak Dilan.
Mendengar keributan tersebut, Anin dan Marel yang baru saja selesai fitting baju pengantin mengecek asal keributan tersebut.
"Ada apa sih, kok teriak-teriak gitu?" tanya Anin.
"Mbak liat nih, si Caca ngerusak barang Dilan."
"Nggak sengaja, lagian barang Lo murahan tuh!"
Marel terkekeh melihat keduanya yang walaupun sudah bukan anak kecil lagi tetap memainkan mainan anak-anak seperti itu. Berbeda dengan Caca yang menahan malu karena ketahuan Marel main lato-lato dengan Dilan, dia berlalu pergi karena tak kuat menahan malu.
"Caca, hei mau kemana?!" tanya Anin yang malah salah paham menganggap Caca ngambek.
"Kenapa dia?" tanya Marel.
"Astaga, anaknya ngambek kayaknya."
"Perasaan mainan gue deh yang rusak, kenapa dia yang malah ngambek? bocah sinting."
"Dilan, kamu udah bagiin undangan Mbak yang kemarin?"
"Astaghfirullah, Dilan lupa Mbak. Yaudah Dilan bagiin dulu," Dilan nampak panik, dia malah menitipkan sisa bola lato-lato nya kepada Marel. "Mas nitip ya, jangan di buang. Nanti si Caca bakalan tanggung jawab cariin bolanya. Oke!"
Marel bergeleng-geleng kepala melihat tingkah Dilan yang di luar nalar. "Dilan sama Caca emang selalu selucu ini ya, Nin?"
Anin terkekeh, "Iya, Mas. Mereka tuh kayak anak kembar, karena yang seumuran sama Caca kan cuma Dilan. Jadi ya mereka udah seakrab itu."
"Aku jadi penasaran deh sama calon suaminya Caca nanti, pasti dia bakalan kelimpungan ngurus Caca yang gemesin gini."
"Aku juga penasaran."
"Emang dia nggak pernah cerita lagi suka sama siapa gitu, Nin? Aku denger kalian dekat."
"Ah, soal itu aku cuma tau ceritanya aja. Tapi nggak tau siapa pastinya."
"Oh ya? Kok dia nggak pernah cerita sama aku ya?"
"Mungkin dia belum begitu nyaman ceritain ke kamu."
"Gitu ya?"
Anin mengelus bahu Marel, "Udahlah, Mas. Nggak usah dipikirin, perjalanan Caca masih panjang. Kalau dipikirin sekarang malah jadi mumet. Kamu mau kopi?"
"Boleh, gulanya dikit aja ya."
"Siap, Bos!"
***
Menjelang malam, Dilan menyelesaikan tugas membagikan undangan pernikahan ke beberapa tempat. Dia kembali ke kediaman sepupunya untuk menyelesaikan permasalahan lato-lato nya dengan Caca. Saat hendak memasukkan motornya ke bagasi, Dilan melihat mobil tetangga Caca yang juga baru tiba.
Dari dalam sana keluar seorang laki-laki jangkung dengan jaket denim hitam membuka bagian belakang mobil dan mengangkat beberapa box dari sana.
"Halo, kayaknya baru lihat deh," Dilan dengan gaya sok kenal sok dekatnya menyapa tetangga Caca.
"Iya, ini pertama kalinya saya kesini."
"Pantesan asing, baru tahu kalau Ibu sebelah punya anak cakep."
"Hm, terimakasih pujiannya."
"Nama gue Dilan, Masnya siapa?"
Alih-alih menjawab, laki-laki itu malah melengos pergi. "Maaf lain kali saja berkenalannya."
Ini bukan pengalaman pertama bagi Dilan di acuhkan orang baru, dia bahkan sudah hapal dengan kejadian ini. Karena itu dia hanya tersenyum dan berusaha tenang menanggapi penolakan anak tetangga Caca itu. "Yaudah lain kali kenalan, nanti saya ajak sepupu saya yang cakep!"
"Bagus nih kalau gue comblangin Caca sama ini orang, biar tuh bocah nggak galau-galau terus."
"Siapa yang mau Lo comblangin?" Caca mendadak muncul dibelakang Dilan.
"Buset dah, gue kira kunti anjir!"
"Kurang ajar Lo ngatain gue Kunti!"
"Ya lagian Lo ngapain tiba-tiba muncul dibelakang, udah gitu pake masker wajah gitu. Serem njir!"
"Suka-suka gue lah, Lo ngapain disini? gue kira Lo langsung pulang."
"Mau minta kompensasi sama Mbak Anin, sekalian mau nagih pertanggung jawaban Lo soal lato-lato gue yang rusak!"
"Yaelah, berapa sih emang lato-lato Lo?"
"Dih, dih, dih, benci banget gue sama Lo yang gini nih. Heh, emang itu nggak seberapa. Tapi ini bukan tentang nilai, Jaenab!"
"Alah, sok bijak Lo."
"Gini nih kalau asbes dikasi nyawa, hidupnya kagak ada sopan-sopannya."
"Terserah, jadi gue beliin Lo yang baru atau gimana?"
"Gak, gue mau lato-lato lama gue balik lagi. Tanpa beli baru, Lo harus balikin yang lama dengan kondisi kayak awal Lo pegang."
"Ribet banget, lagian-,"
"Lo cari itu bolanya atau gue jual sepatu roda Lo."
"Kampret, kenapa jadi sepatu roda gue?!"
"Ya itu tergantung pilihan Lo gimana, gue mah ikutin alurnya Lo aja." Tampang yang menyebalkan khas Dilan berhasil membuat Caca frustasi.
Bersambung...
***
A/N : Hallo, mau kasih tau kalo cerita Aldebaran ada versi barunya di Fizzo ya!